BANTEN LAMA TEMPAT OBJEK KUNO

Oleh: Rasid Rachman

Menggunakan satu hari libur tidak resmi, apalagi di hari Senin, juga bisa menyenangkan. Itulah yang kami lakukan pada suatu Senin September 2010 yang lalu. Kerjaan dan tugas lagi setumpuk, stress yang kagak ketulungan, bosan suasana kota besar yang macet, kangen dengan suasana pedesaan pesisir, dan pas Jo mengajak kami ke Pulau Dua di wilayah Banten Lama, Serang, Banten. Maka berangkatlah kami berdelapan dengan mobil Jo pagi-pagi sekali. Di antara kami, ada yang jago motret, wartawan, jago jalan-jalan, penggembira, dsb. Saya mah jago makan aja deh.
Apa itu Pulau Dua? Kadang-kadang disebut juga Pulau Burung – kami tidak tahu bagaimana asal muasal penamaan tersebut. Jo yang memberitahukan kami – entah bagaimana dia tahu ada pulau itu – dan kemudian mengajak kami.
Sebenarnya pulau itu bukan lagi pulau. Sejak tahun 1980-an, ia tidak lagi terpisah dengan Pulau Jawa. Kini ada endapan panjang dan cukup luas yang menghubungkan “pulau” tersebut dengan Banten Lama. Namun burung di pulau itu masih banyak, karena di dalam pulau itu terdapat hutan lindung yang dijaga dan diolah oleh dua jagawana (Polisi Hutan). Masyarakat juga masih menyebut kawasan itu dengan Pulau Dua atau Pulau Burung. Arahnya, langsung menuju Banten Lama, sebelum Benteng dan Masjid Agung Banten, belok kanan 2-3 km, Tanya-tanya penduduk perihal arah Pulau Dua.

 Endapan  jadian yang menghubungkan ke Pulau Dua (kanan).


Polisi Hutan sedang memberikan info kehidupan hutan lindung (kiri).

Setibanya di sana, mobil diparkir di tepi jalan masuk. Lalu kami berjalan kaki 25-230 menit atau naik ojek menyusuri tambak ikan yang merupakan daratan jadian yang menghubung ke Pulau Dua. Burung-burung mulai beterbangan di sekitar sini. Kostum jelajah dengan siap untuk berbecek ria dan bekal makan-minum yang cukup merupakan perlengkapan kenyamanan plesir kami.

Mirip film perang Vietnam


 Ada dua lokasi yang menjadi objek perkunjungan di Pulau Dua, pantai dengan menara pandang yang memadai serta sejumlah informasi tentang hutan lindung tersebut, dan sangkar burung dengan menara pandang penuh tantangan serta sedikit rawa. Keduanya adalah lokasi yang membuat puas pengunjung yang hobi bertualang dan motret-motret.
Di lokasi pertama, pinggir laut, pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang kehidupan hutan lindung, suaka alam, tanaman, dll. Jagawana menjelaskan semuanya. Ada menara pandang, pengunjung padat menikmati aneka burung beterbangan di atas kepala, dan memandang beberapa perahu nelayan.
 Ke lokasi kedua, pengunjung berjalan sedikit ke dalam menyusuri dan menyeberangi rawa-rawa kecil dengan ribuan kepiting rawa. Situasinya, ingat film-film perang Vietnam! Ada juga menara pandang, tetapi “darurat”; diperlukan sedikit keberanian hingga bisa “menclok” di rumah pohon. Jerih lelah dan peningkatan adrenalin ketika memanjat rumah pohon segera terbayar begitu tiba di atas. Pengunjung terpesona dengan puluhan burung hinggap di puncak-puncak pohon. Burung-burung besar kita saksikan dan teropong sendiri di habitatnya.


Lupa turun deh si Jo!



 Memotret, wajib hukumnya!


Dua-tiga jam tidak terasa di sana. Setelah puas menikmati pemandangan di Pulau Dua, perjalanan bisa dilanjutkan ke Masjid Agung, Klenteng, dan Benteng. Masjid Agung dengan menaranya yang besar dan megah mengagumkan. Di kawasan masjid ada museum – sayang tanpa perawatan dan kotor – dan beberapa peninggalan masa lalu, semisal benteng dan meriam. Semuanya terlihat kumuh dengan bejibun-nya pedagang secara tidak teratur – bahkan di bawah rambu larangan berjualan pun tetap ada yang berjualan.

Menara Masjid Agung
 Ribuan peziarah di masjid, manusia di sekitarnya, dagangan yang berderet, jajajan, makanan, dan sejumlah bangunan kuno menjadi godaan tersendiri bagi para pemotret. Ga bisa mengelak deh untuk ga memotret.

Ribuan peziarah setiap hari
 
Jika berjalan sedikit – memang fisik kuat dan bekal makanan-minuman menjadi syarat – melewati perkampungan ke arah Klenteng, ada satu bekas benteng lagi. Rumah ibadah umat Islam dan tempat sembahyang umat Konghucu tersebut sudah lama berdampingan di Banten Lama. Sepi, kosong, luas, dan besar. Tembok benteng setebal 2 meter menambah keangkeran tampang benteng ini. Sayang, objek-objek ini tidak dilengkapi dengan informasi dan pengelolaan yang baik.

Lorong bawah tanah di benteng
Bagaimana pun, ini benar-benar plesiran yang tidak biasa.  ■