BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (4)

Jumat senja sekitar pukul 19.00, setelah selesai ibadah Jumat Agung. Masih ada waktu sedikit untuk mempersiapkan diri, mulailah prosesi Jumat Agung. Mulai dari Katedral Larantuka, kemudian mengelilingi sebagian kota Larantuka dengan lilin. Ada sebuah ibadah singkat dengan lamentasi (nyanyian duka dan pengharapan dari Kitab Ratapan menurut puisi Ibrani yang alfabetis) dan doa sebagai pembuka dan penjelasan prosesi di Katedral. Lamentasi juga dinyanyikan tadi Jumat pagi dan kemarin Kamis pagi di Katedral. Di sini juga disebutkan urutan yang terlibat dalam prosesi: confreria, koor, pejabat negara, suku-suku, pejabat gereja – memang prosesi ini adalah hajat semua orang. Juga terlihat umat Islam
membantu kelancaran prosesi sejak dari Katedral. Persiapan prosesi ditutup dengan nyanyian ratapan Veronika tentang sengsara Yesus. Seorang perempuan muda dengan mempertunjukkan gambar wajah Yesus yang penuh luka menyanyikan ratapan Veronika dengan irama melismatis yang syahdu dalam bahasa Latin. Sangat menyayat. Indah pula. Rasanya, setiap kali nyanyian itu selesai dinyanyikan, kita ingin mendengarkannya kembali. “Hai kamu yang melintasi jalan ini, pandang dan lihatlah, apakah kau melihat kesedihan yang sedang aku alami?” kata Veronika.

Pukul 20.00 prosesi Jumat Agung mulai berjalan. Prosesi membawa peti Tuan Ana. Peti diusung oleh para Nikodemus (Lakademu), empat orang, dengan wajah tertutup selubung putih dan merah. Confreria mengiringi di sekitarnya. Ratusan ribu peziarah, berjalan empat-empat di kiri-kanan sisi jalan, ikut di belakang sehingga mengekor beberapa kilometer di belakang. Nyanyian-nyanyian dan zikir salam Maria terus dikumandangkan oleh para peziarah – demikian juga dilakukan oleh puluhan ribu masyarakat di sepanjang jalan prosesi itu. Lilin-lilin menyala di sepanjang perjalanan.

Prosesi berhenti di delapan Armida. Ketika berhenti di Armida, selama 15 – 20 menit, Injil dibacakan,
renungan dan doa disampaikan, dan seorang solis perempuan menyanyikan “Ratapan Putera Manusia” atau nyanyian ratapan Veronika sambil mempertunjukkan lukisan wajah sengsara Yesus. Nyanyian yang menyayat ini mampu menyirap zikir dan nyanyian peziarah di dalam keheningan khidmat. Prosesi malam berakhir di Katedral semula sekitar pukul 01.00. Prosesi selesai. Sebuah perziahan dapat dikatakan telah utuh.

Mengantuk, lelah, panas. Namun perziarahan ini telah memberikan kepuasan dahaga tak terkira. Salah seorang peziarah mengatakan: “Inilah ziarah. Ketika memulainya, lakukan dengan persiapan dan niat yang matang. Ketika menjalaninya, tidak mengeluh ini-itu atau terlalu meluapkan kegembiraan. Ketika mengakhirinya, akhiri hingga selesai.” Ziarah bukan mau enaknya saja, tetapi ada penderitaan, pengorbanan, dan sakit yang ikut mengiringinya.

Sabtu pagi, prosesi belum usai. Masih ada beberapa prosesi dan ritual kecil yang berlangsung hingga Senin pagi. Gereja pun tetap terbuka untuk Sabtu Sunyi. Namun, para peziarah umumnya, setelah dahaganya terpuaskan dari oasis perziarahan orang nagi, mulai kembali ke tempat tinggalnya untuk merayakan Paska pada hari Sabtu malam atau Minggu, atau melakukan aktivitas seseharinya. Para pemuda mengantarkan kembali patung Tuan Ma dan peti Tuan Ana ke kapelnya semula masing-masing. Sepanjang Sabtu pagi itu, kota Larantuka menjadi sepi, tenang, dan sunyi. Hanya ada beberapa petugas yang tetap bekerja. Selain petugas di Gereja dan keamanan, ada juga “ritual” sampingan, yakni para petugas kebersihan mengurusi sampah-sampah yang tercecer di sepanjang jalan prosesi tadi malam.

BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (3)

Kegiatan-kegiatan gereja selama Pekan Suci ini berangsung biasa. Kamis malam tetap diadakan ibadah Kamis Putih, demikian pula Kamis pagi tetap diadakan kegiatan gerejawi, yakni pembaruan janji imamat bagi semua pastor Katolik. Kami tidak ikut Kamis Putih di Katedral malam itu, sekalipun kami tinggal di Katedral. Kami diajak Romo Bernard Kerans ke Stasi (bakal Paroki) sedikit keluar kota, di pedesaan. Ia memimpin ibadah Kamis Putih di gereja yang dikelilingi hutan itu hingga pukul 21 lewat. Gereja kecil, namun penataan ibadahnya inspiratif sekali. Biasanya, yang inspiratif dianggap tidak alkitabiah. Atau, ada juga anggapan bahwa Alkitab tidak memberikan inspirasi bagi drama-drama liturgis. Tetapi di Stasi ini, warga desa tersebut membuat ibadah yang inspiratif dan sekaligus alkitabiah, sehingga ibadah membawa kita lebih memahami kisah malam terakhir Yesus itu sebagaimana kesaksian Alkitab. Para penulis Alkitab adalah memang penulis naskah terbaik bagi ibadah-ibadah gereja.

Setelah Kamis Putih, gereja tetap terbuka untuk tuguran (berjaga semalaman). Pengurus gereja membagi kelompok-kelompok umat untuk berdoa dan bermazmur setiap satu jam dari pukul 22 hingga pukul 18. Semua gereja di Flores bertugur malam itu – juga di katedral tempat kami menginap.

Tuguran (berjaga) sepanjang malam sejak Kamis Putih hingga Jumat dini hari tidak menyurutkan niat dan semangat umat dan para peziarah di Larantuka untuk melakukan devosi jalan salib. Devosi tersebut dilakukan sejak pukul 07.00 dan berlangsung sekitar 100 menit. Nyanyian-nyanyian paduan suara acapella bergaya Flores yang syahdu mengiringi devosi membawa kami di katedral pagi itu semakin mendekatkan pada peristiwa salib dua ribu tahun lalu di Palestina.

Setelah devosi jalan salib hari Jumat pagi, ratusan ribu peziarah berbondong ke pinggir laut dan pelabuhan. Mereka menyambut dan mengiringi Tuan Menino (Bayi Yesus) yang akan dibawa dari kapelanya ke kapela Tuan Ana. Menyusuri laut dengan kapal kayu yang dikayuh, pukul 12.00 Tuan Menino dibawa dalam prosesi laut dengan perarakan yang sangat besar. Para peziarah mengikuti dari belakang. Laut dipenuhi puluhan, mungkin ratusan, kapal besar dan kecil dengan ratusan ribu peziarah. Sepanjang bibir pantai sepanjang sekitar 2 km juga dipenuhi ratusan ribu peziarah darat. Semuanya berjalan dengan khidmat. Selama sekitar 2 jam itu, kami menyaksikan dan ikut serta dalam sebuah “pesta laut” yang luar biasa. Ziarah laut selesai setelah Tuan Menino ditakhtakan di kapela Tuan Ana. Warga dapat menziarahinya hingga hari Sabtu.

Perarakan peti Tuan Ana dan patung Tuan Ma dilakukan sejak pukul 14.30 pada hari Jumat Agung.
Perarakan dimulai dari kapela Tuan Ana dan kapela Tuan Ma yang saling berdekatan itu diiringi dengan paduan suara Ma-ma Muji menuju Gereja Katedral Larantuka. Begitu Tuan Ana dan Tuan Ma memasuki katedral, kebaktian Jumat Agung dimulai. Di Katedral berlangsung pada pukul 15.00 hingga sekitar pukul 17.30.

Seselesai ibadah umat melakukan ziarah kubur keluarganya masing-masing untuk menyalakan lilin. Makam    menjadi   sangat   banyak   pengunjung  dan pusara-pusara terang benderang dengan nyala lilin. Anggota-anggota keluarga reuni di sekitar pusara. Dalam keyakinan akan kebangkitan orang mati, Paska dihayati sebagai perayaan bersama orang hidup dan orang yang telah meninggal.

BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (2)

Para peserta prosesi mulai tiba di Larantuka sejak hari Selasa; beberapa di antaranya bahkan telah tiba sejak hari Senin. Namun, umumnya, hari Rabu dan Kamis  siang adalah masa tiba terbanyak para peziarah.Sejak Kamis pagi, sebagian kota Larantuka tertutup bagi kendaraan. Jalan-jalan utama telah siap dengan deretan lilin di atas pagar-pagar bambu. Setelah istirahat sejenak, kami siap-siap berziarah ke situs-situs. Ada banyak situs, dan menurut orang-orang situ, tidak mungkin kita menziarahi semua situs dalam satu kali kunjungan. Padahal, situs-situs itu hanya dibuka beberapa hari menjelang Paska setiap tahun.

Para peziarah di Larantuka umumnya menziarahi beberapa tempat bersejarahyang bertebaran di kota Confreria (para awam yang menjaga tradisi dan devosi Larantuka) yang mengusung Tuan Ana dan Tuan Ma dalam prosesi, ketigabelas suku Semana yang akan mengaji Semana tiap Rabu, koor untuk Kamis dan Jumat, Ma-ma Muji, belum termasuk para petugas kesehatan, keamanan, dan lalu lintas, berjaga dan bekerja nyaris non-stop.
Larantuka dan sekitarnya, dan bahkan hingga menyeberangi pulau. Perziarahan dimulai sejak Rabu hingga Jumat pagi.Penduduk setempat dan orang asing baik rombongan maupun sendiri, para peziarah memulai kegiatannya sejak pagi hari hingga jauh malam. Pukul 5 pagi, kapela Tuan Ana (Yesus) dan kapela Tuan Ma (Bunda Maria) sudah ramai dikunjungi sejak Kamis dan Jumat itu. Sepanjang Kamis malam ada tuguran umat. Kapal-kapal motor tak henti antar-jemput peziaran ke Pulau Adonara. Para petugas gereja, penerima tamu,

Larantuka menjadi sangat ramai dan sibuk, namun semua berjalan dengan tenang dan rileks. Para petugas tetap ramah dan melayani peziarah. Tidak ada orang yang bentak-bentak, berkata-kata kasar, teriakan, tidak ada komplain sekalipun di tengah desakan antre para peziarah yang azubilah. Bahkan sengatan terik sinar matahari kota itu tidak menyurutkan niat peziarah untuk melakukan ritus demi ritus dengan sabar mengantre di pintu-pintu masuk situs.

Dalam berziarah, bukan kecepatan waktu yang dikejar, namun penghayatan mendalam terhadap sebuah situs. Lelah, kesal, jemu, dan haus adalah bagian yang menyatu di dalam perziarahan. Dalam berziarah, kita mengulang dan mengenang perjalanan perjuangan masyarakat yang dilakukan masa lalu pada masa kini.
Prosesi dimulai dengan doa dan paduan suara para perempuan “Ma-ma Muji” dengan menyanyikan lagu-lagu ratapan pada Rabu petang. Lagu-lagu ratapan dinyanyikan menurut puisi Ibrani, yakni secara alfabetis dalam abjad Ibrani: alifbethdalethgimel - dst. Sayang sekali, kami belum tiba di Larantuka Rabu itu. Pada hari Kamis Putih, diadakan ritus Muda Tuan, yakni pemandian patung Bunda Maria Berdukacita bernama Tuan Ma. Setelah dimandikan di kapelnya, Tuan Ma dikenakan pakaian kebesaran jubah ungu, dan umat boleh menjenguknya. Perkunjungan itu hanya dibuka sekali dalam setahun.

Di tempat lain, di kapel Perpetu, diadakan ritus mencium peti Tuan Ana (sebutan untuk Yesus) sebelum diarak bersama patung Tuan Ma. Sementara itu, liturgi Gereja seperti doa-doa harian, tuguran, dan Kamis Putih, serta devosi jalan salib, tetap berjalan selama persiapan prosesi tersebut yang juga berlangsung di Gereja-gereja. Sebuah pengaturan manajerial yang luar biasa karena pengalaman bertahun-tahun.

BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (1)

Prosesi Jumat Agung di Larantuka, Flores Timur, telah memuaskan dahaga spiritual kami di tengah rutinitas kesibukan. Setelah 20 tahun kerinduan itu tertahan karena Paska di gereja, maka Pekan Suci 2013 lalu kami berkesempatan mengikuti prosesi Jumat Agung di Larantuka, sebuah kota kecil di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Setibanya kami di “gerbang” kota Larantuka yang panas, yakni Keuskupan Larantuka, terasa sekali suasana berbeda dari suasana sesehari di Jakarta. Ada suasana sukacita, tetapi tenang dan damai, tidak ada kegaduhan. Ya, karena hari-hari itu adalah hari bae (waktu bagus) bagi orang nagi (sebutan untuk orang Larantuka), atau semana santa (pekan suci) bagi setiap umat Kristen dan secara khusus dan istimewa bagi kota Larantuka.

Mayoritas penduduk Larantuka adalah Katolik Roma, sebagian lagi Islam. Suasana Katolik sangat kental terasa, seperti banyaknya gereja, imam, dan suster. Selain itu, suasana Portugis juga terasa di makam yang berhiaskan pusara-pusara indah. Beberapa pusara makam juga dilengkapi dengan lampu penerang.

Di Larantuka, umat siap menyambut hari bae yang terjadi setiap tahun menjelang Paska tersebut. Umat juga menyambut para peziarah dari segala penjuru dunia, baik orang asing maupun orang Larantuka yang pulang ke kampung halaman khusus untuk ini. Banyak orang Larantuka yang bekerja di kota, pulau, bahkan negeri lain. Pintu-pintu rumah, susteran, keuskupan, katedral dibuka sebagai tempat menginap para peziarah, asal telah memesannya setahun di muka. Kamar hotel dan tiket pesawat tak tersisa sejak lama sebelum hari bae tiba.

Kami beruntung dapat tempat di Katedral. Disambut oleh Romo Bernard Kerans Pr., pengurus tamu di Katedral, kami dapat tidur di kamar-kamar Pastor yang sekali waktu bertugas ke Katedral.

Semana santa di Larantuka adalah memang sebuah panggilan berziarah. Keikutsertaan kita bukan karena dorongan sesaat, dan tidak pulang terburu-buru. Beberapa teman kami yang sekonyong-konyong tertarik untuk ikut beberapa hari sebelumnya, tidak memperoleh tiket. Beberapa peziarah yang kami jumpai di Larantuka bercerita bahwa mereka telah menyiapkan keberangkatannya dan niatnya sejak setahun lalu. Peziarah harus sudah punya jadwal pesawat dan penginapan. Ini bukan sebuah pelesiran, jalan-jalan biasa, atau sekadar kunjungan ke rumah teman. Ini adalah sebuah perziarahan rohani menghayati karya Allah di Larantuka ratusan tahun yang lalu.

Konon tradisi prosesi Jumat Agung ini dilakukan pertama kali pada 24 Maret 1599. Tujuh bulan sebelumnya, Benteng Lohayong di Solor, pusat Misi Dominikan waktu itu, dikepung dan diserang musuh.  Banyak orang Katolik dan imam yang mati terbunuh. Penderitaan itu berakhir pada Maret 1599 setelah serangan bantuan tentara Portugis. Maka semana santa tahun itu – setiap tahun sebelumnya memang telah ada perayaan semana santa kecil-kecilan – dirayakan dengan lebih meriah. Berziarah di Larantuka merupakan tapak tilas karya Tuhan di Larantuka sejak abad ke-16 dan menghidupi keyakinan tersebut setiap tahun hingga kini.

Kini, ditambah dengan banyak unsur sejarah, budaya lokal, dan penyebaran lembaga-lembaga misi Katolik setempat, telah menjadikan kota Larantuka sebuah oasis perziarahan selama pekan suci setiap tahun bagi banyak orang. Inilah yang membuat prosesi di Larantuka, puncak segala aktivitas perziarahan pekan suci ini, unik.

Singapura - Sarawak 10 tahun yang lalu : bahasa dan kebiasaan


Perjalanan ke Sarawak ini menyadarkanku akan perlunya aktif berbahasa Inggris. Juga menyayangkan bahasa Inggris tidak dipakai di Indonesia sebagai bahasa nasional selain bahasa Indonesia. Sepanjang pengamatanku selama beberapa hari, orang-orang di Singapura dan Malaysia paling sedikit menguasai 2 bahasa, yang satu pasti bahasa Inggris. Bahkan mahasiswa di Singapura menguasai 3 bahasa (Inggris,
Melayu, Mandarin). Di kota kecil di Malaysia seperti Miri, penduduknya menguasai 3 bahasa : Melayu,
Inggris dan bahasa daerah. Yang mengagumkan, aku bertemu seorang yang menguasai sekitar 12 bahasa karena sering bepergian ke dusun-dusun, padahal pendidikannya "hanya' setingkat SMA.

Orang-orang Kristen di Sarawak mendapatkan Alkitab pertamanya dari Lembaga Alkitab Indonesia. Jadi bahasa mereka lebih dekat ke Indonesia, daripada ke Melayu. Rata-rata pastor yang melayani di dusun-dusun bisa berbahasa Indonesia, dan ada yang bisa bahasa Inggris juga. Malu rasanya melihat orang yang berasal dari masyarakat yang tidak se”modern”ku  menguasai 3 bahasa, sedangkan aku 2 bahasa saja tidak fasih.

Orang Malaysia kalau bilang  pk 7.30 : pukul 7 setengah. Di pesawat, pramugarinya bilang : Bila tuen-tuen dan puen-puen ada keperluan, sile berhubung dengan kaki tangan kami di bandar.

Bahasa Inggris orang Singapura lain dengan bahasa Inggris yang kupelajari di sekolah dulu.  Mereka gampang banget berkata "finish", misalnya untuk arti mati, berantakan. Ada partikel “lah” seperti bahasa orang Glodok “cincai-lah” yang ditambahkan pada kata berbahasa Inggris, misalnya “interesting-lah” Pelafalannya juga beda. Kalau mau jalan-jalan di mall, sebelumnya kita mesti ke “kapak” (car park) dulu buat parkir mobil.

Soal kebiasaan 

Yang kukagumi pada orang Singapura adalah kedisiplinannya. Aku menjadi orang norak saat pertama
kali di bandara waktu baru tiba di sana. Saat di bagian imigrasi, aku berdiri di belakang orang yang sedang berurusan dengan petugas imigrasi. Kebiasaan di Indonesia, aku berdiri rapat-rapat dengan yang ada di depanku, supaya tidak ada ruang bagi yang mau menyerobot antrean. Eh…..petugasnya bilang, "Please Queque". Aku sempat bingung, perasaan udah antre, kok disuruh antre lagi…. Tengok kiri-kanan.... ternyata yang lain, berdirinya di belakang garis. Ada garisnya toh???? Malu deh….

Norak yang berikut terjadi pada pagi keesokan harinya Aku sudah siap beberapa menit sebelum dijemput. Kumanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan di jalanan di sekitar hotel. Sudah tertanam di benakku, kalau orang-orang Singapura disiplin, salah satunya menyebrang harus di zebra cross, eh... di tempat khusus nyebrang (di sana ternyata tidak  ada zebra cross!). Aku berjalan dengan berhati-hati. Berjalan di trotoar, tidak turun ke jalan. Jalanan sepi, mau menyebrang takut-takut. Bukan takut tertabrak mobil, tapi takut salah tempat. Terus ceritanya nyebarang nih. Eh.. ada mobil. Kebiasaan di Indonesia, aku berhenti. Takut ditabrak. Ternyata mobilnya berhenti. Ooo… di sini penyebrang jalan ternyata didahulukan! Kalau sudah menyebrang di tempat yang benar sampai tertabrak juga, berarti yang salah mobilnya.

Norak berikutnya... di jalan yang kecil, aku mau nyebrang…. Kuselusuri jalan sampai ke ujung, baru menyebrang. Tak tahunya ada orang yang menyebrang tidak di tempat nyebrang juga. Ternyata tidak kaku-kaku amat ya....

Di Singapura tidak ada tukang parkir, tapi orang di sana disiplin bayar uang parkir. Bayarnya dengan kartu prabayar. Dia sendiri yang menandai tanggal-bulan-tahun dan jam parkirnya di kartu itu. Tidak ada yang memeriksa. Tapi semua melakukannya.

Naik mobil juga harus pakai seat-belt. Kupikir itu kebiasaan yang sudah mendarah-daging. Ternyata si Joseph sampai di Malaysia cari kesempatan juga untuk tidak pakai seat-belt.

Enak sekali naik MRT di Singapura. Bersih, ber-AC, cepat. Semua pakai mesin. Mulai dari beli karcis atau tukar duit receh, masuk ke station, jam MRT berhenti, lama pintu MRT dibuka. Pada jam-jam pulang kantor penuh, tapi tidak bikin gerah. Beda banget dibanding naik KRL Tangerang- Kota. Terlambat, kotor, panas, berjubel dan bau keringat-sampah-kencing.

Kalau mobil masuk daerah tertentu, mungkin pusat kota Singapura, harus bayar. Bayarnya otomatis. Di semua mobil ada alat pencatat ditempel deket sopir. Setiap kali lewat jalan masuk ke pusat kota, alatnya terhubung dengan mesin di pinggir jalan, jadi terhitung secara otomatis. Mengurangi resiko kemacetan akibat mengantri bayar tol.

Melinda

Singapura - Sarawak 10 tahun yang lalu : oleh-oleh dan check point


Waktu pulang dari Ba Lai setiap anggota rombongan kami diberikan tas dari rotan khas Kalimantan sebagai oleh-oleh. Aku mendapat 3 tas dengan ukuran berbeda. Selain itu aku juga mendapat gelang dari rotan dengan ukiran.

Dari Sepatai, kami semua mendapat tikar 2,5 X 1,5 m terbuat dari rotan. Meskipun bisa digulung, tetap saja repot membawanya. Ada cerita khusus tentang tikar ini. Menurut mereka, mereka biasa menjual tikar ini seharga RM50. Mereka mengantar kami pulang melalui jalan-jalan setapak dan sungai kering yang ditempuh dari pagi hingga sore hari. Tikar-tikar ini dibawakan oleh mereka. Melihat usaha mereka, Joseph bilang sampai di Long San harganya naik jadi RM100. Dari Long San sampai Jakarta, tikar harus kami bawa sendiri. Selama di Malaysia, mulai dari Miri hingga Johor Bahru, tikar ini tidak perlu ditenteng-tenteng karena perjalanan ditempuh dengan  mobil dan pesawat. Kerepotan muncul saat melewati keimigrasian di Johor Bahru.

Dari Johor Bahru ke Singapura kami  naik bis. Di perbatasan, kita semua mesti turun dengan semua bawaan. Untuk mencapai kantor imigrasi, kami harus naik eskalator. Tidak ada gerobak dorong, tidak ada kuli. Semua harus dikerjakan sendiri dan harus cepat, karena bis tidak terlalu lama juga menunggu kami. Bayangkan, kami berempat masing-masing  dengan 2 hingga 3 "tentengan", belum termasuk 1 gulung tikar milik Joseph dan 1 gulungan besar yang teridiri atas 3 tikar milik orang-orang Indonesia yang dijadikan satu. Joseph tidak kuat berjalan, apalagi dengan membawa banyak barang. Tidak mungkin seluruh bawaan kami terangkut dengan sekali naik escalator. Jadi yang cukup “perkasa” (termasuk diriku!) harus turun naik supaya seluruh bawaan terbawa.

Pokonya seru banget deh! Sebetulnya saat itu merupakan jam tidur kami, jam 11 malam. Tapi karena harus olah raga, kami jadi segar. Tidak salah bukan kalau tikar itu sekarang harganya RM200. Ditambah ongkos perjalanan ke Jakarta, bisa RM300. Bener-bener jadi oleh-oleh yang mahal dan berkesan.

Soal oleh-oleh lagi. Oleh-oleh khas Sarawak adalah lada. Banyak makanan olahan yang terbuat dari lada, mulai dari permen lada, biskuit lada / sagu-lada, acar lada yang masih hijau, saus lada sampai parfum lada.

Melinda

Singapura - Sarawak 10 tahun yang lalu : penduduk asli


Sama seperti di wilayah Kalimantan lainnya, penduduk asli Sarawak adalah Dayak. Suku-suku Dayak yang ada di Sarawak di antaranya adalah Iban, Kayan, Kayak, Penan. Yang kami kunjungi adalah suku Dayak Penan. Mereka tersebar di beberapa dusun dengan jumlah penduduk sekitar 100-200 an orang. Jarak satu dusun dari dusun lainnya dapat mereka tempuh dalam waktu 1-3 hari dengan berjalan kaki. Kalau kami yang berjalan mungkin perlu waktu 1 atau 2 minggu.

Kami datang bertepatan dengan saat perayaan Paskah. Jadi penduduk dari dusun-dusun tetangga datang juga. Kira-kira penduduk dari 7 dusun berkumpul selama 2 hari 3 malam.  Seperti semacam retret. Acaranya banyak kebaktian, KKR dan baptis. Mereka seneng dengan kedatangan kami, karena jarang terjadi. Acara "ngumpul antar dusun" hanya 1 tahun sekali, di sekitar Paskah.

Mereka tinggal di rumah-rumah panjang. Kalau dibandingkan Toraja dan Bali, tampaknya budaya mereka kurang dipelihara dan tidak berkembang. Rumah-rumah mereka sangat sederhana, hanya bilah-bilah kayu dipantek. Tidak ada ukiran. Sudah jarang yang menguasai alat musik tradisional. Aku sempat
berpikir, misionaris yang datang tampaknya juga tidak kontekstual. Mereka sepertinya mau mengubah masyarakat asli menjadi masyarakat seperti mereka. Mereka datang dengan membawa generator, gitar listrik, drum-set dan barang-barang modern lain. Lagu-lagu daerah yang udah diberi syair Kristen jadi terdengar aneh saat dinyanyikan dengan iringan alat musik elektrik. Tidak  pas di telinga.
Ngenes juga mendengar pengalaman desa-desa lain yang mendapat generator dari misionaris. Untuk mencapai desa harus menempuh jalan sulit. Jadi untuk mendapat listrik, mereka harus bersusah payah membawa bahan bakar. Tanpa bahan bakar, generator tidak bisa berfungsi. Dan kalau generator rusak, tidak ada yang bisa memperbaiki. Bantuan yang merepotkan yang dibantu…..

Yang membuatku prihatin adalah sikap apatis mereka, terutama penduduk di Long Sepatai. Entah karena terlalu banyak dicekoki modernitas atau emang pada dasarnya mereka apatis. Saat aku mengajukan pertanyaan yang cukup dijawab ya atau tidak, mereka menjawab hanya dengan gerakan kepala saja. Itupun harus menunggu lama sekali, dan tidak terlalu jelas gerakannya. Saat kebaktian, sulit sekali diajak berdiri. Bisa memakan waktu 1 menit setelah ajakan pertama, baru semua berdiri. Bernyanyipun ogah-ogahan, yang kedengaran cuma suara pastor-pastor dan istrinya. Ini cuma beberapa contoh aja.

Ada lagi, khususnya di Sepatai, mereka engga berusaha bercocok tanam. Mereka cuma menanam padi. Untuk sayur dan daging, mereka mengambil yang ada di hutan saja. Tidak berusaha berkebun dan beternak. Jadi hidup dijalani cuma buat berburu, makan dan tidur. Jadi sepertinya usaha-usaha yang dilakukan misionaris tidak bermanfaat dan tidak nyambung dengan kebutuhan mereka. Di Ba Lai masih mendingan , di ladang mereka nanem juga jagung, singkong, sayur.

Melinda