Tampilkan postingan dengan label Vietnam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Vietnam. Tampilkan semua postingan

WISATA JALAN KAKI DI KOTA HO CHI MINH

Melinda

Berbekal informasi di buku Lonely Planet jadoel, kliping dari internet dan peta Distrik I kota Ho Chi Minh dari hotel, kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di HCMC. 

Berangkat dari penginapan di daerah Pham Ngu Lao, kami berjalan ke persimpangan  Ben Thanh Market . Kami tidak masuk pasar ini tapi terus berjalan memasuki jalan Le Loi dan menyusurinya hingga ujung. Di ujung jalan terdapat gedung City Theater. Ini adalah salah satu landmark HCMC. Kami hanya melihat bagian luarnya saja, karena tertutup.

Perjalanan selanjutnya bagaikan menyusuri kota tua. Ada banyak gedung-gedung kuno yang berumur di  atas 100 tahun. Suasana jalan juga lebih sepi dibandingkan daerah Pham Ngu Lao yang selalu padat dan semrawut.  Di antaranya adalah Notre Dame Cathedral dan Central Post Office yang berdekatan lokasinya. 

Notre Dame Cathedral tidak semegah dan setua Gereja Kathedral Jakarta. Namun suasana gereja tua selalu menarik perhatian kami sehingga kami selalu merasa diundang untuk memasukinya. Letak  langit-langit yang tinggi dan keteduhan ruang gereja menyejukkan tubuh yang berkeringat akibat panasnya HCMC. 

Bentuk luar Central Post Office mirip dengan Stasiun Kota di daerah kota tua Jakarta. Begitu memasukinya, kami melihat ada banyak kesibukan di dalamnya. Tepat setelah pintu masuk, ada lorong ke arah kiri dan kanan yang dipenuhi pedagang-pedagang souvenir. Bagian dalam kantor pos sama seperti kantor pos filateli di Jalan Pos Jakarta, tapi tampak terang. Di bagian depan sebelah kiri terdapat beberapa ruang bersekat yang berfungsi sebagai warung telepon. Secara simetris, di seberangnya ruang-ruang bersekat berfungsi sebagai ATM. Di bagian atas pintu ruang-ruang bersekat terpajang jam-jam dinding yang menunjukkan waktu beberapa tempat di seluruh dunia.

Masuk ke dalam lagi, terdapat loket-loket pengiriman surat dan paket dari beberapa operator jasa pengiriman dan loket-loket penjualan perangko. Ruang bagian tengah diisi dengan pedagang-pedagang souvenir dan benda-benda filateli.

Pengelolaan bangunan tua Central Post Office menjadi tempat yang menarik wisatawan asing sebetulnya bisa menjadi contoh bagi Jakarta. Saat itu aku ingat akan kantor pos filateli Jakarta yang menjadi bangunan tua yang dingin, sepi  dan gelap sehingga tidak mengundang siapapun untuk datang.

Sebetulnya tidak jauh dari Central Post Office ada gedung Reunification Palace dan War Remnant Museum, tapi kami tidak ingin mengunjunginya lagi. Jadi kami berjalan lagi ke Zoo and Botanical Garden. Ternyata letaknya lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Bonbin ini jauh dari ideal. Areanya tidak terlalu besar dan bagian belakang berbatasan langsung dengan keriuhan lalu lintas. Tidak banyak binatang yang menghuninya. Kalaupun ada, tampak tidak sehat fisik dan mental. Banyak binatang yang jumlahnya hanya satu. Taman ini lebih berfungsi sebagai taman kota.

Dari bonbin, kaki kami sudah terasa pegal, karena itu kami naik taksi untuk kembali ke Pham Ngu Lao, tempat kami menginap. 

Setelah makan siang, kami tidur di hotel. Sorenya kami melanjutkan wisata jalan kaki ke Ben Thanh Market untuk mencari oleh-oleh. Selain dapat oleh-oleh, kami juga makan sawo sebesar buah mangga simanalagi dan …. duren! Duren merupakan buah yang kami idam-idamkan sejak di Kamboja. Di Kamboja kami sering melihat penjual duren, tetapi tidak pernah ada penjual yang terlihat menjualnya untuk dimakan langsung. Akhirnya di Ben Thanh kesampaian juga. Di pasar ini lagi-lagi kami berjumpa dengan pedagang yang dapat berbahasa Indonesia!

Setelah puas berkeliling pasar, kami kembali ke hotel melewati trotoar di taman kota. Tiba-tiba ada sebuah motor ngebut di trotoar dari arah depan. Refleks pertama adalah bergerak ke pinggir agar tidak terserempet. Sebuah tangan menarik tali tas selempangku sampai putus. Aku tidak sempat menariknya. Lenyaplah tasku! Inilah anti klimaks wisata jalan kaki di kota Ho Chi Minh.

Catatan buat pembaca blog ini yang akan berjalan-jalan ke HCMC : Trotoar di taman kota cukup lebar untuk berjalan, tapi juga cukup lega buat motor untuk lewat dan ngebut. Untuk menghindari jambret, lebih baik berjalan di tengah taman atau di trotoar di seberangnya yang banyak dipenuhi pedagang kaki lima. Jangan lupa tetap waspada, karena bisa saja ada jambret tanpa motor dan lari setelah menjambret.


HO CHI MINH CITY, KAMI DATANG LAGI !


Melinda

Jam setengah delapan malam kami mendarat di bandar udara Tan Son Nhat, Ho Chi Minh City. Semua berjalan lancar. Kami merasa disambut dengan baik begitu memasuki gedung bandar udara. Tidak perlu mengisi kartu imigrasi. Loket imigrasi jumlahnya sangat banyak, apalagi jika dibandingkan dengan bandar udara Soekarno Hatta. Petugas imigrasi tidak berbelit, Toilet yang bersih. 

Di luar bandar udara. Berbekal pengalaman 3 tahun yang lalu, kami lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi supir taksi. Menurut teman-teman di milis Indonesia backpacker, taksi yang direkomendasikan adalah Vinasun dan Mailinh karena menggunakan argometer. Kemudaian harus waspada karena banyak taksi dengan nama yang mirip-mirip, misalnya vina Taxi. Biaya sekitar 150 hingga 200 ribu Dong untuk mencapai Pham Ngu Lao.Dengan informasi-informasi ini, kami segera menolak sopir-sopir yang menawarkan taksinya di luar rambu-rambu di atas. Mata kami terus mencari tulisan Vinasun dan Mailinh di badan taksi-taksi yang diparkir. 

Tiba-tiba ada seorang perempuan dengan pakaian khas Vietnam sedang mengatur penumpang menaiki taksi. Gayanya mirip petugas Blue Bird Taxi di Jakarta.Rupanya dia adalah petugas Saigon Airport Corporation. Kami memilih naik taksi ini setelah mengetahui biaya sampai Pham Ngu Lao 160 ribu Dong. Dich vu Taxi, Tidak ada di dalam daftas taksi yang direkomendasikan teman-teman…hehehe….

Dalam perjalanan, kami tidak merasa asing. Beberapa sepeda dan motor dalam jumlah sangat besar memenuhi bagian depan jalan yang sedang menunggu lampu merah, Mobil-mobil ngebut dan ogah menginjak rem meramaikan jalan-jalan di kota ini, Ada sedikit perbedaan dibanding 3 tahun lalu. Kami melihat banyak perempuan bercelana pendek dan berpotongan rambut sebahu menaiki motor. 3 tahun yang lalu, penampilan perempuan lebih tradisional : berambut panjang diikat seperti buntut kuda dan berpakaian tertutup. 

Di sepanjang jalan banyak kedai-kedai dengan kursi-kursi kecil dan meja makan digelar di depan kedai, berikut tempat sampah yang tersedia di bawah tiap meja. Di beberapa tempat kami jumpai gerobak penjual hamburger ala Vietnam yang menggunakan roti panjang berkulit keras. 

Kami juga melewati Reunification Palace dengan lapangan luas di depannya tempat kami menghabiskan hari terakhir di Vietnam kami 3 tahun yang lalu. Banyak pasangan yang berpelukan di taman.

Sampai di Pham Ngu Lao, kami turun dari taksi. Supir hanya mengembalikan 20 ribu Dong ketika kami membayar 200 ribu Dong. (Menurut argometer, sebetulnya kami hanya harus membayar 120 ribu Dong). Yaahhhh…. ini tidak kami anggap penipuan, karena masih dalam batas wajar. 

Setelah meletakkan barang bawaan di hotel (hotel ini pernah kami pakai juga 3 tahun yang lalu), kami makannnnnn…..PHO!... makanan favorit kami di sini! Lagi-lagi kami terpesona dengan rasanya, Rasa kaldu daging yang bercampur dengan berbagai aroma daun-daunan segar yang dicemplungkan ke dalam kaldu panas. Daun-daunan yang tidak kami tahu namanya. Salah satunya adalah daun seukuran daun kemangi dengan tepi bergerigi, batang daun agak keras berwarna merah coklat dan berbau seperti minyak telon. Mirip daun pakpahan yang biasa dilalap di Indonesia. Kemudian ada lagi daun panjang berbau khas, taoge dan daun bawang. 

Malam ini rasa kangen kami dengan suasana kota Ho Chi Minh City cukup terpuaskan. 

Saigon, di mata pengelana yang datang untuk pertama kalinya

Libur sekolah tiba! Setelah direncanakan 8 bulan sebelumnya, kami berangkat dari Jakarta menuju Ho Chi Minh (Saigon) dengan Lion air dengan harga yang murah. Untuk berangkat cuma 600 ribu + pajak, jadi sekitar 1,5 jt. Pulangnya nanti sedikit lebih mahal, tapi bisa dibilang murah juga. Total untuk pulang pergi ber3 tidak sampai 10 juta. Kalo tidak ada penerbangan murah ini, rasanya kami tidak mungkin berlibur ke Vietnam. Kami transit di Singapura. Penerbangan ke Singapura tanpa makan, tapi dari Singapura ke Saigon dapat makan. Padahal, harga tiket Singapura - Saigon 0,-. + pajak 400 rb.


Sampai di Saigon, kami masih belum terbiasa dengan mata uang Dong, jadi sempat tertipu oleh supir taksi. Dia menawarkan taksi sampai ke hotel seharga 900.000 dong. Itu sama dengan 540.000 rp! Aje gile.... tapi justru itu jadi pelajaran untuk perjalanan selanjutnya. Sepanjang jalan kami mengutuk supir taksi itu jadi kebo, dalam bahasa ibu tentunya. Menurut teman, seorang Indonesia, yang 10 tahun lalu pernah tinggal ke Vietnam, orang Vietnam paling takut kalo dikutuk jadi kebo. Setelah itu, setiap kali kami ketemu kebo di jalan, kami mengingat supir taksi itu, dan berolok-olok, "Itu dia supir taksi bandara yang menipu kita!"

Siang di Saigon, kami makan pho, makanan khas Vietnam. Pho adalah mi yang terbuat dari tepung beras. Pho direbus, diberi daging dan daun-daunan beraroma seperti daun bawang, mint, kemangi, daun ketumbar, daun yang baunya seperti minyak telon, ditambah bawang bombay dan kecap ikan. Aromanya menggoda dan rasanya juga enak.

Sorenya, kami jalan-jalan ke pasar malam. (Kusebut sore, meskipun sudah jam 6, sebab saat itu matahari masih ada, tenggelam menjelang jam 7). Masih ada kegiatan pasar tradisional, sebagian mulai bersiap-siap untuk tutup. Di pasar ada banyak penjual buah-buahan yang sering dijumpai di Indonesia dengan ukurannya berbeda. Lengkeng, sawo di sini besar-besar, tapi nanas kecil-kecil. Sedikit dibesar-besarkan, sawo dan nanas di sini ukurannya sama.

Setelah gelap, di bagian luar pasar tradisional mulai ramai dengan kegiatan pasar malam. Ada banyak warung tenda seafood. Kami makan bekicot rebus, karena masih kenyang pho tadi siang. Ada lagi yang kami makan : hot dog ala vietnam yang terbuat dari roti keras seperti pentungan (roti asal Perancis) yang dibelah dan diisi daging, daun-daunan seperti yang terdapat pada pho, diberi saus ikan dan pasta daging. Belakangan, kami ketahui makanan ini bernama Bahn Mi. Rasanya enak. Haha... setelah beberapa hari di Vietnam nantinya, kami merasa semua makanan Vietnam enak!

Ada yang khas di Saigon, yaitu lalu lintasnya yang dipenuhi oleh motor. Jumlahnya banyak sekali, dan jumlahnya meningkat pada saat pulang kerja. Duapertiga jalanan dipenuhi oleh motor. Keliatannya, seperti di Tangerang, motor merupakan raja jalanan. Peraturan lalu lintas tidak terlalu dipatuhi. Semrawut! Selain motor, yang khas di Saigon adalah taman kotanya. Meskipun penuh bangunan dan kendaraan bermotor, taman kota juga banyak. Beda dengan jakarta, yang makin lama jumlah taman kota apalagi hutan kotanya makin sedikit.

23 Juni 2008
Melinda

Jadi "backpacker tourist", siapa takut?

Untuk berlibur ke Vietnam tahun ini kami bermodalkan buku terbitan Lonely Planet. Ini bukan perjalanan pertama kami ke tempat yang belum kami kenal dengan mengandalkan buku. Belasan tahun yang lalu, kami pernah berlibur ke Tana Toraja bermodalkan buku terbitan Periplus. Tidak lama setelah itu, ketika kami masih berjumlah dua setengah (karena salah satu dari kami masih di dalam kandungan), kami ke Ujung Kulon dengan bermodalkan buku, juga terbitan Periplus. Kemudian beberapa tahun yang lalu kami ke Bali, lagi-lagi dengan Periplus. Buku Periplus juga yang menolong kami berlibur ke Yogya.

Buku-buku terbitan Lonely Planet dan Periplus berisi petunjuk yang cukup lengkap tentang tempat-tempat wisata di berbagai tempat di seluruh dunia. Petunjuk yang betul-betul lengkap, mulai dari akomodasi, makanan,tempat-tempat wisata. Keterangan di dalamnya begitu rinci, hingga ke harga (termasuk harga kamar hotel dari berbagai macam kelas serta fasilitasnya) dan tips-tips praktis.

Menjadi backpacker tourist adalah pilihan kami. Banyak hal yang tidak mungkin dijumpai bila kami mengikuti paket wisata yang dijual oleh agen-agen travel di Indonesia. Sekali mengikuti paket wisata ke Malaysia bersama salah satu agen travel, cukup bagi kami untuk tidak memilih wisata jenis ini untuk selanjutnya. Wisata dengan menginap di hotel berbintang, kunjungan ke mall dan pusat belanja lain, rekreasi di tempat-tempat artificial, makan makanan yang bukan khas tempat tersebut, jadwal yang ketat, bagasi yang dipenuhi koper-koper berisi belanjaan... pokoknya yang serba "wah!" namun tanpa tantangan. Wisata jenis ini tidak cocok dengan selera kami.

Pilihan menjadi backpacker tourist membebaskan kami untuk memilih rute perjalanan kami sesuai dengan yang kami inginkan. Ketika kami ingin lebih lama di suatu tempat, kami bebas untuk memutuskan tetap tinggal tanpa harus memikirkan peserta wisata yang lain. Tidak ada yang memaksa kami untuk mengunjungi tempat yang tidak kami minati atau sebaliknya, melarang kami untuk mengunjungi tempat yang kami minati.

Pilihan menjadi backpacker tourist membebaskan kami untuk mencicipi makanan khas tempat yang kami singgahi. Kami adalah pemakan segala dan tidak ragu untuk mencoba makanan yang baru. Karena itu acara makan menjadi suatu acara yang berkesan bagi kami. Karena tidak ada ikatan bisnis dengan rumah makan manapun, kami tidak perlu menderita kelaparan akibat rumah makan masih jauh. Kami dapat makan kapanpun kami merasa lapar atau tertarik pada jenis makanan tertentu.

Pilihan menjadi backpacker tourist memberi kesempatan kepada kami untuk berkenalan dengan berbagai bangsa di seluruh dunia. Mulai dari Norwegia hingga Perancis, dari Inggris hingga Rumania, dari Canada hingga Argentina, dari Korea hingga Singapura, dari Israel hingga Jepang. Herannya, saat kami berada di Vietnam, kami belum pernah bertemu dengan bangsa sendiri. Sesama backpacker tourist di Vietnam pernah mengatakan, hanya orang Indonesia dan Malaysia yang berwisata sekeluarga. Memang tidak sedikit backpacker tourist yang berwisata sendiri, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu ada juga rombongan yang terdiri dari beberapa orang muda. Hanya kami yang berwisata sekeluarga, selain tentu saja orang Vietnam sendiri.

Pertemuan kami dengan berbagai bangsa membuat kami melihat perbedaan sebagai sesuatu yang indah. Tidak ada rasa minder ketika kami bertemu dengan orang yang berasal dari negara adikuasa. Tidak ada rasa ngeri (seperti yang dialami jika kami berada di Indonesia) ketika kami mendengar orang Vietnam menyebut dirinya komunis dan ditanggapi oleh si Rumania, "I'm communist too." Penyebutan kebangsaan di antara kami lebih bermakna sebagai sapaan bersahabat daripada tembok pembatas. Bahkan tidak jarang, kami menjumpai sesama backpacker tourist memegang buku yang sama sebagai panduan wisata. Sangat jarang kami saling mengetahui nama, namun kami bersama-sama menikmati wisata kami dan tidak jarang saling bertukar informasi tentang tempat wisata yang telah dikunjungi.

Hal lain yang menjadi ciri khas backpacker tourist adalah bawaan. Tentu saja, sesuai namanya bawaan kami dimuat dalam backpack. Sengaja kami membawa baju-baju yang sudah tidak bagus lagi, supaya setelah kotor kami tidak perlu membawanya kembali ketika pulang. Tidak jarang kami memakai lagi pakaian yang sudah dipakai sehari sebelumnya. Baunya.... hahaha.... tidak beda jauh dengan backpacker lain. Jadi kami tidak terlalu banyak membawa baju. Ketika berangkat kami membawa 3 ransel, demikian juga ketika pulang. Bedanya, waktu pulang ransel diisi dengan oleh-oleh. Oleh-olehpun sebisa mungkin tidak terlalu memakan tempat, supaya sampai di Indonesiapun kami tetap backpacker.

Masih banyak pengalaman-pengalaman menarik yang kami alami karena pilihan kami sebagai backpacker tourist. Inilah yang membuat kami yakin, menjadi backpacker tourist adalah pilihan yang terbaik bagi kami.

Melinda

Delta Sungai Mekong, salah satu contoh keunggulan Vietnam menjual wisata

3 Juli 2008

Hari ini kami ikut tour ke Delta Sungai Mekong, salah satu delta sungai terbesar di dunia. Sebetulnya lebih tepat disebut delta-delta, karena jumlahnya banyak.

Lebar muara sungai Mekong 2 km. di muara sungai Mekong terdapat banyak delta yang cukup besar sehingga bisa dihuni membentuk perkampungan, juga perkebunan. Dengan biaya $9, kami dibawa untuk merasakan sensasi menaiki perahu,




sampan, delman,

berhenti di tempat yang menyajikan aneka buah yang ditanam di delta, menyaksikan kesenian setempat, bersentuhan dengan ular phyton (cuma diriku diantara kami bertiga yang agak berani dipeluk ular, meski sambil teriak-teriak ketakutan. hehehe...),



makan siang dan mengunjugi pabrik pembuatan permen dari kelapa.

Dari pengalaman 11 hari berwisata di Vietnam, kami melihat Vietnam memang siap menjual pariwisata. Tempat-tempat wisata mudah dijangkau karena ada banyak agen travel yang menjualnya. Bukan hanya turis luar negeri, orang Vietnam sendiri juga menggunakan agen yang sama. Ada koordinasi yang bagus dalam pengaturan turis-turis. Misalnya wisata ke Mekong ini. Ada beberapa jenis wisata Mekong yang ditawarkan, mulai dari wisata 1 hari, 2 hari, 3 hari sampai yang menyeberangi Kamboja atau Thailand, berikut pengurusan visanya. Pengaturan sedemikian rupa baiknya, sehingga dalam 1 minibus kami bisa bertemu dengan turis dengan program yang berbeda tanpa merasa terganggu satu sama lain. Contoh lain yang memperlihatkan kesiapan Vietnam dalam menjual pariwisata adalah pengalaman di salah satu delta yang menyajikan pertunjukan kesenian. Sedemikian teraturnya, meskipun ada beberapa rombongan turis, pertunjukan bisa disaksian bergiliran tanpa turis merasakan telah melakukan antre sebelumnya.

Belum lagi kendaraan-kendaraan untuk membawa turis. Selain bis yang bagus, turis bisa juga menggunakan kereta api atau pesawat terbang.

Kemudian, tempat-tempat wisata yang ditawarkan. Hampir semua tempat wisata merupakan barang baru, artinya kalaupun merupakan peninggalan sejarah, bukan merupakan peninggalan berabad-abad. Cu Chi Tunnel, misalnya, usianya belum setengah abad,. Atau kuburan-kuburan raja Nguyen usianya belum mencapai 2 abad. Tapi bisa menjadi tempat wisata yang menarik.

Satu hal lagi yang menarik, kami nyaris tidak pernah melihat tumpukan sampah yang tidak pada tempatnya. Jalan-jalan bersih, begitu juga pasar. Di bawah setiap meja makan restoran disediakan tempat sampah, jadi tidak ada alasan untuk membuang sampah sembarangan. Dan.... anehnya, meskipun lalu lintas ramai, terutama di Saigon, udara terasa bersih. Upil bisa jadi indikator kebersihan udara kan? Selama di vietnam, nyaris hidung kami bersih. Begitu juga dengan rambut yang tidak perlu dikeramas tiap hari seperti di Tangerang. Dan kami tidak takut-takut mencoba kebiasaan orang Vietnam yang makan sambil duduk di kaki lima di pinggir jalan yang cukup ramai lalu lintasnya.





Melinda

War remnant museum dan reunification palace di Saigon

4 Juli 2008


Hari ini adalah hari terakhir kami di Vietnam. Masih ada beberapa jam sebelum check in di bandara. Jadi setelah check out dari hotel jam 7 pagi, kami mengunjungi war remnant museum dan reunification palace di dalam kota Saigon, sambil membawa ransel-ransel kami. Di War Remnant Museum kami melihat foto-foto jaman perang Vietnam Selatan dan Utara, kendaraan-kendaraan perang, senjata, bom. Yang paling menarik adalah bangunan penjara. Entah bekas bangunan penjara sebenarnya atau bukan, tapi bangunan itu menunjukkan jahatnya perang. Ada beberapa sel yang berisi "tahanan perang" dengan wajah yang membuat hati kami ngilu.


Di Museum kami mendapat kabar Mama terserang stroke. Hal ini membuat kami tidak nyaman lagi dan ingin waktu segera berlalu.

Reunification palace terletak tidak jauh dari museum. Gedung ini masih digunakan sebagai kantor. Letaknya di sebuah taman yang besar. Meskipun dekat dari museum, tapi karena kami tidak tahu letak pintu masuknya, kami mengelilingi 3/4 taman untuk mencapai pintu gerbang masuk ke palace. Lumayan lelah, karena kami berjalan sambil menggendong ransel. Istana ini mirip-mirip dengan gedung asia-afrika di Bandung, hanya jauh lebih besar. Mirip dalam hal kandungan sejarahnya. Gedung terdiri dari 4 lantai, masing-masing lantai mempunyai beberapa ruang bersejarah, mulai dari ruang rapat, ruang nonton film, kamar, ruang judi.... Entah karena bawaan perasaan hati yang sudah tidak karuan atau memang tempat ini tidak menarik.... rasanya tidak ada kesan yang mendalam bagi kunjungan ke gedung ini.

Liburan kami berakhir di pinggir taman tidak jauh dari reunification palace, sambil makan Bahn Bao (bapao) yang kami beli di depan hotel tadi pagi. Rasanya sedikit berbeda dengan yang ada di Jakarta, karena ada daun basil dan daun-daun lain yang biasanya ada di Bahn Mi. Enak. Liburan yang sangat berkesan. Rasanya 11 hari belum cukup, karena masih banyak tempat-tempat menarik yang belum kami kunjungi. Mudah-mudahan ada lain kali......


Melinda

Wisata dengan bis antara Hue - Saigon


1 Juli 2008

Hari ini kami berangkat ke Saigon naik bis. Rute pertama ditempuh dengan bis biasa selama 4 jam dari Hue ke Hoi An. Pemandangan sepanjang jalan bagus. Kami melewati pantai, danau dan terowongan sepanjang 6,3 km yang menembus gunung. Di Hoi An kami berhenti 5,5 jam, kami memanfaatkannya dengan mengelilingi kota tua di Hoi An.

Kota ini banyak dipengaruhi budaya Cina, terlihat dari bangunan-bangunanny a. (Menurut buku Lonely Planet, bukan hanya Cina, tapi juga Jepang dan Eropa) Kota ini terletak di pinggir laut, bentuk jalan-jalan di kota tua mirip di Kuta, tapi jauh lebih sepi.

Beberapa hari yang lalu kami menyaksikan di TV siaran langsung pesta miss universe yang diadakan di kota ini. (Ada putri dari Indonesia lho! Yang menarik, mereka terus mengipas-ngipas karena panasnya, dan harus tetap cantik! Ada juga sih yang mukanya jadi ga karuan karena keringat) Kami melihat jembatan yang menjadi panggung tempat putri-putri seluruh dunia melepas lilin di dalam bunga teratai dari kertas ke sungai. Panggung sudah mulai dibongkar.


Hari-hari terakhir rasanya seperti diburu-buru, wisata yang kami lakukan hanya untuk mengisi waktu yang ada sebelum bis berangkat. Tapi kami menikmati suasana kota yang berbeda dibanding kota-kota lain yang sudah kami kunjungi beberapa hari yang lalu. Ada jembatan buatan Jepang di kota tua ini, tapi kami tidak berhasil menemukannya. Sepertinya agak jauh.
 
Setelah mengelilingi kota tua, masih ada waktu 2 jam sebelum bis berangkat. Kebetulan ada warnet, 1 jam kami pakai untuk buka yahoomail... waw! sudah ratusan email belum dibuka.

Sebelum naik bis lagi, kami sikat gigi, cuci muka dan tangan di kantor agen bus. Lumayan, terasa lebih segar, meskipun tidak mandi. Setelah itu, sejak jam 6 sore itu, kami terus berada di dalam
sleeper bus selama 25 jam. Berhenti cuma untuk ganti bis di Nha Trang besok paginya dan makan siang . Sebelum berangkat, kami sempat makan Bahn Mi, hotdog ala Vietnam yang kami makan di Saigon beberapa hari yang lalu. Isi Bahn Mi ternyata bervariasi, baik bentuk olahan babinya, pastanya maupun isi lainnya. Itu makan terakhir kami sebelum makan siang jam 13.30 esok harinya yang juga kurang berbobot, hanya noodle soup.

Sebetulnya, menurut jadwal, di Nha Trang ada waktu 2 jam sebelum pindah ke bis lain. Tapi bis pertama sempat berhenti
untuk ganti ban dan terhambat macet karena kecelakaan. Jadi kami tiba di Nha Trang terlambat 3 jam. Nha Trang adalah sebuah kota pantai juga. dan kelihatannya paling modern dibanding tempat lainnya di Vietnam. Banyak hotel berbintang di Nha Trang. Mungkin karena itulah kota ini dipakai sebagai tempat penyelenggaraan pemilihan Miss Universe. Sayang, kami cuma bisa lewat saja. Sekali lagi ... mudah-mudahan nanti ada kesempatan lagi untuk ke sini.

Kami tiba di Saigon jam 7 malam. Rasanya lega sekali bisa keluar dari bis ini dan bisa hidup normal lagi. Selama di bis, sebisa mungkin kami minum tidak banyak, supaya tidak usah keluar untuk buang air. Hal ini disebabkan karena posisi kami di bis tidak enak, di deretan paling belakang, tingkat atas. Jadi harus sedikit berakrobat untuk naik dan turun. Begitu sampai Saigon, masuk hotel, langsung minum sepuasnya, makan, mandi..... segar bener.....

Melinda

Hue, kota kuburan

30 Juni 2008

Kami mencapai Hue pagi hari dengan sleeper bus. Buat kami, ini merupakan pengalaman baru. Bis ini terdiri dari 3 baris tempat tidur bersusun 2, khusus bagian belakang terdiri dari 5 tempat tidur berjejer, juga bersusun 2. Bis ini memang dibuat untuk mengangkut penumpang yang ingin tidur di perjalanan. Tempat tidur cukup panjang dan lebar untuk tidur 1 orang, meskipun sulit untuk bergerak. Setidaknya lebih nyaman dibanding bis biasa, yang tidak memungkinkan orang untuk berbaring.


Di Vietnam ada yang disebut "open tour bus" dari Saigon ke Hanoi dan sebaliknya serta berhenti di beberapa kota di antara kedua kota tersebut. Penumpang dapat turun di kota mana saja untuk singgah beberapa jam atau beberapa malam di kota yang dilewati bis ini, dan melanjutkan ke kota lain. Kalau kita membeli tiket open tour bus, harganya jauh lebih murah dibanding kalau tiket tersendiri untuk setiap rute. Ada dua jenis bis yang tersedia, yaitu bis biasa dan bis "sleeper" .

Kami tiba di Hue jam 8 pagi. Tanpa sempat mandi, kami langsung mengikuti city tour. Kami dijemput di hotel dengan sebuah mobil minibus. Kami kehilangan satu tempat tujuan wisata, mungkin 2, karena kesalahan informasi. Info yang kami dapat, bis akan tiba di Hue jam 6 pagi. Kami telah membeli tiket Hue city tour di Hanoi dengan asumsi kami tiba di Hue jam 6 pagi dan langsung mengikuti tour.



Sepertinya Hue adalah tempat tinggal Ho Chi Minh, karena kami melihat ada sekolah, rumah dan monumennya. Di Hue ada 13 kuburan raja dinasti Nguyen, kami mengunjungi 3 kuburan di antaranya. Kuburannya bagus-bagus, areanya luas dan bangunannya seperti istana.
Salah satunya berada di tepi danau, ditambah taman-taman di sekeliling bangunan membuat pemandangan di sekitar kuburan menjadi bagus. Tempat lainnya yang kami kunjungi adalah rumah tua dengan latar belakang budaya Cina.
Terakhir, kami mengunjungi pagoda yang letaknya di pinggir Perfume River. Disebut perfume river karena di tepi sungai tumbuh tanaman perdu yang wangi.

City tour diakhiri dengan menaiki perahu besar menyusuri Perfume River yang cukup lebar.
Sebetulnya dekat Hue ada tempat menarik, yaitu Demiliterization Zone (DMZ). Hue dulunya merupakan kota perbatasan antara Vietnam Utara dan Selatan. Sayang, kami tidak punya waktu untuk mengunjungi DMZ karena dikejar waktu yang tinggal sedikit lagi. Kami harus tiba di Saigon tanggal 2, supaya bisa kembali ke Jakarta tanggal 4. Kami tinggal di Hue hanya 1 hari, 1 malam. Kalau ada lain kali, Hue pasti akan kami kunjungi lagi.

Ha Long, tempat naga kecebur

27-29 Juni 2008



Ha Long adalah sebuah pantai di teluk Tonkin, kira- kira 4 jam perjalanan dengan bis dari Hanoi. Ada beberapa jenis tour yang ditawarkan di Hanoi untuk tujuan Ha Long, mulai dari tidur di kapal sampai bermalam di pulau Cat Ba dengan macam-macam pilihan wisata. Kami memilih malam pertama tidur di kapal dan malam kedua di Cat Ba.


 Dari kota Ha Long, kelihatan puluhan pulau kecil berbentuk bukit cadas. (Ternyata, buku Lonely Planet menyebutkan ada 3000-an pulau!). Pemandangannya baguuuus sekali! Kata orang yang pernah ke China, seperti di Quilin. Ada yang bilang, lebih bagus daripada Quilin. Dalam bahasa Vietnam, Ha Long berarti tempat naga kecebur. Yang terlihat di permukaan laut adalah duri-duri bagian ekor naga.

Wisata di Ha Long Bay dimulai ketika kami memasuki kapal dan menikmati sajian makan siang ala keluarga Vietnam. Makanan terdiri dari nasi dan beberapa lauk pauk. Sayangnya perkakas makan kami berupa piring, garpu dan pisau. Karena kami dianggap kaum barat, tidak bisa pakai sumpit. Bersama kami ada rombongan yang terdiri 2 keluarga Vietnam, mereka makan dengan mangkok dan sumpit. Karena lapar dan semangat dengan makanan yang disajikan, kami makan sampai tidak memperhatikan pemandangan di laut yang bagus sekali.

Begitu selesai makan, tau-tau kami sudah sampai di pinggir Luon Cave, salah satu pulau yang mempunyai gua stalalgtit-stalagmit. Gua dihiasi lampu warna-warni yang membuat keindahan ukiran alam terlihat jelas. Betul-betul menakjubkan!



Kami juga berhenti di dekat sebuah pulau atol, kemudian naik perahu kecil untuk memasuki perariran di dalam atol melalui gerbang alam terbuat dari karang. Di perairan dalam atol tersebut, kami berenang. Suatu pengalaman yang tidak terlupakan karena selain menyenangkan, juga menyisakan luka-luka baret di tapak kaki karena menginjak benda-benda tajam di dasar laut. 



Sore hari, kapal berhenti di tengah laut. Di sekitar kapal, kami berenang dan main kayak. Seru! Setelah itu kapal berhenti beberapa ratus meter dari pulau Cat Ba. Kami bermalam di kapal. Sayang, malam itu hujan turun. Jadi kami tidak dapat menikmati pemandangan langit.

Kegiatan out-bond bukan pilihan satu-satunya. Bila tidak tertarik dengan air laut, kapal tempat kami menginap memiliki tempat berjemur di bagian atas. Tempat berjemur bagi segala macam : kulit, baju renang, handuk, sepatu, ransel dan baju dalam. Di sini kami dapat menikmati pemandangan laut lepas yang tenang, indah dan udara yang segar.

Besok paginya, kami mendarat di Cat Ba. Wisata pertama adalah berjalan di Taman Nasional. Kami berjalan selama 3 jam mendaki bukit yang tingginya 300 meter di atas permukaan laut. Sepertinya mudah, tapi ternyata perjalanan ini sangat berat buatku, terutama saat mendaki. Bernafas terasa sulit sekali, betis terasa sakit. Begitulah, kalau tidak pernah olah raga, tiba-tiba melakukan kegiatan fisik berat. Berbeda dengan Aurima yang betul-betul menikmati treking ini.

Kami merasa beruntung karena cuaca cukup bersahabat pada kami. Pengalaman 2 teman asal Singapura yang kemarin bersama-sama tour ke Perfume Pagoda, tidak sebaik kami. Mereka berada di Ha Long sehari sebelumnya dan merasakan panas yang menyengat.


Setelah makan siang, kami main kayak. Semula tujuannya adalah mencapai pulau kera yang letaknya 500an meter dari pantai. Tapi kami tidak berhasil mencapai pulau tersebut, karena rasanya tenaga tidak cukup. Ternyata mendayung kayak itu melelahkan, apalagi energi udah banyak terserap waktu treking tadi pagi.

Malam itu kami menginap di Cat Ba.

Besok paginya kami kembali naik kapal ke Ha Long. Di tengah laut, kapal berhenti 30 menit memberi kesempatan penumpang untuk berenang. Tapi kami tidak berenang karena sudah lelah. Sepanjang jalan kami sekali lagi menyaksikan keindahan alam yang rasanya berubah terus setiap meter kami bergerak.







Vietnam memang tempat yang nyaman bagi backpacker, banyak fasilitas yang mempermudah di antaranya adalah fasilitas kamar mandi dan penitipan barang di travel agent. Sebelum kami pergi ke Ha Long, kami menitipkan sebagian barang-barang kami di kantor travel agent, jadi kami tidak perlu membawa terlalu banyak barang. Sekembalinya dari Ha Long, kami bisa mandi di kantor yang sama dan tanpa perlu menginap lagi, dapat melanjutkan perjalanan ke Hue (arah selatan) dengan sleeper bus selama 12 jam.



Melinda

Parfume Pagoda, wangi karena dupa

26 Mei 2008

Hari ini kami pergi ke Parfume Pagoda. Kami ikut tour yang banyak ditawarkan agen-agen travel di hotel dan sekitar hotel. Rombongan terdiri dari 12 orang dan 1 bayi dari berbagai bangsa. Kami berangkat naik mobil kira-kira 2 jam perjalanan arah selatan kota Hanoi hingga mencapai suatu desa. Desa ini merupakan terminal perahu.



Letak Pagoda di dalam gua stalagtit dan stalagmit. Untuk mencapainya kami menggunakan perahu dari logam, bukan kayu yang didayung oleh 1 orang perempuan. (Perempuan di sini selalu berambut panjang). Tidak selalu perempuan sih, ada juga yang laki2, tapi aku salut dengan perempuan pedayung. Badannya kecil dan kurus tapi tenaganya besar. Hasil tempaan jaman geriya kali ya? Perahu digunakan untuk menyusuri sungai yang punya pemandangan bagus sekali berupa bukit-bukit yang tidak pernah kujumpai di Indonesia.

Setelah sampai di area gua, kami turun dari kapal dan berjalan mendaki bukit untuk mencapai terminal cable car. Cable car ini melewati 3 bukit sebelum mencapai gua. Perjalanan ini juga bisa ditempuh dengan berjalan kaki, kami menggunakannya waktu kembali dari gua.

Gua yang kami liat tidak beda dengan gua2 stalagmit- stalagtit yang ada di Indonesia umumnya. Istimewanya, gua ini dipakai sebagai tempat ibadah. Jadi ada altar dan lain-lain. Bau dupa yang dibakar membuat gua ini menjadi harum, karena itu disebut perfume pagoda.

Perjalanan yang menarik. Yang bikin tidak nyaman adalah udara yang panas. Heran, kalau di Indonesia, di daerah yang banyak pohon dan bukit hijau biasanya terasa adem. Di sini panas banget, karena lagi musim panas. Apa iya, di daerah subtropis, kalo musim panas, di dataran tinggi juga panas? 


Melinda

Hoan Kiem Lake, tempat ngadem saat musim panas di Hanoi

25 Juni 2008

Hari ini kami meninggalkan Saigon menuju Hanoi dengan pesawat terbang selama 1 jam 40 menit.. Kami berangkat pagi-pagi sebelum hotel menyediakan sarapan. Sesampainya di Hanoi, berbekal pengalaman dikerjai supir taxi di Saigon dua hari yang lalu, kami naik bis umum dengan tarif yang sangat murah. Lebih murah daripada tarif angkot di Tangerang. Bis umum cukup nyaman bagi kami, meskipun supir maupun kenek tidak mengerti bahasa Inggris. Ber-AC, tidak berdesak-desakan, tidak ada polusi.

Kami tiba di Hanoi bertepatan dengan waktu makan siang, jadi setelah mendapat hotel, kami langsung makan siang, rice vermicelli. Beda dengan pho, rice vermicelli sama seperti bihun yang ada di Indonesia hanya diameternya lebih besar.


Hanoi memiliki beberapa danau. Danau yang terbesar adalah  Danau Hoan Kiem. Area di sekitar Hoan Kiem  merupakan tempat yang strategis bagi wisatawan, karena di sana banyak tempat penginapan, agen perjalanan wisata dan rumah makan. Dari tempat ini wisatawan dapat mengunjungi tempat-tempat menarik selain danau itu sendiri. Misalnya gedung teater,  musoleum Ho Chi Minh dan pasar.  Bagi kami, pasar merupakan salah satu tujuan wisata, bukan untuk belanja tapi untuk melihat kehidupan nyata daerah yang kami kunjungi.  Karena itu, kami memilih menginap di salah satu hotel tidak jauh dari Hoan Kiem.

Hoan Kiem adalah danau terbesar dan terlegendaris di Hanoi. Disebut legendaris karena danau ini diberi nama berdasarkan suatu legenda. Danau ini merupakan tempat raja Le Roi kehilangan pedang saktinya karena dirampas oleh kura-kura raksasa yang muncul dari danau ini untuk dikembalikan kepada pemilik sejatinya di surga. Hoan Kiem berarti danau tempat pedang dikembalikan.

Danau dikelilingi taman yang dipenuhi pohon-pohon rindang, patung-patung, tempat-tempat duduk dan jalur untuk berjalan kaki. Di tengah danau ada pulau kecil yang dihubungi oleh sebuah jembatan dari pinggir danau. Pemandangan di sana bagus sekali. Di pulau ini berdiri sebuah pagoda. Fosil kura-kura raksasa, yang menurut legenda, telah merampas pedang Raja juga dipajang di sana.
 

Setelah melihat pagoda di tengah danau dari dekat, kami mengejar pertunjukan menarik tidak jauh dari danau yang digelar pada sore hari. Dengan berjalan kaki 5 menit kami mencapai gedung teater untuk menyaksikan water puppet show, sebuah kesenian tradisional khas Vietnam bagian utara yang berasal dari tradisi petani yang biasa memainkannya di sawah setelah panen. Jadi boneka-boneka dimainkan di panggung yang berupa kolam air diiringi musik tradisional. Pertunjukan yang unik dan menarik. Meski tidak mengerti bahasa yang dipakai, gerakan-gerakan yang dipertunjukkan oleh boneka-boneka adalah bahasa universal yang dapat membuat penonton tertawa dan menikmati pertunjukan.




Setelah menonton, kami berjalan-jalan lagi di sekitar danau. Kalau tadi siang banyak anak-anak muda yang duduk-duduk di taman, sore ini taman dipenuhi oleh orang-orang tua "ngadem" sambil kipas-kipas. Bahkan ada yang bertelanjang dada. Taman di sekitar Danau Hoan Kiem memang nyaman untuk ngadem dan cuci mata. Banyak pepohonan rindang dan bangku-bangku dari semen yang didirikan di sekelilingnya membuat nyaman suasana sore yang panas dan tak berangin saat itu. 


Pemandangan di sekitar dan di tengah danau serta patung-patung sensual di sepanjang taman membuat mata menjadi segar.

Melinda