Penghuni rumah

Berada di tempat yang jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang panjang kadangkala membuat hati dan pikiran menjadi kesepian. Pada saat-saat seperti ini, menulis surat atau membaca ulang surat-surat, mendengarkan kaset atau membaca bahkan tidak bisa menghilangkan rasa kesepian. Jangan heran kalau kemudian ada hal-hal aneh yang terjadi, mulai dari imajinasi ngawur hingga persahabatan dengan binatang.

6 bulan pertama, aku tinggal di sebuah rumah di daerah Oeba yang kukontrak bersama Dewi. Rumah kecil yang terdiri dari kamar tamu, 3 buah kamar tidur, ruang makan dan dapur serta kamar mandi dengan bak air besar yang berada di luar bangunan rumah utama. Rumah berdinding bebak (bahasa Kupang yang berarti batang daun lontar), berlantai semen dan beratap daun lontar. Bentuk rumah seperti ini adalah bentuk umum yang ada di Kota Kupang. Batang daun lontar yang disusun berderet secara vertikal membuat sirkulasi udara yang baik di dalam rumah, sehingga rumah terasa sejuk.

Aku mendapatkan kamar yang ada di depan, Dewi mendapat kamar tengah, persis di belakang kamarku. Sedangkan kamar yang satu lagi kami gunakan sebagai gudang. Kami memperlakukan rumah kontrakan ini sama seperti rumah kami sendiri. Kami memeliharanya dengan baik dan menjaga kebersihannya bersama-sama. Sebelum berangkat kerja, kami bersama-sama menyapu, mengepel, melap perabotan. Ada satu tempat yang membuat kami segan membersihkannya, sebisa mungkin kami menghindari bagian ini, yaitu kamar tidur yang kami gunakan sebagai gudang. Kami merasa tidak nyaman kalau berada di kamar itu.

Suatu kali, Dewi mendapat tugas untuk mengikuti pelatihan selama 2 minggu di Jakarta. Aku tinggal sendirian. Pada hari Minggu aku menyaksikan TV yang ada di kamar Dewi sambil tidur-tiduran di tempat tidurnya, hingga jatuh tertidur. Tiba-tiba aku terbangun karena lapar dan menyadari TV dan booster mati. Anehnya, TV tidak dalam posisi stand-by dan kain penutup sudah terpasang rapi menutupi TV. Siapakah yang merapikan ini semua? Apakah ada penghuni rumah selain aku? Besoknya, dan hari-hari selanjutnya hingga tiba waktunya Dewi pulang, aku tidak berani tinggal di rumah itu sendirian. Karena itu aku menginap di tempat kost Siriet.

Rumah berikutnya yang aku diami selama di Kupang adalah rumah dinas SPRG yang berada di lokasi sekolah dan asrama siswa SPRG dan SMF. Aku menempati rumah di sudut dengan kolam kering di belakangnya. Beberapa minggu sebelum aku memasuki rumah itu, ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi di asrama puteri SPRG. Beberapa siswi yang bangun dari tidurnya mendapati dirinya sudah tidak berbusana dan pakaiannya sudah terlipat rapi di atas meja. Rupanya ada penghuni porno di asrama SPRG.

Ada lagi cerita-cerita tidak masuk akal yang dialami siswa-siswa SPRG di rumah yang akan kumasuki (mereka tinggal di sana ketika asrama putera belum jadi). Aku lebih takut pada cerita tentang napi yang kabur dari LP yang berjarak 1 km dari SPRG dan beberapa kali kedapatan melompati tembok di belakang rumahku. Aku pasti akan mati berdiri bila ada napi yang menawarkan diri untuk menjadi penghuni baru di rumahku.

Memang ada rasa ngeri di hati, tapi tekadku sudah bulat untuk pindah ke rumah dinas. Dan memang akhirnya setelah aku menempati rumah itu, bisa dibilang aku tidak mengalami kejadian apa-apa. Hanya satu kali, ketika sedang istirahat siang, aku merasa dibangunkan oleh seseorang. Karena masih mengantuk, aku tidak mampu membuka mata apalagi untuk duduk. Tapi aku merasa di ujung kakiku berdiri suatu makhluk besar hitam yang menahan tubuhku sehingga tidak bisa bangun. Penghuni gelap? Ah... aku cenderung menduga itu hanya bayangan yang muncul akibat kesadaranku saat itu masih belum pulih saja. Tentu saja dalam keadaan belum sadar, tubuh akan sulit mengikuti keinginan pikiran.

Suatu kali, Arief dan Haryanto, rekan sesama peserta prajabatan yang ditempatkan di TimTim mengunjungiku. Keduanya mengaku dapat melihat makhluk dari dunia lain dan menurut mereka memang rumah dinasku itu ada 'penunggunya'. Entah sekedar menghiburku atau memang kenyataan, mereka mengatakan bahwa 'penunggu' ini tidak akan mengganggu penghuni rumah, malah melindungi. Persetan dengan penghuni yang mau menunggui rumahku....

Beberapa bulan sebelum aku mengakhiri masa wajib kerjaku, rumahku didatangi penghuni baru. Penghuni yang betul-betul nyata sosoknya dan membuatku betah tinggal di rumah. Kedatangannya sangat tiba-tiba, tanpa basa-basi dan membuatku terkejut. Dia memasuki rumahku ketika aku sedang pergi. Aku sungguh-sungguh berteriak kaget ketika pulang dan mendapatinya di ruang tamu. Sosoknya yang mengerikan betul-betul membuatku lemas.

Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku melihat TOKEK dan apesnya, jenis tokek yang kulihat saat itu jenis yang mengerikan. Tekstur kulitnya bergerigi mirip iguana, berwarna coklat tua dan saat kujumpai sedang menempel di dinding yang berhadapan langsung dengan pintu masuk. Saat itu aku tidak tahu makhluk apa yang menempel di dinding itu. Besok paginya, saat dia berbunyi "krrr....krrrr....tk...tk...tokek" barulah aku mengetahuinya. Perlu waktu beberapa hari bagiku untuk membiasakan diri dengan penghuni baru itu.

Rupanya si tokek merasa betah tinggal bersamaku. Kebersamaan kami cukup membuatku kadang-kadang ingin cepat-cepat pulang untuk melihat temanku yang satu ini. Meskipun kami tidak dapat saling berkomunikasi, rasanya ada ikatan halus di antara kami. Kira-kira 2 bulan dia menemaniku sebelum dia pindah ke rumah sebelah. Sesudahnya, hingga saat ini aku tidak pernah lagi melihat tokek dengan bentuk seperti itu.

Penghuni lainnya adalah seekor kodok yang bermukim di pinggir kolam kering di belakang rumah. Dia muncul pertama kali pada awal musim hujan bulan Oktober 1992. Suaranya yang besar, kadang-kadang mengiringi suara air hujan di malam hari, membuatku tidak merasa kesepian. Dan pengalaman inilah yang memberi pencerahan padaku, bahwa usia kodok itu bisa lebih dari 1 tahun, sebab si kodok ini tidak pernah pindah dari kolam kering itu dan terus berbunyi hingga musim hujan tahun berikutnya berlalu.

Melinda

Kampanye Pemilu 1992

Pemilu sudah usai. Kejadian-kejadian selama masa kampanye dan pemilu baru lalu mengingatkanku pada pemilu tahun 1992 saat aku masih menjadi PNS dan dengan sendirinya menjadi anggota Korpri. Sudah menjadi rahasia umum waktu itu, pengertian mono loyalitas tunggal Korpri berarti loyal pada Golkar. Rahasia yang baru aku pahami ketika mengikuti latihan prajabatan sebelum berangkat ke Kupang. Meskipun menurut teori, mono loyalitas menjurus pada kesetiaan kepada bangsa dan negara, secara blak-blakan para fasilitator menegaskan kesetiaan kepada bangsa dan negara otomatis berarti kesetiaan kepada Golkar.

Pertengahan Mei 1992 merupakan masa kampanye menjelang Pemilu. Suatu siang ketika aku sedang 'leyeh-leyeh' di kamar kontrakanku di Oeba, tetangga belakang memanggil-manggil aku dan Dewi. (Rumah-rumah di Oeba umumnya tidak berpagar, jadi dari pintu belakang rumah kontrakanku, aku bisa berbicara dengan tetangga belakangku dan sebaliknya). Tetanggaku yang satu ini pegawai Kanwil DepKes NTT. Dia memberitahu bahwa siang ini ada kampanye Golkar dan semua pegawai harus datang dan ada absensi. Karyawan SPRG tidak sempat diberitahu, karena tidak ada jaringan telepon.

Akhirnya dengan rasa kesal karena harus meninggalkan waktu istirahatku, aku dan Dewi berangkat menuju lapangan A. Yani yang tidak jauh dari Oeba. Saat itu pukul 3 siang, panas matahari terasa menyengat. Untungnya, di lapangan tersebut masih ada pepohonan yang cukup rindang dan kami mendapat tempat berdiri di dalam bayang-bayang rimbunan daun. Aku tidak tahu apa yang dikampanyekan karena sepanjang acara kami membuat kegiatan sendiri. Ujung-ujungnya...tidak ada absensi!

Ada beberapa cerita lain tentang musim kampanye 1992. Suatu hari, siswa-siswi SPRG diliburkan dan dikerahkan untuk mengikuti kampanye Golkar. Sakit hatinya, hari itu sebetulnya ada ulangan pelajaran yang aku berikan. Batal! Cerita lainnya terjadi beberapa hari sebelum pengerahan siswa-siswi SPRG, ada pegawai Puskesmas Tarus yang dipanggil oleh Camat Tarus karena ada desas-desus pegawai itu mengikuti kampanye PDI. Emangnye kenape?

Cerita-cerita di atas tentunya merupakan cerita biasa kalau dibaca saat ini. Tapi bagiku saat itu yang baru pertama kali mengalami pemaksaan untuk setia pada Golkar, huuh... benar-benar menyebalkan. Saat itulah untuk pertama kalinya aku menjadi Golput. Djoni yang tahu aku akan menjadi golput, mengingatkanku bahwa kertas suara sudah diberi tanda, jadi yang tidak memilih Golkar akan ketahuan. Akibatnya akan mempengaruhi karir sebagai PNS. Oooo.... pantas...2 tahun kemudian, aku dengan mudahnya mendapat rekomendasi untuk keluar dari PNS, juga keluar dari Kupang.....

Melinda

Edu Pah, orangtua angkatku

Hari terakhir libur Paskah 1992 kupakai untuk menemani Siriet ke Puskesmasnya di Tarus yang ternyata masih tutup karena karyawan libur juga. Karena sudah kadung sampai Tarus, kami mencari rumah Pak Edu Pah yang berada di Tarus juga. Beliau adalah seorang pembuat dan pemain sasando. Beberapa waktu sebelumnya memang aku bermaksud menemuinya untuk minta diajarkan bermain sasando.

Kejutan bagi saya ketika Pak Edu Pah dan istrinya menyambut kedatangan kami dengan penuh sukacita. Baru berbasa-basi sedikit, kami langsung dibawa ke kebunnya yang berada di belakang rumah. Area tempat tinggal Pak Pah (begitu aku selanjutnya memanggilnya) sangat luas. Rumahnya sendiri sudah besar, lalu dikelilingi oleh kebun buah yang sangat besar. Segala macam pohon buah ada di sana, termasuk buah matoa asal Papua yang saat itu belum populer. Begitu kami duduk, langsung kami dipetikkan buah kedondong, jambu air, jeruk purut dan jeruk peras. Bahkan, kalau tidak kami tolak dan beliau berpikir akan merepotkan kami untuk membawanya pulang, kami akan dibawakan masing-masing 2 buah kelapa muda.

Selain pohon buah-buahan, di kebun itu ada juga tanaman kangkung, pisang, mangga, coklat, teratai 3 warna, duren, rambutan, 18 jenis pohon jeruk, pandang, kelengkeng...wah tidak ingat lagi. Yang pasti sangat banyak macamnya. Di kebun itu juga ada 3 buah kolam ikan dan isinya bermacam-macam ikan. Kami diajak duduk-duduk di bawah pepohonan dan ngobrol. Selama ngobrol, kami disuguhi kacang goreng dan coklat susu. Aku merasa takjub, Pak Pah dan istri begitu terbuka kepada kami, dan kami merasa betah-betah saja berada di sana.

Pak Pah yang berusia sekitar 60-an saat itu berasal dari Pulau Rote. Beliau adalah seorang seniman dan mempunyai 7 orang anak yang semuanya seniman, ada yang bermain musik, menyanyi dan menari. Beliau-lah yang menata anjungan NTT di Taman Mini Indonesia Indah. Informasi ini kudapat dari bincang-bincang akrab sepanjang pagi hingga siang hari itu. Dalam sekejap mata, kami merasa sudah seperti menjadi anak mereka.

Siang harinya kami diajak pergi ke Pantai Lasiana yang berjarak 500 meter dari kediaman Pak Pah. Untuk mencapainya, kami harus menyeberangi Jalan Raya SoE. Kami dibawa ke sana untuk diperlihatkan sasando buatannya yang disimpan di pub-nya di Lasiana. Di pub itu kami dijamu lagi dengan jagung bakar, mi goreng plus telur ceplok. Yang mengejutkan kami, ketika bepapasan teman-temannya di Lasiana, Pak Pah memperkenalkan kami sebabai anak-anaknya yang disekolahkan kedokteran gigi di Pulau Jawa dan baru pulang kembali!

Kami berada di Lasiana hingga pukul 3 siang. Kami pulang ke arah barat sedangkan Pak Pah dan istri ke arah timur. Untuk mendapatkan bemo (istilah orang Kupang untuk angkot), kami harus kembali menyeberangi Jalan Raya SoE. Ada hal mengharukan lagi, kami diantar menyebrangi jalan dan ditunggui sampai kami mendapat bemo.

Perjumpaan pertama yang sangat berkesan. Saat itu aku baru 2 bulan berada di Kupang dan aku mendapat orangtua baru. Rasanya menyenangkan sekali. Setelah itu masih berulang-ulang aku bersama Dewi mampir ke rumahnya, 1 atau 2 kali seminggu untuk belajar sasando. Kenyataannya, hingga selesai masa baktiku di Kupang, aku sama sekali tidak bisa bermain sasando. Sebab aku lebih banyak bermanja-manja kepada orangtuaku daripada belajar. Sekali waktu kami diajari 1 lagu, lalu Pak Pah meninggalkan kami agar kami mempelajari lagunya. Permainan kami begitu bagusnya sehingga Pak Pah keluar karena terkejut dengan perkembangan kemampuan salah satu dari kami! Sebetulnya bukan salah satu dari kami yang trampil, tapi kami berdua memainkannya secara patungan : aku memainkan bagian tangan kanan sedangkan Dewi memainkan bagian tangan kiri....jadilah permainan yang mempesona! Dasar anak nakal .....

Pengalaman bersama Pak Pah merupakan nilai tambah pada masa wajib kerjaku selama 2 tahun di Kupang. Setelah aku pulang ke Jakarta, kami masih melakukan korespondensi. Terakhir, aku mendengar Pak Pah sakit, setelah itu suratku tidak berbalas...bertahun-tahun kemudian hingga saat ini, aku tidak tahu kabar orang tua angkatku itu...

Melinda

Pulau Kera

Perjalanan menyusuri jalan sepanjang 1 km keluar dari SPRG menawarkan pemandangan yang menarik di sebelah kiri jalan, yaitu deretan pohon flamboyan. Pada bulan-bulan September hingga Januari, deretan flamboyan itu menampakkan warna merah, jingga dan kuning yang dominan di sela-sela rimbunan daun. Pemandangan yang tidak mungkin dijumpai di Pulau Jawa, misalnya. Karena jumlah bunganya sangat banyak. Bulan Februari bunga-bunga dan daun-daun flamboyan mulai berguguran. Sekitar April, yang tampak adalah batang-batang pohon yang telanjang tanpa daun. Kemudian tidak lama setelah itu muncul gerombolan berwarna ungu muda yang menempel pada batang-batang pohon flamboyan.... unik! Hanya dapat dilihat pada pohon flamboyan yang mengalami fase tanpa daun. Entah parasit atau memang produk pohon flamboyan...

Perjalanan sebaliknya menuju SPRG dengan arah yang sama menawarkan pemandangan yang berbeda, yaitu pemandangan laut Timor dengan pulau Kera yang terlihat samar-samar. Menurut Mbak Chris, jalan sepanjang 1 km itu kini sudah penuh dengan rumah. Aku yakin tentu pemandangan seperti ini sudah terhalang oleh rumah-rumah. Pemandangan yang hampir setiap hari kulihat ini lama kelamaan menggodaku. Aku menjadi terobsesi untuk mengunjunginya, ditambah kompor Rytha yang memanaskan hatiku. Dia sudah pernah ke sana dan menurutnya Pulau Kera adalah pulau yang bagus.

Hingga sampai suatu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Hari Sabtu libur, tepatnya aku tidak ingat kapan. Ada beberapa siswi SPRG yang berasal dari Pulau Kera hendak pulang. Ini dia...kapan lagi!

Pagi-pagi kami sudah berangkat menuju Tenau. Kemudian kami mencari nelayan yang mau menyewakan kapal bermotornya. Agak sulit untuk mendapatkannya. Setelah mendapatkan, tidak dapat langsung berangkat, karena tangki bahan bakar kosong sama sekali dan kami harus menunggu lebih dari 2 jam selama nelayan itu mencari bahan bakarnya. Sebetulnya ada kapal feri yang bolak-balik ke Pulau Kera, tapi anak-anak menganjurkan naik kapal nelayan karena lebih fleksibel dalam soal waktu. Ini pertanda buruk pertama sebetulnya, namun aku tidak sadar.

Pulau Kera berjarak 50 km dari Pulau Timor. Dengan kapal bermotor dapat ditempuh tidak sampai 1 jam. Karena lama dengan urusan mencari solar,menjelang tengah hari kami baru tiba di Pulau Kera, pulau yang kecil dan dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam untuk mengelilinginya. Kekesalan karena menunggu lama di Tenau lenyap begitu aku tiba di pulau ini. Pantainya indah. Ada satu bagian pantai yang dipenuhi batu-batu karang hitam dan kami membuka bekal makan siang kami di sana sambil memandangi laut. Yang mengejutkanku, di batu-batu karang itu tergeletak ribuan cangkang kerang berukuran raksasa, hampir sebesar nampan.

Menurut ukir sari, makna kata kera untuk pulau ini bukanlah monyet, tapi berasal dari bahasa Sabu yang berarti kerang. Ada juga yang menyebutkan kera berasal dari kata keramat. Orang Kupang memang biasa tidak membunyikan bagian akhir dari suatu kata. Entah yang mana yang benar. Tapi aku lebih meyakini pendapat yang pertama karena cangkang-cangkang kerang yang bertebaran di karang-karang pantai itu.

Pukul 2 siang, sesuai kesepakatan antara kami dengan nelayan pemilik kapal motor, kami menunggu di pelabuhan. Lama kami menunggu, nelayan itu tidak juga muncul. Ini pertanda buruk kedua. Akhirnya kami bertemu dengan nelayan lain, kerabat nelayan pertama yang sama-sama penduduk Pulau Kera. Nelayan kedua ini menyanggupi ketika kami minta tolong diantar kembali ke Tenau dengan pembayaran yang sudah kami berikan kepada nelayan pertama. Pukul 4 kami berangkat meninggalkan Pulau Kera.

Saat kami berangkat, angin mulai bertiup agak kencang. Makin ke tengah laut, angin makin kencang. Kapal motor yang kami tumpangi diayun-ayun oleh ombak hingga kapal dipenuhi air. Salah satu siswa SPRG muntah karena mabuk laut. Beberapa kali mesin kapal mati. Anak-anak sudah berteriak-teriak ketakutan. Aku juga sebetulnya sangat takut, tapi berusaha tenang dan menenangkan mereka. Benar-benar pengalaman yang sangat menegangkan. Saat itu, dalam hati aku menyanyikan bait pertama lagu "Gereja Bagai Bahtera" dengan penuh perasaan. Bukan bahtera dalam arti gereja, tapi dalam arti sesungguhnya.

Gereja bagai bahtera di laut yang seram
mengarahkan haluannya ke pantai seberang.
Mengamuklah samudera dan badai menderu
gelombang zaman menghempas, yang sulit ditempuh.
Penumpangpun bertanyalah selagi berjerih :
Betapa jauh, di manakah labuhan abadi?
Tuhan, tolonglah1
Tuhan, tolonglah!
Tanda Dikau semua binasa kelak
Ya Tuhan tolonglah!

Ternyata Tuhan menjawab seruan hatiku. Jam setengah tujuh malam akhirnya kami tiba di Tenau dalam keadaan basah kuyup, menggigil kedinginan dan ketakutan. Setelah itu, setiap kali menyanyikan lagu ini, aku merasakan getar di hatiku dan pengalaman ini terbayang kembali.

Sebelum tulisan ini kubuat, aku sempat browsing Pulau Kera di internet, dan melihat beberapa laporan tentang kecelakaan kapal di sekitar Pulau Kera yang memakan korban. Duuh... Jangan-jangan memang kata kera itu sebetulnya berarti keramat????

Melinda

Jumat Agung di Larantuka

Peringatan Paskah tahun 1993 merupakan pengalaman istimewa buatku. Kamis Putih tahun itu kebetulan jatuh pada tanggal yang sama seperti tahun ini, 9 April. Libur Paskah di NTT dimulai sejak hari Kamis sampai dengan Senin. Ada tradisi yang mirip seperti tradisi Lebaran di Jawa, banyak orang melakukan mudik ke Larantuka di Flores Timur untuk menjalani prosesi jalan salib.

Tiada hari libur panjang di Kupang tanpa jalan-jalan... (benih-benih backpacker tertabur dan bersemi selama 2 tahun aku di Kupang!) Aku memanfaatkan libur panjang ini dengan melakukan perjalanan 'mudik' ke Larantuka bersama Kons dan seorang siswi SPRG. Perjalanan dimulai dari Pelabuhan Tenau dengan menumpang kapal feri yang pernuuuuuuhhhhh sesak. Di mana-mana manusia, juga di tempat parkir mobil. Di situlah aku berada bersama 2 rekan seperjalananku. Angin sangat besar. Rupanya ada ABK yang merasa jatuh kasihan dan menawarkan kamarnya untuk kami pakai. Biasanya orang harus membayar Rp.25.000,- agar dapat menempati kamar itu. Berhubung aku tidak minta tapi ditawari... ya gratis lah! Lumayan, bebas dari angin. Tapi lama kelamaan tidak betah juga, karena panas dan sumpeg.

Tiba di Larantuka sore hari. Aku menginap di rumah Ina, dokter gigi senasib - sama-sama sedang menjalani wajib kerja sarjana. Mungkin karena merasa senasib, dia mengijinkan aku menginap di sana, meskipun baru hari itu kami berkenalan. Hahaha...sok akrab saja!

Larantuka adalah ibukota kabupaten Flores Timur yang merupakan kota kecil di tepi pantai yang juga berada di kaki gunung. Saat itu masih tampak bekas-bekas longsoran di lereng gunung akibat gempa besar tahun 1992. Di seberang laut ada pulau Adonara dan Pulau Solor yang sangat jelas terlihat. Pemandangannya sangat indah.

Masyarakat Larantuka memiliki tradisi unik dalam merayakan Paskah. Ada prosesi panjang yang dilakukan, dimulai sejak hari Rabu. Hari Jumat ada prosesi jalan salib yang dilakukan oleh seluruh penduduk kota Larantuka, pemudik dan peziarah dari kota-kota lain, bahkan dari luar negeri. Prosesi ini disebut Semana Santa.

Berkat koneksi sana-sini, aku mendapat kartu "pemotret". Dengan menggunakan kartu itu, aku mendapat kebebasan untuk lalu-lalang di sepanjang rute prosesi. Prosesi Semana Santa sudah dilakukan masyarakat Larantuka sejak abad ke-16 ketika bangsa Portugis masih berada di sana, katanya.

Prosesi jalan salib dimulai jam 1 siang dengan diaraknya Salib Tuan Menino (=Yesus kanak-kanak dalam bahasa setempat). Perarakan dimulai dengan menyeberangi selat antara Larantukan dan Pulau Adonara. Salib dibawa dalam kapal bercadik yang diikuti beberapa kapal lain di belakangnya.

Masyarakat berkumpul di pantai Kelurahan Pohon Sirih, menanti arak-arakan di laut. Setelah mendarat, salib diarak menyusuri jalan-jalan di Larantuka. Arak-arakan didahului oleh orang-orang berjubah putih yang disebut confreira, diikuti orang-orang berbaju hitam dan pengusung salib. Di suatu tempat, salib ini diletakkan.

Sementara itu di tempat lain, ada arak-arakan membawa patung Tuan Ma (sebutan untuk Maria)dan Tuan Ana (sebutan untuk Yesus Kristus)dari kapel ke Katedral. Arak-arakan ini terdiri dari beberapa unsur, mulai dari anak-anak, pembawa genderang, dan alat-alat lain.

Salib Tuan Menino serta patung-patung Tuan Ma dan Tuan Ana merupakan peninggalan bangsa Portugis. Larantuka merupakan kota kecil, sehingga untuk mendapatkan gambar kedua prosesi di tempat yang berbeda ini, aku bisa bolak-balik berlari dari tempat yang satu ke tempat yang lain.

Jam 3 siang, setelah Tuan ana dan Tuan Ma tiba di Katedral, umat melakukan ibadah Jumat Agung. Setelah itu, ada ritus yang dilakukan dipemakaman tidak jauh dari Katedral. Umat berdoa dan memasang lilin di makam-makam dan tugu yang berada di tengah pemakaman.

Kemudian umat melakukan prosesi yang dimulai dari Katedral, keliling kota Larantuka, lalu kembali lagi di Katedral. Prosesi ini diikuti oleh seluruh penduduk Larantuka, pemudik dan peziarah dari luar kota, luar daerah, bahkan ada yang dari luar negeri, membentuk barisan yang sangat panjang sambil menyanyikan lagu yang kalau didengar sepintas seperti tangisan ribuan orang. Tidak semua bisa masuk ke Katedral. Aku cukup beruntung karena bisa masuk ke dalam Katedral dan mendapat tempat di deretan paling belakang. Ada beberapa ritus yang dilakukan, mulai dari nyanyian beberapa orang perempuan berkostum serba hitam hingga membuka gulungan lukisan wajah Yesus. Suasana yang tercipta di Katedral dan sekitarnya saat itu mencekam.

Prosesi ini berlangsung hingga tengah malam. Di sepanjang jalan, lilin-lilin menyala. Lilin-lilin ini dibuat sendiri oleh masyarakat Larantuka dan dipasang di kiri-kanan jalan di atas pagar bambu yang khusus dibuat pada hari itu. Pemandangan malam itu terlihat indah sekali : lautan cahaya lilin, sementara udara kota dipenuhi oleh suara umat yang menyanyi. Malam itu aku agak sulit tidur karena pengalaman yang baru kujalani seharian tadi menggetarkan jiwaku.

Aku harus kembali ke Kupang pada hari Sabtu, karena kapal feri dari Larantuka menuju Kupang hanya ada pada hari Sabtu dan Selasa. Bisa saja aku nekad pulang hari Selasa, artinya baru mulai bekerja lagi pada hari Rabu. Tapi saat itu aku merasa sungkan, karena bulan sebelumnya aku baru saja korupsi waktu ketika aku mengambil Akta Mengajar di Malang dengan menunda waktu pulang beberapa hari. Jadi aku pulang hari Sabtu. Suasana kota Larantuka pada saat aku meninggalkannya sunyi senyap, seperti kota mati. Benar-benar tidak ada kegiatan pada hari Sabtu Sunyi.

Di kapal feri, aku ditawari duduk di dalam mobil seorang dosen Universitas Nusa Cendana yang baru pulang menengok mahasiswanya yang KKN. Lumayan, angin tidak terlalu besar, karena terlindung dinding mobil. Aku sempat ditawari kamar oleh ABK yang sama seperti waktu berangkat. Terimakasih....hehehe...aku tidak tahan panasnya!

Melinda