Pengalaman terbang bersama Trans Nusa Airlines

(Melinda)

Yakinlah, ini bukan tulisan iklan. Jadi silakan terus membaca.

Kami mengenal Trans Nusa Airlines lewat internet. Maskapai penerbangan ini melayani penerbangan dari Bali ke pulau-pulau di Nusa Tenggara. Kalau melihat websitenya, tampaknya maskapai ini benar-benar membantu membuka keterisolasian wilayah Nusa Tenggara. Banyak rute penerbangan antar kota yang bahkan mungkin tidak dikenal namanya oleh banyak orang Indonesia. Lewoleba, Sabu, Tambolaka…mungkin merupakan nama-nama asing buat kebanyakan orang Indonesia. Berikut ini pengalaman kami bersama Trans Nusa.

Meskipun memiliki website, ternyata pemesanan dan pembayaran tiket tidak dapat dilakukan secara online. Jangan berharap bisa melakukan perbandingan tarif dengan penerbangan lain atau melihat ketersediaan tempat duduk pada hari-hari tertentu, karena tidak tercantum di websitenya. Menu drop on yang terpasang di websitenya hanya berfungsi sebagai papan informasi mengenai jadwal penerbangan. Untuk melakukan pemesanan tiket tetap harus melalui telepon ke kantornya di Denpasar atau Kupang atau beberapa kota lainnya. Kalau mau menghemat biaya dan punya cukup banyak waktu, bisa melalui email.

Bulan lalu, kami melakukan pemesanan tiket untuk penerbangan dari Denpasar ke Labuhan Bajo melalui email. Perlu beberapa hari untuk mendapatkan kepastian pemesanan karena kendala perbedaan waktu antara Denpasar dan Jakarta juga proses tanya jawab lewat email yang tidak selancar seperti melalui sms atau telepon.

Setelah pembukuan tiket, kami segera membayar harga tiket dan berharap akan mendapatkan e-ticket. Ternyata tidak sesederhana itu. Meskipun transaksi melalui internet banking sudah jelas-jelas berhasil, dan email jurnal transaksi sudah kami teruskan ke alamat email kantor di Denpasar, pembayaran kami belum diakui sah dengan alasan kantor di Kupang belum melihat transfer uang kami dalam print out di buku rekeningnya. Entah ada kesalahan di mana, baru satu minggu kemudian, ada kabar bahwa uang sudah mereka terima. Sebagai bukti, kami dikirimkan e-ticket yang berupa hasil scan print out tiket yang buram!

Urusan belum selesai. 3 hari sebelum keberangkatan, kami diberitahu bahwa penerbangan kami dibatalkan dan kami diberi pilihan untuk ikut penerbangan yang lebih pagi atau keesokan harinya, atau pengembalian uang. Kami tidak memilih yang terakhir dan bertekad mencari alat transportasi setiba di Denpasar saja. Pengembalian uang dijanjikan akan dilakukan pada hari Senin, sehari sebelum kami berangkat. Ternyata sampai hari Senin malam, tidak ada uang masuk ke rekening kami. Huuh… urusan dengan Transnusa ternyata belum selesai hingga saat terakhir.

Saatnya memulai liburan….

Setiba di Denpasar, ada 2 urusan. Pertama mengontak Transnusa untuk menagih janji. Setelah prosedur berbelit-belit, dipindah dari telinga yang satu ke telinga yang lain…. Kami dijanjikan akan menerima refund di rekening kami pada hari itu juga.(syukurlah, beberapa hari kemudian kami periksa di rekening kami memang kami telah menerimanya!) Urusan kedua, mencari penerbangan ke Flores. Ternyata mencari dan membanding-bandingkan penerbangan lebih mudah dilakukan di bandara dibandingkan lewat internet di rumah! Kami mendapatkan penerbangan ke Ende dengan maskapai Aviastar dengan transit di Tambolaka. Kami mendapat tempat duduk di deretan keempat.

Begitu masuk pesawat…
Astaga, ternyata ada tulisan Transnusa di bangku-bangkunya!
Waaaaa…… Kami berhubungan lagi dengan Transnusa! Rupanya Aviastar merupakan salah satu rekanan kerja Transnusa selain beberapa maskapai penerbangan lainnya.

Kami belum pernah mendengar nama Tambolaka dan cukup penasaran mengenai letaknya, karena itu kami menanyakannya pada pramugari. Ternyata mereka juga tidak tahu! Mereka hanya tahu kalau di sana ada resort. Mau tau di mana letak Tambolaka? Kami sudah mengetahuinya sekarang setelah melihat di buku Lonely Planet. Silakan cari sendiri.

Di Tambolaka, kami harus turun dari pesawat dan menunggu di ruang tunggu bandara yang kecil. Ada banyak calon penumpang lain yang sedang duduk. Kami bergabung dengan mereka . Tiba-tiba para calon penumpang berdiri dan bergerak ke arah pintu boarding. Karena kami lihat pintu belum dibuka, kami tenang-tenang saja. Tidak perlu buru-buru. Kami toh mendapat tempat duduk di depan, jadi tidak masalah bila paling akhir masuk pesawat. Kami tetap santai saat pintu dibuka dan membiarkan orang-orang berebutan keluar menuju pesawat.

Setelah kami menaiki pesawat…
Pesawat hampir penuh dan bangku-bangku di deretan keempat sudah penuh terisi. Juga bangku-bangku lainnya, kecuali bangku paling belakang. Ternyata duduknya ngacak!

Transnusa…oh…Transnusa……
Semoga makin banyak kota di Nusa Tenggara berkembang karena usahamu

TRIP KE FLORES, antara angan-angan, rencana dan perubahannya serta kejutan-kejutan

(Melinda)

Acara liburan kami tahun ini sudah diangan-angankan sejak berbulan-bulan yang lalu, namun hingga satu bulan sebelum keberangkatan belum ada rencana apa-apa, termasuk pembelian tiket perjalanan. Sudah lama kami berangan-angan pergi ke Pulau Komodo untuk melihat binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup. Kami tidak bisa memastikan tanggal keberangkatan karena Aurima memiliki acara-acara lain yang cukup padat dengan waktu yang belum pasti. Akhirnya … satu bulan sebelumnya… kami mendapatkan kepastian masih ada 13 hari tersisa di penghujung liburan sekolah.

Akibatnya, tiket dan rute penerbanganpun kami cari dalam keadaan terburu-buru. Tentu dengan harga yang sudah melambung tinggi. Hasil perburuan tiket kami adalah penerbangan dari Jakarta ke Denpasar dilanjutkan dengan penerbangan dari Denpasar ke Labuhan Bajo pada tanggal 29 Juni dan penerbangan dari Denpasar ke Jakarta pada tanggal 11 Juli. Kemudian rencana mulai disusun. Perjalanan akan dimulai dari barat (Labuhan Bajo), menyusuri Pulau Flores ke arah timur dan berakhir di Ende. Dari Ende ada penerbangan bersambung menuju Denpasar melalui Kupang, namun belum kami beli karena tidak ada kepastian kesinambungan kedua penerbangan. Lalu aku mengontak beberapa teman di Kupang agar dapat bertemu setidaknya di Bandara Eltari.

Dua hari sebelum keberangkatan, ada pembatalan penerbangan dari Denpasar ke Labuhan Bajo dari pihak maskapai penerbangan! Jadi, kembali tidak ada yang pasti dalam rencana perjalanan kami selain tanggal keberangkan dan kepulangan. Dengan berbekal tiket penerbangan dari Jakarta ke Denpasar dan angan-angan bertemu komodo, kami berangkat.

Syukurlah, begitu tiba di Denpasar kami mendapat penerbangan ke Ende yang berangkat satu jam setelah kami tiba. Karena mepet, kami harus berlari-lari di bandara agar tidak tertinggal pesawat. Huuuhh… seperti di film Home Alone! Untung tidak ada yang tertinggal.

Semua rencana berubah, rute perjalanan berubah dari timur ke barat, begitu pula rencana bertemu teman-teman di Kupang terpaksa dibatalkan. Trip kami mulai dari Ende. Jauh di luar rencana semula, pada malam pertama kami sudah berada di Moni, kota kecamatan yang berada dekat danau Kelimutu.

Secara tidak sengaja, saat kami berjalan-jalan di Moni, kami memasuki desa adat. Belum komersil, karena belum ada di buku Lonely Planet, belum pernah dijual di internet. Memang areanya kecil, tidak sedahsyat Bena, misalnya. Namun, akibatnya kami dapat melihat kehidupan desa adat yang masih asli, tanpa polesan artifisial. Di dalamnya kami menjumpai bangunan-bangunan penyembahan yang berisi rangka nenek moyang penduduk setempat dan kuburan-kuburan, berdampingan dengan rumah tinggal penduduk. Di hari-hari selanjutnya kami melihat juga di tempat-tempat lain hingga Ruteng, masyarakat biasa tinggal berdampingan dengan kuburan. Kuburan bukan merupakan hal yang menakutkan atau angker tapi bagian yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Esok harinya, ketika masih gelap, kami berangkat untuk melihat matahari terbit di kawah Gunung Kelimutu yang berupa 3 danau itu. Saat itu danau berwarna hijau tosca, hijau tua dan merah tua.

Pada hari yang sama, kami kembali ke Ende dan berwisata dalam kota. Ende adalah sebuah kota yang indah, terletak di kaki gunung yang berhadapan langsung dengan pantai. Karena terletak di kaki gunung, udaranya sejuk. Seperti umumnya kota lainnya di Flores, Enda merupakan kota yang tenang. Kami mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno. Sayang saat itu sudah siang, sehingga tidak ada penjaga yang bertugas dan rumah tidak bisa dimasuki, kecuali pekarangannya.
Selain itu, ada lagi tempat bersejarah, yaitu Taman Renungan Bung Karno. Terletak tidak jauh dari pantai, di taman ini masih ada pohon sukun yang katanya merupakan tempat Bung Karno mendapatkan ilham tentang Pancasila. Taman ini menyatu dengan Taman Tenun Ikat yang merupakan kompleks rumah adat yang berbentuk rumah panggung. Di pinggir pantai ada tugu peringatan gempat tahun 1992 berbentuk tiang yang patah sehingga bagian atasnya bergeser.

Esok harinya, dengan mengendarai mobil sewaan kami menuju Bajawa. Di perjalanan, kami berhenti di Puskesmas Kecamatan Nangaroro untuk bertemu dengan Amanda, alumni SPRG Kupang tahun 90-an. Senang rasanya bertemu dengan mantan murid yang terlihat sangat matang sekarang dibandingkan belasan tahun yang lalu.

Menggunakan mobil sewaan ternyata menghemat waktu satu hari, karena wisata di sekitar kota Bajawa dapat dilakukan pada hari yang sama. Sebelum tiba di Bajawa, kami berhenti di Pantai Batu Hijau. Dinamakan demikian karena pantai ini dipenuhi batu-batu berwarna hijau.

Kemudian berhenti juga di Mataloko. Di sini ada bangunan-banguan gereja, sekolah, dan rumah retret yang didirikan oleh misionaris. Tempat yang indah dan sejuk dengan bangunan-bangunan berarsitektur menawan dengan latar belakang bukit-bukit hijau. Sungguh tempat retret yang menenangkan jiwa.

Selain itu, kami juga mampir di Bena, sebuah desa adat dengan bangunan-bangunan penyembahan dan kuburan yang unik berupa batu-batu tinggi berujung lancip yang dikelilingi oleh rumah-rumah kayu yang beratap ilalang yang didirikan di atas batu.

Setelah check-in di Bajawa dan beristirahat sebentar, menjelang sore kami pergi ke tempat pemandian air panas Mengenruda di Soa, di sebelah utara Bajawa. Udara di Bajawa sangat dingin, bahkan pada ketika kami tiba sekitar pukul 2 siang, karena itu mandi di sumber air panas membuat tubuh kami lebih hangat.

Setelah menginap semalam di Bajawa, kami melanjutkan perjalanan ke Riung dengan mengendarai bis umum. Di Riung kami menginap 2 mlam karena memerlukan satu hari untuk berwisata di Taman Laut 17 Pulau. Taman laut ini nyaris tidak tersentuh peradaban manusia, masih sedikit wisatawan yang mengunjunginya. Didukung pula dengan jalan sempit, turun naik dan berkelok-kelok untuk mencapai kota kecamatan ini.

Saat menunggu bis yang akan membawa kami meninggalkan Riung, ada seorang ibu memanggil namaku…. Ternyata Aurelia, alumni SPRG Kupang lagi! Wah, benar-benar tidak terduga! Di tempat terpencil ini bisa bertemu kenalan. Ada waktu cukup lama untuk bertukar cerita setelah belasan tahun tidak bertemu.

Dari Riung, kami melakukan perjalanan panjang penuh kelok dan turun naik ke Ruteng. Di Ruteng, kami sempat berkeliling kota dengan bemo sebelum diturunkan di biara Bunda Maria Menangis, tempat kami menginap. Seperti Bajawa, Ruteng juga berada di dataran tinggi. Ada banyak gereja dan biara di ruteng dengan bentuk bangunan yang bagus-bagus.

Kami menginap satu malam di Ruteng sebelum melanjutkan perjalanan ke Labuhan Bajo dengan travel. Hari pertama di Labuhan Bajo kami menyelam di perairan Pulau Komodo. Esok harinya kami mengambil wisata dengan kapal selama 4 hari 3 malam sekaligus menyusuri jalan pulang ke arah barat. Perjalanan wisata ini meliputi snorkeling di Pantai Merah, Pulau kelor, trekking di Pulau Rinca dan Pulau Komodo, menyaksikan kelelawar terbang pada malam hari dan mancing di perairan Pulau Komodo, mandi di air terjun di Pulau Moyo, melihat danau air asin di Pulau Satonda dan berakhir di Labuhan Lombok yang terletak di Lombok Timur ditambah perjalanan dengan mobil sampai Senggigi.

Malam terakhir cuti kami adalah menginap di Senggigi sebelum esok harinya naik kapal (lagi!) menuju Bali dan terbang menuju Jakarta pada malam harinya.

Liburan telah usai. Banyak tempat menarik dan peristiwa berkesan yang kami lewati. Besok Aurima sudah kembali masuk sekolah.

ITINERARI FLORES 29 Juni - 11 Juli 2010

Selasa, 29 Juni 2010
- Perjalanan dimulai dari Jakarta (0635) ke Denpasar, langsung cari tiket ke Flores. Dapat tujuan Ende, beberapa menit lagi boarding.
- Menuju Ende via Tambolaka. Dari Ende langsung ke Moni, tiba pukul 16.00. Setelah mencari dan menyewa kendaraan untuk Kelimutu, sempat berjalan-jalan ke desa adat di Moni.

Rabu, 30 Juni 2010
- Pukul 04.30 menuju Kelimutu dengan Kijang sewaan, setelah treeking pukul 05.30 tiba di puncak pandang Kelimutu untuk melihat 3 kawah atau danau tiga warna. Minum kopi dan makan2 kecil di atas, motret2 sampai habis batere, turun pukul 07.00 menuju Moni lagi.

- Pukul 10.00 dari Moni langsung menuju Ende kembali dan menginap satu malam sebelum menuju Bajawa. Sore hari di Ende, menghabiskan waktu jalan2 ke museum2 Pengasingan Soekarno, taman perenungan Soekarno, Museum Rumah Adat, dan Museum Bahari. Ada 4 objek wisata sejarah di sekitar situ yang semuanya cukup ditempuh dengan berjalan kaki dari hotel. Ada patung Soekarno dengan ukuran tidak proporsional di taman tersebut – terlalu kurus dan jangkung.
- Setelah sedikit kesal dan ribut dengan dua tamu hotel yang ngobrol2 dengan suara keras hingga larut malam, akhirnya bisa tidur juga. Pagi pukul 08.00 menuju Bajawa dengan mobil sewaan.

Kamis, 1 Juli 2010
- Andre, sopir kami, membawa kami dapat singgah di beberapa tempat. Pertama stop di pantai merah, sekitar 25 km dari Ende. Kemudian masih sempat stop sebentar di Puskesmas kecamatan untuk bertemu dengan teman lama yang menjadi perawat gigi di sana, baru stop di Seminari dan rumat Retret di dekat Bajawa. Sempat ngobrol sebentar dengan Romo Patris, SVD yang baru saja kami kenal.
- Waktu baru pukul 12.00, langsung ke desa adat Bena. Desa adat ini cukup luas dan masih tradisional; rumah2nya masih beratap rumbia. Cukup lama motret2 di sini, bahkan sempat mabuk karena baru pertama kali mencoba minum sopi. Minumnya di Bena, mabuknya di Bajawa, sekitar 30 menit kemudian.
- Sore pukul 17.00, sempat mandi2 di kolam air panas alam di dekat Bajawa. Segar betuuu...ll.

Jumat, 2 Juli 2010
- Siang pukul 13.00 menuju Riung dengan bis. Tiba pukul 17.30, cuma bisa cari makan dan tidur.

Sabtu, 3 Juli 2010
- Pagi2 pukul 06.00 ke pelabuhan cari2 boat untuk pesiar ke Pulau 17. Pukul 08.00, setelah sarapan dan menyiapkan bekal makan siang, menuju Pulau 17 di Riung dengan boat. Main2 air dan snorkeling sampai puas, cape, dan gosong, pukul 14.30 kembali ke darat.

Minggu, 4 Juli 2010
- Pukul 07.00 menuju Ruteng via Bajawa. Sebelum naik bis sempat ketemu teman lama lagi – tak terduga – yang menjadi perawat gigi di Riung. Bis penuh sesak. Perjalanan panjang dan jauh, tiba di Ruteng pukul 17.00, untung dapat kamar nyaman dan bersih di Susteran Maria Berdukacita.

Senin, 5 Juli 2010
- Pukul 11.00 (padahal sudah siap sejak pukul 07.00) menuju Labuanbajo dengan travel. Tiba di Labuanbajo pukul 15.00, masih bisa cari2 agen jalan2 dan diving, dan menetapkan pilihan cara sampai di Lombok atau Bali.

Selasa, 6 Juli 2010
- Ga jelas antara diving, kursus ulangan, atau jaga kapal. Pokoknya Bajo Dive Center tidak memberi kesan baik sepanjang hari itu.

Rabu, 7 Juli 2010
- Mulai perjalanan pukul 09.45 menuju Lombok dengan kapal kayu. Pak Mamang adalah komandannya, dibantu 3 kru dan 1 siswa latihan dari sekolah wisata. Persinggahan pertama di pulau Rinca, trekking 2 jam lebih, ketemu 6-7 komodo. Cukup puas deh, capenya juga mantap. Rinca panas banget, tapi trekking menyenangkan. Sebelum meninggalkan pelabuhan Rinca, melihat dua perahu milik orang Bajo.
- Terus berenang2 di atas taman laut di Pulau Kelor, tidak jauh dari Rinca, lumayan indah tapi sayang ga sempat motret2. Malamnya tidur di atas kapal ini di dekat pulau Kalong, masih di kawasan Pulau Komodo, ada banyak kalong senja dan menjelang fajar.
- Sempat mancing2 beberapa ikan dulu sebelum tidur. Ikan2nya kecil2, tetapi lumayan untuk menambah menu sarapan besok.
- Malam pertama di kapal kayu; supaya ga rugi, bisa mimpi seram dikejar2 drakula di sini.

Kamis, 8 Juli 2010
- Pagi2 setelah sarapan nasi goreng plus ikan2 goreng tadi malam, kapal kayu berlayar lagi menuju Pulau Komodo. Di pulau ini, trekking 1 jam saja, dan cuma ketemu 1 komodo lamayan besar. Burung2 memang banyak, tetapi hewan lain ga ada. Bagaimana pun puaslah hati, karena sudah tiba di Pulau Komodo dan melihat komodo2 sejak kemarin.
- Kemudian menuju Pantai Merah (Pink Beach), taman lautnya indah sekali. Kali ini sempat memotret lho.
- Siang mandi2 lagi di pantai bertaman laut, tetapi tidak sebagus Pantai Merah. Pak Samsudin (kru kapal) sempat mengambil cumi besar untuk makan siang.

Jumat, 9 Juli 2010
- Setelah sepanjang sore dan malam kapal layar berlayar terus tak henti, pagi2 tiba di Pantai Satonda, melihat dan mandi2 sedikit dengan takut di danau air asin. Buru2 pergi aja.
- Menuju air terjun air tawar, 3 jam perlayaran. Tiba pukul 13.00, mandi sepuas2nya dengan air tawar gratis, walaupun berjalan cukup jauh dari pantai ke tempat ini pergi-balik.
- Kru kapal juga menyempatkan diri untuk mencuci pakaian, mandi, dan mengambil air bersih untuk keperluan di kapal.
- Dari tempat ini, kapal berkayar terus menuju Lombok. Tiba di darmaga Lombok Timur pukul 21.00, tidur dulu di kapal malam ke-3 ini, karena jemputan baru datang besok pagi.

Sabtu, 10 Juli 2010
- Pukul 08.00 datang jemputan dan membawa kami ke Senggigi. Tidur satu malam lagi. Ini malam terakhir perjalanan, dapat kamar nyaman tetapi makanan ga mantap.
- Di Lombok cuma untuk mencari transportasi ke Denpasar dan istirahat dengan mandi sepuas2nya setelah 72 jam irit air di kapal kayu.

Minggu, 11 Juli 2010
- Pagi pukul 09.00 kembali Denpasar dengan kapal kayu (kali ini dengan ukuran besar dan cukup mewah) menuju Pandang Bay, kemudian lanjut dengan bis menuju Bandara Ngurah Rai via Ubud dan Sanur.
- Tiba Jakarta pukul 22.15. Badan lelah, tetapi hati senang dan puas.
- Kesampaian juga akhirnya melihat komodo di habitat aslinya: Rinca dan Komodo.

Tahun depan kira2 ke mana lagi ya ...?

Ke Prambanan dengan transjogja

Candi Prambanan hampir selalu menjadi tempat tujuan wisata kami saat berada di Yogya, baik untuk berkeliling di area candi maupun untuk menyaksikan sendratari Ramayana. Selalu ada yang menarik dalam setiap kunjungan kami ke Candi Prambanan. Begitu pula saat aku, Aurima dan Febe, sepupunya berwisata ke Yogya di akhir bulan April yang lalau. Ada 2 hal yang menarik dan unik dalam kunjungan kami saat itu.



Pertama, kendaraan. Kami mencapai lokasi Candi Prambanan dengan bus Trans Jogja. Seperti Trans Jakarta, Trans Jogja memiliki halte khusus karena pintu bis yang letaknya tinggi. Bedanya, Trans Jogja tidak memiliki jalur khusus yang menyita badan jalan dan ukuran bisa tidak sebesar Trans Jakarta. Ada beberapa trayek Trans Jogja, di antaranya melalui Malioboro sehingga memudahkan wisatawan seperti kami untuk bepergian.

Dari Malioboro, tempat kami menginap ada trayek Trans Jogja langsung menuju terminal Prambanan. Kami berangkat pagi hari setelah lewat waktu orang berangkat bekerja, sehingga bis cukup longgar. Kami dapat duduk nyaman dan merasakan udara sejuk AC. Perjalanan hanya memakan waktu 30 menit. 

Di terminal Prambanan, begitu turun dari bis ada banyak tukang becak dan andong menawarkan angkutan sampai pintu loket Candi Prambanan. Aku langsung membandingkan suasana terminal Prambanan dengan suasana terminal bayangan di Tangerang yang dipenuhi tukang-tukang ojeg yang memperebutkan penumpang. Batinku, pasti mereka bohong dengan menyebutkan lokasi Candi masih 3 km lagi dengan tujuan membuat kami menggunakan jasa mereka. Jadi aku mengajak Aurima dan Febe berjalan terus tanpa mengacuhkan rayuan tukang becak dan andong. Sekitar 300 meter berjalan, ada tukang andong yang menyusul kami. Cuaca saat itu yang panas dan wajah memelas Aurima dan Febe meluluhkan hatiku untuk memercayai kata-kata tukang andong, jadi kuputuskan untuk menaiki andong. Untunglah …. ternyata memang benar, jarak antara terminal dengan lokasi candi memang jauh, meski tidak sampai 3 km. Naik andong membuat perjalanan kami menuju Candi Prambanan terasa nyaman.

Masih soal kendaraan. Sesampainya di loket Candi Prambanan, aku mendapat info bahwa ada tiket sambungan ke Isatana Ratu Boko berikut kendaraan yang mengantar dan menjemput. Harga yang harus dibayar hanya harga tiket masuk Istana Ratu Boko. Mumpung sudah sampai Yogya, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Sebetulnya ada juga bis wira-wiri dari Candi Prambanan ke Candi Sewu yang disediakan juga, tapi tidak kami manfaatkan saat itu. Trip ke Candi Boko kami ikuti setelah puas mengelilingi arena Candi Prambanan. Kendaraan yang mengantar kami ke Istana  Ratu Boko adalah sebuah minibus. Dari Istana, kami tidak kembali lagi ke Candi Prambanan, tapi langsung diantar ke Terminal Prambanan. Dari terminal, ada bus Trans Jogja langsung ke Malioboro. Inilah pengalaman pertamaku berwisata ke Prambanan dengan kendaraan umum yang murah meriah. Jauh lebih murah dibanding menggunakan jasa agen wisata yang banyak dijumpai di kota Yogyakarta.

Hal menarik kedua, tentu tentang Candi Prambanan dan Istana Ratu Boko itu sendiri.

Ada yang berbeda pada Candi Prambanan. Pada gempa tahun 2006, Candi Prambanan mengalami banyak kerusakan. Meski sudah direnovasi, masih banyak bekas-bekas kerusakan yang terlihat. Yang  
menonjol adalah pagar yang mengelilingi Candi Brahma, candi terbesar. Rupanya kerusakan yang menimpa candi ini cukup berat, sehingga dibuat larangan untuk memasukinya demi menjaga keutuhannya. Selain itu, adabagian puncak Candi Siwa yang masih tergeletak di bawah. Masih tampak batu-batu candi yang berserakan di sekitar kawasan ketiga candi besar, namun aku tidak dapat membedakan antara yang berserakan sejak sebelum gempa dan yang berserakan akibat gempa. Seberantakan apapun, di mataku Prambanan masih mempesona! Lihatlah foto di samping ini, Candi Siwa dengan latar belakan Gunung Merapi yang mengeluarkan asap. Tidak perlu foto-foto Prambanan dari sudut lain karena mudah menemukannya dengan googling. Dari sudut manapun, Prambanan selalu mempesona!


Berbeda dengan Prambanan yang lebih dahulu ditemukan sehingga sudah jelas bentuknya sebagai tampat penyembahan, Istana Ratu Boko yang relatif baru ditemukan masih tampak seperti lapangan luas dengan tumpukan dan serakan batu-batu tua. Sesuai dengan namanya, Istana Ratu Boko adalah tempat tinggal.


Dibandingkan 13 tahun yang lalu, bekas istana yang telah berhasil diungkap dan disusun ulang sudah jauh lebih luas. Ditambah dengan papan-papan petunjuk yang dipasang di tiap bangungan, kami dapat membayangkan luasnya istana itu pada jaman dahulu. Bangunan yang paling jelas adalah gerbang istana yang terdiri dari 2 gapura. Gapura bagian depan memiliki 3 pintu sedangkan yang di sebelah dalam memiliki 5 pintu. 


Di balik gerbang tampak tanah lapang yang luas  dengan latar belakang pemandangan yang indah. Di tempat ini kami melihat pasangan calon pengantin yang sedang membuat foto pra pernikahan.. Di sebelah kiri ada bangunan agak tinggi yang merupakan candi pembakaran. Saat kami mendekati candi pembakaran, ada bekas bangunan yang disebut candi putih. Agak jauh di belakang bangunan candi pembakaran, ada kolam. Di tengah merupakan tanah lapang yang luas. Sementara di sebelah kanan ada beberapa bangunan yang “lebih berbentuk”, yaitu 2 buah paseban tempat tamu menunggu, beberapa candi dan bangunan keputren. Pemandangan indah di sekitar istana dengan figur gunung Merapi di kejauhan serta udara yang sejuk membuat tempat ini sangat nyaman untuk menyepi sejenak dari keriuhan hidup setiap hari. 




Satu lagi nilai tambah Prambanan di mata kami…

Melinda

CUKUP SEHARI JALAN KAKI

Bahwa Bandung terkenal dengan tujuan orang berlibur adalah bukan rahasia lagi. Setiap liburan, Bandung selalu dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia. Perhatikan saja nomor polisi pada mobil-mobil pribadi yang bukan D (Bandung). Plat B (Jakarta) memang paling banyak, tetapi juga ada E (Cirebon), A (Banten), Z (Priangan Selatan), bahkan AB (Yogyakarta) dan L (Surabaya). Hal ini tentu menyebabkan Bandung semakin macet; macet di jalan, dan “macet” mendapatkan hotel nyaman di hari libur. Hal tersebut cukup membuktikan reputasi Bandung sebagai tujuan wisata – sekalipun seringkali menyebabkan orang Bandung tidak nyaman.Selain wisata belanja dengan berbagai FO dan wisata alam di sekitar Bandung, wisata kuliner juga tidak kalah menarik. Dengan udara yang masih lebih sejuk dibanding Jakarta, ada satu area yang menyajikan berbagai makanan yang maknyus. Bagi pencipta kuliner, area Pasirkaliki-Gardujati-Klenteng seharusnya menjadi tawaran menggiurkan.

 

Jarak tempuh sekitar 3 km adalah jarak ideal untuk makan dan jalan. Mulai dari bagian atas, yakni Klenteng. Pagi-pagi, makan nasi campur dengan sekbak. Daging B2 yang tidak terlalu berlemak pada nasi campur di Jalan Klenteng itu dan kuah sekbak yang segar, membuat semangat makan meningkat. Rasanya memang beda, dan mantap, namun jangan buat perut kenyang seketika. Beri waktu untuk “istirahat” sedikit untuk menyantap swike di seberangnya.
 


Setelah cukup kenyang, mulailah perjalanan kaki menuju pusat jajan di Pasirkaliki, tidak jauh dari perempatan Kebonjati-Gardujati-Paskal sebelum Hotel Hilton. Agak jauh memang, sekitar 2 km, tetapi pasti menyehatkan bodi. Keluarnya keringat pada waktu berjalan di waktu menjelang siang itu berarti meringankan tubuh dari beban timbunan kolesterol.
Di Paskal ini, kalau malam suasananya menyenangkan , tamu seperti makan di trotoar. Makanan di foodcourt ini berasal dari berbagai makanan favorit di Bandung. Tinggal milih: ada Bakut Ahon, bakmi Asia, Martabak, somai, otak2, soto-soto. Pokoknya lengkap makanan khas Bandung yang penjualnya telah dikenal masyarakat sejak dulu. Jangan lewatkan mencicipi martabat capucino-keju. Rasa capucino-nya lama menempel di lidah.
Setelah makan bisa jalan-jalan dulu di sekitar pusat jajan yang sekaligus pusat perbelanjaan itu. Ada juga tempat spa atau salon, atau siapa tahu mau beli pakaian. Manjakan diri setelah banyak makan hari itu.
Menjelang malam, teruskan perjalanan dengan berbalik ke arah Gardujati, tempat kuliner spesial malam. Di sini, tamu memang makan betul-betul di trotoar. Ada setumpuk gerobak menjajakan menu makanan. Jangan lewatkan bubur ayam di depan Hotel Trio dengan isi lengkap. Kalau masih kurang hangat, tambah dengan ronde atau sekoteng di gerobak sebelahnya.
Kalau kebetulan tidur di hotel sekitar Gardujati dan kebetulan pada malam Minggu, maka pagi esok harinya masih bisa mencicipi makanan jalanan di depan GKI Kebonjati. Menu-menunya menarik dan lengkap, tetapi hanya pada pagi hari saja. Pokoknya, setiap ke Bandung, ingat-ingat satu area yang dipenuhi dengan berbagai menu makanan dengan jarah tempuh berjalan kaki saja. (RR)

Gereja Ganjuran

Setiap hari Natal, gereja ini masuk TV. Setiap hari Natal, Indosiar menyiarkan missa Natal kedua dari tempat ini. Letaknya di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Tepatnya di Ganjuran. Nama gereja itu sebenarnya Gereja & Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, namun lebih dikenal sebagai Gereja Ganjuran. Aku tidak pernah menyaksikan siaran langsung missa Natal secara utuh, karena saatnya bertepatan dengan kebaktian Natal yang kuikuti. Dari tahun ke tahun, aku hanya kebagian menyaksikan ekaristi, termasuk di antaranya nyanyian Doa Bapa Kami dengan langgam Jawa. Keunikan lain yang sempat kusaksikan di TV adalah pakaian umat, yaitu pakaian tradisional Jawa. Keunikan inilah yang membuat kami menjadikan Gereja Ganjuran sebagai salah satu tujuan perjalanan kami ke Yogya bulan lalu.

Nampaknya gereja ini memang terkenal di Yogya. Mungkin bukan sebagai gereja, tapi sebagai tujuan wisata. Terbukti dari sikap Pak Tomo, pengemudi mobil sewaan kami yang langsung mengerti maksudku saat kusebutkan Gereja Ganjuran. Rupanya sebelum ini, beliau sudah pernah mengantar wisatawan ke tempat ini.


Gereja Ganjuran terletak di daerah pemukiman yang cukup padat, di tepi sebuah jalan sempit yang hanya bisa dilalui oleh 2 buah mobil. Begitu memasuki jalan sempit ini, sudah nampak keunikan gereja ini. Ada sebuah papan nama gereja terpampang di ujung jalan menghadap jalan besar. Terbuat dari batu bersusun yang mirip batu penyusun candi dengan ukuran yang cukup representatif.


Gereja ini mempunyai halaman yang luas dengan beberapa pohon rindang dan beberapa rumpun bambu yang membuat teduh. Suasana yang teduh dan tenang sangat mendukung bagi peziarah yang ingin beribadah. Setelah melewati pagar, di sebelah kanan tampak 2 buah bangunan pendopo yang berhadapan. Dinding di bawah atap yang berhadapan dihiasi oleh kaca patri bermotif dengan gambar simbol-simbol Katolik bernuansa Jawa. 
Di sebelah kiri terdapat bangunan joglo yang digunakan sebagai ruang ibadah. Di sebelah joglo, ada pendopo lain yang juga berfungsi sebagai ruang ibadah. Menurut beberapa tulisan hasil googling, pendopo ini digunakan untuk ibadah harian. Sedangkan joglo digunakan untuk ibadah pada hari Minggu.

 




Ada bangunan unik terletak di depan pendopo tempat ibadah harian. Bangunan ini adalah candi. Rupanya inilah yang membuat gereja ini disebut Gereja dan Candi. Saat kami berada di sana, ada beberapa orang muda sedang berdoa di pelataran candi. Tidak jauh dari candi ini, ada beberapa bangunan kecil yang dipasangi keran untuk membasuh diri.   
Di bagian paling belakang area gereja ini terdapat tempat-tempat perhentian jalan salib. Pada setiap perhentian ada gambar berbentuk relief berwarna putih dan penjelasan dalam aksara Jawa kuno.






Selain itu ada patung Bunda Maria dan Yesus yang berbusana Jawa dan sebuah kentongan yang berfungsi sebagai lonceng gereja.

Febe mengatakan gereja ini sudah mengalami akulturasi. Entah mana yang benar, akulturasi atau inkulturasi. Yang jelas gereja ini benar-benar unik dan menarik sebagai tempat tujuan wisata. Area parkir di seberang gereja dipenuhi kios-kios penjual pernak-pernik ibadah, juga souvenir yang berbau gereja candi. Mudah-mudahan meski menjadi tempat tujuan wisata, gereja ini tidak akan menjadi komersial dan tetap mempertahankan keunikannya.

CINA BENTENG YANG TAK TERGUSUR : SIOMAY SEWAN

Kalau melihat penampilannya, siomay ikan ini tidak berbeda dengan siomay ikan lainnya. Hampir semua siomay yang dijual oleh abang-abang bersepeda atau bermotor menggunakan panci biru muda dengan motif bercak-bercak putih. Isinyapun sama, mulai dari siomay yang dilekatkan pada kentang, tahu, kol dan paria, siomay thok, siomay berbentuk panjang. Bumbunya pasti bumbu kacang yang diberi kecap, saus tomat dan perasan jeruk limau. Tapi bila sudah menyentuh lidah, siomay yang satu ini menjadi istimewa.

Foto panci penuh berisi siomay ini dibuat di Sewan, suatu wilayah di pinggir utara kota Tangerang. Siomay ini diproduksi dan dijual di sebuah rumah yang terletak di hadapan pemakaman Cina. Di depan rumah besar berhalaman luas ini terpampang spanduk bertuliskan SIOMAY ANDI Sewan Rawa Kucing Tangerang. Namanya memang Siomay Andi. Namun warga Tangerang mengenalnya sebagai Siomay Sewan. Siomay Sewan memang terkenal enaknya, sehingga namanya sering dipakai oleh penjual-penjual siomay di Tangerang meski siomay yang dijual belum tentu berasal dari Sewan.

Siomay Andi berada di jalan kecil di samping pemakaman Cina. Sebagai petunjuk, di ujung jalan ini ada wihara. Papan nama wihara ini mudah dilihat dari Jalan Raya Rawa Kucing. Setelah memasuki jalan ini, di sebelah kiri jalan akan tampak rumah yang menjual bakmi dan bihun babi. Tidak lama sesudah itu nampak sebuah pemakaman Cina yang luas. Ada sekelompok bangunan rumah masa depan yang kurang terawat dengan nisan yang cukup menonjol. Di sepanjang jalan ini, ada beberapa penjual makanan yang nampaknya berdiri setelah Siomay Sewan terkenal (numpang beken.com). Selain makanan-makanan khas Cina Benteng, ada juga yang nekad menjual siomay. Lokasi Siomay Sewan sendiri berada jauh di dalam, saat jalan menikung ke kanan.


Sepintas, tidak tampak rumah ini menjual siomay. Yang nampak jelas adalah pagar terbuka yang membawa pengunjung kepada halaman yang luas. Setelah berada di dalam halaman, barulah terlihat spanduk Siomay Andi yang menutupi teras berbentuk L yang diisi meja dan bangku-bangku. Di sinilah orang menikmati Siomay Sewan.

Di teras ini ada sebuah meja kayu kecil yang dipakai untuk meletakkan 1 panci siomay, rak piring, bumbu kacang, saus tomat, kecap dan jeruk limau. Memang hanya 1 panci siomay yang dipajang. Namun tampaknya ada banyak siomay di dapur yang letakknya di bagian belakang rumah yang tergolong besar. Bila pengunjung ramai, maka penjual akan sibuk mondar-mandir ke dalam mengambil siomay yang baru matang agar panci tetap penuh. Demikian pula bila ada pembeli yang membeli dalam jumlah banyak untuk dibawa pulang, maka penjual akan mengambil siomay dari dapur, bukan dari panci yang disajikan.

Pembuatan siomay secara manual, penjualan yang ditangani oleh anggota keluarga, tempat penjualan yang seadanya, lokasi yang jauh dari keramaian dan sistem pemasaran yang hanya mengandalkan iklan dari mulut ke mulut ternyata bisa membuat siomay ini terkenal. Bukan hanya di kalangan orang Tangerang, tetapi juga orang Jakarta. Tentunya karena siomay ini memang enak. Sluurrrppp!