Tampilkan postingan dengan label Yogya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yogya. Tampilkan semua postingan

Ke Prambanan dengan transjogja

Candi Prambanan hampir selalu menjadi tempat tujuan wisata kami saat berada di Yogya, baik untuk berkeliling di area candi maupun untuk menyaksikan sendratari Ramayana. Selalu ada yang menarik dalam setiap kunjungan kami ke Candi Prambanan. Begitu pula saat aku, Aurima dan Febe, sepupunya berwisata ke Yogya di akhir bulan April yang lalau. Ada 2 hal yang menarik dan unik dalam kunjungan kami saat itu.



Pertama, kendaraan. Kami mencapai lokasi Candi Prambanan dengan bus Trans Jogja. Seperti Trans Jakarta, Trans Jogja memiliki halte khusus karena pintu bis yang letaknya tinggi. Bedanya, Trans Jogja tidak memiliki jalur khusus yang menyita badan jalan dan ukuran bisa tidak sebesar Trans Jakarta. Ada beberapa trayek Trans Jogja, di antaranya melalui Malioboro sehingga memudahkan wisatawan seperti kami untuk bepergian.

Dari Malioboro, tempat kami menginap ada trayek Trans Jogja langsung menuju terminal Prambanan. Kami berangkat pagi hari setelah lewat waktu orang berangkat bekerja, sehingga bis cukup longgar. Kami dapat duduk nyaman dan merasakan udara sejuk AC. Perjalanan hanya memakan waktu 30 menit. 

Di terminal Prambanan, begitu turun dari bis ada banyak tukang becak dan andong menawarkan angkutan sampai pintu loket Candi Prambanan. Aku langsung membandingkan suasana terminal Prambanan dengan suasana terminal bayangan di Tangerang yang dipenuhi tukang-tukang ojeg yang memperebutkan penumpang. Batinku, pasti mereka bohong dengan menyebutkan lokasi Candi masih 3 km lagi dengan tujuan membuat kami menggunakan jasa mereka. Jadi aku mengajak Aurima dan Febe berjalan terus tanpa mengacuhkan rayuan tukang becak dan andong. Sekitar 300 meter berjalan, ada tukang andong yang menyusul kami. Cuaca saat itu yang panas dan wajah memelas Aurima dan Febe meluluhkan hatiku untuk memercayai kata-kata tukang andong, jadi kuputuskan untuk menaiki andong. Untunglah …. ternyata memang benar, jarak antara terminal dengan lokasi candi memang jauh, meski tidak sampai 3 km. Naik andong membuat perjalanan kami menuju Candi Prambanan terasa nyaman.

Masih soal kendaraan. Sesampainya di loket Candi Prambanan, aku mendapat info bahwa ada tiket sambungan ke Isatana Ratu Boko berikut kendaraan yang mengantar dan menjemput. Harga yang harus dibayar hanya harga tiket masuk Istana Ratu Boko. Mumpung sudah sampai Yogya, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Sebetulnya ada juga bis wira-wiri dari Candi Prambanan ke Candi Sewu yang disediakan juga, tapi tidak kami manfaatkan saat itu. Trip ke Candi Boko kami ikuti setelah puas mengelilingi arena Candi Prambanan. Kendaraan yang mengantar kami ke Istana  Ratu Boko adalah sebuah minibus. Dari Istana, kami tidak kembali lagi ke Candi Prambanan, tapi langsung diantar ke Terminal Prambanan. Dari terminal, ada bus Trans Jogja langsung ke Malioboro. Inilah pengalaman pertamaku berwisata ke Prambanan dengan kendaraan umum yang murah meriah. Jauh lebih murah dibanding menggunakan jasa agen wisata yang banyak dijumpai di kota Yogyakarta.

Hal menarik kedua, tentu tentang Candi Prambanan dan Istana Ratu Boko itu sendiri.

Ada yang berbeda pada Candi Prambanan. Pada gempa tahun 2006, Candi Prambanan mengalami banyak kerusakan. Meski sudah direnovasi, masih banyak bekas-bekas kerusakan yang terlihat. Yang  
menonjol adalah pagar yang mengelilingi Candi Brahma, candi terbesar. Rupanya kerusakan yang menimpa candi ini cukup berat, sehingga dibuat larangan untuk memasukinya demi menjaga keutuhannya. Selain itu, adabagian puncak Candi Siwa yang masih tergeletak di bawah. Masih tampak batu-batu candi yang berserakan di sekitar kawasan ketiga candi besar, namun aku tidak dapat membedakan antara yang berserakan sejak sebelum gempa dan yang berserakan akibat gempa. Seberantakan apapun, di mataku Prambanan masih mempesona! Lihatlah foto di samping ini, Candi Siwa dengan latar belakan Gunung Merapi yang mengeluarkan asap. Tidak perlu foto-foto Prambanan dari sudut lain karena mudah menemukannya dengan googling. Dari sudut manapun, Prambanan selalu mempesona!


Berbeda dengan Prambanan yang lebih dahulu ditemukan sehingga sudah jelas bentuknya sebagai tampat penyembahan, Istana Ratu Boko yang relatif baru ditemukan masih tampak seperti lapangan luas dengan tumpukan dan serakan batu-batu tua. Sesuai dengan namanya, Istana Ratu Boko adalah tempat tinggal.


Dibandingkan 13 tahun yang lalu, bekas istana yang telah berhasil diungkap dan disusun ulang sudah jauh lebih luas. Ditambah dengan papan-papan petunjuk yang dipasang di tiap bangungan, kami dapat membayangkan luasnya istana itu pada jaman dahulu. Bangunan yang paling jelas adalah gerbang istana yang terdiri dari 2 gapura. Gapura bagian depan memiliki 3 pintu sedangkan yang di sebelah dalam memiliki 5 pintu. 


Di balik gerbang tampak tanah lapang yang luas  dengan latar belakang pemandangan yang indah. Di tempat ini kami melihat pasangan calon pengantin yang sedang membuat foto pra pernikahan.. Di sebelah kiri ada bangunan agak tinggi yang merupakan candi pembakaran. Saat kami mendekati candi pembakaran, ada bekas bangunan yang disebut candi putih. Agak jauh di belakang bangunan candi pembakaran, ada kolam. Di tengah merupakan tanah lapang yang luas. Sementara di sebelah kanan ada beberapa bangunan yang “lebih berbentuk”, yaitu 2 buah paseban tempat tamu menunggu, beberapa candi dan bangunan keputren. Pemandangan indah di sekitar istana dengan figur gunung Merapi di kejauhan serta udara yang sejuk membuat tempat ini sangat nyaman untuk menyepi sejenak dari keriuhan hidup setiap hari. 




Satu lagi nilai tambah Prambanan di mata kami…

Melinda

Gereja Ganjuran

Setiap hari Natal, gereja ini masuk TV. Setiap hari Natal, Indosiar menyiarkan missa Natal kedua dari tempat ini. Letaknya di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Tepatnya di Ganjuran. Nama gereja itu sebenarnya Gereja & Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, namun lebih dikenal sebagai Gereja Ganjuran. Aku tidak pernah menyaksikan siaran langsung missa Natal secara utuh, karena saatnya bertepatan dengan kebaktian Natal yang kuikuti. Dari tahun ke tahun, aku hanya kebagian menyaksikan ekaristi, termasuk di antaranya nyanyian Doa Bapa Kami dengan langgam Jawa. Keunikan lain yang sempat kusaksikan di TV adalah pakaian umat, yaitu pakaian tradisional Jawa. Keunikan inilah yang membuat kami menjadikan Gereja Ganjuran sebagai salah satu tujuan perjalanan kami ke Yogya bulan lalu.

Nampaknya gereja ini memang terkenal di Yogya. Mungkin bukan sebagai gereja, tapi sebagai tujuan wisata. Terbukti dari sikap Pak Tomo, pengemudi mobil sewaan kami yang langsung mengerti maksudku saat kusebutkan Gereja Ganjuran. Rupanya sebelum ini, beliau sudah pernah mengantar wisatawan ke tempat ini.


Gereja Ganjuran terletak di daerah pemukiman yang cukup padat, di tepi sebuah jalan sempit yang hanya bisa dilalui oleh 2 buah mobil. Begitu memasuki jalan sempit ini, sudah nampak keunikan gereja ini. Ada sebuah papan nama gereja terpampang di ujung jalan menghadap jalan besar. Terbuat dari batu bersusun yang mirip batu penyusun candi dengan ukuran yang cukup representatif.


Gereja ini mempunyai halaman yang luas dengan beberapa pohon rindang dan beberapa rumpun bambu yang membuat teduh. Suasana yang teduh dan tenang sangat mendukung bagi peziarah yang ingin beribadah. Setelah melewati pagar, di sebelah kanan tampak 2 buah bangunan pendopo yang berhadapan. Dinding di bawah atap yang berhadapan dihiasi oleh kaca patri bermotif dengan gambar simbol-simbol Katolik bernuansa Jawa. 
Di sebelah kiri terdapat bangunan joglo yang digunakan sebagai ruang ibadah. Di sebelah joglo, ada pendopo lain yang juga berfungsi sebagai ruang ibadah. Menurut beberapa tulisan hasil googling, pendopo ini digunakan untuk ibadah harian. Sedangkan joglo digunakan untuk ibadah pada hari Minggu.

 




Ada bangunan unik terletak di depan pendopo tempat ibadah harian. Bangunan ini adalah candi. Rupanya inilah yang membuat gereja ini disebut Gereja dan Candi. Saat kami berada di sana, ada beberapa orang muda sedang berdoa di pelataran candi. Tidak jauh dari candi ini, ada beberapa bangunan kecil yang dipasangi keran untuk membasuh diri.   
Di bagian paling belakang area gereja ini terdapat tempat-tempat perhentian jalan salib. Pada setiap perhentian ada gambar berbentuk relief berwarna putih dan penjelasan dalam aksara Jawa kuno.






Selain itu ada patung Bunda Maria dan Yesus yang berbusana Jawa dan sebuah kentongan yang berfungsi sebagai lonceng gereja.

Febe mengatakan gereja ini sudah mengalami akulturasi. Entah mana yang benar, akulturasi atau inkulturasi. Yang jelas gereja ini benar-benar unik dan menarik sebagai tempat tujuan wisata. Area parkir di seberang gereja dipenuhi kios-kios penjual pernak-pernik ibadah, juga souvenir yang berbau gereja candi. Mudah-mudahan meski menjadi tempat tujuan wisata, gereja ini tidak akan menjadi komersial dan tetap mempertahankan keunikannya.

Pantai selatan Yogya bukan hanya Parang Tritis


Bagi orang yang tinggal di luar Yogyakarta, Pantai Parangtritis boleh jadi bukanlah nama yang asing. Selain mudah dicapai dari kota Yogyakarta, pantai ini banyak dipublikasikan di media tulis, cetak maupun internet. Coba saja cari Pantai Parangtritis melalui Google Maps. Tidak ada pilihan lain, hanya ada 1 tempat di planet bumi ini yang bernama Parangtritis. Umumnya orang mengenal pantai yang letaknya di bagian selatan propinsi DIY ini sebagai pantai dengan bukit-bukit pasir yang indah.
Sesungguhnya propinsi DIY memiliki garis pantai yang sangat panjang dan Parangtritis hanyalah sepenggal di antaranya. Ada beberapa pantai di propinsi DIY yang tidak kalah indahnya. Di antaranya adalah Pantai Baron, Pantai Kukup, dan Pantai Krakal. Tertarik pada kesaksian beberapa teman yang pernah ke sana, aku menjadikan wisata ke pantai Baron dan Kukup sebagai tujuan pertama dalam libur tengah semester sekolah Aurima tahun ini.




 

Kami bertiga (aku, Aurima dan Febe, sepupunya) tiba di bandara Adi Sucipto pukul 7 pagi. Di bandara kami dijemput Pak Tomo yang telah kupesan sehari sebelumnya, dengan mobil Xenianya. Begitu urusan bagasi selesai, kami langsung melaju ke arah timur. Perjalanan dengan mobil untuk mencapai ketiga pantai ini dari kota Yogyakarta memakan waktu sekitar satu setengah jam. Perjalanan dimulai dengan perjalanan ke arah timur menuju kota Wonosari, kemudian ke arah selatan melintasi pegunungan Kidul. Pantai ini berada di balik pegunungan, sehingga tidak semua jaringan telepon seluler dapat menjangkaunya.


Kedua pantai ini letaknya berdekatan, hanya dibatasi oleh bukit karang. Pantai Baron merupakan pantai yang letaknya paling barat. Begitu keluar dari mobil yang diparkir 300 meter dari pantai, suara gemuruh ombak Samudera Hindia menyambut kami. Suasana pantai masih sepi, tidak ada warung yang buka. Ada belasan kapal nelayan yang sedang berlabuh di pantai. Pantai nampak bersih, tidak ada sampah.


 Seperti Pantai Parangtritis, Pantai Baron merupakan pantai yang landai . Pantai ini  diapit oleh 2 bukit karang di kiri dan kanannya. Beberapa anak muda bersalto di lepas pantai menyambut ombak yang datang. Satu lagi permainan dengan air laut kujumpai. Dinamisnya gerakan air laut memang mendorong terciptanya banyak permainan yang tidak pernah membosankan.

Di sebelah barat, ada teluk kecil tempat air laut menjorok masuk. Di teluk ini air laut terlihat tenang, kontras dengan ombak besar yang setiap kali memecah bukit karang di depannya. Teluk ini memberikan pemandangan yang indah jika dilihat dari puncak bukit karang di sebelah timur. Ada undak-undakan yang terbuat dari kayu dengan pegangan yang kurang stabil untuk mencapat puncak bukit karang ini. Perlu kehati-hatian agar tidak tergelincir saat meniti undak-undakan ini. Imbalannya adalah kepuasan melihat panorama indah seluruh Pantai Baron, mulai dari bukit karang, teluk, deretan kapal nelayan yang berlabuh hingga bentangan pasir dan pecahnya ombak saat mencapai bukit karang. Rasanya tidak bosan-bosan menikmati pemandangan ini, hingga tidak terasa satu setengah jam berlalu.


Pantai Kukup terletak di sebelah timur Pantai Baron, namun tidak dapat dicapai dengan menyusuri pantai, karena ada bukit karang yang membatasinya. Untuk mencapainya, perlu berjalan sedikit memutar ke arah darat mengelilingi bukit karang. Bila dilihat dari    Pantai Kukup, bukit karang pembatas ini berbentuk seperti belahan kulit telur yang menggantung.                     
Sementara di sebelah timur,
ada pulau karang dengan gardu pandang. Pulau karang ini dihubungkan dengan pantai melalui sebuah jembatan. Masih ada beberapa pulau karang di sepanjang perairan pantai Kukup. Semuanya memberikan pemandangan yang indah, terutama saat ombak memecah karang.Peristiwa yang nyaris tidak pernah berhenti,


Sama seperti di Pantai Baron, siang itu Pantai Kukup sepi. Ada beberapa warung yang buka, di antaranya menjual rempeyek rumput laut. Rumput laut memang banyak dijumpai di perairan pantai ini. Ada juga beberapa orang yang menjual ikan-ikan laut yang berasal dari perairan Pantai Kukup. Ikan-ikan berwarna-warni yang biasa dijumpai di antara karang-karang laut. Di sekitar penjual ada beberapa ekor ikan yang mati tergeletak di tanah. Sayang, seharusnya mereka dibiarkan hidup di habitatnya. Belum tentu ikan-ikan itu akan bertahan hidup lama bila dimasukkan ke dalam aquarium.


Pantai Baron dan Kukup memang indah dan masih bersih. Mudah-mudahan keindahan dan kebersihannya dapat terus bertahan bila nantinya seramai Pantai Parang Tritis.