Asyiknya kalau bertugas atau pelayanan ke luar kota adalah sekalian memburu makanan langka dan khas. Pekan lalu, Senin 23 – Selasa 24 Maret 2010, saya mendampingi Tim Betlehem (ini semacam pokja GKI Surya Utama yang tugasnya menyalurkan bantuan sosial gerejawi ke daerah-daerah) mengunjungi GKJ Ngadirejo Papantan Jamus. Kami semua berempat, naik mobil gereja, nyopir bergantian, via Pantura, lama sekali perjalanan sekitar 12 jam.
Setiba di kota kecamatan Ngadirejo, 20 km dari Temanggung, kami disuguhi kopi, kue2 basah, dan makan malam. Ada ikan goreng, sayur, pokoknya seru. Makan sambil bercerita dan kongkow2 tentang kondisi desa Jamus, yang penghasilan utama masyarakatnya berasal dari pertanian tembakau, akhir menyerempet ke soal kuliner. Dari makanan “seadanya”, sampai menyinggung juga soal nasi jagung.
Penasaran tentang apa itu nasi jagung, maklum orang kota, tuan rumah menghidangkan kami nasi jagung. Jadi sebelum kami kembali ke Jakart, Selasa pagi itu kami sudah dua kali sarapan. Sarapan pertama makan nasi biasa, sarapan kedua – selang 2 jam kemudian – nasi jagung dengan bumbu sambel-kelapa.
Pengalaman menarik dan unik. Nasi jagung yang langka dapat kami nikmati di tengah kelelahan perjalanan. Sambutan tuan rumah, Pdt Adi dan istri, yang tulus, menjadi kesan yang mendalam bagi kami. (Rasid Rachman)
Posting ini tertinggal sewaktu bedol blogku ke blog ini beberapa waktu yang lalu. Jadi ditulis ulang. Ditulis pada 22 Januari 2009
Buku ini kutemukan menyempil di antara buku roman dewasa di TB Gramedia Summarecon Mal Serpong. Mungkin ada calon pembeli yang batal membeli dan meletakkannya secara asal di rak. Buku itu sudah tidak ada kemasannya, dan sampul depannya sudah agak lecek. Tertarik pada judulnya, aku segera membuka dan membaca sepintas. Kelihatan menarik, karena itu aku membelinya.
Dalam beberapa hari, buku ini selesai kubaca. Ada beberapa perasaan yang muncul setelah membaca buku ini. Pertama aku merasa sangat menyesal membeli buku ini! Menyesal, karena buku ini membuatku ingin cuti lagi, ingin traveling lagi. Padahal baru sebulan yang lalu aku mengambil cuti. Begitu pandainya Trinity mengungkapkan peristiwa dan perasaan yang dialaminya selama traveling, sehingga menggodaku untuk mengalaminya juga.
Kedua, aku merasa iri pada Trinity. Dia sudah mengunjungi semua provinsi di Indonesia dan 33 negara! Dia punya keberanian untuk berkelana mungkin sejak masih mahasiswa atau bahkan sebelumnya, sehingga setiap kesempatan yang ada akan digunakan untuk berkelana. Dari segi "U", mungkin dia lebih muda sedikit dibandingkan diriku. Tapi dia memasuki dunia traveling jauh sebelum aku memulainya karena itu keberaniannya terus terasah.
Ketiga, aku merasa kagum dengan kenekadannya. Keberaniannya untuk melakukan langkah pertama dalam setiap petualangannya telah membawanya ke dunia yang sangat menarik dan membuatnya menikmati langkah-langkah selanjutnya.
Keempat, selama aku membaca buku ini berkali-kali aku tak bisa menahan tawa dan beberapa kali terpaksa menahan tawa yang mau tumpah gara-gara si Dudi ada di ruangan yang sama (bisa-bisa aku digiring ke RSJ Grogol sama dia....) Cara bertutur Trinity di buku ini memang apa adanya, jadi ungkapan-ungkapan yang tercetus seringkali membuatku tertawa terbahak-bahak.
Kelima, keenam, ketujuh.... tak terungkapkan dalam kata-kata. Bukumu memang keren, Trinity! Barusan kulihat di blog-mu, ternyata baru beberapa hari yang lalu kamu jalan-jalan ke Labuan Bajo - Pulau Komodo ya.... wah...kapan giliranku ya?
Melinda
Rasanya, semua laksa Cibinong asli. Namun tidak semua klaim laksa Cibinong asli berasa “asli”. Hal tersebut baru terbukti apabila kita menikmati laksa Cibinong (kembali) di tempat aslinya.
Sejak dibangunnya jalan TOL Jagorawi, tahun 1977 Jakarta-Cibinong, kemudian 2 tahun kemudian Jakarta-Bogor – jalur Cibinong tidak lagi sering dilewati oleh orang-orang yang bepergian ke Bogor, Sukabumi, atau Bandung. Demikian dengan saya. Jalur tersebut semakin asing. Otomatis, makanan khas Cibinong, laksa ayam, juga menjadi asing. Saya bayangkan, mereka yang lahir atau baru menjadi warga Jakarta setelah tahun 1977, dan tidak pernah tahu adanya laksa di Cibinong, tidak mengenal sama sekali laksa tersebut, kecuali menikmatinya di tempat-tempat “alternatif”.
Memang untungnya, beberapa tempat membuka kedai laksa Cibinong dengan embel-embel “asli” di plang namanya. Sesekali untuk mengobati rindu laksa, kedai-kedai yang terdapat di rest area TOL Jagorawi, atau di Jakarta, dan Bogor, bisa menjadi alternatif. Seiring perjalanan waktu yang semakin lama tidak mampir dan makan langsung di tempat lama, tanpa terasa rasa laksa di Cibinong terhilang di dalam syaraf selera (= mungkin ada ya?) di lidah. Yang kini ada adalah, makan laksa di mana pun di luar Cibinong, sama saja rasanya.
Tadi siang, setelah menghadiri permberkatan nikah rekan di Gereja Kristus Cibinong, para Guru Sekolah Minggu GKI Surya Utama mampir di rumah makan laksa. Tempatnya masih di tempat lama, yakni jalan raya Bogor, pas di pertigaan Cibinong di ujung terdepan fly over Cibinong dari arah Bogor. Rumah makan itu tetap menyajikan menu lama, semisal sotomi babat, asinan, dsb.
Pada waktu makan, barulah rasa khas dan asli laksa Cibinong muncul kembali menyentuh syaraf selera lidah yang lama terhapus. Bihun dengan kuah kuning yang dicampur dengan irisan ayam dan telur rebus, dibubuhi kembang kemangi dan bawang goreng serta dapat dimakan dengan ketupat langsung saya santap begitu tiba di meja. Tidak terlalu manis, hangat, kuahnya tidak encer tidak kental, dengan porsi sedang, dan pokoknya siiip...lah. Kalau sudah duduk dan makan begini, rasa penat dan bosan karena kemacetan Cibinong yang luar biasa dapat dimaklumi. ° (Rasid Rachman)
Sekonyong-konyong pagi itu di Bogor, kami bertiga berkeinginan melihat Ciluar, sekitar 5 kilometer dari kota Bogor ke Utara, arah ke Jakarta lewat jalan raya Bogor. Jalan tersebut sangat familiar bagi kami sebelum dibangunnya jalan TOL Jagorawi. Setelah ada jalan TOL, beberapa kali saya sempat melintasi jalan raya Bogor dengan mengendarai motor. Itu sekitar tahun 1982-1984, waktu SMA. Sejak itu, jalan raya Bogor menjadi jalan asing bagi saya – sesekali pernah juga melintasnya sepotong-sepotong. Minggu kemarin itu, dari Bogor, menempuh jalan TOL Jagorawi dan sambung TOL lingkar luar Sentul-Bogor, kami masuk jalan raya Bogor menuju Ciluar. Maka mulailah acara jalan-jalan kami di hari terakhir cuti ini.
Saya hanya ingat dua jalan masuk – memang sejak dulu hanya ada itu. Jalan masuk pertama adalah dari Kedunghalang, patokannya Pabrik Tapioka, terus ke kiri menuju Perumahan TNI. Turun di situ, lantas masuk jalan setapak. Jalan itu adalah jalan masuk jika kami memakamkan keluarga dari Jakarta. Terakhir saya ke situ pada tahun 1983, ketika memakamkan nenek kami.
Saya mencoba jalan tersebut lebih dahulu. Namun bentuk jalan dan posisi bangunan yang banyak berubah, disertai dengan daya ingat yang agak menurun setelah hampir 28 tahun tidak ke sana, membuat saya keder juga. Berhenti di tempat perkiraan, tanya kiri-kanan di mulut jalan setapak, betul kata penduduk: “Jalan ini menuju kebun singkong yang ada beberapa makam di dalamnya.” Tetapi jalan terbaik adalah dari Ciluar, lewat Yayasan Dharmais. Itu adalah jalan yang paling sering saya lewati zaman dahulu kala.
Jalan itu adalah jalan keluarga kami. Sejak rumah pertama di mulut gang adalah rumah Saudara2 sepupu ibu saya. Ada 3 rumah berderet (itu rumah lama, kini sudah ada “sisipan” beberapa rumah baru), semuanya adalah sepupu ibu. Kami masuk ke jalan itu, terus masuk melewati bekas pabik karet, bekas kebun karet yang sudah menjadi fasilitas sosial. Rumah-rumah baru sudah banyak berdiri, sehingga kini lebih mirip kampung ketimbang udik – kata orangtua zaman dulu.
Jalan makin sempit, namun beraspal halus. Terakhir saya ke sana, hanya ada jalan berbatu kali yang tajam-tajam. Kami stop ketika ada jembatan kecil di depan kami. Bukan ukuran jembatan yang membuat saya kuatir tidak bisa melewati jembatan dengan mobil, melainkan kekuatan jembatan tersebut. Mobil saya parkir di depan jembatan, kemudian kami melanjutkan perjalanan.
Tanya sana-sini. “Saya mencari kebun singkong yang ada makam Babah Gemuk” – begitu julukan kakek waktu itu. Ia meninggal tahun 1976, pada usia 86 tahun.
Perjalanannya sendiri mengasyikkan. Sudah lama tidak berjalan di pedesaan, mengingatkan masa kemping dahulu. Bagi Aurima, ini juga berkesan karena jalan tidak dijumpainya di tempat tinggalnya. Udara bersih. Masih banyak pepohonan. Tidak dingin, tetapi segar. Penduduknya tetap ramah sekalipun sudah banyak pendatang di tempat itu.
Kurang lebih 40 menit berjalan dan tanya-tanya penduduk, akhir tiba juga kami di dekat makam dan tanah kakek. Areal tanah seluas 4000-5000 meter² – saya tidak tahu secara pasti – konon dibeli kakek hanya karena petuah ayahnya: buyut eyang saya. “Tanah ini bagus bagi keturunanmu, belilah untuk makam keluarga.” Maka kakek membeli tanah tersebut. Ia tanami dengan singkong – dikelola oleh penduduk udik situ. Beberapa paman dan bibi dimakamkan di situ. Pertama saya ke sana, adalah ketika memakamkan bibi tertua ibu saya, tahun 1971. Namun sebelumnya sudah ada makam paman dan bibi yang belum sempat saya kenal di situ. Kemudian kakek dimakamkan tahun 1976, bibi ketiga 1982, dan nenek 1983.
Hanya, kini makam-makam itu tidak terlihat. Tanaman singkong, ilalang, dan tanaman lain menutupinya. Oleh karena perlengkapan penjelajahan kami yang tidak siap untuk jalan miring dan agak basah karena hujan, saya urung menerobos perkebunan untuk melihat langsung. Tubuh pun agak lelah kehausan dan kepanasan, kecuali semangat yang masih kuat. Jadi cukuplah kami memandang dari jauh dan memotret lokasi kira-kira makam kakek dan nenek; pohon bambu menutupinya.
Dua kali saya pernah berkemah di sini dengan Pramuka, tahun 1979 dan 1981. Waktu itu belum ada rumah-rumah dan kontrakan. Kini, di seberang atas dan sejauh mata memandang ke seberang sungai, banyak bangunan berdiri. Hanya tanah kakek saja yang masih berupa kebun tanpa bangunan – mungkin karena masih ada urus, menurut keterangan penduduk di sana. Tidak lama kami di sana, kemudian kembali ke tempat mobil diparkir tadi.
Sebelum ke luar ke jalan raya, kami mampir dulu ke rumah famili – katanya. Ada warung di depannya, kami minum. Saya menyempatkan waktu bercakap dengan seseorang yang saya duga adalah sepupu jauh. Beberapa info yang dia sampaikan cocok dengan yang saya ketahui sejak kecil, semisal: nama bibi-bibi, paman, dan kakeknya, dsb. Kakek mereka “seharusnya” adalah adik bungsu dari kakek kami. Namun keterangan cucu itu, nama marga kakeknya berbeda dengan kakek kami. “Koq bisa begitu?” Entahlah, tokh kami tidak bertujuan mencari saudara di situ. Kami hanya puas telah jalan-jalan hari itu, dan berhasil mengunjungi tempat di mana leluhur kami dimakamkan. Hingga kini, tanah tersebut belum terjual. ° (Rasid Rachman)
Tangerang, salah satu kota dan kabupaten di Banten, merupakan salah satu daerah harapan banyak orang, baik domestik maupun manca negara. Sejumlah perusahaan nasional dan internasional memenuhi Tangerang dan sekitarnya sejak 1990-an. Tentu saja, ada banyak pendatang yang tinggal atau bekerja di Tangerang setiap hari, baik domestik maupun mancanegara. Konsekuensinya, cerita biasa, kangen makanan kampung halaman.
Sejumlah rumah makan baik di Mal yang berjumlah lebih daripada 10 buah, di Ruko-ruko yang seabrek dan guedhe2, maupun di lokasi tertentu menyediakan berbagai masakan. Ada masakan Korea, Jepang, India, Cina, selain masakan nasional, semisal Palembang, Jawa, Sunda, Padang, Peranakan, dan sebagainya. Namun ada satu rumah makan di jalan utama Perumahan Palem Semi di Karawaci yang menyediakan hidangan khusus masakan Solo.
Masakan Solo yang ngangenin dengan moto: “Murah, Meriah, Uenaak ...” terlihat di dalam penyajiannya. Tempat sederhana ini menyediakan berbagai menu makanan dan minuman khas Solo. Ada daging krengseng, tahu kupat, timlo, brongkos, brambang, rawon, bakmi godog, liwet, dsb. Minumannya juga istimewa, semisal es soklat, kunyit asem, temu lawak, dsb. Sekali datang sudah pasti tidak mungkin mencicipi semua menunya di sini.
Rasanya dan harganya yang cocok membuat kami beberapa kali ke tempat ini. Kalau memilih menu, kami mau makan semuanya. Tetapi tentu saja, kapasitas perut tidak mengizinkan.
Rasid Rachman)
Tanggal 19-20 kemarin, aku ikut kegitan pramuka di skola. Nama kegiatan ini adalah GTP (Gladi Tangguh Penggalang). Selama 2 hari itu kita nginep di sekolah. Rencananya sih mau tidur di tenda, tapi karena cuaca tidak mendukung, huuuaaaa…… :’( jadinya kita tidur di kelas deh.. Meskipun tidur di kelas, acara selama 2 hari tetap menyenangkan.. Di hari pertama kita belajar tentang PBB, sandi dan macam-macam simpul. Pertamanya sih g ngerti gimana caranya, tapi setelah di ajaran para kakak Pembina(hahha) kita bisa menyimpul tanpa di pandu.. Untuk mengtes kemampuan kita menyimpul, kakak Pembina nyuruh kita bikin sebuah pionere (sebuah bentuk dari tongkat dan beberapa simpul yang berguna) bersama regu kita masing-masing. Kegiatan ini sebernya bikin aku BT.. Tapi lama-lama seru juga..
Abis kita bikin pionere, kita mengadak jalan malam (bukan Jurit Malam). Pertamanya anak-anak pramuka kira itu jurit malam, soalnya kita di suruh doa bareng regu, trus menyiapkan mental.. huuuaaa…. Selama jalan malam kita cuma di kasih 1 lilin dan 4 batang korek api. Kalo sampe lilin dan koreknya abis, kita mesti ngulang dari pos pertama. Urutan pos yg harus di jalanin di reguku adalah pos 2, pos 3, pos 4, pos 1..
Di pos ke dua, kita harus melewati rintangan tali dengan merangkak. Trus, dari regu kita harus ada 4 orang yang di tutup matanya, dan di akhir rintangan itu ternyata ada air, tapi kita tetap harus melewatinya.. jadi baju kita basah semua.. huuuaaaa….
Pos ke tiga itu tentang cinta tanah air. Saat pertama kali MOS, kita udah di ajarin kalo ada lagu “Indonesia Raya” kita harus hormat. Di pos itu di setelin lagu itu. Pertamanya reguku pada ga inget kalo kita mesti hormat, jadi pada bengong aja (sambil nunggu giliran). Trus waktu regu selanjutnya dateng, mereka langsung hormat waktu denger lagu itu. Yaudah, regu kita ikutin aj, eh,, waktu lagi hormat regu yang barusan dateng tadi pada ngliatin kita gitu.. hhuuuaaa,,, malu…
Pos ke empat itu tentang pengorbanan. Pertamanya kita di tanyain :”menurutmu apa itu pengorbanan” dan tumben-tumbennya tuh, otakku lagi lancar, jadi aku bisa jawab pertanyaan itu dan benar.. ahhha(Bangga). Aku jawab :”sesuatu yang haus di relakan untuk kepentingan bersama”. Abis kita di Tanya-tanya gitu, kita di suruh berpasangan, trus orang yang pertama harus di tutup matanya dan orang yang ga di tutup matanya harus nuntun yang buta ke pos selanjutnya. Untung tinggal 1 pos, jadi ga pegel merem terus, bisa ketiduran nanti(hahaha). Oh ia, setelah kita melewati 3 pos, ga ada apa-apa tuh.. biasa-biasa aja. Jadi Pembina Cuma ngerjain kita, huuuaaa….
Pos ke satu berhubangan sama pos empat.. kita yang buta di tanyain apa ga enaknya jadi orang buta. Setelah semuanya udah jawab, yang ga buta di suruh jadi orang buta(tukeran profesi). Itulah hari pertama.. lumayan seru..
Di hari pertama kita baru selesai acara jam 00.00,, huuaaa.., malem banget.. cape banget.. tapi dapet banyak pelajaran yang di dapet juga sih.. akhirnya kita pun tidur dengan tentram, haha.. tak lupa aku nyetel alarm di jam “spongebob tercinta” jam 5.. hua, pagi banget.. tapi emang harus di jalanin, mau di apain lagi??
Aku tidur terakhir bangun pertama.. hhuuuaaa,,, aku ga bisa tidur, temen yang laen pada ngorok (ngok, ngok) ganggu banget.. jam 5 kurang aku uda bangun.. aku duduk selama 15 menit sambil nungguin jam alarm bunyi. Udah nungguin gitu, jamnya ga bunyi-bunyi, yaudah, aku tidur lagi.. eh, baru 5 detik tidur tiba-tiba si bom meledak di telingaku.. gila, kenceng banget bunyinya.. yaudah, kita semua bangun dan menuju ke lapangan untuk menyadarkan diri.. haha
Setelah semuanya udah sadar, kita kembali ke gedung sekolah tercinta untuk mandi. Tapi di tengah-tangeh acara mandi kita, kita juga di suruh untuk masak nasi goring. Yaudah, jadi kita gantian aja. Abs kita selesai semuanya,, ini dia acara yang palingg melelahkan dan membosankan.. huhu
Kita di suruh ngumpul di ruangan untuk belajar tentang kompas. Selama di jelasin tentang kompas, aku ga dengerin semuanya.. haha.. kayaknya waktu berjalan lama banget..
2 jam kemudian..
Kita di suruh ngumpul di hall lt.1 untuk persiapan berjalan ke luar sekolah tanpa di pandu kakak Pembina.. kita harus melewati 4 pos selama perjalanan + pos persiapan.. di sini lah perjalanan di mulai…
Di pos persiapan kita harus memecahkan sandi, setelah terpecah kita harus melakukan sesuai pesan tersebut. Setelah kita melakukan pesan tersebut, kita harus ke pos 1 dengan clue yang di berikan.. tapi selama perjalanan, kita juga hatus membuat peta pita. Kita harus menghitung langkahnya, derajatnya (menggunakan kompas), dan waktunya.. karena di regu kita ga ada yang bawa jam, akhirnya dengan terpaksa aku bawa jam spongebob ku.. huuuaaa,, memalukan..
Clue untuk ke pos pertama adalah: jalan lurus ke arah kiri sekolah, temukan patung kuda dengan kesatria. Itulah pos pertama.. pos tersebut terletak di belakang sektor 1D.
15 menit kemudian..
di pos 1 kita menghabiskan waktu selama 1 jam.. kita harus memecahkan sandi daan haus yang di lakukan.. sandi itu da beberapa nomor. Sandi nomor 1 adalah: nyanyikanlah lagu daerah Indonesia menggunakan gerakan. sandi nomor 2 adalah: ucapkanlah Dasadarma pramuka dengan keras dan lantang. Sandi nomor 3 adalah: Tulislah Dasadarma menggunakan sandi kotak. Sandi nomor 4 adalah: Lakukanlah nomor 2 untuk mendapatkan clue untuk ke pos 2. Setelah kita melakukannya, kakak Pembina bilang,yang harus kita lakukan itu Cuma nomor 4, jadi harusnya kita ngelakuin yang nomor 2: ucapkanlah Dasadarma pramuka dengan keras dan lantang. Huuaaa,, di kerjain lagi..
Clue untuk ke pos kedua adalah: jalan lurus dari sini, temukan kota berpolusi, temukan tempat peristirahatan terakhir, pos tersebut berada di depan sekolah yang telah berdiri kembali. Untuk sampai ke pos 2, kita menghabiskan waktu 45 menit dengan jalan yang melelahkan.
45 menit kemudian..
Di pos 2 kita harus menampilkan yel-yel dari regu kita. Untung ga susah soalnya uddah buat dari kemaren.. tapi masih cape.. huaaa,, yaudah, sambil nunggu giliran, kita latihan aj.. di pos 2 kita menghabiskan waktu sekitar 40 menit (lebih cepet waktu perjalanan ke pos 2) setelah menyanyikan yel-yel, kita lanjut ke pos 3..
Clue untuk ke pos 3 adalah: dari pahoa(sekolah yang telah berdiri kembali) belok kiri, lewati jalan yang sangat panjang, temuka tempat produksi kringat, dan pos 3 berada di tempat pertambangan minyak. Untuk ke pos 3 kita menghabiskan waktu 50 menit.
50 menit kemudian..
Akhirnya kita sampe di pos 3, di pos tiga ini kita hanya di suruh membuat 3 simpul. Di pos 3 kita menghabiskan waktu 30 menit..(lumayan). Akhirnya kita melanjutkan perjalanan ke pos 4..
Clue untuk ke pos 4 adalah: pos 4 berada di sekolah, di lapangan SMP dan SMA. Untuk ke pos 4 kita menghabiskan waktu 45 menit..
45 menit kemudian..
Akhirnya setelah 4 jam jalan, sampe juga di sekolah dengan jam spongebob, haha.. di pos 4, kita harus membuat pionere.. saat kita membuat pionere, tiba-tiba ada angin kencang..(kencang banget), tenyata itu tanda mau hujan,, dan bener. Ga lama kemudian hujan turun..
Inilah akhir dari GTP ku.. dari GTP ini aku dapet banyak pelajran, meskipun cape.. tapi setelah makan siang, kita masih harus mengikutu upacara penutupan.. hhhuuuaaaa,,, cape tapi menyenangkan.. acara selesai jam 15.00
Aurima
Pagi itu, pukul 4.30 suasana bandara Soekarno-Hatta lengang. Aku lupa apa yang membuatku berpikir saat itu bandara belum buka. Hehehe... emangnya restoran! Yang jelas aku melihat ada karyawan yang baru datang, mungkin yang akan bertukar giliran jaga dengan karyawan yang bertugas malam. Lalu ..... ada satpam yang membuka rolling door yang membatasi teras dan ruang tempat check-in. Apa iya...ada rolling door ya? Entahlah... yang jelas pk. 4.30 umumnya orang masih tidur, tapi di teras keberangkatan Garuda internasional ada banyak orang wajah-wajah sembab, entah kurang tidur atau terlalu banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarga. Itulah kami.
Kami adalah rombongan dokter gigi yang selama 3 minggu sebelumnya mengikuti pelatihan pra-jabatan di Lemah Abang – Bekasi. Hari itu kami diberangkatkan ke daerah masing-masing yang telah kami pilih sebelumnya. Rombongan pertama yang berangkat adalah rombongan yang menuju Irian Jaya (maaf kalau nama ini yang dipakai, sesuai dengan konteksnya pada tahun 1992) dengan pesawat yang berangkat pk 5.00. Aku masih sempat melihat beberapa teman tujuan Irian Jaya tergopoh-gopoh memasuki ruang check-in. Yah, resiko memililh tempat terjauh, jadi berangkatpun harus lebih dahulu.
Tepat pk 5.00 rombongan yang menuju NTT dan TimTim (saat itu masih merupakan wilayah Indonesia) diijinkan masuk ruang check-in. Kami terdiri dari 7 orang yang akan mendarat di Kupang dan sekitar 13 orang mendarat di Dili. Rasanya aku ingin menjadi yang terakhir memasuki ruangan itu supaya menjadi orang terakhir dalam rombongan yang berpisah dengan keluarganya. Tapi ternyata semua juga berpikir demikian.... bisa-bisa kami ketinggalan pesawat! Akhirnya kami semua saling mendorong untuk segera masuk.
Setiap ada kesempatan, aku berusaha menoleh ke teras, mencari-cari wajah orang-orang yang kukasihi, kemudian melambaikan tangan bila ternyata mereka masih terlihat ... berulang-ulang.... Semakin ke dalam aku berjalan, wajah-wajah mereka makin tidak jelas, hingga yang terlihat tinggal sosoknya saja. Mungkin sebetulnya mereka sudah pulang, tapi aku terus membayangkan seolah-olah masih melihat sosok mereka bahkan ketika sudah sampai di lorong menuju ruang tunggu penumpang. Lorong yang dikelilingi jendela kaca dan dihiasi tanaman hias di bagian luarnya.
Meski dalam rombongan yang masing-masing sudah cukup akrab semenjak mengikuti pelatihan pra-jabatan, aku merasa nelangsa ketika berjalan melalui lorong ini. Tanaman hias warna-warni itu juga tidak mampu menghilangkan perasaan ini. Ini adalah pengalaman pertamaku menaiki pesawat terbang, pergi ke tempat yang cukup jauh dari Jakarta dalam jangka waktu panjang, tanpa seorangpun anggota keluarga yang menemani. Pengalaman berjalan di lorong dengan perasaan nelangsa itu selalu muncul kembali setiap kali melalui lorong sejenis di bandara, bahkan hingga saat ini. Rasa kesepian yang mencekam.....
Melinda