WARTEG DI KAMBOJA


Melinda

Tidak jauh dari kantor imigrasi di Bevet, Kamboja, bis yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah makan. Rumah makan ini mirip warteg di Indonesia. 

Ada beberapa jenis masakan yang dapat dipilih sesuai selera. Bagi kami semua masakan yang terpampang menggugah selera kami … hehehe….maklum kami adalah keluarga pemakan segala (kecuali teman).

Inilah menu makan siang kami yang agak kepagian. Baru jam 10.30!
Yang pertama adalah sayur buncis yang dipotong panjang (eh…mungkin ini buncis buntet yang tidak dipotong) ditumis dengan bawang putih dan potongan daging babi. Yang kedua tahu goring yang ditumis bersama kucai yang agak tua. Berikutnya samcan yang ditumis dengan jahe. Yang terakhir adalah rebung yang dimasak dengan babiiiiii…..lagi!  Semua rasanya enak. Jelas saja, karena dimasak dengan babi … hehehe….

Masih banyak makanan yang tidak kami pilih, bukan karena kami tidak tertarik tapi takut tidak termakan.

VISA ON ARRIVAL KAMBOJA


Melinda

Indonesia dan Kamboja sama-sama termasuk anggota ASEAN. Di antara sesama negara ASEAN ada perjanjian kerjasama, salah satunya kunjungan warga negara masing-masing tidak memerlukan visa. Ternyata itu cuma sekedar perjanjian antar  pemimpin negara, karena dalam kenyataannya siapapun yang masuk ke Kamboja harus mempunyai visa. 

Visa bisa diurus begitu tiba. Prosesnya cepat dan tidak berbelit. Yang penting paspor ada, formulir keimigrasian sudah diisi dan membayar $25. Sepertinya yang terakhir itulah yang penting, BAYAR. 

Pada saat kami memasuki Kamboja, bahkan lebih praktis lagi. Kami menunpangi bis SURIA dari Ho Chi Minh City. Sebelum mencapai perbatasan kedua negara, kondektur bis mengumpulkan paspor kami untuk mengisikan formulir imigrasi. Kami hanya 1 kali harus turun sambil membawa bagasi kami yaitu saat melalui pintu Vietnam. Saat memasuki Kamboja, kami hanya perlu turun untuk menampakkan diri pada petugas imigrasi Kamboja sebelum paspor kami diberi stempel. Bagasi kami tetap ditinggal di bis.

Setelah mendapat stempel visa, pengunjung diminta memasuki ruang karantina. Namanya saja karantina. Dalam kenyataannya, tidak ada pemeriksaan apa-apa. Pengunjung hanya diminta mengisi formulir berisi nama, kebangsaan, nomor paspor, kendaraan yang ditumpangi, kota tujuan dan ala…….ups….belum selesai diisi, petugas member tanda untuk menarik formulir sambil berkata “Sign….sign”….  Jadi tidak perlu diisi terlalu lengkap seperti mengisi lembar jawaban ujian, tandatangani saja. Setelah itu…..keluar, kembali ke kendaraan. Beres. Selamat darang di Kamboja!

Pengurusan visa sepertinya hanya basa-basi. Semua boleh masuk, yang penting bayar $25. Bisa dimaklumi, ini adalah salah satu sumber pemasukan Negara. Jadi meskipun sama-sama warga ASEAN, harus bayar.

HO CHI MINH CITY, KAMI DATANG LAGI !


Melinda

Jam setengah delapan malam kami mendarat di bandar udara Tan Son Nhat, Ho Chi Minh City. Semua berjalan lancar. Kami merasa disambut dengan baik begitu memasuki gedung bandar udara. Tidak perlu mengisi kartu imigrasi. Loket imigrasi jumlahnya sangat banyak, apalagi jika dibandingkan dengan bandar udara Soekarno Hatta. Petugas imigrasi tidak berbelit, Toilet yang bersih. 

Di luar bandar udara. Berbekal pengalaman 3 tahun yang lalu, kami lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi supir taksi. Menurut teman-teman di milis Indonesia backpacker, taksi yang direkomendasikan adalah Vinasun dan Mailinh karena menggunakan argometer. Kemudaian harus waspada karena banyak taksi dengan nama yang mirip-mirip, misalnya vina Taxi. Biaya sekitar 150 hingga 200 ribu Dong untuk mencapai Pham Ngu Lao.Dengan informasi-informasi ini, kami segera menolak sopir-sopir yang menawarkan taksinya di luar rambu-rambu di atas. Mata kami terus mencari tulisan Vinasun dan Mailinh di badan taksi-taksi yang diparkir. 

Tiba-tiba ada seorang perempuan dengan pakaian khas Vietnam sedang mengatur penumpang menaiki taksi. Gayanya mirip petugas Blue Bird Taxi di Jakarta.Rupanya dia adalah petugas Saigon Airport Corporation. Kami memilih naik taksi ini setelah mengetahui biaya sampai Pham Ngu Lao 160 ribu Dong. Dich vu Taxi, Tidak ada di dalam daftas taksi yang direkomendasikan teman-teman…hehehe….

Dalam perjalanan, kami tidak merasa asing. Beberapa sepeda dan motor dalam jumlah sangat besar memenuhi bagian depan jalan yang sedang menunggu lampu merah, Mobil-mobil ngebut dan ogah menginjak rem meramaikan jalan-jalan di kota ini, Ada sedikit perbedaan dibanding 3 tahun lalu. Kami melihat banyak perempuan bercelana pendek dan berpotongan rambut sebahu menaiki motor. 3 tahun yang lalu, penampilan perempuan lebih tradisional : berambut panjang diikat seperti buntut kuda dan berpakaian tertutup. 

Di sepanjang jalan banyak kedai-kedai dengan kursi-kursi kecil dan meja makan digelar di depan kedai, berikut tempat sampah yang tersedia di bawah tiap meja. Di beberapa tempat kami jumpai gerobak penjual hamburger ala Vietnam yang menggunakan roti panjang berkulit keras. 

Kami juga melewati Reunification Palace dengan lapangan luas di depannya tempat kami menghabiskan hari terakhir di Vietnam kami 3 tahun yang lalu. Banyak pasangan yang berpelukan di taman.

Sampai di Pham Ngu Lao, kami turun dari taksi. Supir hanya mengembalikan 20 ribu Dong ketika kami membayar 200 ribu Dong. (Menurut argometer, sebetulnya kami hanya harus membayar 120 ribu Dong). Yaahhhh…. ini tidak kami anggap penipuan, karena masih dalam batas wajar. 

Setelah meletakkan barang bawaan di hotel (hotel ini pernah kami pakai juga 3 tahun yang lalu), kami makannnnnn…..PHO!... makanan favorit kami di sini! Lagi-lagi kami terpesona dengan rasanya, Rasa kaldu daging yang bercampur dengan berbagai aroma daun-daunan segar yang dicemplungkan ke dalam kaldu panas. Daun-daunan yang tidak kami tahu namanya. Salah satunya adalah daun seukuran daun kemangi dengan tepi bergerigi, batang daun agak keras berwarna merah coklat dan berbau seperti minyak telon. Mirip daun pakpahan yang biasa dilalap di Indonesia. Kemudian ada lagi daun panjang berbau khas, taoge dan daun bawang. 

Malam ini rasa kangen kami dengan suasana kota Ho Chi Minh City cukup terpuaskan. 

SIAP2 TRAVELING ALA BACKPACKER


Oleh: Rasid Rachman

Beda antara bepergian sendiri dan ikut biro wisata adalah pada persiapannya. Ikut biro wisata, kita ga perlu menyiapkan jadwal perjalanan; tinggal ikut aja kemana biro itu membawa kita sesuai kesepakatan. Kalau pergi sendiri, kita harus memilih tempat2yang hendak kita kunjungi.
Pemilihan itu bukan hanya harus sesuai dengan selera, tetapi hal2 lain juga, semisal waktu, kantong, jarak, transportasi, dsb. Maklum, tidak ada jaminan dapat tiba di lokasi, atau dapat kendaraan penghantar, dapat guide, dsb. Setiap lokasi wisata, terutama yang ”aneh2” memiliki kendalanya sendiri. Misalnya di Flores, kendaraan umum tidak berjalan setiap hari. Syukur2 ada bis setiap hari. Bis Bajawa ke Riung hanya sekali sehari, sehingga banyak makan waktu.
Jadi setiap kali kami bepergian, jauh2 hari kami mempersiapkan segala sesuatu, hingga hal2 kecil dan remeh temeh.
Yang pertama adalah tujuan atau tiket murah – mana yang lebih dulu, kami bingung juga. Kadang2 ada promo tiket murah ke suatu tempat, kami tertarik, lalu buru2 menjadikan destinasi itu sebagai lokasi tujuan wisata. Atau kadang2 kami sudah menentukan tujuan wisata, baru kami cari2 tiket. Yang terakhir ini pasti harga tiket ga bisa kompromi. Waktu ngebet mau ke Komodo, Rinca, dan Flores tahun 2010, mau tidak mau kami dapat tiket agak mahal. Yang enak memang adalah pas ada tiket promo yang sesuai dengan tempat tujuan wisata kami, tetapi tidak jarang.
Tiket dan lokasi sudah di tangan, tinggal waktu kunjungan; berapa lama dan tanggal apa saja. Biasanya, waktu kunjungan bukan hal yang terlalu besar, karena memang sudah standar masa cuti kami 2 pekan. Paling2 memperkirakan kapan Aurima mulai libur atau masuk sekolah. Lalu memperkirakan kapan aktivitas tersibuk di gereja, atau kapan persidangan atau perkuliahan mulai lagi. Untuk ini, walaupun kami anggap ringan, tetapi tokh beberapa kali kelabakan juga.
Selesai tahap pertama. Ini sudah kami selesaikan 7-10 bulan sebelum waktu pelaksanaannya. Maklum, profesi dan kantong saya menuntut persiapan2 dasar ini, karena tidak bisa dadakan.
Tahap berikutnya adalah kala 4–1 pekan sebelumnya. Nah ini butuh konsentrasi karena harus membaca buku2 panduan, semacam lonelyplanet, seluruh negeri tujuan. Maklum, perkunjungan kami ke suatu negeri asing mungkin cuma sekali ini saja, sehingga kami harus tahu dulu objek2 wisata di tempat itu. Setelah tahu, barulah kami memilih dengan banyak pertimbangan. Ya jarak dan waktu tempuh, nilai2 yang menarik di tempat2 tersebut, kendalanya, keamanannya, persiapan kami sendiri, dsb. Misalnya, sekalipun ingin sekali menjelajah di hutan lindung barang 2-3 malam atau mendaki gunung Rinjani, namun harus tahu diri karena persiapan fisik dan perlengkapan kami belum mendukung. Jadilah pilih yang fun2 saja.
Kami juga menjelejah info2 terbaru internet. Ini sangat membantu, supaya kami dapat meminimalkan kendala dan hal2 yang mungkin terlewatkan – sekalipun ini tidak dapat dihindari oleh kami.
Setelah membaca dan memilih, kami buat itinerary-nya. Mulai dari pemberangkatan dari rumah hingga waktu ketibaan di lokasi tujuan. Pendajwalan ini penting supaya kami tidak buang2 waktu, yang ujung2nya buang2 biaya kagak karuan, dan penggunaan waktu yang efektif. Juga supaya kami tidak kehabisan waktu, sehingga ketinggalan pesawat kembali ke rumah. Ini hampir kami alami waktu hari cuti terakhir tahun 2009. Dari Penang kami berencana naik bis paling pagi ke Kualalumpur, supaya bisa langsung naik pesawat balik ke Jakarta pukul 16.00. Sebetulnya tukang tiket sudah menjamin bahwa kami tiba di Kualalumpur sebelum pukul 13.00. Namun sebelum pemberangkatan bis di Penang, tukang tiket yang lain panik sendiri. Dia mengoceh yang membuat kami juga ikut panik: ”Wah, awak terlalu buru2. Bis ini baru tiba di Kualalumpur sekitar pukul 15.00, lantas belum lagi awak harus cari taksi menuju bandara sekitar 1 jam lebih. Terlambatlah awak!” Maka kami pun terpengaruh tidak nyaman selama perjalan di bis, namun memang ga bisa apa2 lagi. Untungnya masih ada sedikit penghiburan, orang tadi mengaku bahwa ia bukan seorang yang biasa bepergian. ”Mana dia tahu banyak tentang waktu perjalanan,” pikir kami. Betul, kami tiba di Kualalumpur pukul 12.30, bisa langsung – sekalipun tetap ketar-ketir – naik bisa menuju bandara. Kami berlari2 di bandara yang besar itu, ketika cek-in, petugasnya masih santai2 dan sangat lancar.
Menulis rencana perjalanan ini juga penting untuk mendapatkan tempat tinggal. Biasanya kami tidak memakai sistem booking, karena lebih bebas. Pengalaman di Hue, kami booking dari Hanoi, justru dapat tempat yang bukan hanya lebih mahal, tetapi juga lebih jauh dari kampung turis. Lokasi atau nama hotel cukup penting, mengingat petugas imigrasi sesekali bertanya tentang tempat tinggal kita.
Beberapa hari menjelang pemberangkatan, kami menyiapkan perlengkapan. Ransel, gunting kuku, korek kuping, perlengkapan selam dan renang, pakaian2 siap buang (kami biasa membuang kaos, celana, handuk, pakaian dalam, celana renang, kaos kaki, dsb. ketika jalan2) setelah digunakan sekali lagi terakhir kali, buku panduan dan bacaan, paspor, tiket, kamera, video, sepatu hiking, obat2an, chargers, duit, dsb. Kalau transit, kami juga menyiapkan makanan dari rumah untuk selagi menunggu. Biasanya perlengkapan2 kami bertiga itu masuk ke dalam satu ransel besar, satu ransel tengahan, dan satu ransel kecil. Ketika pulang, banyak pakaian tidak terbawa lagi karena sudah dibuang; agak ringan.
Memang agak repot, tetapi asyik. Dengan membaca seluruh negeri kunjungan, kami menjadi jadi bagian2 mana yang asyik2 juga, bagian2 mana yang tidak sempat kami kunjungi kali ini. Siapa tahu suatu saat nanti, kami kembali lagi ke sana dan mengunjungi bagian2 lain di negeri itu.

BANTEN LAMA TEMPAT OBJEK KUNO

Oleh: Rasid Rachman

Menggunakan satu hari libur tidak resmi, apalagi di hari Senin, juga bisa menyenangkan. Itulah yang kami lakukan pada suatu Senin September 2010 yang lalu. Kerjaan dan tugas lagi setumpuk, stress yang kagak ketulungan, bosan suasana kota besar yang macet, kangen dengan suasana pedesaan pesisir, dan pas Jo mengajak kami ke Pulau Dua di wilayah Banten Lama, Serang, Banten. Maka berangkatlah kami berdelapan dengan mobil Jo pagi-pagi sekali. Di antara kami, ada yang jago motret, wartawan, jago jalan-jalan, penggembira, dsb. Saya mah jago makan aja deh.
Apa itu Pulau Dua? Kadang-kadang disebut juga Pulau Burung – kami tidak tahu bagaimana asal muasal penamaan tersebut. Jo yang memberitahukan kami – entah bagaimana dia tahu ada pulau itu – dan kemudian mengajak kami.
Sebenarnya pulau itu bukan lagi pulau. Sejak tahun 1980-an, ia tidak lagi terpisah dengan Pulau Jawa. Kini ada endapan panjang dan cukup luas yang menghubungkan “pulau” tersebut dengan Banten Lama. Namun burung di pulau itu masih banyak, karena di dalam pulau itu terdapat hutan lindung yang dijaga dan diolah oleh dua jagawana (Polisi Hutan). Masyarakat juga masih menyebut kawasan itu dengan Pulau Dua atau Pulau Burung. Arahnya, langsung menuju Banten Lama, sebelum Benteng dan Masjid Agung Banten, belok kanan 2-3 km, Tanya-tanya penduduk perihal arah Pulau Dua.

 Endapan  jadian yang menghubungkan ke Pulau Dua (kanan).


Polisi Hutan sedang memberikan info kehidupan hutan lindung (kiri).

Setibanya di sana, mobil diparkir di tepi jalan masuk. Lalu kami berjalan kaki 25-230 menit atau naik ojek menyusuri tambak ikan yang merupakan daratan jadian yang menghubung ke Pulau Dua. Burung-burung mulai beterbangan di sekitar sini. Kostum jelajah dengan siap untuk berbecek ria dan bekal makan-minum yang cukup merupakan perlengkapan kenyamanan plesir kami.

Mirip film perang Vietnam


 Ada dua lokasi yang menjadi objek perkunjungan di Pulau Dua, pantai dengan menara pandang yang memadai serta sejumlah informasi tentang hutan lindung tersebut, dan sangkar burung dengan menara pandang penuh tantangan serta sedikit rawa. Keduanya adalah lokasi yang membuat puas pengunjung yang hobi bertualang dan motret-motret.
Di lokasi pertama, pinggir laut, pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang kehidupan hutan lindung, suaka alam, tanaman, dll. Jagawana menjelaskan semuanya. Ada menara pandang, pengunjung padat menikmati aneka burung beterbangan di atas kepala, dan memandang beberapa perahu nelayan.
 Ke lokasi kedua, pengunjung berjalan sedikit ke dalam menyusuri dan menyeberangi rawa-rawa kecil dengan ribuan kepiting rawa. Situasinya, ingat film-film perang Vietnam! Ada juga menara pandang, tetapi “darurat”; diperlukan sedikit keberanian hingga bisa “menclok” di rumah pohon. Jerih lelah dan peningkatan adrenalin ketika memanjat rumah pohon segera terbayar begitu tiba di atas. Pengunjung terpesona dengan puluhan burung hinggap di puncak-puncak pohon. Burung-burung besar kita saksikan dan teropong sendiri di habitatnya.


Lupa turun deh si Jo!



 Memotret, wajib hukumnya!


Dua-tiga jam tidak terasa di sana. Setelah puas menikmati pemandangan di Pulau Dua, perjalanan bisa dilanjutkan ke Masjid Agung, Klenteng, dan Benteng. Masjid Agung dengan menaranya yang besar dan megah mengagumkan. Di kawasan masjid ada museum – sayang tanpa perawatan dan kotor – dan beberapa peninggalan masa lalu, semisal benteng dan meriam. Semuanya terlihat kumuh dengan bejibun-nya pedagang secara tidak teratur – bahkan di bawah rambu larangan berjualan pun tetap ada yang berjualan.

Menara Masjid Agung
 Ribuan peziarah di masjid, manusia di sekitarnya, dagangan yang berderet, jajajan, makanan, dan sejumlah bangunan kuno menjadi godaan tersendiri bagi para pemotret. Ga bisa mengelak deh untuk ga memotret.

Ribuan peziarah setiap hari
 
Jika berjalan sedikit – memang fisik kuat dan bekal makanan-minuman menjadi syarat – melewati perkampungan ke arah Klenteng, ada satu bekas benteng lagi. Rumah ibadah umat Islam dan tempat sembahyang umat Konghucu tersebut sudah lama berdampingan di Banten Lama. Sepi, kosong, luas, dan besar. Tembok benteng setebal 2 meter menambah keangkeran tampang benteng ini. Sayang, objek-objek ini tidak dilengkapi dengan informasi dan pengelolaan yang baik.

Lorong bawah tanah di benteng
Bagaimana pun, ini benar-benar plesiran yang tidak biasa.  ■