,
Senin,
18 Juni 2012 (Manado – Batuputih)
Jakarta
– Manado
Begitu
tiba di Manado, dari bandara kami langsung menyewa taksi menuju Batuputih –
Bitung. Setelah mampir sebentara melihat waruga (kuburan batu pra-Kristen) di
Airmadidi, sekitar pukul 16 kami tiba di Mama Roos Homestay di depan hutan
lindung Tangkoko.
Guide
menyatakan siap mengantar kami melihat tarsius (kera terkecil) pukul 17, kami
segera siap2; tanpa istirahat. Dalam perjalanan di hutan lindung selama sekitar
30 menit, selain tarsius kami juga berpapasan dengan sekawanan yaki (kera2
hitam dengan pantat tak berekor).
Di
lokasi tarsius, di tempat yang disebut pohon turis – karena tarsiusnya jinak2
dipotret dan mudah dilihat – kami memuaskan diri memandangi dan memotret kera2
terkecil. Sekitar 1 jam kemudian, waktu sudah lewat pukul 18, perut lapar dan
hutan semakin gelap, kami kembali.
Dalam
perjalanan kembali ke homestay, guide masih mengajak kami “mampir” di sarang tarantula (laba2 besar).
Tiba di homestay, makan ikan dan colo2 dan sop – mantabs deh.
Selasa,
19 Juni 2012 (Batuputih – Bunaken)
Pagi
setelah sarapan, kami masih sempat masuk hutan lagi. Tujuan utamanya adalah
melihat (tentu juga memotret) burung Rangkong
jantan memberi makan betinanya di lobangnya di ketinggian pohon sekitar 15
meter. Berjalan masuk hutan sekitar 25 menit, kami sempat berpapasan kembali
dengan kawanan yaki. Namun burung Rangkong
betina hanya kami lihat melongokkan kepala di lobangnya, sementara si jantan
hanya melongok2 di kejauhan.
Semuanya
berada di 15 meter dari tanah, tempat kami siap2 memotret. Rupanya si jantan
terusik dengan kehadiran manusia2 ini, sehingga ia tidak memberi makan
betinanya. Kami
sempat memotretnya dari jarak sangat jauh burung yang konon menjalani monogami
dan kawin hanya sekali seumur hidup ini.
Setelah
makan siang, kami bergegas ke Manado untuk menyeberang ke Bunaken menggunakan
taxi-boat – istilah untuk kapal kayu ongkos rame2. Dengan harga 25 rb/orang
kami berlayar dengan aneka bawaan masyarakat dan penumpang.
Tiba
di Bunaken, masuk Daniel homestay, atur janji untuk diving esok hari.
Sore
di Bunaken, sambil istirahat dan menanti makan malam – tarif hotel sudah
termasuk makan 3 kali – kami main2 di pantai di depan kamar. Air laut pertama
cuti ini.
Hari Rabu dan Kamis, 20 – 21
Juni 2012
Kami
4 kali menyelam di Bunaken dengan DM Felix yang bersuara keras itu. Lumayan
untuk sekadar tahu Bunaken dan pemanasan setelah 6 bulan tidak menyelam. Ada
banyak penyu besar dan sesuatu yang lain – begitu istilah Steve dengan logat
Indonesia-Perancis yang khas – di kedalaman 15-26 meter dinding karang itu. Ada
hiu dan pari juga, tetapi kecil.
Kamis
setelah makan siang, kami menuju Manado untuk ke Tomohon. Kami sempat mampir
dulu di klenteng tertua Ban Hian Kong di Indonesia Timur (menurut Lonely
Planet) di jalan Panjaitan.
Tidak
begitu jauh dari klenteng, adalah Rumah Kopi, ngopi dulu dan nge-bread –
istilah untuk menikmati roti bakar.
Tiba
di Tomohon, tiba di Lokon Mega Mendung Resort, dapet vila dengan dua kamar, tidak jauh dari
jalan utama di mana terdapat banyak makanan khas Tomohon. Malamnya kami
menikmati Paniki, RW, tulang panggang, plus sayur, 15 rb/orang. Makan di
Tomohon ternyata hitung orang, bukan hitung porsi atau menu. Hot ... hot ...
hot ...!
Hari Kamis ini adalah hari jalan2 yang variatif.
Jumat,
22 Juni 2012 (Bunaken – Tomohon)
Setelah
sarapan dan menikmati Gunung Lokon, kami keliling Tomohon. Pertama ke pasar Tomohon yang menjual berbagai jenis
daging mentah dalam arti sesungguhnya. Ada anjing, kalong, babi, ular, monyet,
tikus, selain ayam dan ikan.
Dari pasar, nyambung ke Bukit Kasih Kawangkoan. Istimewanya, di atas bukit belerang tersebut terdapat rumah2 ibadah Katolik, Protestan, Islam, Hindu, dan Budha. Itu saja, padahal mendaki bukit terik, tinggi, dan berbau belerang ini memerlukan tenaga ekstra.
Rencana
setelah makan siang Ragey
dan ‘teman2nya” khas Tomohon, lanjut ke danau Linow. “Tutup,” kata petugas.
Danau koq bisa tutup?! Oh, ternyata ada rombongan penyewa yang “menutup”
(sebetulnya menguasai) seluruh taman danau tsb. Bagaimana pariwisata bisa maju
kalau setiap orang bisa menguasai milik publik begini(?)
Akhirnya
kami kembali ke penginapan. Malamnya makan mi cakalang, lumayan mengobati
kekecewaan karena :”penutupan” danau tadi siang.
Sabtu,
23 Juni 2012 (Tomohon – Manado)
Setelah
sarapan kami harus menuju Manado untuk lanjut ke Makassar dan Toraja. Namun
sesuai perjanjian dengan taksi pengantar, kami mampir dulu di Makam Imam Bonjol
di Desa Lota. Area yang cukup berkesan, sekaligus berjumpa dengan keluarga2
Minang keturunan pada serdadu Imam Bonjol.
(Manado
– Makassar – Rantepao)
Dari
Makassar langsung berjuang ke Rantepao mencari bis kesana kemari sudah penuh
semua, kecuali bis Bintang Prima jalan malam itu, pukul 21.30, namun dapat
kursi sebelah supir dan kursi kenek tanpa bantar dan selimut di dua bis
terpisah dengan harga penuh. Apa boleh buat, daripada membuang 1-2 hari di
Makassar. Malam itu praktis kami tidak tidur duduk 10 jam di kursi yang
seharusnya tidak dijual kepada penumpang itu. Maklum, sudah kangen Toraja.
Minggu, 24 Juni 2012
Pukul
8 kami bertemu kembali – tadi malam jalan terpisah bis – di Wisma Maria 1.
Istirahat aja sampai siang setelah makan bakso babi dan buras.
Bangun tidur sekitar pukul 15, kami keliling2 Rantepao, liat2 kota dan cari makan.
Bangun tidur sekitar pukul 15, kami keliling2 Rantepao, liat2 kota dan cari makan.
Senin,
25 Juni 2012 (hari pasar dan hiking)
Pagi2
langsung ke pasar Bolu. Hari pasar adalah hari dimana semua orang tumplek-blek
di pasar. Hari2 biasa hanya pedagang rutin, tetapi di hari pasar dalam kurun
5-7 hari sekali, semua orang datang berjual-beli di pasar Bolu. Termasuk
adalah para penjaja kerbau dan jumlahnya bisa mencapai 3-4 kali lipat daripada
biasanya.
Setelah puas melihat2 pasar – yang menurut empunya cerita adalah merupakan pasar ternak terbesar seluruh dunia – dan mencari2 info tentang pesta kematian (rambu solok), kami menuju rumah Nikolas untuk menunggu rambu solok kematian ibunya yang berusia 110 tahun. Ternyata acaranya baru dimulai 2 hari lagi, tapi ada pemotongan 1 ekor kerbau setiap hari, selain sejumlah babi.
Setelah makan siang, kami hiking. Menumpang bemo, stop di Karasik (batu megalitikum atau menhir), lanjut ke Buntu Pune melihat rumah tradisional dan kuburan gantung, lanjut ke Ke’te Kesu dengan kuburan batu, masih lanjut ke Sullukang melihat kembali megalitikum kecil padahal sudah gempor banget, dan berkahir di Palatokke dengan pemandangan kuburan modern ketimbang kuburan batu.
Rencananya
mau ke Londa, tetapi sudah ga kuat berjalan sekitar 15 km seharian itu, kami
kembali naik bemo ke Rantepao. Sore itu kami makan banyak di RM Chinese Food
Selasa, 26 Juni 2012 (Selatan: Lemo –
Rantepao)
Pagi2
sudah jalan melanjutkan sisa hiking kemarin, ke Londa. Kuburan gua, stalagnit
dan stalagnit, dan tau tau, eksotis semua.
Mampir
dulu ke Makale, melayat keluarga Titi, lanjut rambu solok di Lapandan; tadinya
sempat ke Bolu, ternyata rambu solok keluarga Nikolas adalah besok. Akibatnya
telat ke Lapandan, tapi masih dapat menyaksikan lelang daging dan adu kerbau di
sawah. Lumayan.
Rabu, 27 Juni 2012 (Rantepao – Makale –
Mamasa)
Sebetulnya,
hari ini rencana ke Batutumonga, tetapi bis yang dinanti2 tidak kunjung tiba
setelah 60 menitan. Akhirnya kami memutuskan untuk ke rambu solok di keluarga
Nikolas.
Ternyata
memang tidak sia2. Semua acara kumplit terjadi pada hari itu. Pemindahan peti
jenazah dan persiapan arak jenazah dan tau2 keliling kampung. Meletakan jenazah
di bagian tertinggi dari pondokan, potong kerbau, penerimaan tamu dengan
prosesi tarian, jamuan, pukul alu2, mabadong, dll. Semuanya serba menakjubkan
seharian itu. Puas banget!
Kamis,
28 Juni 2012 (Ranbtepao – Makassar)
Menuju
Makassar dengan Bintang Prima sekitar 10 jam perjalanan. Tiba di Bumi Asih
Makassar sudah malam, tinggal tidur.
Jumat, 29 Juni 2012
Hari ini kami isi dengan keliling2 sekitar Makassar sampai gempor sendiri naik Kijang Sewaan milik Dali, ternyata masih teman Pdt Titi. Pertama ke bentang Fort Roterdam dan museum La Galigo, lanjut ke makam Diponegoro dengan keluarganya, terus ke Taman Purbakala dan Gua Leang-leang dan taman kupu2 yang hampir dibuka. Lama di Bantimurung (ga main air) dan masuk ke gua besar, dan berakhir sore di makam Sultan Hassanudin yang banyak pengemis bocah (belajar ga bener ni yee ...).
Makan malam sop konro, mantebs.
Sabtu,
30 Juni 2012 (Makassar – Baubau)
Pagi-siang di Makassar, kami
masih sempat wiskul bakso-siomay Ati Raja dan coto Daeng. Jalan kaki sekitar
4-5 km sambil cari oleh-oleh Makassar dan Toraja untuk teman2 dan keponakan2.
Lumayan masih ada waktu mengisi waktu sebelum ambil ransel kembali ke Hotel
Bumi Asih untuk ke Bandara dan lanjut ke Baubau.
Tiba di Baubau, berhadapan dengan supir taksi, akhirnya ketemu yang santun, Adir namanya. Adir inilah yang mengantarkan kami makan malam di pinggir laut dan pinggir jalan dengan makanan2 khas Baubau. Ada ikan, nasi kuning, kasuami (makanan dari singkong), sayur, teri, sangat cukup mengobati rasa lapar setelah berlama2 di menunggu pesawat terlambat dari Makassar tadi siang.
Kami langsung menuju Wanci di Wangi-wangi dengan menumpang kapal kayu malam. Berangkat pukul 21.40, harga 108 rb, tidur di dipan berjejer dan bersusun dua, terombang-ambing hingga tiba esok hari pukul 7.30 di Wanci.
Minggu,
1 Juli 2012 (istirahat seharian di Wanci)
Tiba
di hotel Wakatobi dengan ojek dari pelabuhan, kami beristirahat hingga lewat
tengah hari. Perut lapar, makan dulu di warung Awak, lantas mau mencari paket2
diving. Tanya2 angkot, ga ada yang paham dengan aktivitas ini. Akhirnya
nyangkut di Resort Patuno.
Patuno menyediakan paket diving 3 kali sehari dan kamar dengan harga khusus. Pikir2 dan hitung2 sisa modal, akhirnya kami hanya sempat menginap 2 malam terakhir di Patuno. Lumayan untuk nyepi dan istirahat sejenak dengan menikmati suasana resort.
Sebelum kembali ke hotel, kami mampir sebentar di perkampungan Suku Bajo, suku laut sejak berabad-abad. Mereka ahli menyelam bebas juga. Ngobrol2 dengan ibu2 dan anak2 di sana, dan apalagi kalau bukan berburu foto2 dokumentasi. Masyarakat Bajo ramah2 dengan pelancong. Mereka suka dipotret. Sayang waktu itu air laut sedang surut, sehingga tidak bisa melihat mereka “atraksi” terjun dan menyelam.
Senin,
2 Juli 2012
Diving 3 kali dari pagi sampai sore, sekali
sempat dibawa arus pula. Seru! Yah DMnya (Iwan dan Amir), yah kami, semuanya
terbawa arus – untung kagak pake panik sebelum akhirnya tiba di wall yang tidak
berarus.
Diving
3 kali lagi dari pagi sampai sore, kali ini ga ada arus. Seru juga! Tapi pagi
tadi pindahan hotel dulu ke resort. Tar pulang diving, cape2 langsung masuk
kamar nyaman.
Sorenya masih ada waktu untuk menyusuri pantai melihat2 hewan2 laut yang tertinggal di pasir waktu surut tadi. Setelah pukul 14 tiap hari di Wangi-wangi, laut surut hingga tengah malam. Ada banyak bintang laut, ikan2 kecil, tiram, kerang2 hidup, dll., sambil menyaksikan sunset. Asyik banget dan damai.
Malamnya
kami duduk2 di restoran resort sambil baca2 dan main internet, ngatur foto2,
dan ngobrol hingga pukul 21.
Rabu,
4 Juli 2012
Setelah
sarapan, kami tidak beranjak dari kursi dan duduk2 di restoran resort sambil
baca2 dan main internet, ngatur foto2, dan ngobrol hingga pukul 13. Emang
maunya santai2 aja hari ini.
Sorenya kami kembali menyusuri pantai, kali ini sampai ke karang bolong di seberang resort dan juga ketemu mata air di bibir pantai pas di sebelah resort. Sayangnya gta ada sunset hari ini, mendung.
Kamis, 5 Juli 2012
Siang
menuju Baubau. Ga mau naik kapal kayu lagi, pake pesawat bermuatan 30 penumpang
aja, cuma 25 menit.
Tiba di Baubau, dijempur Sarno yang sudah dipesan dari Wanci, langsung masuk Hill House Villa yang juga sudah dipesan. Sebelum ke Villa, makan dulu di pelabuhan: coto, palubasa, bebek goreng, sekalian bungkus untuk makan malam.
Tiba di Villa, lagi hujan, berangin, dan dingin2nya.
Jumat,
6 Juli 2012 (Baubau yang tidak bau)
Hari terakhir di Baubau,
kami habiskan dengan mengelilingi Benteng Wolio – kebetulan Hill House Villa,
tempat kami menginap – terletak tak jauh dari Benteng. Berjalan kaki sekitar
pukul 9, cuaca habis hujan dengan jalan naik-turun daerah perbukitan, adalah
momen spesial untuk keliling dan memburu foto dokumentasi. Lagipula temperatur
Baubau dan benteng Wolio berada di kisaran 26-27 derajat Celcius, sangat ideal
untuk ”jaga bodi” orang kota yang terlalu biasa naik-turun kendaraan. Tak
terasa baru pukul 11, kami sudah mengelilingi Wolio.
Hanya sayang, Pusat Kebudayaan Wolio masih tutup dengan alasan petugasnya belum datang. Waktu pulang siangnya, pusat ini malah sudah digembok – bagaimana orang akan dapat tertarik dengan Baubau.
Sabtu lalu, sebelum akhirnya kami memutuskan langsung ke Wangi-wangi dengan kapal kayu malam, sebetulnya kami berencana menginap dulu di Baubau. Namun kota ini seakan “tidak menyambut” turis. Info dan fasilitas wisata tidak banyak tersedia. Masyarakat tidak banyak tahu tentang hotel. Bahkan supir2 taksi dan angkot tidak akrab dengan nama2 jalan tentu dikenal oleh masyarakat Baubau sendiri. Kami juga tidak bertemu turis asing di Baubau.
Padahal Baubau memiliki warisan budaya dan sejarah yang luar biasa – sangat berpotensi wisata. Selain benteng tadi yang sepanjang 2,7 km, juga ada istana, hutan lindung dan beberapa pantai, belum ada makanannya. Bagi yang hobi kuliner, makanan khas Baubau, seperti sop ikan parande dan nasi kuning, bisa dinikmati dengan mudah dan enak. Tidak cukup 1 hari dan sekadar singgah untuk menikmati Baubau.
Puas mengeliling benteng keraton Wolio yang penduduknya ramah2, kami lanjut turun gunung menuju kota. Hanya berjalan kaki sekitar 3 km, kami tiba di pusat kota, langsung makan sop ikan. Mantebs!
Kembali ke Villa, jalan kaki lagi. Alasannya, tidak ada kendaraan umum. Hendak sewa angkot, sopirnya tidak paham di mana letak Hill House Villa, Keraton, dan Benteng Wolio. Apa boleh buat, mungkin kami menempuh sekitar 10 km turun-naik bukit dari pukul 9 hingga pukul 15 hari ini. Segar dan lelah.
Untung lagi, tadi pagi kami sudah memesan dimasakin sop ikan parende kepada Hill House Villa. Malam itu kami tidak perlu lagi mencari-cari makanan. Cukup ke restoran di Villa dan menikmati menu sedap khas Baubau. Baru malam ini kami mendapat buklet tentang Benteng Wolio yang menyimpan banyak warisan sejarah itu. Sayang banget, kurang promosi.
Sabtu,
7 Juli 2012 (Baubau
– Makassar – Jakarta)
Kembali
ke Jakarta. Dari Hill House pukul 430, diantar langsung oleh pemilik hotel,
Kasim Sihoro, yang juga notaris, pemilik sejumlah resort di Baubau dan Hoga,
dan instruktur selam, ke bandara. Makan siang di bandara Makassar, enak2
terakhir makanan khas plesiran kali ini.
Tiba
di rumah, ... koq cuti dan jalan2nya kurang lama ya ...? (Rasid Rachman)
0 Response to "DUA PULUH HARI DI SEBAGIAN SULAWESI"
Posting Komentar