Tampilkan postingan dengan label NTT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NTT. Tampilkan semua postingan

BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (4)

Jumat senja sekitar pukul 19.00, setelah selesai ibadah Jumat Agung. Masih ada waktu sedikit untuk mempersiapkan diri, mulailah prosesi Jumat Agung. Mulai dari Katedral Larantuka, kemudian mengelilingi sebagian kota Larantuka dengan lilin. Ada sebuah ibadah singkat dengan lamentasi (nyanyian duka dan pengharapan dari Kitab Ratapan menurut puisi Ibrani yang alfabetis) dan doa sebagai pembuka dan penjelasan prosesi di Katedral. Lamentasi juga dinyanyikan tadi Jumat pagi dan kemarin Kamis pagi di Katedral. Di sini juga disebutkan urutan yang terlibat dalam prosesi: confreria, koor, pejabat negara, suku-suku, pejabat gereja – memang prosesi ini adalah hajat semua orang. Juga terlihat umat Islam
membantu kelancaran prosesi sejak dari Katedral. Persiapan prosesi ditutup dengan nyanyian ratapan Veronika tentang sengsara Yesus. Seorang perempuan muda dengan mempertunjukkan gambar wajah Yesus yang penuh luka menyanyikan ratapan Veronika dengan irama melismatis yang syahdu dalam bahasa Latin. Sangat menyayat. Indah pula. Rasanya, setiap kali nyanyian itu selesai dinyanyikan, kita ingin mendengarkannya kembali. “Hai kamu yang melintasi jalan ini, pandang dan lihatlah, apakah kau melihat kesedihan yang sedang aku alami?” kata Veronika.

Pukul 20.00 prosesi Jumat Agung mulai berjalan. Prosesi membawa peti Tuan Ana. Peti diusung oleh para Nikodemus (Lakademu), empat orang, dengan wajah tertutup selubung putih dan merah. Confreria mengiringi di sekitarnya. Ratusan ribu peziarah, berjalan empat-empat di kiri-kanan sisi jalan, ikut di belakang sehingga mengekor beberapa kilometer di belakang. Nyanyian-nyanyian dan zikir salam Maria terus dikumandangkan oleh para peziarah – demikian juga dilakukan oleh puluhan ribu masyarakat di sepanjang jalan prosesi itu. Lilin-lilin menyala di sepanjang perjalanan.

Prosesi berhenti di delapan Armida. Ketika berhenti di Armida, selama 15 – 20 menit, Injil dibacakan,
renungan dan doa disampaikan, dan seorang solis perempuan menyanyikan “Ratapan Putera Manusia” atau nyanyian ratapan Veronika sambil mempertunjukkan lukisan wajah sengsara Yesus. Nyanyian yang menyayat ini mampu menyirap zikir dan nyanyian peziarah di dalam keheningan khidmat. Prosesi malam berakhir di Katedral semula sekitar pukul 01.00. Prosesi selesai. Sebuah perziahan dapat dikatakan telah utuh.

Mengantuk, lelah, panas. Namun perziarahan ini telah memberikan kepuasan dahaga tak terkira. Salah seorang peziarah mengatakan: “Inilah ziarah. Ketika memulainya, lakukan dengan persiapan dan niat yang matang. Ketika menjalaninya, tidak mengeluh ini-itu atau terlalu meluapkan kegembiraan. Ketika mengakhirinya, akhiri hingga selesai.” Ziarah bukan mau enaknya saja, tetapi ada penderitaan, pengorbanan, dan sakit yang ikut mengiringinya.

Sabtu pagi, prosesi belum usai. Masih ada beberapa prosesi dan ritual kecil yang berlangsung hingga Senin pagi. Gereja pun tetap terbuka untuk Sabtu Sunyi. Namun, para peziarah umumnya, setelah dahaganya terpuaskan dari oasis perziarahan orang nagi, mulai kembali ke tempat tinggalnya untuk merayakan Paska pada hari Sabtu malam atau Minggu, atau melakukan aktivitas seseharinya. Para pemuda mengantarkan kembali patung Tuan Ma dan peti Tuan Ana ke kapelnya semula masing-masing. Sepanjang Sabtu pagi itu, kota Larantuka menjadi sepi, tenang, dan sunyi. Hanya ada beberapa petugas yang tetap bekerja. Selain petugas di Gereja dan keamanan, ada juga “ritual” sampingan, yakni para petugas kebersihan mengurusi sampah-sampah yang tercecer di sepanjang jalan prosesi tadi malam.

BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (3)

Kegiatan-kegiatan gereja selama Pekan Suci ini berangsung biasa. Kamis malam tetap diadakan ibadah Kamis Putih, demikian pula Kamis pagi tetap diadakan kegiatan gerejawi, yakni pembaruan janji imamat bagi semua pastor Katolik. Kami tidak ikut Kamis Putih di Katedral malam itu, sekalipun kami tinggal di Katedral. Kami diajak Romo Bernard Kerans ke Stasi (bakal Paroki) sedikit keluar kota, di pedesaan. Ia memimpin ibadah Kamis Putih di gereja yang dikelilingi hutan itu hingga pukul 21 lewat. Gereja kecil, namun penataan ibadahnya inspiratif sekali. Biasanya, yang inspiratif dianggap tidak alkitabiah. Atau, ada juga anggapan bahwa Alkitab tidak memberikan inspirasi bagi drama-drama liturgis. Tetapi di Stasi ini, warga desa tersebut membuat ibadah yang inspiratif dan sekaligus alkitabiah, sehingga ibadah membawa kita lebih memahami kisah malam terakhir Yesus itu sebagaimana kesaksian Alkitab. Para penulis Alkitab adalah memang penulis naskah terbaik bagi ibadah-ibadah gereja.

Setelah Kamis Putih, gereja tetap terbuka untuk tuguran (berjaga semalaman). Pengurus gereja membagi kelompok-kelompok umat untuk berdoa dan bermazmur setiap satu jam dari pukul 22 hingga pukul 18. Semua gereja di Flores bertugur malam itu – juga di katedral tempat kami menginap.

Tuguran (berjaga) sepanjang malam sejak Kamis Putih hingga Jumat dini hari tidak menyurutkan niat dan semangat umat dan para peziarah di Larantuka untuk melakukan devosi jalan salib. Devosi tersebut dilakukan sejak pukul 07.00 dan berlangsung sekitar 100 menit. Nyanyian-nyanyian paduan suara acapella bergaya Flores yang syahdu mengiringi devosi membawa kami di katedral pagi itu semakin mendekatkan pada peristiwa salib dua ribu tahun lalu di Palestina.

Setelah devosi jalan salib hari Jumat pagi, ratusan ribu peziarah berbondong ke pinggir laut dan pelabuhan. Mereka menyambut dan mengiringi Tuan Menino (Bayi Yesus) yang akan dibawa dari kapelanya ke kapela Tuan Ana. Menyusuri laut dengan kapal kayu yang dikayuh, pukul 12.00 Tuan Menino dibawa dalam prosesi laut dengan perarakan yang sangat besar. Para peziarah mengikuti dari belakang. Laut dipenuhi puluhan, mungkin ratusan, kapal besar dan kecil dengan ratusan ribu peziarah. Sepanjang bibir pantai sepanjang sekitar 2 km juga dipenuhi ratusan ribu peziarah darat. Semuanya berjalan dengan khidmat. Selama sekitar 2 jam itu, kami menyaksikan dan ikut serta dalam sebuah “pesta laut” yang luar biasa. Ziarah laut selesai setelah Tuan Menino ditakhtakan di kapela Tuan Ana. Warga dapat menziarahinya hingga hari Sabtu.

Perarakan peti Tuan Ana dan patung Tuan Ma dilakukan sejak pukul 14.30 pada hari Jumat Agung.
Perarakan dimulai dari kapela Tuan Ana dan kapela Tuan Ma yang saling berdekatan itu diiringi dengan paduan suara Ma-ma Muji menuju Gereja Katedral Larantuka. Begitu Tuan Ana dan Tuan Ma memasuki katedral, kebaktian Jumat Agung dimulai. Di Katedral berlangsung pada pukul 15.00 hingga sekitar pukul 17.30.

Seselesai ibadah umat melakukan ziarah kubur keluarganya masing-masing untuk menyalakan lilin. Makam    menjadi   sangat   banyak   pengunjung  dan pusara-pusara terang benderang dengan nyala lilin. Anggota-anggota keluarga reuni di sekitar pusara. Dalam keyakinan akan kebangkitan orang mati, Paska dihayati sebagai perayaan bersama orang hidup dan orang yang telah meninggal.

BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (2)

Para peserta prosesi mulai tiba di Larantuka sejak hari Selasa; beberapa di antaranya bahkan telah tiba sejak hari Senin. Namun, umumnya, hari Rabu dan Kamis  siang adalah masa tiba terbanyak para peziarah.Sejak Kamis pagi, sebagian kota Larantuka tertutup bagi kendaraan. Jalan-jalan utama telah siap dengan deretan lilin di atas pagar-pagar bambu. Setelah istirahat sejenak, kami siap-siap berziarah ke situs-situs. Ada banyak situs, dan menurut orang-orang situ, tidak mungkin kita menziarahi semua situs dalam satu kali kunjungan. Padahal, situs-situs itu hanya dibuka beberapa hari menjelang Paska setiap tahun.

Para peziarah di Larantuka umumnya menziarahi beberapa tempat bersejarahyang bertebaran di kota Confreria (para awam yang menjaga tradisi dan devosi Larantuka) yang mengusung Tuan Ana dan Tuan Ma dalam prosesi, ketigabelas suku Semana yang akan mengaji Semana tiap Rabu, koor untuk Kamis dan Jumat, Ma-ma Muji, belum termasuk para petugas kesehatan, keamanan, dan lalu lintas, berjaga dan bekerja nyaris non-stop.
Larantuka dan sekitarnya, dan bahkan hingga menyeberangi pulau. Perziarahan dimulai sejak Rabu hingga Jumat pagi.Penduduk setempat dan orang asing baik rombongan maupun sendiri, para peziarah memulai kegiatannya sejak pagi hari hingga jauh malam. Pukul 5 pagi, kapela Tuan Ana (Yesus) dan kapela Tuan Ma (Bunda Maria) sudah ramai dikunjungi sejak Kamis dan Jumat itu. Sepanjang Kamis malam ada tuguran umat. Kapal-kapal motor tak henti antar-jemput peziaran ke Pulau Adonara. Para petugas gereja, penerima tamu,

Larantuka menjadi sangat ramai dan sibuk, namun semua berjalan dengan tenang dan rileks. Para petugas tetap ramah dan melayani peziarah. Tidak ada orang yang bentak-bentak, berkata-kata kasar, teriakan, tidak ada komplain sekalipun di tengah desakan antre para peziarah yang azubilah. Bahkan sengatan terik sinar matahari kota itu tidak menyurutkan niat peziarah untuk melakukan ritus demi ritus dengan sabar mengantre di pintu-pintu masuk situs.

Dalam berziarah, bukan kecepatan waktu yang dikejar, namun penghayatan mendalam terhadap sebuah situs. Lelah, kesal, jemu, dan haus adalah bagian yang menyatu di dalam perziarahan. Dalam berziarah, kita mengulang dan mengenang perjalanan perjuangan masyarakat yang dilakukan masa lalu pada masa kini.
Prosesi dimulai dengan doa dan paduan suara para perempuan “Ma-ma Muji” dengan menyanyikan lagu-lagu ratapan pada Rabu petang. Lagu-lagu ratapan dinyanyikan menurut puisi Ibrani, yakni secara alfabetis dalam abjad Ibrani: alifbethdalethgimel - dst. Sayang sekali, kami belum tiba di Larantuka Rabu itu. Pada hari Kamis Putih, diadakan ritus Muda Tuan, yakni pemandian patung Bunda Maria Berdukacita bernama Tuan Ma. Setelah dimandikan di kapelnya, Tuan Ma dikenakan pakaian kebesaran jubah ungu, dan umat boleh menjenguknya. Perkunjungan itu hanya dibuka sekali dalam setahun.

Di tempat lain, di kapel Perpetu, diadakan ritus mencium peti Tuan Ana (sebutan untuk Yesus) sebelum diarak bersama patung Tuan Ma. Sementara itu, liturgi Gereja seperti doa-doa harian, tuguran, dan Kamis Putih, serta devosi jalan salib, tetap berjalan selama persiapan prosesi tersebut yang juga berlangsung di Gereja-gereja. Sebuah pengaturan manajerial yang luar biasa karena pengalaman bertahun-tahun.

BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (1)

Prosesi Jumat Agung di Larantuka, Flores Timur, telah memuaskan dahaga spiritual kami di tengah rutinitas kesibukan. Setelah 20 tahun kerinduan itu tertahan karena Paska di gereja, maka Pekan Suci 2013 lalu kami berkesempatan mengikuti prosesi Jumat Agung di Larantuka, sebuah kota kecil di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Setibanya kami di “gerbang” kota Larantuka yang panas, yakni Keuskupan Larantuka, terasa sekali suasana berbeda dari suasana sesehari di Jakarta. Ada suasana sukacita, tetapi tenang dan damai, tidak ada kegaduhan. Ya, karena hari-hari itu adalah hari bae (waktu bagus) bagi orang nagi (sebutan untuk orang Larantuka), atau semana santa (pekan suci) bagi setiap umat Kristen dan secara khusus dan istimewa bagi kota Larantuka.

Mayoritas penduduk Larantuka adalah Katolik Roma, sebagian lagi Islam. Suasana Katolik sangat kental terasa, seperti banyaknya gereja, imam, dan suster. Selain itu, suasana Portugis juga terasa di makam yang berhiaskan pusara-pusara indah. Beberapa pusara makam juga dilengkapi dengan lampu penerang.

Di Larantuka, umat siap menyambut hari bae yang terjadi setiap tahun menjelang Paska tersebut. Umat juga menyambut para peziarah dari segala penjuru dunia, baik orang asing maupun orang Larantuka yang pulang ke kampung halaman khusus untuk ini. Banyak orang Larantuka yang bekerja di kota, pulau, bahkan negeri lain. Pintu-pintu rumah, susteran, keuskupan, katedral dibuka sebagai tempat menginap para peziarah, asal telah memesannya setahun di muka. Kamar hotel dan tiket pesawat tak tersisa sejak lama sebelum hari bae tiba.

Kami beruntung dapat tempat di Katedral. Disambut oleh Romo Bernard Kerans Pr., pengurus tamu di Katedral, kami dapat tidur di kamar-kamar Pastor yang sekali waktu bertugas ke Katedral.

Semana santa di Larantuka adalah memang sebuah panggilan berziarah. Keikutsertaan kita bukan karena dorongan sesaat, dan tidak pulang terburu-buru. Beberapa teman kami yang sekonyong-konyong tertarik untuk ikut beberapa hari sebelumnya, tidak memperoleh tiket. Beberapa peziarah yang kami jumpai di Larantuka bercerita bahwa mereka telah menyiapkan keberangkatannya dan niatnya sejak setahun lalu. Peziarah harus sudah punya jadwal pesawat dan penginapan. Ini bukan sebuah pelesiran, jalan-jalan biasa, atau sekadar kunjungan ke rumah teman. Ini adalah sebuah perziarahan rohani menghayati karya Allah di Larantuka ratusan tahun yang lalu.

Konon tradisi prosesi Jumat Agung ini dilakukan pertama kali pada 24 Maret 1599. Tujuh bulan sebelumnya, Benteng Lohayong di Solor, pusat Misi Dominikan waktu itu, dikepung dan diserang musuh.  Banyak orang Katolik dan imam yang mati terbunuh. Penderitaan itu berakhir pada Maret 1599 setelah serangan bantuan tentara Portugis. Maka semana santa tahun itu – setiap tahun sebelumnya memang telah ada perayaan semana santa kecil-kecilan – dirayakan dengan lebih meriah. Berziarah di Larantuka merupakan tapak tilas karya Tuhan di Larantuka sejak abad ke-16 dan menghidupi keyakinan tersebut setiap tahun hingga kini.

Kini, ditambah dengan banyak unsur sejarah, budaya lokal, dan penyebaran lembaga-lembaga misi Katolik setempat, telah menjadikan kota Larantuka sebuah oasis perziarahan selama pekan suci setiap tahun bagi banyak orang. Inilah yang membuat prosesi di Larantuka, puncak segala aktivitas perziarahan pekan suci ini, unik.

Pesona Danau Kelimutu


Awal Juli 2010 pukul 4.30 pagi, kami meninggalkan penginapan di kota Moni. Suasana kota kecamatan ini masih senyap. Sebagian kota terlihat gelap karena sejak malam sebelumnya listrik padam di beberapa tempat. Tidak nampak bintang di langit karena tertutup awan. Bulan yang tidak bulat penuh sebentar-sebentar menampakkan diri di balik awan. Andi telah siap dengan mobil Kuda-nya untuk mengantar kami ke Kelimutu. Sebelum berangkat, ibunya membekalinya sarung tenun ikat sebagai penghangat tubuh. Udara saat itu memang terasa dingin seperti umumnya dataran-dataran tinggi lain. 

Perjalanan dengan mobil memakan waktu tidak lebih dari 30 menit melewati jalan beraspal yang berkelok-kelok. Di satu ruas jalan, perjalanan sedikit terhambat karena ada genangan air. Rupanya genangan ini adalah aliran sungai. Di sekitarnya ada tanda-tanda sedang ada proses pembangunan jembatan. Sesekali kami melewati orang-orang yang berjalan sambil membawa termos, kopi, mi instan dalam gelas styrofoam atau kain tenun ikat. Mereka adalah penduduk setempat yang membawa dagangannya hingga ke puncak, tempat para wisatawan berhenti untuk menikmati panorama di sekitar danau Kelimutu. 

Mobil berhenti di area parkir dan kami harus berjalan kaki untuk mencapai puncak. Tanpa kami minta, seorang pedagang minuman mengiringi kami berjalan. Kami tidak menjumpai orang lain lagi sepanjang perjalanan kami. Jalanan menanjak namun tidak terlalu curam. Sesekali kami perlu berhenti untuk bernafas lebih dalam. Maklum kalau tidak sedang cuti kami jarang berjalan kaki jarak jauh, apalagi menanjak ! 

Menjelang pukul 6 kami tiba di puncak. Saat itu matahari sudah terbit tapi masih tertutup awan. Suasana masih remang-remang. Sudah ada beberapa wisatawan asing dan pedagang minuman dan makanan hangat. Ini adalah tempat tertinggi berbentuk tanah datar yang dibatasi pagar pengaman. Di tengah-tengahnya ada tugu. Kami hanya melihat 2 buah danau, satu di kiri berwarna hijau tosca, satu lagi di kanan berwarna merah tua. 

Danau Kelimutu adalah 3 kawah hasil letusan gunung berapi. Warnanya bisa berubah-ubah tanpa diketahui penyebabnya. Masyarakat setempat memercayai bahwa arwah semua orang yang meninggal akan masuk ke dalam salah satu danau tergantung usia dan penyebab kematiannya. Desir angin yang cukup kencang mengantar udara dingin kepada kami. Lengkaplah suasana mencekam di sekitar danau.

Beberapa pedagang menawarkan kopi dan teh hangat serta mi instan dalam gelas. Pedagang lain membujuk pengunjung untuk membeli sarung atau selendang tenun ikat. Ada lagi yang menggerutu karena ada pemimpin rombongan turis asing yang sudah membawa termos, teh, kopi dan makanan sendiri.

Tiba-tiba matahari mengintip di celah-celah awan. Sinar matahari yang menyusup di antara gumpalan-gumpalan  awan membentuk garis-garis yang sangat indah. Awan yang tadinya biru gelap laksana kelunturan warna merah, jingga dan kuning. Munculnya matahari serta merta mengubah suasana puncak menjadi lebih hidup. Tak lama kemudian, matahari kembali masuk di balik awan. Tapi cahayanya tak bisa disembunyikan lagi, pagi memang sudah tiba. 

Sinar yang menerangi puncak Kelimutu membuat kami sadar, ternyata danau yang satu lagi ada di sisi kanan berhimpit dengan danau hijau tosca. Terlihat kecil, karena letaknya jauh. Warnanya hijau daun. Dilihat dari tempat kami berdiri, kedua danau ini tampak hanya dibatasi oleh dinding batu cadas. Ketiga danau yang airnya nampak seperti dicat dengan latar belakang bukit-bukit hijau dan awan biru, putih dengan semburat jingga dan merah menghasilkan pemandangan yang sangat indah. Tidak bosan-bosannya mata memandang lukisan alam yang setiap detik berubah itu. 

Matahari semakin tinggi. Langit menjadi semakin terang dan warna ketiga danau semakin jelas. Terlihat ada percikan-percikan air dan alur-alur berwarna kekuningan di permukaan danau yang berwarna hijau tosca yang menunjukkan keaktifan kawah. Berbeda dengan permukaan danau yang berwarna merah tua yang tampak tenang dan dingin tanpa gejolak. 

Ada rasa enggan untuk meninggalkan lokasi ini. Namun matahari sudah semakin tinggi. Kamipun mulai menuruni anak-anak tangga. Setelah beberapa ratus meter berjalan, kami berhenti untuk melihat danau yang berwarna hijau tua dari dekat. Ada pelataran berpagar untuk melihat danau ini dari dekat. Ternyata danau ketiga ini besar juga. Terlihat pula percikan-percikan air di permukaan airnya yang menunjukkan keaktifannya. Rasanya tidak habis-habisnya kekaguman kami melihat pesona danau Kelimutu ini. Rombongan lain sudah turun lebih dahulu, demikian pula para pedagang. Kamipun menyusul mereka.

Karena sudah terang, kami dapat melihat pemandangan di sepanjang jalan setapak. Ada banyak pohon pinus dan cemara. Ada juga tempat konservasi tanaman-tanaman khas setempat, burung dan serangga. Semuanya melengkapi keindahan Danau Kelimutu. Mudah-mudahan terjaga kelestariannya. (Melinda)

Kemping di kapal


Akhirnya datang juga kesempatan  bagi kami sekeluarga untuk kemping bersama. Kemping yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya dan kesempatan yang datang tanpa kami duga sebelumnya, yaitu kemping di kapal. Kami kemping di kapal Tiga Putra yang berjalan dari Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur sampai Labuhan Lombok selama 4 hari 3 malam. Kapal ini adalah kapal nelayan yang telah sedikit dipermak sehingga cukup nyaman bagi orang yang tidak biasa berlayar layaknya nelayan. Asiknya, kami adalah penumpang satu-satunya dalam pelayaran ini. Tidak ada penumpang lain. Serasa berlayar di kapal pribadi.

Kami tidur di dek kapal yang diberi atap terpal, beralaskan matras dan sepotong bantal kecil yang selalu lembab karena udara di kapal yang selalu dipenuhi uap air laut. Untuk mengatasi tiupan angin dingin di malam hari, kami menggunakan jaket, celana training dan kaus kaki serta selimut. Dek kapal dengan atap terpal inilah yang menjadi tenda kami.

Kamar mandi kami terletak di bagian depan kapal. Yang dimaksud adalah daerah di sekitar 2 tong air bersih yang diletakkan di bagian depan kapal. Di sinilah kami menciprat-cipratkan air ke tubuh kami 2 kali sekali dan menyikat gigi. Tidak jarang, tumpahan air yang membasahi salah satu dari kami ditampung oleh yang lain yang  mengambil posisi lebih rendah. Mandi rame-rame! Selain area kecil ini, tentu saja laut di sekitar kami juga menjadi kamar mandi kami. Menurut istilah orang NTT, bermain air adalah mandi. Jadi kalau kami snorkeling atau berenang di laut, berarti kami mandi.

Ruang makan kami berada di geladak. Geladak ini juga diberi atap terpal, sehingga kami tidak kehujanan atau kepanasan saat makan. Cukup dengan menggelar karpet berukuran 1,5 x 1,5 meter, jadilah meja makan kami. Nasi dan lauk-pauk disajikan di karpet dan kami makan di sekitarnya. Makanan dipersiapkan di dapur yang terletak di buritan. 

Tempat paling enak di area kemping kami adalah haluan kapal. Duduk di haluan sambil memandang laut lepas ditambah terpaan angin yang ditimbulkan oleh dorongan laju kapal menimbulkan sensasi seperti terbang menembus angin. Selain pemandangan dan terpaan angin, tentu saja juga terik sinar matahari yang membakar kulit menjadi ciri khas acara kemping kami.

Sebagai penerangan di malam hari, ada lampu di dek dan di kamar kecil yang menggunakan tenaga matahari. Penggunaan listrik harus irit, karena panel sel surya hanya kecil dan kapasitas aki penampung listrik juga kecil. Pada saat kapal berjalan di malam hari, lampu di dek dimatikan agar lampu di tiang haluan dapat dinyalakan. Pengisian listrik untuk kamera dan telepon genggam hanya dapat dilakukan pada siang hari, juga dengan memanfaatkan tenaga matahari. 

Seperti di tempat-tempat kemping lain, pada malam hari kami dapat melihat dengan jelas keindahan langit yang dipenuhi benda-benda langit. Tidak ada polusi cahaya lampu. Ada tiga hal yang istimewa dibanding kemping di tempat-tempat lain. Pertama adalah  pemandangan di sekitar yang selalu berubah, mulai dari panorama hutan-hutan bakau, ikan terbang, lumba-lumba, pulau-pulau dengan aneka bentuk pantainya hingga riak, ombak dan pertemuan arus air yang menciptakan permukaan air laut yang berubah-ubah.

Hal kedua adalah kesempatan melihat matahari terbit dan terbenam. Matahari terbit dan tenggelam yang menghasilkan pemandangan yang tidak pernah sama setiap hari. Di tempat lain hanya ada satu kesempatan, melihat matahari terbit atau tenggelam saja atau bahkan tidak kedua-duanya.
Yang terakhir adalah kesempatan melihat pelangi utuh berbentuk setengah lingkaran karena tidak ada halangan yang menutupi pandangan ke cakrawala. Kami dapat melihat kedua ujung busur pelangi yang menembus bentangan. 

Kegiatan kami pada hari pertama adalah mandi (yang berarti snorkeling) di perairan Pulau Kelor dan trekking di padang sabana Pulau Rinca. Di pulau ini kami berburu komodo dengan senjata kamera. Sayang saat itu adalah bulan Juli yang merupakan musim kawin komodo, sehingga kami hanya menjumpai sedikit komodo. Kebanyakan komodo berada di dalam hutan. Malam harinya kapal bermalam di sekitar sarang kelelawar di Pulau Komodo. Suara teriakan kelelawar yang sesekali memecah kesunyian malam menjadi nyanyian pengiring tidur kami. Di tempat ini juga kami merasakan sensasi memancing dan mengangkat ikan yang tersangkut kail keluar dari air. Malam itu ada belasan ikan seukuran telapak tangan yang terpancing dan menjadi tambahan sarapan pagi kami besoknya.

Hari kedua diisi dengan kegiatan trekking lagi di hutan Pulau Komodo dan mandi di perairan Pantai Merah yang dipenuhi ikan-ikan serta koral warna-warni dan -lagi-lagi- mandi di perairan pantai Laba. Di Pantai Merah, salah seorang ABK menangkap cumi-cumi besar. Ada sedikit rasa bersalah saat melihat cumi-cumi itu ditangkap, juga saat melihatnya berubah  menjadi hidangan makan malam kami. Cumi itu alot digigit. Kasihan…. rasanya memang cumi-cumi itu bukan makanan kami. Malam harinya, kapal terus melaju di tengah gelombang laut yang cukup besar. Jadi kami tidur dalam kapal yang oleng dan diiringi musik dari mesin kapal yang bersuara keras ditambah desiran angin dingin yang menyusup di sela-sela terpal yang menutupi dek.

Pada hari ketiga kami mampir di Pulau Satonda untuk melihat danau berair asin yang berada di tengah pulau. Danau ini dikelilingi oleh pebukitan yang ditumbuhi pepohonan besar. Di tempat ini kami menikmati pemandangan yang sangat indah dibumbui dengan keheningan alam yang meneduhkan. Sebetulnya kami bisa mandi di danau ini, tapi rasa ngeri akan ketenangan permukaan air membuat kami urung melakukannya.

Setelah dua jam pelayaran dari Pulau Satonda, kami berhenti di Pulau Moyo untuk mandi di air terjun. Pantai  Pulau Moyo landai, sehingga kapal tidak dapat merapat dan kami turun di tengah laut dan berenang sambil melihat taman laut menuju pantai. Perlu berjalan sekitar 10 menit di sekitar  aliran air sungai menuju air terjun. Saat itu air terjun tidak terlalu deras alirannya.  Tidak ada pengunjung lain sehingga kami dapat mandi dengan bebas. Inilah mandi “belas dendam” kami setelah 2 hari hanya bisa mandi air asin atau mandi cipratan air tawar. Rasanya segar sekali.

Itu adalah mandi kami yang terakhir. Demi menjaga kesegaran setelah mandi air tawar, kami memilih menumpang sampan untuk kembali ke kapal dibanding berenang. Di pulai ini pula, kapal menambah persediaan air tawar untuk mandi, mencuci dan memasak. Setelah itu tidak ada aktivitas lagi selain menunggu hari dan malam berlalu. Malam itu kami sudah tiba di perairan Lombok timur dan bermalam di kapal. Karena kapal sudah tidak berjalan lagi, kami dapat tidur dengan nyenyak dan paginya bangun dengan tubuh yang segar. 

Pagi itu kami masih mendapat sarapan untuk terakhir kalinya di kapal. Menunya mi instan goreng dan telur, bahan makanan yang masih tersisa di kapal. Pukul 7.30 kapal merapat di pelabuhan. Itulah bagian akhir kemping kami. Pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman yang menjadikan kami sangat kaya akibat rangkaian pertunjukan karya Sang Pencipta yang bertubi-tubi. (Melinda)