Jalan-jalan di kota tua

Melinda

2 hari menjelang Lebaran. Kami sengaja memilih hari itu untuk mengunjungi kota tua Jakarta. Hari itu pasti lalu lintas sangat lancar dan kota tua belum terlalu banyak dikunjungi wisatawan. Yanky ada tugas di gereja, jadi kami (aku, Aurima dan Sian Ing) ikut naik mobil sampai halte busway Kedoya. Kami berangkat dari rumah jam 8 pagi.

Benar-benar pilihan waktu yang tepat! Jalan tol Tangerang – Jakarta agak lengang. Halte bus way sepi. Setelah menunggu sekitar 10 menit, kami menaiki bis Trans Jakarta yang lega. Hanya beberapa penumpang yang berdiri tidak kebagian tempat duduk. Cuma, ada satu yang menyebalkan, di halte Grogol II kami harus berganti bis karena bis kembali ke Lebak Bulus. Padahal rute bis seharusnya berakhir di Harmoni. Di Harmoni, kami mengantre sebentar untuk mendapat bis jurusan kota. Ada 3 bis yang berhenti untuk mengangkut penumpang ke arah kota. Petugas membatasi jumlah penumpang yang naik ke bis sehingga semua mendapat tempat duduk. Alangkah nikmatnya bila setiap hari bis Trans Jakarta seperti ini!

Kami tiba di stasiun kota jam 9. Wisata di kota tua dimulai saat kami memasuki terowongan penyeberangan di bawah Jalan Pintu Besar Utara. Bangunan baru yang selalu menarik bagi kami. Penyeberang jalan akan merasa nyaman menyeberang di sini. Bebas polusi, aman sampai ke seberang, tidak melelahkan. Sangat berbeda dengan jembatan penyeberangan. Klik di sini untuk melihat cerita tentang terowongan ini lebih lengkap. Hari itu ada yang tidak biasa. Tidak ada satupun penjual rujak bebek yang menjadi ciri khas tempat ini. Bulan puasa, kan….

Museum pertama yang kami tuju adalah Museum Bank Mandiri yang terletak tepat di pintu keluar terowongan penyeberangan. Hanya ada satpam yang bertugas di depan. “Seharusnya museum buka jam 9. Tapi petugas loket karcis belum datang. Maklum, mau libur lebaran,” itulah penjelasan yang kami dapat dari satpam. Kami tidak terlalu kecewa, karena beberapa waktu yang lalu kami sudah mengunjunginya saat perhelatan acara Kumkum.
Kami berjalan sedikit ke gedung di sebelahnya, Museum Bank Indonesia. Tampaknya, kami adalah pengunjung pertama. Petugas memberitahu bahwa yang dapat dilihat saat ini hanya pameran mata uang dan logam mulia. Yang lainnya, sedang dalam perbaikan karena ada gangguan instalasi listrik. Berarti kami tidak bisa melihat film animasi hujan mata uang logam yang merupakan produk unggulan museum ini. Sayang. Tapi hal ini tidak mengurangi semangat kami mengelilingi museum ini. Ada banyak hal yang menarik di tempat ini. Mulai dari bangunan tua yang kokoh dengan pintu-pintu ayun dari kayu yang tebal dan berat, dan jendela-jendela kaca patri warna-warni hingga loket-loket kasir dengan terali pemisah yang kokoh antara kasir dan nasabah. Kemudian berbagai jenis mata uang, mulai dari jaman Majapahit, jaman penjajahan hingga uang kertas bersambung seratus ribu-an. Kami baru tahu, ternyata duit adalah sebuah nilai mata uang saat VOC baru berdiri di Indonesia.

Hal yang paling mengejutkan adalah toilet. Letaknya ada di sebelah kiri tangga saat memasuki museum. Melalui sebuah pintu kayu besar, kita akan memasuki area luar museum. Area yang sangat luas berupa bangunan berbentuk persegi panjang dengan halaman luas di tengahnya. Saat itu bagian ini sedang direnovasi. Tembok-tembok yang sudah dicat, dibungkus plastik. Di sana-sini ada tangga dan stagger. Toilet berada di bagian belakang bangunan. Toilet dengan wastafel dan kloset yang modern dan bersih. Rasanya tidak ada toilet museum di Indonesia yang sebagus ini. Mudah-mudahan toilet ini akan terjaga dan terawat terus seperti di hotel-hotel berbintang.

Dari Museum Bank Indonesia, kami berjalan ke arah lapangan di depan Museum Fatahillah. Di sini kami bertemu dengan Tiny sekeluarga dan teman-temannya. Memang kami sudah berjanjian sebelumnya. Kami bersama-sama memasuki Museum Wayang yang terletak di sebelah barat lapangan. Gedung ini pada zaman Belanda merupakan gedung gereja. Ada sebuah gong yang berdiri di depan lorong sebagai penanda tempat memulai wisata wayang bagi pengunjung. Patung Semar berdiri di sebelah kanan. Museum terdiri dari 2 lantai, berisi bermacam-macam wayang dari wayang kulit, wayang golek, wayang potehi, wayang jaman revolusi hingga wayang dari manca negara. Ada yang unik di lantai 2, yaitu gambar bentuk-bentuk kepala, hidung, mulut, dan bagian-bagian tubuh wayang lain beserta penjelasan tentang maknanya. Semuanya ditempel di lantai.

Selesai mengitari Museum Wayang, kami kembali ke lapangan. Ada banyak sepeda warna-warni berjejer di tepi lapangan. Beberapa sepeda digantungi topi zadoel yang biasa diidentikkan dengan pengguna sepeda onthel zaman dulu. Sepeda-sepeda ini disewakan. Salah seorang pemilik sepeda menawarkan wisata sepeda sampai ke Sunda Kelapa dan menunjukkan brosur tempat-tempat tujuan wisata. Setelah melihat-lihat brosur, akhirnya kami putuskan untuk berwisata sendiri dengan menyewa sepeda saja. Kami menyewa 3 buah sepeda untuk 4 orang : aku, Sian Ing dan Aurima yang memboncengkan Axel.

Kami mulai mengayuh ke jalan kecil di barat laut lapangan. Sebelum persimpangan menuju Jalan Kali Besar Timur, ada sebuah bangunan berwarna merah yang disebut-sebut dalam brosur sebagai Toko Merah. Di bagian atas bangunan ini nangkring dahan pohon dengan daun-daunnya. Akar gantungnya menempel pada tembok di bawahnya.

Perjalanan kami teruskan menyusuri Kali Besar. Tujuan selanjutnya adalah Jembatan Kota Intan. Sudah lama aku memendam rasa penasaran untuk mengunjunginya. Jembatan ini dulunya dapat membuka-tutup bila ada kapal yang lewat di bawahnya. Jembatan ini menghubungkan Jalan Kali Besar Barat dan Jalan Kali Besar Timur sebelum berbelok ke Jalan Tiang Bendera. Ada jembatan baru yang dibangun di sebelah utara Jembatan Kota Intan. Begitu tiba, ya ampuuunn….. sebetulnya aku sudah 3 kali melewati daerah ini sebelumnya! Aku melewati daerah ini setiap kali menuju ke Mangga Dua dengan kendaraan umum. Ini adalah tempat aku  berganti angkot tujuan Mangga Dua. Angkot berikutnya menunggu di seberang jembatan. Kalau selama ini aku hanya berjalan mencari angkot, saat ini aku lebih memperhatikan jembatan tua di sebelahnya. Jembatan Kota Intan diberi pagar dan taman. Di bagian bawah ada beberapa lampu sorot warna-warni. Pasti bagus bila dilihat pada malam hari.

Dari Jembatan Kota Intan, mengikuti petunjuk pedagang minuman dekat jembatan, kami mengayuh lagi ke arah utara menujuh Pelabuhan Sunda Kelapa. Kami menyeberangi Jalan Tiang Bendera dan memasuki jalan kecil. Wiiiihhh..... serasa berada di dunia lain. Jauh dari keramaian kota Jakarta. Tampaknya memang tidak ada kendaraan yang berkepentingan melalui jalan ini. Kami melalui kolong jalan tol, kemudian melewati bangunan-bangunan tua yang mirip gudang, sebuah rumah makan yang menggunakan bangunan besar tua berarsitektur Cina dan lagi-lagi bangunan tua yang temboknya ditumbuhi pepohonan.

Kami tiba di bekas Pelabuhan Sunda Kelapa. Ada Museum Bahari yang memanfaatkan gedung tua bekas gudang penyimpanan rempah-rempah pada zaman VOC dan pernah dipakai sebagai penyimpanan amunisi oleh tentara Jepang. Dari luar, museum terlihat berbentuk panjang dan beratap rendah. Setelah masuk, ternyata museum terdiri dari beberapa bangunan yang berhubungan dan ada halaman di bagian tengahnya. Banyak cat dinding yang terkelupas karena lembab, rangka kayu yang keropos dimakan rayap dan terali jendela yang berkarat. Dengan tiket masuk Rp 2.500,- untuk orang dewasa dan gratis untuk anak-anak, pantaslah kalau gedung ini tidak terawat. Sayang sekali. Di lantai bawah dipajang bermacam-macam perahu yang menunjukkan keperkasaan nenek moyang orang Indonesia yang berjaya di laut. Di lantai dua dipajang kekayaan laut Indonesia yang diawetkan, di antaranya ikan duyung yang berukuran lebih panjang daripada tinggi badan Axel.

Di sebelah selatan museum yang dipisahkan oleh jalan kecil,berdiri menara Syah Bandar yang sudah tidak berfungsi lagi. Bangunan masih kokoh dan tangga-tangga kayunya masih kuat. Dari atas menara, kami dapat menyaksikan kanal yang dipenuhi perahu-perahu. Di sekitarnya banyak bangunan-bangunan rumah penduduk. Kubayangkan dahulu kala, Syah Bandar Sunda Kelapa mengawasi keluar masuknya kapal-kapal pedagang ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Di arah selatan, kami melihat bekas gudang-gudang VOC yang tadi kami lewati sewaktu bersepeda. Masih ada bangunan gudang yang terpelihara di belakang bangunan-bangunan yang kami lewati tadi.

Ini adalah tempat terakhir yang kami kunjungi. Karena waktu sewa sepeda sudah habis, kami harus segera kembali ke lapangan di depan Museum Fatahillah.

Hari sudah siang, tenaga juga sudah mulai berkurang. Perjalanan wisata kota tua kami akhiri di taman ini. Suatu kali nanti kami akan kembali lagi. Masih ada banyak tempat yang belum sempat kami lihat dan masuki, di antaranya gudang VOC yang tadi terlewat, Museum Keramik dan bangunan-bangunan lain di sekitar lapangan serta situs-situs kuno lain.