Tampilkan postingan dengan label Kupang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kupang. Tampilkan semua postingan

Penghuni rumah

Berada di tempat yang jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang panjang kadangkala membuat hati dan pikiran menjadi kesepian. Pada saat-saat seperti ini, menulis surat atau membaca ulang surat-surat, mendengarkan kaset atau membaca bahkan tidak bisa menghilangkan rasa kesepian. Jangan heran kalau kemudian ada hal-hal aneh yang terjadi, mulai dari imajinasi ngawur hingga persahabatan dengan binatang.

6 bulan pertama, aku tinggal di sebuah rumah di daerah Oeba yang kukontrak bersama Dewi. Rumah kecil yang terdiri dari kamar tamu, 3 buah kamar tidur, ruang makan dan dapur serta kamar mandi dengan bak air besar yang berada di luar bangunan rumah utama. Rumah berdinding bebak (bahasa Kupang yang berarti batang daun lontar), berlantai semen dan beratap daun lontar. Bentuk rumah seperti ini adalah bentuk umum yang ada di Kota Kupang. Batang daun lontar yang disusun berderet secara vertikal membuat sirkulasi udara yang baik di dalam rumah, sehingga rumah terasa sejuk.

Aku mendapatkan kamar yang ada di depan, Dewi mendapat kamar tengah, persis di belakang kamarku. Sedangkan kamar yang satu lagi kami gunakan sebagai gudang. Kami memperlakukan rumah kontrakan ini sama seperti rumah kami sendiri. Kami memeliharanya dengan baik dan menjaga kebersihannya bersama-sama. Sebelum berangkat kerja, kami bersama-sama menyapu, mengepel, melap perabotan. Ada satu tempat yang membuat kami segan membersihkannya, sebisa mungkin kami menghindari bagian ini, yaitu kamar tidur yang kami gunakan sebagai gudang. Kami merasa tidak nyaman kalau berada di kamar itu.

Suatu kali, Dewi mendapat tugas untuk mengikuti pelatihan selama 2 minggu di Jakarta. Aku tinggal sendirian. Pada hari Minggu aku menyaksikan TV yang ada di kamar Dewi sambil tidur-tiduran di tempat tidurnya, hingga jatuh tertidur. Tiba-tiba aku terbangun karena lapar dan menyadari TV dan booster mati. Anehnya, TV tidak dalam posisi stand-by dan kain penutup sudah terpasang rapi menutupi TV. Siapakah yang merapikan ini semua? Apakah ada penghuni rumah selain aku? Besoknya, dan hari-hari selanjutnya hingga tiba waktunya Dewi pulang, aku tidak berani tinggal di rumah itu sendirian. Karena itu aku menginap di tempat kost Siriet.

Rumah berikutnya yang aku diami selama di Kupang adalah rumah dinas SPRG yang berada di lokasi sekolah dan asrama siswa SPRG dan SMF. Aku menempati rumah di sudut dengan kolam kering di belakangnya. Beberapa minggu sebelum aku memasuki rumah itu, ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi di asrama puteri SPRG. Beberapa siswi yang bangun dari tidurnya mendapati dirinya sudah tidak berbusana dan pakaiannya sudah terlipat rapi di atas meja. Rupanya ada penghuni porno di asrama SPRG.

Ada lagi cerita-cerita tidak masuk akal yang dialami siswa-siswa SPRG di rumah yang akan kumasuki (mereka tinggal di sana ketika asrama putera belum jadi). Aku lebih takut pada cerita tentang napi yang kabur dari LP yang berjarak 1 km dari SPRG dan beberapa kali kedapatan melompati tembok di belakang rumahku. Aku pasti akan mati berdiri bila ada napi yang menawarkan diri untuk menjadi penghuni baru di rumahku.

Memang ada rasa ngeri di hati, tapi tekadku sudah bulat untuk pindah ke rumah dinas. Dan memang akhirnya setelah aku menempati rumah itu, bisa dibilang aku tidak mengalami kejadian apa-apa. Hanya satu kali, ketika sedang istirahat siang, aku merasa dibangunkan oleh seseorang. Karena masih mengantuk, aku tidak mampu membuka mata apalagi untuk duduk. Tapi aku merasa di ujung kakiku berdiri suatu makhluk besar hitam yang menahan tubuhku sehingga tidak bisa bangun. Penghuni gelap? Ah... aku cenderung menduga itu hanya bayangan yang muncul akibat kesadaranku saat itu masih belum pulih saja. Tentu saja dalam keadaan belum sadar, tubuh akan sulit mengikuti keinginan pikiran.

Suatu kali, Arief dan Haryanto, rekan sesama peserta prajabatan yang ditempatkan di TimTim mengunjungiku. Keduanya mengaku dapat melihat makhluk dari dunia lain dan menurut mereka memang rumah dinasku itu ada 'penunggunya'. Entah sekedar menghiburku atau memang kenyataan, mereka mengatakan bahwa 'penunggu' ini tidak akan mengganggu penghuni rumah, malah melindungi. Persetan dengan penghuni yang mau menunggui rumahku....

Beberapa bulan sebelum aku mengakhiri masa wajib kerjaku, rumahku didatangi penghuni baru. Penghuni yang betul-betul nyata sosoknya dan membuatku betah tinggal di rumah. Kedatangannya sangat tiba-tiba, tanpa basa-basi dan membuatku terkejut. Dia memasuki rumahku ketika aku sedang pergi. Aku sungguh-sungguh berteriak kaget ketika pulang dan mendapatinya di ruang tamu. Sosoknya yang mengerikan betul-betul membuatku lemas.

Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku melihat TOKEK dan apesnya, jenis tokek yang kulihat saat itu jenis yang mengerikan. Tekstur kulitnya bergerigi mirip iguana, berwarna coklat tua dan saat kujumpai sedang menempel di dinding yang berhadapan langsung dengan pintu masuk. Saat itu aku tidak tahu makhluk apa yang menempel di dinding itu. Besok paginya, saat dia berbunyi "krrr....krrrr....tk...tk...tokek" barulah aku mengetahuinya. Perlu waktu beberapa hari bagiku untuk membiasakan diri dengan penghuni baru itu.

Rupanya si tokek merasa betah tinggal bersamaku. Kebersamaan kami cukup membuatku kadang-kadang ingin cepat-cepat pulang untuk melihat temanku yang satu ini. Meskipun kami tidak dapat saling berkomunikasi, rasanya ada ikatan halus di antara kami. Kira-kira 2 bulan dia menemaniku sebelum dia pindah ke rumah sebelah. Sesudahnya, hingga saat ini aku tidak pernah lagi melihat tokek dengan bentuk seperti itu.

Penghuni lainnya adalah seekor kodok yang bermukim di pinggir kolam kering di belakang rumah. Dia muncul pertama kali pada awal musim hujan bulan Oktober 1992. Suaranya yang besar, kadang-kadang mengiringi suara air hujan di malam hari, membuatku tidak merasa kesepian. Dan pengalaman inilah yang memberi pencerahan padaku, bahwa usia kodok itu bisa lebih dari 1 tahun, sebab si kodok ini tidak pernah pindah dari kolam kering itu dan terus berbunyi hingga musim hujan tahun berikutnya berlalu.

Melinda

Kampanye Pemilu 1992

Pemilu sudah usai. Kejadian-kejadian selama masa kampanye dan pemilu baru lalu mengingatkanku pada pemilu tahun 1992 saat aku masih menjadi PNS dan dengan sendirinya menjadi anggota Korpri. Sudah menjadi rahasia umum waktu itu, pengertian mono loyalitas tunggal Korpri berarti loyal pada Golkar. Rahasia yang baru aku pahami ketika mengikuti latihan prajabatan sebelum berangkat ke Kupang. Meskipun menurut teori, mono loyalitas menjurus pada kesetiaan kepada bangsa dan negara, secara blak-blakan para fasilitator menegaskan kesetiaan kepada bangsa dan negara otomatis berarti kesetiaan kepada Golkar.

Pertengahan Mei 1992 merupakan masa kampanye menjelang Pemilu. Suatu siang ketika aku sedang 'leyeh-leyeh' di kamar kontrakanku di Oeba, tetangga belakang memanggil-manggil aku dan Dewi. (Rumah-rumah di Oeba umumnya tidak berpagar, jadi dari pintu belakang rumah kontrakanku, aku bisa berbicara dengan tetangga belakangku dan sebaliknya). Tetanggaku yang satu ini pegawai Kanwil DepKes NTT. Dia memberitahu bahwa siang ini ada kampanye Golkar dan semua pegawai harus datang dan ada absensi. Karyawan SPRG tidak sempat diberitahu, karena tidak ada jaringan telepon.

Akhirnya dengan rasa kesal karena harus meninggalkan waktu istirahatku, aku dan Dewi berangkat menuju lapangan A. Yani yang tidak jauh dari Oeba. Saat itu pukul 3 siang, panas matahari terasa menyengat. Untungnya, di lapangan tersebut masih ada pepohonan yang cukup rindang dan kami mendapat tempat berdiri di dalam bayang-bayang rimbunan daun. Aku tidak tahu apa yang dikampanyekan karena sepanjang acara kami membuat kegiatan sendiri. Ujung-ujungnya...tidak ada absensi!

Ada beberapa cerita lain tentang musim kampanye 1992. Suatu hari, siswa-siswi SPRG diliburkan dan dikerahkan untuk mengikuti kampanye Golkar. Sakit hatinya, hari itu sebetulnya ada ulangan pelajaran yang aku berikan. Batal! Cerita lainnya terjadi beberapa hari sebelum pengerahan siswa-siswi SPRG, ada pegawai Puskesmas Tarus yang dipanggil oleh Camat Tarus karena ada desas-desus pegawai itu mengikuti kampanye PDI. Emangnye kenape?

Cerita-cerita di atas tentunya merupakan cerita biasa kalau dibaca saat ini. Tapi bagiku saat itu yang baru pertama kali mengalami pemaksaan untuk setia pada Golkar, huuh... benar-benar menyebalkan. Saat itulah untuk pertama kalinya aku menjadi Golput. Djoni yang tahu aku akan menjadi golput, mengingatkanku bahwa kertas suara sudah diberi tanda, jadi yang tidak memilih Golkar akan ketahuan. Akibatnya akan mempengaruhi karir sebagai PNS. Oooo.... pantas...2 tahun kemudian, aku dengan mudahnya mendapat rekomendasi untuk keluar dari PNS, juga keluar dari Kupang.....

Melinda

Edu Pah, orangtua angkatku

Hari terakhir libur Paskah 1992 kupakai untuk menemani Siriet ke Puskesmasnya di Tarus yang ternyata masih tutup karena karyawan libur juga. Karena sudah kadung sampai Tarus, kami mencari rumah Pak Edu Pah yang berada di Tarus juga. Beliau adalah seorang pembuat dan pemain sasando. Beberapa waktu sebelumnya memang aku bermaksud menemuinya untuk minta diajarkan bermain sasando.

Kejutan bagi saya ketika Pak Edu Pah dan istrinya menyambut kedatangan kami dengan penuh sukacita. Baru berbasa-basi sedikit, kami langsung dibawa ke kebunnya yang berada di belakang rumah. Area tempat tinggal Pak Pah (begitu aku selanjutnya memanggilnya) sangat luas. Rumahnya sendiri sudah besar, lalu dikelilingi oleh kebun buah yang sangat besar. Segala macam pohon buah ada di sana, termasuk buah matoa asal Papua yang saat itu belum populer. Begitu kami duduk, langsung kami dipetikkan buah kedondong, jambu air, jeruk purut dan jeruk peras. Bahkan, kalau tidak kami tolak dan beliau berpikir akan merepotkan kami untuk membawanya pulang, kami akan dibawakan masing-masing 2 buah kelapa muda.

Selain pohon buah-buahan, di kebun itu ada juga tanaman kangkung, pisang, mangga, coklat, teratai 3 warna, duren, rambutan, 18 jenis pohon jeruk, pandang, kelengkeng...wah tidak ingat lagi. Yang pasti sangat banyak macamnya. Di kebun itu juga ada 3 buah kolam ikan dan isinya bermacam-macam ikan. Kami diajak duduk-duduk di bawah pepohonan dan ngobrol. Selama ngobrol, kami disuguhi kacang goreng dan coklat susu. Aku merasa takjub, Pak Pah dan istri begitu terbuka kepada kami, dan kami merasa betah-betah saja berada di sana.

Pak Pah yang berusia sekitar 60-an saat itu berasal dari Pulau Rote. Beliau adalah seorang seniman dan mempunyai 7 orang anak yang semuanya seniman, ada yang bermain musik, menyanyi dan menari. Beliau-lah yang menata anjungan NTT di Taman Mini Indonesia Indah. Informasi ini kudapat dari bincang-bincang akrab sepanjang pagi hingga siang hari itu. Dalam sekejap mata, kami merasa sudah seperti menjadi anak mereka.

Siang harinya kami diajak pergi ke Pantai Lasiana yang berjarak 500 meter dari kediaman Pak Pah. Untuk mencapainya, kami harus menyeberangi Jalan Raya SoE. Kami dibawa ke sana untuk diperlihatkan sasando buatannya yang disimpan di pub-nya di Lasiana. Di pub itu kami dijamu lagi dengan jagung bakar, mi goreng plus telur ceplok. Yang mengejutkan kami, ketika bepapasan teman-temannya di Lasiana, Pak Pah memperkenalkan kami sebabai anak-anaknya yang disekolahkan kedokteran gigi di Pulau Jawa dan baru pulang kembali!

Kami berada di Lasiana hingga pukul 3 siang. Kami pulang ke arah barat sedangkan Pak Pah dan istri ke arah timur. Untuk mendapatkan bemo (istilah orang Kupang untuk angkot), kami harus kembali menyeberangi Jalan Raya SoE. Ada hal mengharukan lagi, kami diantar menyebrangi jalan dan ditunggui sampai kami mendapat bemo.

Perjumpaan pertama yang sangat berkesan. Saat itu aku baru 2 bulan berada di Kupang dan aku mendapat orangtua baru. Rasanya menyenangkan sekali. Setelah itu masih berulang-ulang aku bersama Dewi mampir ke rumahnya, 1 atau 2 kali seminggu untuk belajar sasando. Kenyataannya, hingga selesai masa baktiku di Kupang, aku sama sekali tidak bisa bermain sasando. Sebab aku lebih banyak bermanja-manja kepada orangtuaku daripada belajar. Sekali waktu kami diajari 1 lagu, lalu Pak Pah meninggalkan kami agar kami mempelajari lagunya. Permainan kami begitu bagusnya sehingga Pak Pah keluar karena terkejut dengan perkembangan kemampuan salah satu dari kami! Sebetulnya bukan salah satu dari kami yang trampil, tapi kami berdua memainkannya secara patungan : aku memainkan bagian tangan kanan sedangkan Dewi memainkan bagian tangan kiri....jadilah permainan yang mempesona! Dasar anak nakal .....

Pengalaman bersama Pak Pah merupakan nilai tambah pada masa wajib kerjaku selama 2 tahun di Kupang. Setelah aku pulang ke Jakarta, kami masih melakukan korespondensi. Terakhir, aku mendengar Pak Pah sakit, setelah itu suratku tidak berbalas...bertahun-tahun kemudian hingga saat ini, aku tidak tahu kabar orang tua angkatku itu...

Melinda

Pulau Kera

Perjalanan menyusuri jalan sepanjang 1 km keluar dari SPRG menawarkan pemandangan yang menarik di sebelah kiri jalan, yaitu deretan pohon flamboyan. Pada bulan-bulan September hingga Januari, deretan flamboyan itu menampakkan warna merah, jingga dan kuning yang dominan di sela-sela rimbunan daun. Pemandangan yang tidak mungkin dijumpai di Pulau Jawa, misalnya. Karena jumlah bunganya sangat banyak. Bulan Februari bunga-bunga dan daun-daun flamboyan mulai berguguran. Sekitar April, yang tampak adalah batang-batang pohon yang telanjang tanpa daun. Kemudian tidak lama setelah itu muncul gerombolan berwarna ungu muda yang menempel pada batang-batang pohon flamboyan.... unik! Hanya dapat dilihat pada pohon flamboyan yang mengalami fase tanpa daun. Entah parasit atau memang produk pohon flamboyan...

Perjalanan sebaliknya menuju SPRG dengan arah yang sama menawarkan pemandangan yang berbeda, yaitu pemandangan laut Timor dengan pulau Kera yang terlihat samar-samar. Menurut Mbak Chris, jalan sepanjang 1 km itu kini sudah penuh dengan rumah. Aku yakin tentu pemandangan seperti ini sudah terhalang oleh rumah-rumah. Pemandangan yang hampir setiap hari kulihat ini lama kelamaan menggodaku. Aku menjadi terobsesi untuk mengunjunginya, ditambah kompor Rytha yang memanaskan hatiku. Dia sudah pernah ke sana dan menurutnya Pulau Kera adalah pulau yang bagus.

Hingga sampai suatu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Hari Sabtu libur, tepatnya aku tidak ingat kapan. Ada beberapa siswi SPRG yang berasal dari Pulau Kera hendak pulang. Ini dia...kapan lagi!

Pagi-pagi kami sudah berangkat menuju Tenau. Kemudian kami mencari nelayan yang mau menyewakan kapal bermotornya. Agak sulit untuk mendapatkannya. Setelah mendapatkan, tidak dapat langsung berangkat, karena tangki bahan bakar kosong sama sekali dan kami harus menunggu lebih dari 2 jam selama nelayan itu mencari bahan bakarnya. Sebetulnya ada kapal feri yang bolak-balik ke Pulau Kera, tapi anak-anak menganjurkan naik kapal nelayan karena lebih fleksibel dalam soal waktu. Ini pertanda buruk pertama sebetulnya, namun aku tidak sadar.

Pulau Kera berjarak 50 km dari Pulau Timor. Dengan kapal bermotor dapat ditempuh tidak sampai 1 jam. Karena lama dengan urusan mencari solar,menjelang tengah hari kami baru tiba di Pulau Kera, pulau yang kecil dan dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam untuk mengelilinginya. Kekesalan karena menunggu lama di Tenau lenyap begitu aku tiba di pulau ini. Pantainya indah. Ada satu bagian pantai yang dipenuhi batu-batu karang hitam dan kami membuka bekal makan siang kami di sana sambil memandangi laut. Yang mengejutkanku, di batu-batu karang itu tergeletak ribuan cangkang kerang berukuran raksasa, hampir sebesar nampan.

Menurut ukir sari, makna kata kera untuk pulau ini bukanlah monyet, tapi berasal dari bahasa Sabu yang berarti kerang. Ada juga yang menyebutkan kera berasal dari kata keramat. Orang Kupang memang biasa tidak membunyikan bagian akhir dari suatu kata. Entah yang mana yang benar. Tapi aku lebih meyakini pendapat yang pertama karena cangkang-cangkang kerang yang bertebaran di karang-karang pantai itu.

Pukul 2 siang, sesuai kesepakatan antara kami dengan nelayan pemilik kapal motor, kami menunggu di pelabuhan. Lama kami menunggu, nelayan itu tidak juga muncul. Ini pertanda buruk kedua. Akhirnya kami bertemu dengan nelayan lain, kerabat nelayan pertama yang sama-sama penduduk Pulau Kera. Nelayan kedua ini menyanggupi ketika kami minta tolong diantar kembali ke Tenau dengan pembayaran yang sudah kami berikan kepada nelayan pertama. Pukul 4 kami berangkat meninggalkan Pulau Kera.

Saat kami berangkat, angin mulai bertiup agak kencang. Makin ke tengah laut, angin makin kencang. Kapal motor yang kami tumpangi diayun-ayun oleh ombak hingga kapal dipenuhi air. Salah satu siswa SPRG muntah karena mabuk laut. Beberapa kali mesin kapal mati. Anak-anak sudah berteriak-teriak ketakutan. Aku juga sebetulnya sangat takut, tapi berusaha tenang dan menenangkan mereka. Benar-benar pengalaman yang sangat menegangkan. Saat itu, dalam hati aku menyanyikan bait pertama lagu "Gereja Bagai Bahtera" dengan penuh perasaan. Bukan bahtera dalam arti gereja, tapi dalam arti sesungguhnya.

Gereja bagai bahtera di laut yang seram
mengarahkan haluannya ke pantai seberang.
Mengamuklah samudera dan badai menderu
gelombang zaman menghempas, yang sulit ditempuh.
Penumpangpun bertanyalah selagi berjerih :
Betapa jauh, di manakah labuhan abadi?
Tuhan, tolonglah1
Tuhan, tolonglah!
Tanda Dikau semua binasa kelak
Ya Tuhan tolonglah!

Ternyata Tuhan menjawab seruan hatiku. Jam setengah tujuh malam akhirnya kami tiba di Tenau dalam keadaan basah kuyup, menggigil kedinginan dan ketakutan. Setelah itu, setiap kali menyanyikan lagu ini, aku merasakan getar di hatiku dan pengalaman ini terbayang kembali.

Sebelum tulisan ini kubuat, aku sempat browsing Pulau Kera di internet, dan melihat beberapa laporan tentang kecelakaan kapal di sekitar Pulau Kera yang memakan korban. Duuh... Jangan-jangan memang kata kera itu sebetulnya berarti keramat????

Melinda

Dari tumis bunga pepaya hingga CFC

Tidak banyak masakan khas yang ada di Kupang. Hal ini mungkin disebabkan karena sumber daya alam yang memang terbatas. Di antaranya adalah tumis bunga pepaya yang sangat berkesan dan membuatku kangen setelah meninggalkan Kupang. Pohon-pohon pepaya yang tumbuh di Kupang umumnya lebih banyak menghasilkan bunga daripada buah, karena itu bunga pepaya sangat mudah dijumpai di pasar. Aku menyukai olahan bunga pepaya yang ditumis bersama kangkung, meskipun aku sendiri tidak lihai mengolah bunga pepaya menjadi masakan. Hasil olahanku selalu terlalu pahit dan tidak seenak buatan Regina, misalnya. Di samping rumah dinasku di SPRG ada beberapa batang pohon pepaya. Bunganya keluar setiap saat. Biasanya Regina atau Konstantia akan minta ijin padaku untuk memetik bunganya dan sebagai imbalannya, aku mendapat satu piring hasil olahannya. Hmmm..... sluuuuurpppp....

Selain bunga pepaya, makanan yang mudah didapati di Kupang adalah ikan laut dan hasil-hasil tangakapan nelayan lainnya. Ikan dijual dengan harga yang sangat murah. 15 tahun yang lalu, 3 ekor ikan kombong (=ikan kembung) ukuran besar atau fillet ikan tenggiri ukuran 5X5X40 cm atau 5 ekor cumi-cumi besar atau 7 hingga 8 ekor ikan layur dijual dengan harga Rp 1.000,-. Bandingkan dengan 5 butir telur yang saat itu dihargai Rp 2.000,-. Jangan heran kalau aku menjadikan ikan sebagai sumber protein utamaku selama tinggal di Kupang.

Buah yang paling banyak dijumpai adalah pisang tembaga. Pisang ini rasanya seperti pisang susu, hanya ukurannya 3 kali lebih besar dibandingkan pisang susu Lampung. disebut pisang tembaga, karena kulitnya berwarna merah tembaga. Buah lainnya adalah ketimun dan poteka (=semangka). Karena tumbuh di tanah yang kurang air, buah yang dihasilkan sangat bagus. Ketimun berukuran seperti lengan bawahku, panjang 25 hingga 30 cm dengan diameter 5 cm. Sedangkan poteka tidak berbeda jauh dengan yang dijumpai di Jakarta. Selain itu ada lagi jeruk dari kota SoE, kota di datarang tinggi yang letaknya 180 km dari Kupang. Jeruknya enak, seperti jeruk Ponkam yang saat ini banyak dijumpai di Jakarta.

Tahu merupakan makanan yang relatif masih baru saat itu bagi orang Kupang. Aku membaca kisah lucu seputar kehadiran tahu sebagai makanan baru pada sebuah harian di Kupang. Ada penduduk setempat yang tidak mengetahui bahwa tahu merupakan makanan, menggunakan tahu itu sebagai sabun cuci. Namun pada saat aku berada di Kupang, tahu sudah menjadi makanan yang lazim.

Jadi menu sehari-hariku tidak jauh dari masakan ikan, tahu, telur. Sedangkan sayurnya bervariasi antara daun singkong, cai sim, wortel, kol dan kangkung.Sekali-sekali diselingi cumi atau babi. Babi merupakan makanan yang pasti dihidangkan dalam setiap pesta. Karena tidak semua orang makan babi, penyelenggara pesta selalu menyediakan dua meja makanan. Di Kupang ini, aku melihat hidup bertoleransi yang indah. Jumlah penduduk yang tidak menkonsumsi babi merupakan minoritas, tapi dihormati keberadaannya. Tidak hanya dalam penyajian makanan dalam pesta, tapi juga dalam persiapannya. Meskipun penyelenggara pesta mengkonsumsi babi, selain peralatan masak babi, mereka juga mempunyai peralatan yang "bebas babi", artinya tidak pernah dipakai untuk mengolah masakan dari babi.

Masih soal babi. Penduduk Kupang biasa hidup berdampingan dengan babi. Tidak jarang dijumpai kandang babi di halaman belakang rumah. Adalah hal biasa jika mendengar konser jeritan babi di pagi hari. Beberapa bulan pertamaku di Kupang, aku tinggal di rumah kontrakan di Oeba yang juga ada kandang babinya. Suatu kali babi peliharaan induk semangku lepas dari kandangnya. Hebohlah seluruh Oeba karena ada "babi pesiar". Memang itulah istilah dalam bahasa Kupang untuk menyebut babi lepas dari kandangnya.

Kembali ke soal makanan. Memang tampaknya sedikit sekali variasi makanan yang bisa diolah dengan sumber daya alam yang ada di Kupang. Tapi sebetulnya ada juga makanan lain yang bisa dijumpai dalam bentuk matang. Bagi pegawai negeri sepertiku, makanan-makanan ini merupakan makanan mewah yang sekali-sekali kucari juga sebagai variasi.

Yang pertama adalah bakso. Rasanya sama seperti bakso abang-abang di Jakarta, yang menjualpun orang dari Solo. Untuk "ngebakso", aku harus ke pasar Kuanino yang ada di ujung barat kota Kupang.

Berikutnya adalah gule bakso. Hingga saat ini aku hanya dapat menjumpai cita rasa bakso dalam kuah gule di kota Kupang, tepatnya Penfui tidak jauh dari asrama AL. Pada mulanya aku merasa aneh mendengar namanya. Ternyata enak juga lho... Tidak hanya bakso yang ada di dalam kuah gule, tapi juga daging dan tulang kambing.

Makanan mewah lainnya adalah ketupat tahu. Kusebut mewah, karena untuk mendapatkannya aku harus "nebeng" Rytha yang punya mobil. Karena ketupat tahu dijual hanya pada sore hari. Kalau pulang tidak nebeng Rytha, aku tidak bisa pulang dengan angkot yang hanya melayani sampai jam 18.00. Hanya ada 1 penjual ketupat tahu saat itu, yaitu seorang ibu asal Magelang yang selalu berwajah masam dan judes. Herannya warungnya selalu laris. Tentu saja, karena rasa olahannya jauh berbeda dengan wajah ibu itu. Ketupatnya lembut sekali dan bumbu kacangnya enak.

Ada satu macam makanan awetan khas NTT, yaitu daging se'i yang dibuat dari daging sapi yang diasap selama berhari-hari. Ada satu restoran yang menyajikan olahan daging se'i ini dengan cara menggoreng dan menyajikannya di atas hotplate disertai sambal belimbing. Rasanya enak dan dagingnya tidak alot.

Pada tahun terakhirku di Kupang, berdirilah restoran waralaba "California Fried Chicken" untuk pertama kalinya. Orang Kupang belum terbiasa dengan gaya restoran fast food sejenis ini. Suatu kali, seorang pejabat dari kantor bupati masuk lalu duduk di kursi dan menunggu. Setelah beberapa lama, dia marah karena tidak ada pelayan yang melayani......

Melinda

Telepon dan surat, sarana komunikasi andalan

15 tahun yang lalu, sebelum tekhnologi ponsel, internet, apalagi facebook memasuki Kupang, di sanalah aku berada. Tidak persis di kota Kupang, namun di pinggiran, tempat bandar udara berada. Rumah masih jarang, bisa dibilang tidak ada. Yang ada hanya beberapa gedung milik pemda : Balai Latihan Kesehatan Masyarakat dan beberapa gedung milik Dinas Kesehatan dalam satu lokasi. Sekitar 2 km dari lokasi itu, terletak Lembaga Pemasyarakatan. 5 km ke arah yang berbeda ada kompleks Angkatan Udara yang relatif lebih padat dibandingkan lokasi milik Dinas Kesehatan. Dengan jarangnya penduduk di daerah itu, bisa dimaklumi kalau jaringan teleponpun belum menjangkau Penfui, tempatku berada.

Berada jauh dari keluarga untuk pertamakali, seringkali muncul rasa kesepian dan kangen. Untuk mengatasinya, aku menggunakan dua cara yaitu menggunakan warung telepon di Kupang milik PT Telkom dan menulis surat.

Telepon

Untuk menelepon, biasanya aku memanfaatkan waktu diskon, yaitu di atas jam 6 sore atau sebelum jam 6 pagi. Seberapa murah? Rp 1.000,- / menit untuk menelepon seseorang di Jakarta. Bandingkan dengan telepon selular jaman sekarang.... Sebetulnya lebih murah lagi, bila di atas jam 8 malam. Ada trik khusus yang aku gunakan untuk memanfaatkan telepon murah itu. Bila aku menelepon pada sore hari, aku mencari waktu yang bertepatan dengan acara keluar Rytha. Maklum, dia punya mobil, jadi untuk pulang, aku bisa nebeng dia pulang. Aku tidak mungkin naik angkot untuk pulang, karena di atas jam 6 sore sudah tidak ada angkot yang beroperasi ke Penfui. Bila aku menelepon pada pagi hari, malam sebelumnya aku menginap di tempat kost Siriet yang ada di tengah kota Kupang.

Supaya usahaku untuk mencapai warung telepon tidak sia-sia, sejak beberapa minggu sebelumnya aku mengabari melalui surat agar penerima telepon menyediakan waktu untuk menerima teleponku. Kadang-kadang, surat kukirim beberapa kali untuk mengantisipasi seandainya ada surat yang tidak sampai ke penerimanya. Itupun tidak selalu efektif. Pernah suatu kali, meskipun sebelumnya aku sudah memberi tahu beberapa kali guru hebatku lewat surat, pada saatnya dia tidak ada di tempat karena ada rapat di gereja.

Tanpa jaringan telepon di Penfui memang tidak memungkinkanku untuk menerima telepon. Tapi untuk menelepon, aku tidak selalu berada di pihak yang harus membayar. Suatu kali, aku pernah menelepon Liani di Amerika untuk suatu hal yang sangat penting buatku, tapi rasanya tidak terlalu penting buat Liani. Yang melegakanku saat itu, biaya telepon ditanggung oleh Liani. Memang kakakku yang satu ini sangat penuh pengertian.... mana mampu aku menelepon dia dengan gaji CPNS ku yang hanya Rp. 800.000,-/bulan!

Di hari-hari akhirku di Kupang, jaringan telepon masuk Penfui! Aku sempat beberapa kali merasakan sensasi menggebu-gebu saat menerima telepon... berlari-lari dari mess ke kantor SPRG yang berjarak sekitar 300 meter... berbicara di telepon sambil terengah-engah... senangnya..... Berbahagialah teman-teman yang datang di SPRG setelah aku pergi....

Surat

Surat menyurat merupakan penghubung utamaku dengan keluarga dan Rasid selama di Kupang. Selama di Kupang, aku mengasah ketrampilan menuliskan segala yang kupikir dan kurasa. Sedikitnya 5 pucuk surat kubuat dalam seminggu. Di SPRG, aku adalah pengirim dan penerima surat terbanyak.

Lalu lintas surat dari dan ke SPRG dilayani oleh sebuah mobil pos yang datang 1 atau 2 kali seminggu. Pada awal atau akhir bulan biasanya 2 kali seminggu, karena banyak membawa wesel untuk siswa-siswi SPRG dan SMF (yang berlokasi sama dengan SPRG). Hari kunjungan mobil pos ke SPRG adalah Senin dan Kamis, karena itu aku menjadikan hari Minggu dan hari Rabu sebagai hari menulis surat.

Aku menulis apa saja, yang aku pikir dan rasakan, terutama untuk Rasid. Ada juga pertanyaan dan permintaan yang kutulis, tapi aku tidak pernah menunggu hingga pertanyaan dan permintaanku dijawab untuk menulis surat berikutnya. Aku menulis terus. Saat itu aku sering diingatkan tentang ahli-ahli astronomi yang mengirim sinyal kepada makhluk yang diduga hidup di bintang yang jauhnya beratus-ratus tahun cahaya dari bumi. Sinyal itu terus dikirimkan tanpa menunggu balasan, karena bila menunggu balasan, proses komunikasi akan menjadi sangaaaaattt luamaaaaaa.....

Sejak awal kedatanganku, aku sudah mengirim banyak surat. Setiap kali mobil pos datang ke SPRG tanpa membawa surat untukku, rasanya sediiihhhhh 'kali. Hingga 3 minggu berlalu, tidak ada 1 pun surat datang kepadaku. Dalam keadaan gundah gulana seperti itu, Lily bercerita tentang temannya yang tinggal di Timor Tengah Utara, untuk mencapai tempat itu harus mengendarai kuda beberapa kilometer dari Atambua. Karena sulitnya surat mencapai tempat tinggalnya, kasihnya putus di tengah jalan. Aduuuhhh....Ly, kenapa bercerita seperti itu pada saat aku lagi sensitif. Aku kan jadi malu ketika banyak yang tahu, bahkan beberapa siswa melihatku beberapa waktu lamanya berdiam diri di toilet untuk menguras air mataku dan hidungku....hiks!

Sekali waktu aku pernah membakar surat kaleng yang berisi rayuan yang membuatku tidak nyaman. Saat itu aku masih tinggal di Oeba bersama Dewi. Beberapa hari setelah itu, badanku gatal-gatal dan pada betis kananku ada bekas tusukan dikelilingi warna merah dan membengkak. Lesi seperti itu beberapa kali aku alami selama tinggal di Kupang, yaitu bekas gigitan lalat sapi. Tanpa diobati, lesi ini dan rasa gatal yang menyertainya baru hilang setelah 1 bulan lebih. Saat itu, karena baru pertama kali mengalami dan berdekatan dengan peristiwa bakar surat, aku mengira aku kena guna-guna pembuat surat itu. Bukan cuma aku, Dewi-pun mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Kenapa berpikir guna-guna? Itu karena termakan kasak-kusuk selama prajabatan tentang daerah-daerah yang masih dihuni pengguna ilmu hitam. Kalau sekarang kurenungkan.... guna-guna.... huahahahahahhaha....

Melinda

Bagiku saat itu, Kupang .......

Bayanganku sebelum berangkat, NTT adalah suatu daerah dengan tanah gersang, berudara panas dan susah air. Karena NTT adalah pilihanku sendiri, aku menyiapkan diri dengan tidak mengharapkan hal-hal yang terlalu muluk. Tujuannya agar aku betah tinggal di sana. Aku tidak mengharapkan akan melihat pohon hijau, juga tidak mengharapkan hidup bersenang-senang di sana.

Tentang tanah yang gersang

Ketika pesawat mau mendarat di bandara Eltari, aku terpesona melihat tanah pulau Timor yang hijau di mana-mana. Sama sekali tidak seperti yang kubayangkan semula. Tentu saja, saat itu adalah bulan Februari, masih musim hujan. Meski curah hujan tidak sebanyak di pulau Jawa, airnya cukup untuk menghidupkan rumput-rumput. Hingga bulan Maret, rumput-rumput itu akan mencapai ketinggian hingga 2 meter.

Rumput setinggi 2 meter ini mengingatkanku pada jalan sepanjang 1 km yang harus kutempuh dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah dinasku di Penfui. Tidak ada kendaraan umum yang melalui jalan ini. Kiri dan kanan sepanjang jalan ini adalah padang rumput. Bila berjalan pada bulan Februari hingga Maret, di siang hari rumput-rumput ini membentuk bayang-bayang yang melindungiku dari matahari. Tapi aku tidak pernah berani melakukannya di malam hari.... hiiii...bayangkan kalau tiba-tiba ada napi keluar dari sela-sela rumput itu! Ini bukan khayalan, karena lokasi tempat tinggalku berdekatan dengan Lembaga Pemasyarakatan. Bagiku saat itu, Kupang cukup segar.

Memasuki bulan_bulan mei hingga september, pemandangan menjadi berubah sama sekali. Yang terlihat adalah kota Kupang yang hitam, yaitu warna karang yang ditutupi semak terbakar. Memang pada bulan-bulan itu matahari bersinar terik hingga membakar rumput-rumput. Tapi tidak seburuk itu.... masih ada tempat-tempat indah yang dihiasi oleh pohon bougenville dengan bunganya yang berwarna-warni. Tidak ada tempat lain yang pernah kulihat memiliki bunga bougenville seindah kota Kupang. Ada lagi yang menarik dan mungkin hanya ada di NTT yaitu bunga ungu yang menempel pada batang pohon flamboyan yang meranggas. Daun-daun rimbun pohon-pohon flamboyan memang sudah gugur, tapi pemandangan unik ini sungguh mengesankan. Aku tidak tahu pasti, apakah bunga-bunga ungu ini merupakan fase hidup flamboyan atau tumbuhan lain yang melekat pada pohon flamboyan dan baru kelihatan karena daun-daun flamboyan sudah gugur. Bagiku saat itu, Kupang cukup indah di mata.

Tentang udara yang panas

Udara di NTT memang panas, karena itu sebisa mungkin aku tidak bepergian pada siang hari. Biasanya aku keluar setelah pukul 4 sore ketika sinar matahari sudah tidak telalu menyengat. Bila terpaksa keluar di siang hari, aku membawa sejata yang sudah kupersiapkan sebelum berangkat, payung. Aku tidak peduli waktu Siriet menertawakanku dengan kebiasaanku berlindung di bawah payung. Di sana pula untuk pertamakali dalam hidupku, aku menggunakan sunblock lotion. Hasilnya, ketika aku kembali ke Jakarta 2 tahun kemudian, kulitku lebih cerah dibandingkan sebelum pergi! Karena sebelumnya, di Jakarta aku tidak pernah memikirkan perlunya berlindung dari sinar matahari.

Sinar matahari memang menyengat di NTT, tetapi udara tidak selalu panas. Pada bulan-bulan Februari hingga Juli, terutama malam hari udara terasa dingin karena angin barat berhembus. Udara dingin ini menjadi penghiburan bagiku sehingga bagiku saat itu panasnya Kupang tidak menyakitkan. Bagiku saat itu, panasnya kota Kupang tidak menyakitkan.

Tentang air yang sulit didapat

Pulau Timor adalah pulau karang, sehingga untuk mencapai sumber air harus dibuat sumur yang sangat dalam. Itu bayanganku semla. Ternyata ada banyak sumber mata air di kota Kupang dan sekitarnya. Banyak tempat di Kupang yang diberi nama dengan awalan Oe, yang berarti air. Ada Oeba, Oesapa, Oebufu, Oenesu, Oepura, dan banyak lagi. Ada lagi tempat yang diberi nama Air Mata, dan Fonten yang tentunya berasal dari kata fontain. Dari mata air-mata air inilah, air didistribusikan ke rumah-rumah penduduk. Memang pada bulan-bulan tertentu, aliran air tidak lancar. Tetapi karena aku tinggal di rumah dinas milik pemerintah, nyaris aku tidak pernah mengalami sulit air. Pada saat sulit air, ada truk yang mengantarkan air bersih. Bagiku saat itu, Kupang menyegarkan dan tak membuatku haus.

Ada banyak sumber-sumber air di sekitar kota Kupang dan biasanya menjadi tempat tujuan wisata. Seperti mata air di tempat lain, letaknya ada di ketinggian yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar, kemudian mengalir melalui batu-batuan ke bawah membentuk air terjun. Ternyata di pulau Timor tempat ini ada banyak dan masih asri, belum banyak disentuh oleh manusia. Bagiku saat itu Kupang menjadi tempat wisata yang menyenangkan.

Hal-hal tak terduga di atas membuat hidupku di Kupang selama 2 tahun menjadi bagian hidupku yang sangat mengesankan.... Aku tidak pernah menyesali keputusanku memilih NTT sebagai tempat WKS (wajib kerja sarjana) ku. Bae, sonde bae, Tanah Timor lebe bae.

Melinda

Belalang berhidung mancung

Lain ladang, lain belalang. Meskipun ladang tidak terlalu jauh jaraknya, ternyata bisa didapati belalang yang berbeda. Keberadaanku di Kupang 17 tahun yang lalu merupakan pengalaman pertamaku berada di ladang yang berbeda. Jadi maklum saja kalau aku sempat dikagetkan dengan belalang yang berbeda yang kujumpai di sana.

Masih sama-sama berada di Indonesia, ternyata ada beberapa kebiasaan khas orang Kupang yang tidak dijumpai di Jakarta. Ada kebiasaan-kebiasaan yang membuatku merasa risih ketika pertama kali melihatnya, tapi lama kelamaan menjadi biasa karena sering menjumpainya, misalnya gandengan-tangan di antara sesama laki-laki. Kalau di Jakarta hal ini mengesankan orientasi seksual yang tidak lazim di antara keduanya, ternyata di Kupang menunjukkan ikatan persahabatan yang baik.

Ada juga kebiasaan yang menambah ketrampilanku, yaitu kebiasaan menari. Orang NTT, dan rasanya hampir seluruh suku bangsa di Indonesia, biasa mengungkapkan rasa syukur, sukacita dengan menyelenggarakan pesta. Dalam setiap pesta ada hal yang tidak akan dilewatkan, yaitu menari. Semua orang NTT pasti dapat menari. Dalam suatu pesta, aku pernah menyaksikan seorang anak berusia sekitar 6 tahun menarikan gerakan cha-cha-cha dengan baik sekali. Ada 2 buah tarian rakyat yang selalu ditarikan dalam pesta, yaitu terasering dan rokatenda. Gerakan terasering mirip dengan poco-poco, dimana semua berdiri dalam satu arah kemudian melakukan gerakan ritmis bersama-sama. Tarian ini cukup mudah dipelajari. Sedangkan rokatenda (nama sebuah gunung berapi di Flores) agak sulit karena terdiri atas beberapa seri meskipun tiap seri merupakan variasi dari gerakan inti yang sama. Tarian ini dilakukan dalam sebuah lingkaran.

Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan berpesta, kendaraan umum di kota Kupang yang disebut bemo yang menarik bagi calon penumpang adalah bemo yang dilengkapi dengan bunyi musik keras dan hiasan interior dan eksterior yang menyolok. Kalau bemo tidak diberi hiasan, apalagi tanpa musik, bisa dipastikan jauh dari rejeki.

Ada kebiasaan yang berbeda 180 derajat dibandingkan kebiasaan orang Jakarta, yaitu cara berbicara. Orang Jakarta biasa menyingkat kata dengan mengambil bagian akhir kata, misalnya udah atau dah untuk kata sudah, bis untuk kata habis, aja untuk kata saja. Orang Kupang kebalikannya, menyingkat kata dengan mengambil bagian awal kata, misalnya su untuk kata sudah, pi untuk pergi, sa untuk saja. Aku memerlukan waktu cukup lama untuk membiasakan telingaku menangkap kata-kata mereka yang umumnya diucapkan dengan cepat. Tidak boleh ada yang tersinggung kalau ada orang yang berkata,"Lu sa pi", karena ini berarti "Kamu saja yang pergi"

Ada satu kebiasaan yang sebetulnya menarik, tapi tak dapat kulakukan, bukan karena tidak sreg atau perlu ketrampilan khusus, tapi hanya masalah anatomi muka. Pertemuan dua orang biasanya dilakukan dengan cara bersalaman sambil saling menempelkan hidung dan kemudian menggesekkannya. Hal ini tidak mungkin dilakukan olehku yang berhidung pesek ini, bisa-bisa yang menempel bukan hidung tapi bibir! Salam 'hidung' ini biasanya dilakukan oleh dua orang yang cukup akrab, sedangkan untuk yang orang yang baru dikenal atau kurang dikenal, salam dilakukan dengan cara saling menempelkan batang hidung ke pipi. Salam seperti inilah yang sering kulakukan, misalnya ketika memberi selamat kepada penyelenggara pesta. Inipun agak sulit kulakukan lagi-lagi karena tulang hidungku tidak cukup tinggi. Jarang sekali aku berhasil menempelkan hidungku di pipi orang yang kusalami karena pada saat yang bersamaan aku juga harus memberikan pipiku untuk ditempeli hidungnya. Ada rasa "kenyal-kenyal empuk" di pipiku.....

Ladang yang ini memang belalangnya mancung-mancung!

Melinda

PAK GUBERNUR BERTEMU DENGAN ISTRI PEJABAT

Ketika aku berangkat ke NTT untuk mejalani wajib kerja sarjana, bawaanku super-duper berat, 1 buah koper besar seberat 20 kg dan 1 buah koper kecil yang tidak beda jauh beratmya. Isinya pakaian, perlengkapan mandi untuk 2 tahun, sprei, makanan kering jatah 6 bulan, bacaan untuk 2 tahun, kaset, walkman dan tang pencabut gigi. Belakangan, aku menertawakan diri sendiri atas ke-norak-anku yang seolah-olah pergi menuju tempat tanpa kehidupan sehingga harus membawa bagasi seberat itu! Demi menghindari pembayaran kelebihan berat, koper kecil kutenteng masuk kabin pesawat. Bayangkan perjuanganku menggotong koper belasan kilogram itu!

Dari Jakarta sebelum tiba di Kupang, kami transit di Denpasar, menunggu selama 1,5 jam sebelum masuk ke pesawat yang lebih kecil. Tidak ada belalai yang menghubungkan ruang tunggu penumpang dengan pintu pesawat seperti di Soekarno-Hatta. Kami harus berjalan kaki lumayan jauh dari ruang tunggu penumpang hingga ke tangga pesawat. Dengan koper belasan kilogram itu! Untung ada Siriet yang jalannya cukup lambat sehingga aku mendapat teman untuk berlelet-ria.

Dalam perjalanan menuju tangga pesawat di bawah terik matahari, aku disapa oleh seorang bapak berbadan besar, tidak terlalu tinggi, berkacamata dan berwajah ramah, ”Ini rombongan dokter yang mau ke Kupang ya?” Rombongan kami yang terdiri atas 7 orang yang akan turun di Kupang dan sekitar 13 orang turun di Dili. Mungkin tingkah laku kami mencolok mata, sehingga bapak itu menyapa saya, yang kebetulan berjalan di dekatnya.

Bawaanku yang berat memperlambat jalanku. Meskipun Si Bapak tadi jelas-jelas lebih berat daripada koperku, tapi dia membawanya setiap hari, setiap jam sepanjang tahun, jadi pasti sudah terbiasa. Buktinya dia bisa berjalan lebih cepat dan memasuki badan pesawat lebih dahulu. Ketika aku akhirnya berhasil masuk meskti dengan nafas terengah-engah, Si Bapak sudah duduk dengan manisnya di bangku paling depan di barisan kanan. Bangku di sebelahnya masih kosong. Eh... Si Bapak menyapaku lagi, ”Yuk, duduk di sini.” dengan senyumnya yang ramah itu sambil menunjuk bangku di sebelahnya..... ”Terimakasih, Pak. Bangku saya di belakang.” Duh... kok iseng banget sih!

Hari ketiga di Kupang..... kami ber-7 diundang ke kantor Pak Fernandez, gubernur NTT saat itu. Selama tiga hari pertama, semua orang asli NTT yang kami jumpai membuat kami berpikir bahwa semua orang Kupang tirus, hitam terbakar, rambut keriting dan berwajah susah. Jangan salahkan kami kalau kami membayangkan sedang menanti orang serupa ini di ruangan besar dan sejuk di kantor gubernur.

Kami tidak perlu menunggu lama dan membayangkan yang tidak-tidak. Tidak sampai 15 menit....muncullah sosok yang tidak asing buatku. Tiba-tiba Siriet menyikutku, membuat nafasku tertahan sejenak. Si Bapak yang menyapaku di Denpasar! Untung posisi dudukku cukup terhalang oleh teman-temanku yang lain, jadi pasti Si Bapak tidak akan melihatku.

Cerita belum berakhir. Pak Gubernur memberikan kata sambutan bla...bla..bla.... sikapnya tidak formal sehingga mencairkan ketegangan kami. Lalu dia bercerita tentang pengalamannya ketika pulang dari perjalanan dinas dari Jakarta. Di bandara Ngurah Rai bertemu dengan rombongan dokter gigi. Semula beliau mengira bertemu dengan rombongan pejabat dari Jakarta, sebab ada satu ibu yang berpenampilan meyakinkan seperti Istri Pejabat sambil menujuk Siriet. Kemudian beliau juga menceritakan diriku yang menolak duduk di sebelahnya di pesawat dan beliau menduga diriku menganggap beliau sebagai Om Senang.... duh! Rasanya waktu itu dudukku makin merosot ke bawah......

Melinda