Tampilkan postingan dengan label Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jakarta. Tampilkan semua postingan

BANTEN LAMA TEMPAT OBJEK KUNO

Oleh: Rasid Rachman

Menggunakan satu hari libur tidak resmi, apalagi di hari Senin, juga bisa menyenangkan. Itulah yang kami lakukan pada suatu Senin September 2010 yang lalu. Kerjaan dan tugas lagi setumpuk, stress yang kagak ketulungan, bosan suasana kota besar yang macet, kangen dengan suasana pedesaan pesisir, dan pas Jo mengajak kami ke Pulau Dua di wilayah Banten Lama, Serang, Banten. Maka berangkatlah kami berdelapan dengan mobil Jo pagi-pagi sekali. Di antara kami, ada yang jago motret, wartawan, jago jalan-jalan, penggembira, dsb. Saya mah jago makan aja deh.
Apa itu Pulau Dua? Kadang-kadang disebut juga Pulau Burung – kami tidak tahu bagaimana asal muasal penamaan tersebut. Jo yang memberitahukan kami – entah bagaimana dia tahu ada pulau itu – dan kemudian mengajak kami.
Sebenarnya pulau itu bukan lagi pulau. Sejak tahun 1980-an, ia tidak lagi terpisah dengan Pulau Jawa. Kini ada endapan panjang dan cukup luas yang menghubungkan “pulau” tersebut dengan Banten Lama. Namun burung di pulau itu masih banyak, karena di dalam pulau itu terdapat hutan lindung yang dijaga dan diolah oleh dua jagawana (Polisi Hutan). Masyarakat juga masih menyebut kawasan itu dengan Pulau Dua atau Pulau Burung. Arahnya, langsung menuju Banten Lama, sebelum Benteng dan Masjid Agung Banten, belok kanan 2-3 km, Tanya-tanya penduduk perihal arah Pulau Dua.

 Endapan  jadian yang menghubungkan ke Pulau Dua (kanan).


Polisi Hutan sedang memberikan info kehidupan hutan lindung (kiri).

Setibanya di sana, mobil diparkir di tepi jalan masuk. Lalu kami berjalan kaki 25-230 menit atau naik ojek menyusuri tambak ikan yang merupakan daratan jadian yang menghubung ke Pulau Dua. Burung-burung mulai beterbangan di sekitar sini. Kostum jelajah dengan siap untuk berbecek ria dan bekal makan-minum yang cukup merupakan perlengkapan kenyamanan plesir kami.

Mirip film perang Vietnam


 Ada dua lokasi yang menjadi objek perkunjungan di Pulau Dua, pantai dengan menara pandang yang memadai serta sejumlah informasi tentang hutan lindung tersebut, dan sangkar burung dengan menara pandang penuh tantangan serta sedikit rawa. Keduanya adalah lokasi yang membuat puas pengunjung yang hobi bertualang dan motret-motret.
Di lokasi pertama, pinggir laut, pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang kehidupan hutan lindung, suaka alam, tanaman, dll. Jagawana menjelaskan semuanya. Ada menara pandang, pengunjung padat menikmati aneka burung beterbangan di atas kepala, dan memandang beberapa perahu nelayan.
 Ke lokasi kedua, pengunjung berjalan sedikit ke dalam menyusuri dan menyeberangi rawa-rawa kecil dengan ribuan kepiting rawa. Situasinya, ingat film-film perang Vietnam! Ada juga menara pandang, tetapi “darurat”; diperlukan sedikit keberanian hingga bisa “menclok” di rumah pohon. Jerih lelah dan peningkatan adrenalin ketika memanjat rumah pohon segera terbayar begitu tiba di atas. Pengunjung terpesona dengan puluhan burung hinggap di puncak-puncak pohon. Burung-burung besar kita saksikan dan teropong sendiri di habitatnya.


Lupa turun deh si Jo!



 Memotret, wajib hukumnya!


Dua-tiga jam tidak terasa di sana. Setelah puas menikmati pemandangan di Pulau Dua, perjalanan bisa dilanjutkan ke Masjid Agung, Klenteng, dan Benteng. Masjid Agung dengan menaranya yang besar dan megah mengagumkan. Di kawasan masjid ada museum – sayang tanpa perawatan dan kotor – dan beberapa peninggalan masa lalu, semisal benteng dan meriam. Semuanya terlihat kumuh dengan bejibun-nya pedagang secara tidak teratur – bahkan di bawah rambu larangan berjualan pun tetap ada yang berjualan.

Menara Masjid Agung
 Ribuan peziarah di masjid, manusia di sekitarnya, dagangan yang berderet, jajajan, makanan, dan sejumlah bangunan kuno menjadi godaan tersendiri bagi para pemotret. Ga bisa mengelak deh untuk ga memotret.

Ribuan peziarah setiap hari
 
Jika berjalan sedikit – memang fisik kuat dan bekal makanan-minuman menjadi syarat – melewati perkampungan ke arah Klenteng, ada satu bekas benteng lagi. Rumah ibadah umat Islam dan tempat sembahyang umat Konghucu tersebut sudah lama berdampingan di Banten Lama. Sepi, kosong, luas, dan besar. Tembok benteng setebal 2 meter menambah keangkeran tampang benteng ini. Sayang, objek-objek ini tidak dilengkapi dengan informasi dan pengelolaan yang baik.

Lorong bawah tanah di benteng
Bagaimana pun, ini benar-benar plesiran yang tidak biasa.  ■

Jalan-jalan di kota tua

Melinda

2 hari menjelang Lebaran. Kami sengaja memilih hari itu untuk mengunjungi kota tua Jakarta. Hari itu pasti lalu lintas sangat lancar dan kota tua belum terlalu banyak dikunjungi wisatawan. Yanky ada tugas di gereja, jadi kami (aku, Aurima dan Sian Ing) ikut naik mobil sampai halte busway Kedoya. Kami berangkat dari rumah jam 8 pagi.

Benar-benar pilihan waktu yang tepat! Jalan tol Tangerang – Jakarta agak lengang. Halte bus way sepi. Setelah menunggu sekitar 10 menit, kami menaiki bis Trans Jakarta yang lega. Hanya beberapa penumpang yang berdiri tidak kebagian tempat duduk. Cuma, ada satu yang menyebalkan, di halte Grogol II kami harus berganti bis karena bis kembali ke Lebak Bulus. Padahal rute bis seharusnya berakhir di Harmoni. Di Harmoni, kami mengantre sebentar untuk mendapat bis jurusan kota. Ada 3 bis yang berhenti untuk mengangkut penumpang ke arah kota. Petugas membatasi jumlah penumpang yang naik ke bis sehingga semua mendapat tempat duduk. Alangkah nikmatnya bila setiap hari bis Trans Jakarta seperti ini!

Kami tiba di stasiun kota jam 9. Wisata di kota tua dimulai saat kami memasuki terowongan penyeberangan di bawah Jalan Pintu Besar Utara. Bangunan baru yang selalu menarik bagi kami. Penyeberang jalan akan merasa nyaman menyeberang di sini. Bebas polusi, aman sampai ke seberang, tidak melelahkan. Sangat berbeda dengan jembatan penyeberangan. Klik di sini untuk melihat cerita tentang terowongan ini lebih lengkap. Hari itu ada yang tidak biasa. Tidak ada satupun penjual rujak bebek yang menjadi ciri khas tempat ini. Bulan puasa, kan….

Museum pertama yang kami tuju adalah Museum Bank Mandiri yang terletak tepat di pintu keluar terowongan penyeberangan. Hanya ada satpam yang bertugas di depan. “Seharusnya museum buka jam 9. Tapi petugas loket karcis belum datang. Maklum, mau libur lebaran,” itulah penjelasan yang kami dapat dari satpam. Kami tidak terlalu kecewa, karena beberapa waktu yang lalu kami sudah mengunjunginya saat perhelatan acara Kumkum.
Kami berjalan sedikit ke gedung di sebelahnya, Museum Bank Indonesia. Tampaknya, kami adalah pengunjung pertama. Petugas memberitahu bahwa yang dapat dilihat saat ini hanya pameran mata uang dan logam mulia. Yang lainnya, sedang dalam perbaikan karena ada gangguan instalasi listrik. Berarti kami tidak bisa melihat film animasi hujan mata uang logam yang merupakan produk unggulan museum ini. Sayang. Tapi hal ini tidak mengurangi semangat kami mengelilingi museum ini. Ada banyak hal yang menarik di tempat ini. Mulai dari bangunan tua yang kokoh dengan pintu-pintu ayun dari kayu yang tebal dan berat, dan jendela-jendela kaca patri warna-warni hingga loket-loket kasir dengan terali pemisah yang kokoh antara kasir dan nasabah. Kemudian berbagai jenis mata uang, mulai dari jaman Majapahit, jaman penjajahan hingga uang kertas bersambung seratus ribu-an. Kami baru tahu, ternyata duit adalah sebuah nilai mata uang saat VOC baru berdiri di Indonesia.

Hal yang paling mengejutkan adalah toilet. Letaknya ada di sebelah kiri tangga saat memasuki museum. Melalui sebuah pintu kayu besar, kita akan memasuki area luar museum. Area yang sangat luas berupa bangunan berbentuk persegi panjang dengan halaman luas di tengahnya. Saat itu bagian ini sedang direnovasi. Tembok-tembok yang sudah dicat, dibungkus plastik. Di sana-sini ada tangga dan stagger. Toilet berada di bagian belakang bangunan. Toilet dengan wastafel dan kloset yang modern dan bersih. Rasanya tidak ada toilet museum di Indonesia yang sebagus ini. Mudah-mudahan toilet ini akan terjaga dan terawat terus seperti di hotel-hotel berbintang.

Dari Museum Bank Indonesia, kami berjalan ke arah lapangan di depan Museum Fatahillah. Di sini kami bertemu dengan Tiny sekeluarga dan teman-temannya. Memang kami sudah berjanjian sebelumnya. Kami bersama-sama memasuki Museum Wayang yang terletak di sebelah barat lapangan. Gedung ini pada zaman Belanda merupakan gedung gereja. Ada sebuah gong yang berdiri di depan lorong sebagai penanda tempat memulai wisata wayang bagi pengunjung. Patung Semar berdiri di sebelah kanan. Museum terdiri dari 2 lantai, berisi bermacam-macam wayang dari wayang kulit, wayang golek, wayang potehi, wayang jaman revolusi hingga wayang dari manca negara. Ada yang unik di lantai 2, yaitu gambar bentuk-bentuk kepala, hidung, mulut, dan bagian-bagian tubuh wayang lain beserta penjelasan tentang maknanya. Semuanya ditempel di lantai.

Selesai mengitari Museum Wayang, kami kembali ke lapangan. Ada banyak sepeda warna-warni berjejer di tepi lapangan. Beberapa sepeda digantungi topi zadoel yang biasa diidentikkan dengan pengguna sepeda onthel zaman dulu. Sepeda-sepeda ini disewakan. Salah seorang pemilik sepeda menawarkan wisata sepeda sampai ke Sunda Kelapa dan menunjukkan brosur tempat-tempat tujuan wisata. Setelah melihat-lihat brosur, akhirnya kami putuskan untuk berwisata sendiri dengan menyewa sepeda saja. Kami menyewa 3 buah sepeda untuk 4 orang : aku, Sian Ing dan Aurima yang memboncengkan Axel.

Kami mulai mengayuh ke jalan kecil di barat laut lapangan. Sebelum persimpangan menuju Jalan Kali Besar Timur, ada sebuah bangunan berwarna merah yang disebut-sebut dalam brosur sebagai Toko Merah. Di bagian atas bangunan ini nangkring dahan pohon dengan daun-daunnya. Akar gantungnya menempel pada tembok di bawahnya.

Perjalanan kami teruskan menyusuri Kali Besar. Tujuan selanjutnya adalah Jembatan Kota Intan. Sudah lama aku memendam rasa penasaran untuk mengunjunginya. Jembatan ini dulunya dapat membuka-tutup bila ada kapal yang lewat di bawahnya. Jembatan ini menghubungkan Jalan Kali Besar Barat dan Jalan Kali Besar Timur sebelum berbelok ke Jalan Tiang Bendera. Ada jembatan baru yang dibangun di sebelah utara Jembatan Kota Intan. Begitu tiba, ya ampuuunn….. sebetulnya aku sudah 3 kali melewati daerah ini sebelumnya! Aku melewati daerah ini setiap kali menuju ke Mangga Dua dengan kendaraan umum. Ini adalah tempat aku  berganti angkot tujuan Mangga Dua. Angkot berikutnya menunggu di seberang jembatan. Kalau selama ini aku hanya berjalan mencari angkot, saat ini aku lebih memperhatikan jembatan tua di sebelahnya. Jembatan Kota Intan diberi pagar dan taman. Di bagian bawah ada beberapa lampu sorot warna-warni. Pasti bagus bila dilihat pada malam hari.

Dari Jembatan Kota Intan, mengikuti petunjuk pedagang minuman dekat jembatan, kami mengayuh lagi ke arah utara menujuh Pelabuhan Sunda Kelapa. Kami menyeberangi Jalan Tiang Bendera dan memasuki jalan kecil. Wiiiihhh..... serasa berada di dunia lain. Jauh dari keramaian kota Jakarta. Tampaknya memang tidak ada kendaraan yang berkepentingan melalui jalan ini. Kami melalui kolong jalan tol, kemudian melewati bangunan-bangunan tua yang mirip gudang, sebuah rumah makan yang menggunakan bangunan besar tua berarsitektur Cina dan lagi-lagi bangunan tua yang temboknya ditumbuhi pepohonan.

Kami tiba di bekas Pelabuhan Sunda Kelapa. Ada Museum Bahari yang memanfaatkan gedung tua bekas gudang penyimpanan rempah-rempah pada zaman VOC dan pernah dipakai sebagai penyimpanan amunisi oleh tentara Jepang. Dari luar, museum terlihat berbentuk panjang dan beratap rendah. Setelah masuk, ternyata museum terdiri dari beberapa bangunan yang berhubungan dan ada halaman di bagian tengahnya. Banyak cat dinding yang terkelupas karena lembab, rangka kayu yang keropos dimakan rayap dan terali jendela yang berkarat. Dengan tiket masuk Rp 2.500,- untuk orang dewasa dan gratis untuk anak-anak, pantaslah kalau gedung ini tidak terawat. Sayang sekali. Di lantai bawah dipajang bermacam-macam perahu yang menunjukkan keperkasaan nenek moyang orang Indonesia yang berjaya di laut. Di lantai dua dipajang kekayaan laut Indonesia yang diawetkan, di antaranya ikan duyung yang berukuran lebih panjang daripada tinggi badan Axel.

Di sebelah selatan museum yang dipisahkan oleh jalan kecil,berdiri menara Syah Bandar yang sudah tidak berfungsi lagi. Bangunan masih kokoh dan tangga-tangga kayunya masih kuat. Dari atas menara, kami dapat menyaksikan kanal yang dipenuhi perahu-perahu. Di sekitarnya banyak bangunan-bangunan rumah penduduk. Kubayangkan dahulu kala, Syah Bandar Sunda Kelapa mengawasi keluar masuknya kapal-kapal pedagang ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Di arah selatan, kami melihat bekas gudang-gudang VOC yang tadi kami lewati sewaktu bersepeda. Masih ada bangunan gudang yang terpelihara di belakang bangunan-bangunan yang kami lewati tadi.

Ini adalah tempat terakhir yang kami kunjungi. Karena waktu sewa sepeda sudah habis, kami harus segera kembali ke lapangan di depan Museum Fatahillah.

Hari sudah siang, tenaga juga sudah mulai berkurang. Perjalanan wisata kota tua kami akhiri di taman ini. Suatu kali nanti kami akan kembali lagi. Masih ada banyak tempat yang belum sempat kami lihat dan masuki, di antaranya gudang VOC yang tadi terlewat, Museum Keramik dan bangunan-bangunan lain di sekitar lapangan serta situs-situs kuno lain.

CINA BENTENG YANG TAK TERGUSUR : SIOMAY SEWAN

Kalau melihat penampilannya, siomay ikan ini tidak berbeda dengan siomay ikan lainnya. Hampir semua siomay yang dijual oleh abang-abang bersepeda atau bermotor menggunakan panci biru muda dengan motif bercak-bercak putih. Isinyapun sama, mulai dari siomay yang dilekatkan pada kentang, tahu, kol dan paria, siomay thok, siomay berbentuk panjang. Bumbunya pasti bumbu kacang yang diberi kecap, saus tomat dan perasan jeruk limau. Tapi bila sudah menyentuh lidah, siomay yang satu ini menjadi istimewa.

Foto panci penuh berisi siomay ini dibuat di Sewan, suatu wilayah di pinggir utara kota Tangerang. Siomay ini diproduksi dan dijual di sebuah rumah yang terletak di hadapan pemakaman Cina. Di depan rumah besar berhalaman luas ini terpampang spanduk bertuliskan SIOMAY ANDI Sewan Rawa Kucing Tangerang. Namanya memang Siomay Andi. Namun warga Tangerang mengenalnya sebagai Siomay Sewan. Siomay Sewan memang terkenal enaknya, sehingga namanya sering dipakai oleh penjual-penjual siomay di Tangerang meski siomay yang dijual belum tentu berasal dari Sewan.

Siomay Andi berada di jalan kecil di samping pemakaman Cina. Sebagai petunjuk, di ujung jalan ini ada wihara. Papan nama wihara ini mudah dilihat dari Jalan Raya Rawa Kucing. Setelah memasuki jalan ini, di sebelah kiri jalan akan tampak rumah yang menjual bakmi dan bihun babi. Tidak lama sesudah itu nampak sebuah pemakaman Cina yang luas. Ada sekelompok bangunan rumah masa depan yang kurang terawat dengan nisan yang cukup menonjol. Di sepanjang jalan ini, ada beberapa penjual makanan yang nampaknya berdiri setelah Siomay Sewan terkenal (numpang beken.com). Selain makanan-makanan khas Cina Benteng, ada juga yang nekad menjual siomay. Lokasi Siomay Sewan sendiri berada jauh di dalam, saat jalan menikung ke kanan.


Sepintas, tidak tampak rumah ini menjual siomay. Yang nampak jelas adalah pagar terbuka yang membawa pengunjung kepada halaman yang luas. Setelah berada di dalam halaman, barulah terlihat spanduk Siomay Andi yang menutupi teras berbentuk L yang diisi meja dan bangku-bangku. Di sinilah orang menikmati Siomay Sewan.

Di teras ini ada sebuah meja kayu kecil yang dipakai untuk meletakkan 1 panci siomay, rak piring, bumbu kacang, saus tomat, kecap dan jeruk limau. Memang hanya 1 panci siomay yang dipajang. Namun tampaknya ada banyak siomay di dapur yang letakknya di bagian belakang rumah yang tergolong besar. Bila pengunjung ramai, maka penjual akan sibuk mondar-mandir ke dalam mengambil siomay yang baru matang agar panci tetap penuh. Demikian pula bila ada pembeli yang membeli dalam jumlah banyak untuk dibawa pulang, maka penjual akan mengambil siomay dari dapur, bukan dari panci yang disajikan.

Pembuatan siomay secara manual, penjualan yang ditangani oleh anggota keluarga, tempat penjualan yang seadanya, lokasi yang jauh dari keramaian dan sistem pemasaran yang hanya mengandalkan iklan dari mulut ke mulut ternyata bisa membuat siomay ini terkenal. Bukan hanya di kalangan orang Tangerang, tetapi juga orang Jakarta. Tentunya karena siomay ini memang enak. Sluurrrppp!

Terowongan penyeberangan bawah tanah

Bangunan yang terletak dibawah tanah umumnya mempunyai suasana gelap, lembab, pengap dan seringkali dipenuhi asap knalpot. Namun ada satu lokasi bawah tanah di Jakarta yang mempunyai suasana berbeda, yaitu terowongan penyeberangan antara Stasiun Kereta Api dan Museum Bank Mandiri di Kota.

Pada hari Minggu yang lalu, aku dan Aurima mempunyai kesempatan untuk berjalan-jalan ke daerah Kota untuk mengikuti acara Kum kum yang diselenggarakan di Museum Bank Mandiri. Dari gereja, kami menggunakan bus Trans Jakarta dengan transit di Harmoni dan berhenti tepat di depan Museum Bank Mandiri. Melihat suasana Kota yang semrawut, lalu lintas yang cukup padat (meskipun hari libur!) dan tempat parkir yang jauh, kami bersyukur telah memilih bus Trans Jakarta sebagai alat transportasi.

Halte bus Trans Jakarta berada di tengah-tengah Jalan Pintu Besar Utara dan Jalan Stasiun Kota yang sejajar. Kedua jalan sejajar ini membentuk persimpangan lima dengan Jalan Pintu Besar Selatan, jalan fly over Pasar Pagi dan Jalan Mangga Dua. Persimpangan yang selalu ramai. Karena itu keberadaan terowongan penyeberangan bawah tanah yang menghubungkan tepi jalan Pintu Besar Utara dan tepi Jalan Stasiun Kota sangat bermanfaat. Bermanfaat bagi pejalan kaki dan mengurangi kemacetan lalu lintas.

Terowongan ini belum lama dibangun. Aku masih ingat kesulitan beberapa tahun silam saat menyeberangi kedua jalan ini. Lalu lintas sangat ramai, udara panas, penuh asap, sangat tidak nyaman dan perlu waktu cukup lama untuk menyeberangi kedua jalan ini.

Sangat berbeda situasinya saat ini. Begitu turun dari bus Trans Jakarta, ada jalan terbuat dari beton menuju tangga menurun ke bangunan berbentuk seperti stadion olah raga di bawah. Tangga berbentuk melingkar mengikuti bentuk bangunan ini.

Bangunan berbentuk stadion olah raga ini merupakan area terbuka. Kalau di stadion olah raga, bagian tengah berupa lapangan sepak bola berumput, bagian tengah stadion ini berupa kolam kering dengan air mancur yang tidak berfungsi ( entah rusak atau belum difungsikan). Lintasan lari digantikan taman kecil yang diisi oleh rumput, bangku dari semen dan lintasan bagi pejalan kaki. Seandainya air mancur berfungsi, duduk beristirahat di sana akan semakin terasa nyaman.

Karena bentuknya yang melebar ke atas, pemandangan langit dari bawah seolah-olah seperti kubah transparan yang menaungi bangunan. Kubah transparan ini membuat ruang bawah tanah ini menjadi terang. Udara terasa segar karena sirkulasi yang baik. Bentuk bangunan seakan meredam kebisingan lalu lintas yang berada di atas. Dan yang paling menyenangkan adalah udara yang ada di dalam bangunan seakan sudah tersaring dari asap knalpot, entah bagaimana caranya.

Bangunan terbuka ini menghubungkan 2 terowongan yang berada di bawah Jalan Pintu Besar Selatan dan Jalan Stasiun Kota. Saat kami berada di sana, tidak dijumpai pedagang, gelandangan, pengemis maupun preman di stadion dan di terowongan. Pedagang baru dijumpai di ujung terowongan, itupun tidak menghalangi pejalan kaki. Salah satu pedagang yang menarik hati kami adalah pedagang rujak bebek dengan bebekan unik dari kayu yang dilukis dengan cat warna-warni.

Sangat berbeda dengan jembatan-jembatan penyeberangan sibuk lainnya yang selalu dipenuhi oleh orang-orang ini. Menyeberangi jalan di terowongan dan stadion ini menjadi pengalaman yang menyenangkan dan tidak melelahkan. Seandainya jembatan-jembatan penyeberangan lain diganti dengan terowongan-terowongan seperti ini….

Melinda

PETAK SEMBILAN AT EARLY MORNING

Have you ever been visited Petak Sembilan and walked around? I am sure you have ever done that – perhaps more than once. But, have you ever been tour around that area during early day? If you have done that, what have you gotten? I have been there at the time local people begin to work in the morning.After a morning prayer, some our churchmen and I went to Glodok area. It was Tuesday on March 30th, before 6 a.m. After spend about 20 minute in the car, we arrived at Petak Sembilan – one of the famous place in town in Old City of West Jakarta. It still 06.20 a.m.

 

Activities in Petak Sembilan
Actually Petak Sembilan (means nine squares), name of one small street, is not only traditional market, but also residence. Located in one corner of Glodok area, West Jakarta, Residence and traditional market are altogether on that place. According to some sources, that area was built at 19th century. One or two habitant began sell some daily needs at front of their houses. Now, almost every doors at Petak Sembilan become shop. That area even developed to other streets around and had become a huge traditional-home market now. There are Pasar Pagi (morning market), Gloria, Kali Mati (dead canal), etc. In this modern world, Petak Sembilan still shows its oldies and unique style.
Besides shopping, you also can try some foods or unique foods. Glodok is well know of unique foods, such as pie oh (turtle soup), porridge, roasted duck, roasted pork, fried meat ball, green noodle, etc. They are all delicious. In short, you can make yourselves convenient with food, especially for food hunters.

Pie Oh soup

It is significantly difference atmosphere between day and early in Petak Sembilan. You don’t need to jostle each other in the morning – there is not crowded yet. You can comfortably window shopping or just slowly walking around. You easily find fresh fruits, vegetables, foods, cookies, sweets, fishes, frogs, etc. So you can buy your daily needs, eat some foods, or drink tea or coffee there. The Petak Sembilan is still interesting place to go, especially in the morning.



After 8 a.m., that environment changes. Either locals or buyers make this area busy and crowded, but show that the economical sector is running well. Some home industries have been becoming distributors for several years, such as office equipment, plastics, ingredients, tools, and even cookies. One cookies home industry that we visited makes thousands cookies of many kind of cookies every day; sellers come and buy there.
Above all, Petak Sembilan still give one big problem remain – that is waste. That area also produces a hilly waste every day. The wrong point of view of our people that waste a waste, or change waste to be a new waste, the behavior to throw a waste to canal around, cause a new problem for Jakarta city. Many new diseases, flood during and after rain, smell surround are the home work that we must do as soon as possible.