Museum Linggarjati


Di akhir libur Lebaran yang lalu, kami mengunjungi Museum Linggarjati yang terletak di kaki gunung Ceremai. Lokasinya mudah dicapai melalui jalan beraspal. Ada banyak orang di sepanjang perjalanan yang dapat dimintai petunjuk jalan dan menjelaskan tanpa membuat tersesat. Karena berada di dataran tinggi, udara terasa sejuk. Seperti kota-kota kecamatan di Pulau Jawa umumnya, desa Linggarjati tampak hening dan nyaris tanpa polusi udara. 

Saat kami tiba, kami melihat bangunan dengan arsitektur jaman Belanda dikelilingi oleh taman yang besar. Taman yang berbukit-bukit ditanami oleh beberapa pohon rindang, bunga-bunga dan rumput. Di tengah taman ada Monumen Peringatan Perundingan Linggarjati. Dari pinggir jalan, bangunan museum terlihat berdiri kokoh di tempat tertinggi taman yang asri. Ada pagar yang membatasi taman dan jalan. Tidak ada bagian pagar yang terbuka untuk tempat masuk. Taman tampak sepi, juga daerah di sekitar museum. Hari itu adalah hari Rabu, umumnya bukan hari museum tutup. Masa sih, museum ini tutup? Jadi kami memutar kendaraan dan menelusuri pagar untuk mencari jalan masuk ke museum. Nah…. Ketemu. Rupanya taman besar itu letaknya bukan di muka gedung, tapi di samping. Pantaslah kalau tertutup. 

Dengan tiket Rp 2.000,- per-orang (ck…ck…!!), kami dapat memasuki museum. Menurut petugas penjual tiket, harga tiket ini belum lama diberlakukan. Sebelumnya, pengunjung hanya dimintai sumbangan serelanya.
Bangunan museum pada awalnya adalah sebuah rumah biasa yang kemudian dijadikan hotel. Perjanjian Linggarjati dihasilkan pada saat bangunan ini berfungsi sebagai hotel. Rupanya bangunan yang terlihat saat ini merupakan hasil renovasi, karena bangunan ini pernah rusak berat. Saat ini, museum terlihat kokoh, rapi, terawat. 

Jujur saja, kami sudah tidak ingat apa-apa mengenai Perjanjian Linggarjati, selain namanya. Kunjungan ke museum ini menolong kami untuk menggali ulang ingatan pelajaran sejarah di SMP dulu dan memperkayanya. Di sini, dengan melihat TKP-nya, foto-foto dokumentasi berikut penjelasannya, kami seperti sedang mengendarai mesin waktu menuju awal kemerdekaan Indonesia.

Perjanjian Linggarjati dilakukan setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946. Rupanya yang terjadi pada saat itu adalah sebuah perundingan antara delegasi Indonesia dan delegasi Belanda, dimediasi oleh Lord Killearn dari Inggris. Perundingan dilakukan di lobby hotel yang terlihat penuh sesak oleh meja-meja, kursi-kursi, Grandfather’s clock, piano dan 2 lemari. Di bagian kiri dan kanan ruangan, ada 2 meja panjang yang berhadapan, masing-masing dengan 4 buah kursi. Di sinilah delegasi Indonesia dan Belanda duduk berhadapan. Di bagian belakang (menghadap pintu masuk) ada sebuah meja dan kursi yang ditempati oleh  mediator perundingan. Di bagian depan ada sebuah meja bundar yang dikelilingi 4 buah kursi, tempat duduk notulis. 

Di meja-meja terpasang papan-papan nama yang menunjukkan tempat peserta perundingan duduk. Papan-papan nama ini mengingatkan kami tentang siapa yang menghadiri perundingan tersebut. Meja di sebelah kiri terpasang papan-papan nama delegasi dari Belanda. Kami baca satu-persatu nama-nama tersebut …..Van Mook, F. De Boer, Van Poll …. Schermerhorn  … tuiiinnggg….. tiba-tiba seperti ada yang korslet di kepalaku. Ingatan pelajaran sejarah di SMP meloncat ke ingatan pelajaran Kimia di SMA. Buku kecil berwarna kuning warisan Papa yang kupakai di rumah untuk latihan soal-soal kimia dikarang oleh Schermerhorn dan Paperzaak. Korslet di otakku merembet di mulutku yang bercetus, “Ini kan pengarang Buku Kimia…” Penjual karcis yang mengangkat dirinya sendiri menjadi tour-guide kami menyambar, “Ya, betul …. Schermerhorn ini seorang ahli kimia….” “Wah…. Ternyata ahli kimia juga bisa jadi politikus.”dan seterusnya. Insiden kecil ini memberi kesan mendalam bagiku selama beberapa hari setelahnya.

Kami memasuki ruangan-ruangan lainnya. Ada ruang dapur yang sekarang digunakan sebagai kantor museum. Ada beberapa kamar tidur dan beberapa kamar mandi dalam bangunan ini. Rupanya delegasi kedua negara tidur di hotel ini pada saat perundingan berlangsung. Hanya ada 1 kamar yang memiliki kamar mandi di dalam. Selainnya, kamar mandi bersama. Tiap kamar diisi 2 tempat tidur berukuran kecil, dan 2 buah kursi berukir yang sejenis dengan kursi untuk perundingan.  Semua kamar memiliki jendela besar yang menghadap alam terbuka yang asri. Pada jamannya, hotel seperti ini tergolong mewah.


Perjalanan mengendarai mesin waktu kami akhiri dengan memandangi pemandangan di sekitar bangunan dan menikmati kesejukan udara Linggarjati. Sungguh tepat Ibu Maria Ulfah, Menteri Sosial waktu itu, ketika mengusulkan Linggarjati sebagai tempat perundingan kepada Perdana Menteri Syahrir. Di tempat yang netral (bukan Jakarta maupun Yogyakarta), tenang, sejuk dan tenteram ini sangat cocok untuk mempertemukan dan mendamaikan kepala-kepala panas. Di sinilah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Melinda




Kembali ke Schermerhorn…. Karena penasaran, aku mencari-cari info tentang beliau lagi. Rupanya, Schermerhorn pengarang buku Kimia berbeda dengan politikus itu. Pengarang buku Kimia adalah Prof. Ir. E.J.G. Schermerhorn sedangkan politikus yang rupanya Perdana Menteri Belanda saat itu adalah Prof. Ir. Willem Schermerhorn. Wah….tour-guide itu ngasal nih…!