Tampilkan postingan dengan label Thailand. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Thailand. Tampilkan semua postingan

Kendaraan di Thailand

Selain makanan dan tempat wisata, alat transportasi adalah salah satu hal yang menjadi obyek wisata kami setiap kami bepergian ke suatu tempat. Setiap alat transportasi unik di suatu tempat pasti menarik minat kami untuk menaikinya. Berikut ini catatan tentang pengalaman kami menaiki beberapa kendaraan selama cuti di Thailand.

Yang pertama adalah tuk tuk. Silakan membaca Keliling kota Bangkok dengan tuk tuk tanpa tertipu yang berisi pengalaman kami dengan tuk tuk di Bangkok. Ada 2 jenis tuk tuk yang kami jumpai, yaitu tuk tuk dengan tempat supir di depan(di Bangkok) dan tuk tuk dengan tempat supir di samping penumpang(di Aonang).       

Kendaraan lain yang bisa ditumpangi untuk menempuh jalan darat di dalam kota adalah bis kota. Bentuknya seperti metromini di Indonesia. Bedanya, karcis dibeli di loket, ada kepastian mengenai waktu pemberangkatan dan tidak berdesak-desakan.

Selain bis berbentuk metromini, ada lagi bis yang berbentuk seperti truk mini. Penumpang didudukkan di bak belakang yang telah dipasangi bangku panjang berhadapan. Seperti tuk tuk, hanya ada penutup atas, sehingga angin dapat masuk dari samping. Ada lagi sejenis angkot yang didisain seperti  bis truk mini, dengan bukaan di samping untuk aliran angin. 

Untuk jarak jauh, ada bus mini yang ber-AC. Bus mini itu mirip travel di Indonesia yang digunakan untuk menempuh perjalanan antar kota. Kami beberapa kali menumpanginya, yaitu dari Bangkok menuju Kanchanaburi dan dari Chumpon menuju pelabuhan ferry. Cukup nyaman untuk perjalanan beberapa jam, namun tidak cukup nyaman bagi kaki untuk perjalanan lebih dari 4 jam, karena tidak bisa diselonjorkan.

Di Koh Samui, ada kendaraan antar kota yang disebut taksi. Meskipun antar kota, waktu tempuhnya tidak dalam hitungan jam, karena Koh Samui adalah pulau kecil. Bentuknya seperti colt dengan bak terbuka. Di bak itulah penuumpang duduk di bangku yang dipasang sejajar. Untungnya udara Koh Samui belum tercemar polusi, sehingga menumpang taksi gaya Samui itu bukan masalah bagi kami.

Perjalanan terjauh kami dengan kendaraan adalah perjalanan dari Bangkok menuju Chumpon dengan kereta api. Kami melalui satu malam di kereta api, karena itu kami mengambil gerbong sleeper train. Pada jam tidur, bangku-bangku di gerbong ini disulap menjadi tempat tidur susun bertirai. Cukup nyaman dan bebas gangguan dari luar. Satu-satunya gangguan berasal dari dalam diri kami berupa kecemasan kami kalau-kalau stasiun Chumpon terlewat saat kami tertidur.

Karena hampir setiap hari cuti kami di Thailand berhubungan dengan air, hampir semua kendaraan air pernah kami tumpangi. Kendaraan air pertama yang kami tumpangi adalah ferry Sungai Chao Phraya yang rutenya menyusuri sungai yang membelah kota Bangkok dan berhenti di beberapa halte di tepi sungai. Ferry ini merupakan kendaraan umum masyarakat kota Bangkok. Bentuknya seperti sampan besar yang diberi atap pelindung.

Selain itu, ada lagi ferry yang menghubungkan Thailand bagian Asia daratan dengan pulau-pulau kecil yang berjarak cukup jauh. Perlu waktu beberapa jam untuk menempuhnya. Bentuknya seperti ferry yang lazim ada di Indonesia, ada ruangan khusus penumpang yang nyaman dengan pendingin udara, video dan kantin kecil.

Untuk rute pendek dengan jarak tempuh dalam hitungan menit, digunakan longtail boat. Perahu ini banyak dijumpai di Pantai Aonang, berfungsi sebagai kendaraan umum yang dapat dimuati 6 hingga 8 penumpang. Dari Pantai Aonang ada beberapa rute longtail boat ke pulau-pulau di seberangnya. Tiket perahu dijual untuk rute pergi pulang.

Dalam wisata ke Taman Nasional di pulau Ang Thong, kami menyeberangi laut dengan sebuah speed boat kayu. Interior kapal memang dibuat khusus untuk wisatawan, jadi ada meja makan memanjang. Di bangku-bangku yang berada di sekitar meja makan itulah penumpang duduk untuk makan, mendengarkan pemandu wisata, ngobrol dan tidur. Tersedia juga sejumlah kayak berikut jaket pelampung yang dapat digunakan untuk berwisata di sekitar batu-batuan yang ada di perairan dangkal.

Ada satu kendaraan khas Thailand yang kami tumpangi saat trekking di sebuah hutan, yaitu gajah. Pengalaman ini sangat berkesan mendalam bagi kami, karena selain baru pertama kali mengalaminya, juga daerah jelajahnya tidak biasa. Kami merasa beruntung karena mendapatkan kesempatan naik gajah di habitatnya, bukan di kota besar dengan pernak-pernik yang menghiasi tubuhnya. Ada pengalaman digoncang-goncang saat gajah harus meniti tanjakan, turunan atau mencabut rumpun tanaman yang menghalangi jalannya. Pengalaman satu jam yang berkesan.

Ada saat kami harus menempuh perjalanan yang tidak bisa ditempuh dengan kendaraan apapun, ketika kami harus menaiki 200-an anak tangga curam di Tiger Cave Temple. Atau saat mendaki dan menyusuri sungai untuk mencapai air terjun. Mau tidak mau, sandal gunung menjadi satu-satunya pilihan kami. Sandal gunung memang wahana paling nyaman untuk bepergian ke manapun, jalan mulus, berbatu, berlumut, berpasir, berair, datar, bergelombang, menanjak, maupun menurun. Mungkin hanya diriku yang menganggap sandal gunung sebagai alat transportasi.....

Melinda

Keliling kota Bangkok dengan tuk tuk tanpa harus tertipu

Hampir semua orang yang pernah mengunjungi kota Bangkok mengenal kendaraan ini. Tuk tuk, kendaraan umum beroda tiga yang dijalankan dengan mesin. Kendaraan ini dapat memuat 3 orang penumpang plus supir.

Banyak wisatawan yang mewanti-wanti calon wisatawan lain, agar tidak sampai tertipu dengan tawaran supir tuk tuk yang mencegat di jalan dengan menawarkan wisata keliling kota Bangkok dengan murah. Biasanya supir ini bekerja sama dengan orang lain yang menawarkan informasi wisata. Yang menjadi sasaran adalah wisatawan yang terlihat sedang mencari kendaraan atau sedang melihat peta kota Bangkok. Calo memulai rayuannya dengan menyapa ramah wisatawan. Dilanjutan dengan memberikan informasi tentang tempat-tempat wisata. Dengan cara halus, calo mengarahkan wisatawan menggunakan tuk tuk untuk berkeliling kota Bangkok dengan harga murah. Tentunya dengan sedikit tipuan, misalnya dengan mengatakan tempat yang ingin dituju wisatawan sedang tutup.

Persis sama seperti tukang-tukang becak di Malioboro, Yogyakarta yang menawarkan wisata berkeliling keraton dan sekitarnya dengan harga murah. Memang kenyataannya harga yang harus dibayar wisatawan kepada supir tuk tuk sesuai kesepakatan di awal, murah. Selama perjalanan, supir akan banyak bercerita layaknya pemandu wisata.

Selain mengantarkan wisatawan mengunjungi tempat-tempat menarik, supir tuk tuk juga akan membawa penumpangnya ke toko-toko dan agen wisata yang akan memberikan tip kepada supir, baik berupa voucher bensin atau komisi atas pembelian penumpang. Dari sinilah supir memperoleh penghasilan sesungguhnya.

Namun, kami tidak merasa tertipu saat kami menerima tawaran seperti ini dari seorang supir tuk tuk.  Memang kami merasakan juga saat supir membual  dan berusaha menipu, misalnya dengan mengatakan bahwa tuk tuk nya adalah milik pemerintah, karena berplat kuning. Setelah beberapa jam berkeliling, kami mengetahui bahwa sama seperti di Indonesia, semua kendaraan umum berplat kuning. Tidak ada yang berplat putih atau warna lainnya.

Atau saat terakhir ketika kami diantar ke pelabuhan ferry sungai Chao Phraya. Kami tidak merasa berkewajiban menuruti anjuran supir untuk menaiki kapal sewaan untuk menyusuri sungai. Kami memilih ferry karena mengetahui ada ferry yang berangkat pada jam-jam tertentu. Begitu pula ketika kami dibawa ke toko kain tradisional dan batu-batuan. Karena kami tidak berminat, ya kami hanya melihat-lihat saja tanpa merasa terpaksa harus membeli. Supir tuk tuk tetap mendapatkan jatah bensinnya dari pemilik toko.

Bagi kami, ini bukan penipuan. Di agen wisata yang menurut supir tuk tuk merupakan agen resmi pemerintah, kami membeli wisata 3 hari 2 malam ke Kanchanaburi (The Bridge on the River Kwai dan sekitarnya). Kami tidak merasa dipaksa membeli, karena memang wisata ke Kanchanaburi ini merupakan salah satu tujuan wisata kami di Thailand. Kalau kami mencari sendiri, mungkin akan lebih melelahkan dan menyita waktu. Soal harga, ketika kami membandingkannya dengan wisatawan lain yang seperjalanan, masih masuk di akal. Bahkan ada yang membayar hampir sama dengan kami untuk wisata 2 hari 1 malam.

Soal tertipu atau tidak, tergantung yang akan ditipu. Mau ditipu atau tidak. Kalau tidak mau ditipu, ya harus mengetahui dulu situasi tempat yang dituju, jangan buta sama sekali. Supir tuk tuk memang harus mahir menyetir tuk tuknya, tapi stir tuk tuk ada di depan. Dia tidak harus menyetir penumpangnya yang duduk di belakang.

Melinda

ANTARA BANGKOK DAN CHUMPHON

Salah satu pengalaman menarik kami di Thailand adalah mandi di Stasiun Kereta Api Hualamphong, Bangkok. Jangan bayangkan toilet di Stasiun Gambir. Toilet di Hualamphong sangat bersih dan terawat. Dengan membayar 20 baht (sekitar Rp 6.000,-), toilet ini dapat dimanfaatkan untuk buang air, mandi, sikat gigi dengan nyaman. Pengalaman ini adalah salah satu kenekadan kami selama di Thailand. Kami membatalkan rencana menginap di Bangkok 1 malam lagi setelah pulang dari Kanchanaburi sebelum melanjutkan perjalanan ke arah selatan, tepatnya ke Chumphon yang dilalui kereta api juga sebelum menuju Ko Tao, salah satu pulau di Teluk Thailand.

Ketika kami berada di luar Stasiun Hualamphong, ada seorang perempuan yang menghampiri kami dan menanyakan tujuan kami. Sepertinya calo. Bedanya dengan calo di Indonesia, orang ini tidak memaksa atau membututi kami terus menerus. Kami tidak merasa terganggu dengan calo ini. Di dalam stasiun yang ukurannya sangat besar, ada beberapa orang berseragam yang salah satunya menyapa kami dengan bahasa Inggris yang sangat baik. Rupanya ini adalah customer service stasiun. Dari orang ini kami mendapat informasi mengenai tiket kereta yang harus kami beli berikut kelas yang tersedia, harga, waktu keberangkatan serta waktu tempuh. Dari orang ini pula kami mengetahui bahwa di stasiun ini kami dapat membeli tiket terusan hingga Koh Tao, artinya selain tiket kereta api, kami bisa membeli tiket ferry plus mobil jemputan dari stasiun sampai dermaga ferry. Enaknya menjadi turis di Thailand......

Setelah tiket sleeper train (yang gambarnya ada di bagian atas kiri tulisan ini) ada di tangan, masih ada waktu sekitar 2 jam sebelum keberangkatan kereta. Berarti cukup waktu untuk mandi dan makan malam. Mandi di stasiun kereta api! Sebuah pengalaman yang belum pernah kami alami sebelumnya, mandi dalam arti sesungguhnya! Tubuh terasa benar-benar segar dan bersih setelah mandi. Berbeda dengan pengalaman mandi koboi di Hoi An tahun lalu.

Di Stasiun Hualamphong, seperti umumnya stasiun kereta api lainnya, banyak dijumpai kios makanan. Ada banyak pilihan makanan. Kami memilih makan di foodcourt yang menjual makanan-makanan khas Thailand.

Ada hal unik yang terjadi tepat pk. 18.00. Sebuah lagu dikumandangkan, dan semua orang (kecuali turis asing, mungkin) berdiri tegak dengan sikap hikmat hingga lagu berakhir. Setelah beberapa hari di Thailand, kami baru mengerti. Rupanya setiap hari, pada pk. 18.00 lagu kebangsaan Thailand dikumandangkan, termasuk di TV dan semua orang harus menghormatinya dengan berdiri tegak. Hal ini mengingatkan kami pada kebiasaan mengheningkan cipta di Indonesia setiap tanggal 10 November yang belasan tahun yang lalu dicanangkan. Kebiasaan yang sulit sekali dibentuk, dan beberapa tahun belakangan malah memudar.

Pk. 19.30 kereta api berangkat. Ketika kami memasuki gerbong, tidak nampak sama sekali gerbong kami adalah sleeper train. Bentuknya sama seperti gerbong lain, dengan bangku yang berhadap-hadapan. Di gerbong itu ada seorang pertapa Budha yang ramah sekali. Dia berusaha menolong kami mencari tempat duduk kami dan menanyakan tujuan kami. Darinyalah, aku mengetahui cara melafalkan Chumphon. Bunyinya sama seperti tulisannya dengan aksen di 'ph', yang dibunyikan seperti yang tertulis, bukan 'f '. Sekitar pk 21.00, ketika kantuk sudah mendera, barulah tempat-tempat tidur dibuka oleh petugas. Tempat tidur dengan sprei, bantal bersarung, selimut serta tirai yang baru dibuka dari kemasan laundry.

Meski tempat tidur cukup nyaman, tidurku tidak nyenyak. Beberapa kali aku terbangun karena kereta berhenti. Setiap kali berhenti, aku melihat jam karena menurut jadwal, kereta akan tiba di Chumphon pk. 3.45. Jangan sampai nanti terlewat! Sekitar pk. 3.30 ada sepasang turis muda yang bersiap-siap turun, membawa ransel dan kopernya, berjalan menuju pintu keluar gerbong yang masih terkunci dan berdiri di depan pintu. Kami juga bersiap-siap, mengikutinya. Hingga pk. 4.30 pintu belum juga dibuka, meski kereta sudah beberapa kali berhenti. Sungguh membingungkan dan tidak ada orang yang bisa ditanya. Pertapa Budha itu berusaha menolong kami dengan melihat nama stasiun tempat kereta berhenti dan menjelaskan bahwa Chumphon masih ada di depan. Namun usaha pertapa ini tidak menghilangkan kebingungan kami.

Hingga matahari terbit, kami masih dalam kebingungan. Akhirnya menjelang pukul 7, kereta api tiba di Chumphon. Rupanya di Thailand berlaku juga kata terlambat dan yang menakjubkan, terlambatnya hingga 3 jam lebih!

Jika mengikuti jadwal, ferry menuju Koh Tao berangkat pk 7.00. Rupanya cukup banyak penumpang kereta yang akan melanjutkan perjalanan ke Koh Tao dengan ferry yang sama dengan kami, jadi keberangkatan ferry ditunda. Jadi keterlambatan kereta api tidak membuat kami ketinggalan ferry yang tiketnya sudah kami beli di Bangkok. Untunglah.....

Melinda

THE BRIDGE ON THE RIVER KWAI dan sekitarnya

Kanchanaburi adalah sebuah kota dengan suasana pedesaan yang terletak di sebelah barat kota Bangkok dan berbatasan dengan Myanmar. Ada sebuah tempat yang menarik kami di sini sehingga masuk ke dalam jadwal cuti kami selama di Thailand, yaitu Bridge on the River Kwai. Jembatan ini merupakan sebagian rel kereta api sepanjang 415 km yang dibangun pada masa Perang Dunia II untuk menghubungkan Thailand dengan Myanmar. Jembatan itu sempat diledakkan pada masa Perang Dunia II sehingga disebut juga sebagai Death Railway. Setelah perang usai, jembatan dibangun kembali dan hingga kini masih kokoh dan digunakan untuk napak tilas. Ada kereta api yang sewaktu-waktu melewati rel di jembatan itu.

Kami berjalan menyusuri jembatan ini dari ujung ke ujung. Setiap beberapa meter, jembatan melebar untuk memberi tempat bagi pejalan kaki untuk berhenti menikmati pemandangan di sekitar atau untuk menepi apabila ada kereta api yang akan lewat. Kereta api akan lewat dengan kecepatan yang sangat lambat, tidak memungkin terjadinya tabrakan kereta dengan pejalan kaki yang menyusuri rel. Bahkan orang dapat berfoto dahulu di depan kereta api yang berjalan sebelum menepi.

Ada sensasi yang tak teruraikan dengan kata-kata pada saat menyusuri jembatan itu. Menjelang ujung barat jembatan, ada pengamen yang memainkan Colonel Bogey March dengan biolanya dan sepertinya sengaja dibuat sedikit fals untuk menciptakan suasana mencekam. Saat berada di tengah jembatan, kereta, tiba-tiba aku teringat cerita tentang suami Mak Tiok yang hilang pada jaman Jepang dulu dan kabar burung yang mengatakan beliau dibawa ke Burma untuk kerja paksa. Untuk pembangunan rel kereta yang membentang inikah?


Tidak jauh dari jembatan ini, ada Museum Perang Dunia II. Sebuah museum yang berisi segala macam benda peninggalan masa Perang Dunia II, mulai dari mesin tik, baju seragam, senjata, mobil, cangkir, uang hingga dental unit. Sayangnya, museum ini tidak terawat dan tidak tertata dengan baik. Banyak benda-benda yang sudah karatan, berdebu dan digeletakkan begitu saja dalam suatu lemari kaca. Benda yang ada dalam satu lemari bisa saja berbeda jenisnya, misalnya teko berjejer dengan seragam tentara. Dental unit yang tidak terlalu kuno terpampang dalam keadaan penuh karat tidak terurus. Padahal jenis yang sama masih kugunakan di akhir tahun 80-an di poliklinik gigi Universitas Trisakti!

Di museum ini juga ada patung-patung, gambar dan diorama yang menggambarkan keadaan pada masa perang, khususnya diorama tentang proses pembuatan jembatan rel kereta api yang melintas di Sungai Kwai.

Di gedung yang berlantai 3 ini, terdapat galeri seni dan museum pra-sejarah. Satu lantai digunakan untuk memajang baju-baju tradisional dan baju-baju yang digunakan oleh Putri -Putri Thailand. Dindingnya dihiasi gambar wajah Putri-Putri Thailand mulai dari sekitar tahun 1930-an hingga tahun 2000-an. Kalau boleh berkomentar, museum ini betul-betul acak-ablak, tidak jelas. Ke-acak-ablak-an makin terasa ketika kami menjumpai seekor iguana yang terikat di halaman dan menjadi obyek foto turis. Tidak jauh dari iguana ada sebuah kotak dana!

Ada beberapa tempat lagi di Kanchanaburi yang kami kunjungi, yaitu pasar terapung dan tiger temple sebelum kami mencapai jembatan rel kereta dan museum yang kuceritakan di atas. Malamnya, kami menginap di Kitti Raft yaitu sebuah hotel rakit yang berada di sungai Kwai. Sebenarnya ada beberapa tempat wisata alam di Kanchanaburi, namun kami hanya sempat mengunjungi 2 buah air terjun.



Saiyok Damnoen Saduak Floating Market

Sesuai dengan namanya, ini adalah pasar terapung di kanal Damnoen Saduak. Kanal ini dibuat oleh Raja Rama IV untuk menghubungkan Sungai Mekong dan Sungai Taachin. Buku Lonely Planet menganjurkan untuk mengunjungi pasar terapung ini pada pagi hari untuk melihat kegiatan pasar sesungguhnya. Sayangnya, kami datang di siang hari karena mengikuti paket tour dari Bangkok. Yang kami dapati di sana adalah pasar terapung untuk turis. Sebetulnya pasar ini tidak menarik, karena pasar terapung ada juga di Indonesia. Bahkan lebih besar. Bandingkan saja ukuran lebar Sungai Barito dan lebar kanal Damoen Saduak. Namun, karena kami belum pernah melihat pasar terapung, ya kami mampir juga. Karena namanya floating market, ya.... kami menyewa perahu untuk melihat pasar itu. Senang juga mendapat pengalaman membeli spring roll di perahu lain dengan cara berteriak kepada pemilik perahu yang menjual spring roll kemudian bertabrakan dengan perahu lain dalam usaha mendekati "perahu spring roll". Setelah perahu selesai menyusuri kanal, kami menyadari ternyata tanpa perahupun, pasar ini dapat dikelilingi. Pasar ternyata ada di daratan yang dikelilingi oleh kanal! Perahu pedangang yang ada di kanal hanya sedikit dibanding yang ada di daratan. Barang yang dijualpun tidak istimewa, seperti di pusat-pusat turis lainnya, Kao San Street misalnya. Mungkin karena memang pasar sesungguhnya yang berlangsung pagi hari sudah bubar.

Tiger Temple (Wat Pha Luang Ta Bua)

Ada yang khas pada Tiger Temple dibandingkan kuil-kuil Budha lain yang ada di Thailand, kuil ini dihuni tidak hanya oleh pertapa Budha tapi juga harimau. Di kuil ini dijumpai banyak harimau yang cukup jinak sehingga dapat disentuh. Harimau-harimau ini sudah dijinakkan, artinya tidak pernah diberi makan daging mentah. Meski demikian, kewaspadaan tetap diperlukan. Pakaian merah tidak boleh digunakan di kuil ini kalau tidak ingin menjadi mangsa harimau-harimau yang pada dasarnya liar ini.

Untuk mencapai tempat ini, kami harus berjalan masuk ke sebuah lembah tempat belasan harimau dewasa terikat. Ada beberapa relawan yang siap menemani turis yang datang. Satu orang turis akan didampingi oleh satu relawan. Ada juga relawan yang membuat foto serta video, sesuai dengan keingingan turis. Di lembah ini, kami dapat membelai atau sedikitnya berfoto di sebelah harimau. Sebuah pengalaman yang mendebarkan! Di lokasi lain tidak jauh dari lembah, ada sekumpulan anak-anak harimau yang terlihat menggemaskan. Yang menyebalkan, video yang berisi rekaman aku membelai harimau-harimau hilang! Sementara foto-fotoku bersama harimau nyaris tidak ada, karena relawan yang memegang kamera foto hanya mengambil gambar guru hebatku dan balerinaku. Hiks! Namun, meski tanpa gambar, ada kebanggaan tersendiri bahwa aku pernah membelai harimau.

Kitti Raft

Kitti Raft adalah salah satu penginapan di atas rakit yang didirikan di tepi sungai Kwai. Pengalaman bermalam di tepi sungai merupakan sesuatu yang berkesan karena unik. Jumlah kamar tidak lebih dari 20 buah, semuanya menghadap ke sungai. Dinding bambu dan lantai kayu memberi kesan alamiah, sesuai dengan pemandang alam indah yang dapat dinikmati dari teras kamar berupa bukit-bukit dengan pepohonan hijau di sekitar sungai. Jauh dari keributan mesin mobil atau mesin lainnya. Yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang dari balik daun-daun pepohonan. Bahkan suara airpun hanya terdengar sesekali, saat ada perahu lewat. Tempat yang tepat untuk menyepi.

Kupikir..... rute Kanchanaburi merupakan salah satu rute cuti kami tahun ini yang berkesan mendalam.

Melinda

Kupikir...... makanan Thailand tidak terlalu istimewa

Salah satu hal penting yang pasti kami lakukan apabila berada di suatu tempat yang baru adalah mencicipi makanan khas tempat tersebut. Kebetulan aku dan Rasid adalah pemakan segala dan membiasakan Aurima untuk menyukai segala makanan. Jadi, salah satu kegiatan yang pasti masuk jadwal acara cuti adalah makan! Dan, selalu kami makan 3 kali sehari agar tidak kehilangan kesempatan mencicipi makanan khas tempat yang kami kunjungi. Diet yang berbeda sama sekali dengan diet sehari-hari kami. Jangan heran, setiap akhir cuti tubuh kami melar ke depan dan ke samping, sementara pipi kami bertambah montok selain tentunya kulit yang lebih gelap. Hal yang terakhir bukan karena makanan kami, tetapi karena kebiasaan kami beraktivitas di udara terbuka selama cuti dan dengan sendirinya terpapar sinar matahari.

Selain Tom Yam Kung (aku baru tahu Kung berarti udang) dan nasi goreng nanas yang sudah biasa kami jumpai di Indonesia, ada beberapa makanan Thailand yang kami cicipi dalam cuti tahun ini. Hampir semua makanan kami dapati di pinggir jalan atau pasar malam. Kami sengaja tidak makan di restoran untuk mendapatkan cita rasa asli makanan Thailand. Berikut ini adalah beberapa makanan yang kami cicipi :

SOM TUM

Som Tum atau papaya salad banyak dijual di tepi jalan, biasanya dijual bersama daging berbumbu kuning yang disate dalam ukuran besar dan ketan hangat. Som Tum berisi parutan kasar wortel, pepaya muda, kol yang 'dibebek' dalam alu yang ukurannya lebih besar daripada alu untuk rujak bebek. Bahan-bahan ini dibebek bersama kepiting kecil yang sudah diolah lebih dulu, ebi, bawang putih, sejenis terasi, garam, air jeruk lemon dan kacang. Cara pembuatannya yang unik secara psikologs menambah enak rasa salad ini.

Ada sejenis lagi salad yang tidak sempat kucatat namanya. Sama seperti Som Tum, salad ini dibuat sesaat sebelum dimakan. Isinya adalah beberapa jenis seafood yang direbus, kulit ceker ayam rebus, wortel dan kol iris, soun rebus, bawang merah, tomat, daun ketumbar, daun bawang yang diaduk menjadi satu dalam mangkok dan dibubuhi saus sambal, cuka, garam dan beberapa jenis larutan yang tidak kuketahui. Rasanya segar, sama seperti umumnya salad.

Kupikir.... salad-salad ini unik, manambah wawasanku tentang keanekaragaman salad. Namun soal rasa..... tidak ada yang menandingi rujak pengantin, apalagi dengan bumbu kacang buatan maminya Sian Ing.

PAD THAI

Ini adalah makanan pertama yang kami makan begitu tiba di Bangkok. Pad Thai adalah mi yang digoreng bersama toge, wortel iris, kopyokan telur dan kecap, ditambah taburan kacang tanah tumbuk. Ada beberapa jenis mi di Thailand : mi seperti ada di Indonesia yang berwarna kekuningan, bihun dari tepung beras, bihun dari tepung ketan, kuetiaw dan cicongfan. Yang baru buatku adalah bihun dari tepung ketan. Pad Thai biasanya dijual bersama sate sosis, baso dan olahan daging lainnya buatan pabrik yang diberi bumbu manis asam sebelum dibakar.

Kupikir...... rasa Pad Thai biasa saja, sama seperti mi goreng di Indonesia. Bahkan, menurutku di Indonesia jauh lebih enak, karena ada baso, udang, ayam atau daging lainnya, dan bumbu yang digunakan lebih banyak sehingga menghasilkan citarasa yang bikin kangen.

NAMRIK

Namrik adalah adalah sayur-sayuran mentah (terong bulat, kecipir, timun, toge panjang, daun slada dan lain-lain) yang dilalap dengan saus yang terbuat dari udang. Sayang aku tidak sempat mengicipi, karena aku menjumpainya hanya sekali dan dalam keadaan sangat kenyang.


OMUK

Omuk adalah sejenis pepes dengan cara membungkus berbeda seperti pepes di Indonesia. Omuk dibungkus hingga bentuknya seperti bungkusan jongkong kopyor. Bumbu yang digunakan memang berbeda dengan pepes di Indonesia. Rasa kari-nya menonjol ditambah dengan daun ....... ah, aku tidak tahu namanya..... daun yang bentuk dan ukurannya seperti daun kemangi, berbau seperti minyak telon. Daun ini juga yang dijumpai dalam Pho, yang menjadi makanan pokok orang Vietnam.

MASAMAN

Masaman adalah sejenis kari yang berisi irisan kentang, wortel, serta daging ayam, sapi, ikan atau babi. Bedanya, ada tambahan rasa asam dan manis.

Masih ada beberapa jenis makanan lain yang tidak kucatat namanya, karena memang tidak terlalu istimewa. Rasa umumnya sama, ada pedas dan asam di hampir semua makanan.



Kemudian ada makanan-makanan yang sama seperti di Indonesia seperti laksa, mi pangsit, nasi hainam, nasi kuning. Kupikir...... soal rasa, untuk makanan yang sama di Indonesia rasanya lebih enak, lebih bervariasi bumbunya dan isinya.


Begitu juga snacknya, umumnya sama seperti di Indonesia : kue lapis, bubur ketan hitam, bubur candil, dan lain-lain.





Ada beberapa hal yang unik karena baru kujumpai di Thailand :

1. Daging babi merupakan salah satu pilihan daging yang dapat 'dicemplungkan' ke dalam kuah kari, masaman dan kuah bersantan dan berbumbu lainnya. Suatu hal yang tidak pernah kujumpai dan kubuat selama ini.

2. Kacang mede ternyata enak juga bila ditumis bersama daging, bawang bombay, bawang putih dan kecap. Selama ini kami makan kacang mede hanya sebagai camilan.






3. Cakwe dimakan dengan cara mencocolnya pada sejenis bubur sumsum yang agak cair berwarna hijau dan diberi santan.







4. Martabak telur dengan isi yang berbeda, bukan hanya campuran kopyokan telur, daging cincang dan daun bawang. Dengan nama Thai Pan Cake, kulit martabak yang garing itu bisa diisi dengan beraneka macam pilihan, dari pisang dan buah-buahan lain, keju, selai dan lain-lain. Setelah itu di atasnya dituang susu kental manis.




5. Mangga dimakan dengan ketan. Pada awalnya, kami sama sekali tidak berminat untuk mencoba campuran yang aneh itu. Ternyata boleh juga, karena mangga diolah dulu dengan gula sehingga rasanya seperti makan ketan dengan kinca manis.





Ada sejenis makanan yang menjadi obsesi kami sejak masih di Indonesia, yaitu gorengan serangga mulai dari bentuk ulat, kepompong hingga serangga dewasa. Ini semua gara-gara Andrew Zimern yang pernah memakannya dan menyiarkannya melalui Discovery Travel dan Living. Syukurlah.... makanan ini kami jumpai di pasar malam di daerah Khao San, Bangkok pada hari pertama cuti kami dan ternyata kemudian kami menjumpai ada banyak juga di tempat lain. Rupanya serangga adalah camilan biasa di Thailand. Serangga yang digoreng dibumbui garam dan potongan daun bawang goreng. Ada 1 jenis serangga yang agak jarang dijumpai, yaitu kalajengking. Kami tidak mengicipinya, bukan karena tidak mau.... tapi harganya yang tidak masuk akal 10 baht untuk 1 ekor.... hehehe... sayang saja mengelurkan uang sebesar itu untuk camilan yang sekali telan habis.

Kupikir....... dibanding makanan Thailand, makanan Indonesia jauh lebih bervariasi dalam rasa, bentuk dan kandungannya.
Kupikir....... seharusnya makanan Indonesia mempunyai nilai jual lebih tinggi dalam dunia pariwisata dibandingkan makanan Thailand.
Kupikir....... makanan Indonesia bisa menjadi impian pelancong-pelancong di seluruh dunia.

Melinda

MAENAM, KOTA KECIL DI KOH SAMUI

Koh Samui (baca Ko' Semui) adalah sebuah pulau di antara gugusan pulau di teluk Thailand, mungkin pulau terbesar. Pulau ini dapat dicapai dengan ferry maupun pesawat terbang. Koh Samui kami pilih sebagai salah satu tujuan kami selama cuti di Thailand tahun ini, karena berdasarkan buku Lonely Planet, pulau ini mempunyai keindahan pantai setara Phuket namun belum terlalu ramai dikunjungi turis. Kami memilih kota Mae Nam sebagai tempat tinggal juga berdasarkan buku yang sama yang menyebutkan tempat ini merupakan tempat yang tenang.

Kami tidak menyesali tempat yang kami pilih. Mae Nam adalah sebuah kota kecil, terletak di pinggir pantai seperti kota-kota lainnya di Koh Samui. Banyak orang asing tinggal menetap dalam jangka waktu panjang di kota ini, berbaur dengan masyarakat setempat. Suasana kota tenang, menyegarkan jiwa kami yang biasa hidup dan beraktivitas di kota Tangerang dan Jakarta yang selalu ramai dan sibuk.

Di Mae Nam kami dapat merasakah kehidupan masyarakat Thailand sehari-hari, nyaris tanpa polesan-polesan demi pariwisata.






Di pagi hari, kami dapat melihat pasar tradisional yang menjual bahan kebutuhan sehari-hari seperti sembako, sayur, buah, jajanan pasar dan makanan tradisional dengan rasa yang masih asli, belum disesuaikan dengan selera turis.



Sementara di jalan, kami berpapasan dengan karyawan yang berangkat kerja dan mampir di warung bubur di pinggir jalan untuk sarapan. Banyak warung-warung makanan buka di pagi hari dan menggelar meja serta kursi makan di tempat terbuka di pinggir jalan utama Koh Tao.

Di siang hari, aktivitas di daerah penginapan turis yang tidak terlalu ramai didominasi oleh kaum ibu, mulai dari supir minibus yang mengantar turis dari penginapan ke tempat pariwisata, penjual tiket wisata dan perjalanan, manajer rumah penginapan, pemilik rumah makan hingga manajer kapal wisata. Kami nyaris tidak menjumpai laki-laki pada siang hari di kota ini. Perkiraan kami, usaha-usaha yang mereka lakukan ini merupakan usaha sampingan yang dapat dilakukan di rumah, sementara para lelaki bekerja di tempat lain. Usaha sampingan yang tentunya tidak sedikit omzetnya pada saat musim liburan (Desember hingga April).

Pada malam hari, ada pasar malam yang disertai panggung hiburan. Sejenis panggung dangdut atau organ tunggal yang umum di kampung-kampung di Tangerang. Sebelum pentas digelar, ada banyak pedagang-pedagang yang berjualan di sekitar panggung, mulai dari pedagang baju, mainan, pernak-pernik hiasan hingga pedangang makanan yang lagi-lagi.... makanan tradisional. Tidak berbeda jauh dengan pasari-pasar malam yang sering muncul di kampung-kampung di Tangerang.

Noraknya, kami berkeliling di pasar malam tersebut, mencicipi hampir semua makanan yang dijual di sana. Suatu hal yang tidak pernah kami lakukan di Tangerang!

Satu hal lagi yang menarik. Kalau kami tidak salah memperhatikan, satu-satunya lampu lalu lintas yang ada di sepanjang jalan utama di Koh Samui hanya dijumpai di kota Mae Nam. Sebuah lampu pengatur lalu lintas yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan mengingat sepinya lalu lintas di Mae Nam, namun tetap dipatuhi dengan taat.

Melinda