ANTARA BANGKOK DAN CHUMPHON

Salah satu pengalaman menarik kami di Thailand adalah mandi di Stasiun Kereta Api Hualamphong, Bangkok. Jangan bayangkan toilet di Stasiun Gambir. Toilet di Hualamphong sangat bersih dan terawat. Dengan membayar 20 baht (sekitar Rp 6.000,-), toilet ini dapat dimanfaatkan untuk buang air, mandi, sikat gigi dengan nyaman. Pengalaman ini adalah salah satu kenekadan kami selama di Thailand. Kami membatalkan rencana menginap di Bangkok 1 malam lagi setelah pulang dari Kanchanaburi sebelum melanjutkan perjalanan ke arah selatan, tepatnya ke Chumphon yang dilalui kereta api juga sebelum menuju Ko Tao, salah satu pulau di Teluk Thailand.

Ketika kami berada di luar Stasiun Hualamphong, ada seorang perempuan yang menghampiri kami dan menanyakan tujuan kami. Sepertinya calo. Bedanya dengan calo di Indonesia, orang ini tidak memaksa atau membututi kami terus menerus. Kami tidak merasa terganggu dengan calo ini. Di dalam stasiun yang ukurannya sangat besar, ada beberapa orang berseragam yang salah satunya menyapa kami dengan bahasa Inggris yang sangat baik. Rupanya ini adalah customer service stasiun. Dari orang ini kami mendapat informasi mengenai tiket kereta yang harus kami beli berikut kelas yang tersedia, harga, waktu keberangkatan serta waktu tempuh. Dari orang ini pula kami mengetahui bahwa di stasiun ini kami dapat membeli tiket terusan hingga Koh Tao, artinya selain tiket kereta api, kami bisa membeli tiket ferry plus mobil jemputan dari stasiun sampai dermaga ferry. Enaknya menjadi turis di Thailand......

Setelah tiket sleeper train (yang gambarnya ada di bagian atas kiri tulisan ini) ada di tangan, masih ada waktu sekitar 2 jam sebelum keberangkatan kereta. Berarti cukup waktu untuk mandi dan makan malam. Mandi di stasiun kereta api! Sebuah pengalaman yang belum pernah kami alami sebelumnya, mandi dalam arti sesungguhnya! Tubuh terasa benar-benar segar dan bersih setelah mandi. Berbeda dengan pengalaman mandi koboi di Hoi An tahun lalu.

Di Stasiun Hualamphong, seperti umumnya stasiun kereta api lainnya, banyak dijumpai kios makanan. Ada banyak pilihan makanan. Kami memilih makan di foodcourt yang menjual makanan-makanan khas Thailand.

Ada hal unik yang terjadi tepat pk. 18.00. Sebuah lagu dikumandangkan, dan semua orang (kecuali turis asing, mungkin) berdiri tegak dengan sikap hikmat hingga lagu berakhir. Setelah beberapa hari di Thailand, kami baru mengerti. Rupanya setiap hari, pada pk. 18.00 lagu kebangsaan Thailand dikumandangkan, termasuk di TV dan semua orang harus menghormatinya dengan berdiri tegak. Hal ini mengingatkan kami pada kebiasaan mengheningkan cipta di Indonesia setiap tanggal 10 November yang belasan tahun yang lalu dicanangkan. Kebiasaan yang sulit sekali dibentuk, dan beberapa tahun belakangan malah memudar.

Pk. 19.30 kereta api berangkat. Ketika kami memasuki gerbong, tidak nampak sama sekali gerbong kami adalah sleeper train. Bentuknya sama seperti gerbong lain, dengan bangku yang berhadap-hadapan. Di gerbong itu ada seorang pertapa Budha yang ramah sekali. Dia berusaha menolong kami mencari tempat duduk kami dan menanyakan tujuan kami. Darinyalah, aku mengetahui cara melafalkan Chumphon. Bunyinya sama seperti tulisannya dengan aksen di 'ph', yang dibunyikan seperti yang tertulis, bukan 'f '. Sekitar pk 21.00, ketika kantuk sudah mendera, barulah tempat-tempat tidur dibuka oleh petugas. Tempat tidur dengan sprei, bantal bersarung, selimut serta tirai yang baru dibuka dari kemasan laundry.

Meski tempat tidur cukup nyaman, tidurku tidak nyenyak. Beberapa kali aku terbangun karena kereta berhenti. Setiap kali berhenti, aku melihat jam karena menurut jadwal, kereta akan tiba di Chumphon pk. 3.45. Jangan sampai nanti terlewat! Sekitar pk. 3.30 ada sepasang turis muda yang bersiap-siap turun, membawa ransel dan kopernya, berjalan menuju pintu keluar gerbong yang masih terkunci dan berdiri di depan pintu. Kami juga bersiap-siap, mengikutinya. Hingga pk. 4.30 pintu belum juga dibuka, meski kereta sudah beberapa kali berhenti. Sungguh membingungkan dan tidak ada orang yang bisa ditanya. Pertapa Budha itu berusaha menolong kami dengan melihat nama stasiun tempat kereta berhenti dan menjelaskan bahwa Chumphon masih ada di depan. Namun usaha pertapa ini tidak menghilangkan kebingungan kami.

Hingga matahari terbit, kami masih dalam kebingungan. Akhirnya menjelang pukul 7, kereta api tiba di Chumphon. Rupanya di Thailand berlaku juga kata terlambat dan yang menakjubkan, terlambatnya hingga 3 jam lebih!

Jika mengikuti jadwal, ferry menuju Koh Tao berangkat pk 7.00. Rupanya cukup banyak penumpang kereta yang akan melanjutkan perjalanan ke Koh Tao dengan ferry yang sama dengan kami, jadi keberangkatan ferry ditunda. Jadi keterlambatan kereta api tidak membuat kami ketinggalan ferry yang tiketnya sudah kami beli di Bangkok. Untunglah.....

Melinda

THE BRIDGE ON THE RIVER KWAI dan sekitarnya

Kanchanaburi adalah sebuah kota dengan suasana pedesaan yang terletak di sebelah barat kota Bangkok dan berbatasan dengan Myanmar. Ada sebuah tempat yang menarik kami di sini sehingga masuk ke dalam jadwal cuti kami selama di Thailand, yaitu Bridge on the River Kwai. Jembatan ini merupakan sebagian rel kereta api sepanjang 415 km yang dibangun pada masa Perang Dunia II untuk menghubungkan Thailand dengan Myanmar. Jembatan itu sempat diledakkan pada masa Perang Dunia II sehingga disebut juga sebagai Death Railway. Setelah perang usai, jembatan dibangun kembali dan hingga kini masih kokoh dan digunakan untuk napak tilas. Ada kereta api yang sewaktu-waktu melewati rel di jembatan itu.

Kami berjalan menyusuri jembatan ini dari ujung ke ujung. Setiap beberapa meter, jembatan melebar untuk memberi tempat bagi pejalan kaki untuk berhenti menikmati pemandangan di sekitar atau untuk menepi apabila ada kereta api yang akan lewat. Kereta api akan lewat dengan kecepatan yang sangat lambat, tidak memungkin terjadinya tabrakan kereta dengan pejalan kaki yang menyusuri rel. Bahkan orang dapat berfoto dahulu di depan kereta api yang berjalan sebelum menepi.

Ada sensasi yang tak teruraikan dengan kata-kata pada saat menyusuri jembatan itu. Menjelang ujung barat jembatan, ada pengamen yang memainkan Colonel Bogey March dengan biolanya dan sepertinya sengaja dibuat sedikit fals untuk menciptakan suasana mencekam. Saat berada di tengah jembatan, kereta, tiba-tiba aku teringat cerita tentang suami Mak Tiok yang hilang pada jaman Jepang dulu dan kabar burung yang mengatakan beliau dibawa ke Burma untuk kerja paksa. Untuk pembangunan rel kereta yang membentang inikah?


Tidak jauh dari jembatan ini, ada Museum Perang Dunia II. Sebuah museum yang berisi segala macam benda peninggalan masa Perang Dunia II, mulai dari mesin tik, baju seragam, senjata, mobil, cangkir, uang hingga dental unit. Sayangnya, museum ini tidak terawat dan tidak tertata dengan baik. Banyak benda-benda yang sudah karatan, berdebu dan digeletakkan begitu saja dalam suatu lemari kaca. Benda yang ada dalam satu lemari bisa saja berbeda jenisnya, misalnya teko berjejer dengan seragam tentara. Dental unit yang tidak terlalu kuno terpampang dalam keadaan penuh karat tidak terurus. Padahal jenis yang sama masih kugunakan di akhir tahun 80-an di poliklinik gigi Universitas Trisakti!

Di museum ini juga ada patung-patung, gambar dan diorama yang menggambarkan keadaan pada masa perang, khususnya diorama tentang proses pembuatan jembatan rel kereta api yang melintas di Sungai Kwai.

Di gedung yang berlantai 3 ini, terdapat galeri seni dan museum pra-sejarah. Satu lantai digunakan untuk memajang baju-baju tradisional dan baju-baju yang digunakan oleh Putri -Putri Thailand. Dindingnya dihiasi gambar wajah Putri-Putri Thailand mulai dari sekitar tahun 1930-an hingga tahun 2000-an. Kalau boleh berkomentar, museum ini betul-betul acak-ablak, tidak jelas. Ke-acak-ablak-an makin terasa ketika kami menjumpai seekor iguana yang terikat di halaman dan menjadi obyek foto turis. Tidak jauh dari iguana ada sebuah kotak dana!

Ada beberapa tempat lagi di Kanchanaburi yang kami kunjungi, yaitu pasar terapung dan tiger temple sebelum kami mencapai jembatan rel kereta dan museum yang kuceritakan di atas. Malamnya, kami menginap di Kitti Raft yaitu sebuah hotel rakit yang berada di sungai Kwai. Sebenarnya ada beberapa tempat wisata alam di Kanchanaburi, namun kami hanya sempat mengunjungi 2 buah air terjun.



Saiyok Damnoen Saduak Floating Market

Sesuai dengan namanya, ini adalah pasar terapung di kanal Damnoen Saduak. Kanal ini dibuat oleh Raja Rama IV untuk menghubungkan Sungai Mekong dan Sungai Taachin. Buku Lonely Planet menganjurkan untuk mengunjungi pasar terapung ini pada pagi hari untuk melihat kegiatan pasar sesungguhnya. Sayangnya, kami datang di siang hari karena mengikuti paket tour dari Bangkok. Yang kami dapati di sana adalah pasar terapung untuk turis. Sebetulnya pasar ini tidak menarik, karena pasar terapung ada juga di Indonesia. Bahkan lebih besar. Bandingkan saja ukuran lebar Sungai Barito dan lebar kanal Damoen Saduak. Namun, karena kami belum pernah melihat pasar terapung, ya kami mampir juga. Karena namanya floating market, ya.... kami menyewa perahu untuk melihat pasar itu. Senang juga mendapat pengalaman membeli spring roll di perahu lain dengan cara berteriak kepada pemilik perahu yang menjual spring roll kemudian bertabrakan dengan perahu lain dalam usaha mendekati "perahu spring roll". Setelah perahu selesai menyusuri kanal, kami menyadari ternyata tanpa perahupun, pasar ini dapat dikelilingi. Pasar ternyata ada di daratan yang dikelilingi oleh kanal! Perahu pedangang yang ada di kanal hanya sedikit dibanding yang ada di daratan. Barang yang dijualpun tidak istimewa, seperti di pusat-pusat turis lainnya, Kao San Street misalnya. Mungkin karena memang pasar sesungguhnya yang berlangsung pagi hari sudah bubar.

Tiger Temple (Wat Pha Luang Ta Bua)

Ada yang khas pada Tiger Temple dibandingkan kuil-kuil Budha lain yang ada di Thailand, kuil ini dihuni tidak hanya oleh pertapa Budha tapi juga harimau. Di kuil ini dijumpai banyak harimau yang cukup jinak sehingga dapat disentuh. Harimau-harimau ini sudah dijinakkan, artinya tidak pernah diberi makan daging mentah. Meski demikian, kewaspadaan tetap diperlukan. Pakaian merah tidak boleh digunakan di kuil ini kalau tidak ingin menjadi mangsa harimau-harimau yang pada dasarnya liar ini.

Untuk mencapai tempat ini, kami harus berjalan masuk ke sebuah lembah tempat belasan harimau dewasa terikat. Ada beberapa relawan yang siap menemani turis yang datang. Satu orang turis akan didampingi oleh satu relawan. Ada juga relawan yang membuat foto serta video, sesuai dengan keingingan turis. Di lembah ini, kami dapat membelai atau sedikitnya berfoto di sebelah harimau. Sebuah pengalaman yang mendebarkan! Di lokasi lain tidak jauh dari lembah, ada sekumpulan anak-anak harimau yang terlihat menggemaskan. Yang menyebalkan, video yang berisi rekaman aku membelai harimau-harimau hilang! Sementara foto-fotoku bersama harimau nyaris tidak ada, karena relawan yang memegang kamera foto hanya mengambil gambar guru hebatku dan balerinaku. Hiks! Namun, meski tanpa gambar, ada kebanggaan tersendiri bahwa aku pernah membelai harimau.

Kitti Raft

Kitti Raft adalah salah satu penginapan di atas rakit yang didirikan di tepi sungai Kwai. Pengalaman bermalam di tepi sungai merupakan sesuatu yang berkesan karena unik. Jumlah kamar tidak lebih dari 20 buah, semuanya menghadap ke sungai. Dinding bambu dan lantai kayu memberi kesan alamiah, sesuai dengan pemandang alam indah yang dapat dinikmati dari teras kamar berupa bukit-bukit dengan pepohonan hijau di sekitar sungai. Jauh dari keributan mesin mobil atau mesin lainnya. Yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang dari balik daun-daun pepohonan. Bahkan suara airpun hanya terdengar sesekali, saat ada perahu lewat. Tempat yang tepat untuk menyepi.

Kupikir..... rute Kanchanaburi merupakan salah satu rute cuti kami tahun ini yang berkesan mendalam.

Melinda

Kupikir...... makanan Thailand tidak terlalu istimewa

Salah satu hal penting yang pasti kami lakukan apabila berada di suatu tempat yang baru adalah mencicipi makanan khas tempat tersebut. Kebetulan aku dan Rasid adalah pemakan segala dan membiasakan Aurima untuk menyukai segala makanan. Jadi, salah satu kegiatan yang pasti masuk jadwal acara cuti adalah makan! Dan, selalu kami makan 3 kali sehari agar tidak kehilangan kesempatan mencicipi makanan khas tempat yang kami kunjungi. Diet yang berbeda sama sekali dengan diet sehari-hari kami. Jangan heran, setiap akhir cuti tubuh kami melar ke depan dan ke samping, sementara pipi kami bertambah montok selain tentunya kulit yang lebih gelap. Hal yang terakhir bukan karena makanan kami, tetapi karena kebiasaan kami beraktivitas di udara terbuka selama cuti dan dengan sendirinya terpapar sinar matahari.

Selain Tom Yam Kung (aku baru tahu Kung berarti udang) dan nasi goreng nanas yang sudah biasa kami jumpai di Indonesia, ada beberapa makanan Thailand yang kami cicipi dalam cuti tahun ini. Hampir semua makanan kami dapati di pinggir jalan atau pasar malam. Kami sengaja tidak makan di restoran untuk mendapatkan cita rasa asli makanan Thailand. Berikut ini adalah beberapa makanan yang kami cicipi :

SOM TUM

Som Tum atau papaya salad banyak dijual di tepi jalan, biasanya dijual bersama daging berbumbu kuning yang disate dalam ukuran besar dan ketan hangat. Som Tum berisi parutan kasar wortel, pepaya muda, kol yang 'dibebek' dalam alu yang ukurannya lebih besar daripada alu untuk rujak bebek. Bahan-bahan ini dibebek bersama kepiting kecil yang sudah diolah lebih dulu, ebi, bawang putih, sejenis terasi, garam, air jeruk lemon dan kacang. Cara pembuatannya yang unik secara psikologs menambah enak rasa salad ini.

Ada sejenis lagi salad yang tidak sempat kucatat namanya. Sama seperti Som Tum, salad ini dibuat sesaat sebelum dimakan. Isinya adalah beberapa jenis seafood yang direbus, kulit ceker ayam rebus, wortel dan kol iris, soun rebus, bawang merah, tomat, daun ketumbar, daun bawang yang diaduk menjadi satu dalam mangkok dan dibubuhi saus sambal, cuka, garam dan beberapa jenis larutan yang tidak kuketahui. Rasanya segar, sama seperti umumnya salad.

Kupikir.... salad-salad ini unik, manambah wawasanku tentang keanekaragaman salad. Namun soal rasa..... tidak ada yang menandingi rujak pengantin, apalagi dengan bumbu kacang buatan maminya Sian Ing.

PAD THAI

Ini adalah makanan pertama yang kami makan begitu tiba di Bangkok. Pad Thai adalah mi yang digoreng bersama toge, wortel iris, kopyokan telur dan kecap, ditambah taburan kacang tanah tumbuk. Ada beberapa jenis mi di Thailand : mi seperti ada di Indonesia yang berwarna kekuningan, bihun dari tepung beras, bihun dari tepung ketan, kuetiaw dan cicongfan. Yang baru buatku adalah bihun dari tepung ketan. Pad Thai biasanya dijual bersama sate sosis, baso dan olahan daging lainnya buatan pabrik yang diberi bumbu manis asam sebelum dibakar.

Kupikir...... rasa Pad Thai biasa saja, sama seperti mi goreng di Indonesia. Bahkan, menurutku di Indonesia jauh lebih enak, karena ada baso, udang, ayam atau daging lainnya, dan bumbu yang digunakan lebih banyak sehingga menghasilkan citarasa yang bikin kangen.

NAMRIK

Namrik adalah adalah sayur-sayuran mentah (terong bulat, kecipir, timun, toge panjang, daun slada dan lain-lain) yang dilalap dengan saus yang terbuat dari udang. Sayang aku tidak sempat mengicipi, karena aku menjumpainya hanya sekali dan dalam keadaan sangat kenyang.


OMUK

Omuk adalah sejenis pepes dengan cara membungkus berbeda seperti pepes di Indonesia. Omuk dibungkus hingga bentuknya seperti bungkusan jongkong kopyor. Bumbu yang digunakan memang berbeda dengan pepes di Indonesia. Rasa kari-nya menonjol ditambah dengan daun ....... ah, aku tidak tahu namanya..... daun yang bentuk dan ukurannya seperti daun kemangi, berbau seperti minyak telon. Daun ini juga yang dijumpai dalam Pho, yang menjadi makanan pokok orang Vietnam.

MASAMAN

Masaman adalah sejenis kari yang berisi irisan kentang, wortel, serta daging ayam, sapi, ikan atau babi. Bedanya, ada tambahan rasa asam dan manis.

Masih ada beberapa jenis makanan lain yang tidak kucatat namanya, karena memang tidak terlalu istimewa. Rasa umumnya sama, ada pedas dan asam di hampir semua makanan.



Kemudian ada makanan-makanan yang sama seperti di Indonesia seperti laksa, mi pangsit, nasi hainam, nasi kuning. Kupikir...... soal rasa, untuk makanan yang sama di Indonesia rasanya lebih enak, lebih bervariasi bumbunya dan isinya.


Begitu juga snacknya, umumnya sama seperti di Indonesia : kue lapis, bubur ketan hitam, bubur candil, dan lain-lain.





Ada beberapa hal yang unik karena baru kujumpai di Thailand :

1. Daging babi merupakan salah satu pilihan daging yang dapat 'dicemplungkan' ke dalam kuah kari, masaman dan kuah bersantan dan berbumbu lainnya. Suatu hal yang tidak pernah kujumpai dan kubuat selama ini.

2. Kacang mede ternyata enak juga bila ditumis bersama daging, bawang bombay, bawang putih dan kecap. Selama ini kami makan kacang mede hanya sebagai camilan.






3. Cakwe dimakan dengan cara mencocolnya pada sejenis bubur sumsum yang agak cair berwarna hijau dan diberi santan.







4. Martabak telur dengan isi yang berbeda, bukan hanya campuran kopyokan telur, daging cincang dan daun bawang. Dengan nama Thai Pan Cake, kulit martabak yang garing itu bisa diisi dengan beraneka macam pilihan, dari pisang dan buah-buahan lain, keju, selai dan lain-lain. Setelah itu di atasnya dituang susu kental manis.




5. Mangga dimakan dengan ketan. Pada awalnya, kami sama sekali tidak berminat untuk mencoba campuran yang aneh itu. Ternyata boleh juga, karena mangga diolah dulu dengan gula sehingga rasanya seperti makan ketan dengan kinca manis.





Ada sejenis makanan yang menjadi obsesi kami sejak masih di Indonesia, yaitu gorengan serangga mulai dari bentuk ulat, kepompong hingga serangga dewasa. Ini semua gara-gara Andrew Zimern yang pernah memakannya dan menyiarkannya melalui Discovery Travel dan Living. Syukurlah.... makanan ini kami jumpai di pasar malam di daerah Khao San, Bangkok pada hari pertama cuti kami dan ternyata kemudian kami menjumpai ada banyak juga di tempat lain. Rupanya serangga adalah camilan biasa di Thailand. Serangga yang digoreng dibumbui garam dan potongan daun bawang goreng. Ada 1 jenis serangga yang agak jarang dijumpai, yaitu kalajengking. Kami tidak mengicipinya, bukan karena tidak mau.... tapi harganya yang tidak masuk akal 10 baht untuk 1 ekor.... hehehe... sayang saja mengelurkan uang sebesar itu untuk camilan yang sekali telan habis.

Kupikir....... dibanding makanan Thailand, makanan Indonesia jauh lebih bervariasi dalam rasa, bentuk dan kandungannya.
Kupikir....... seharusnya makanan Indonesia mempunyai nilai jual lebih tinggi dalam dunia pariwisata dibandingkan makanan Thailand.
Kupikir....... makanan Indonesia bisa menjadi impian pelancong-pelancong di seluruh dunia.

Melinda

MAENAM, KOTA KECIL DI KOH SAMUI

Koh Samui (baca Ko' Semui) adalah sebuah pulau di antara gugusan pulau di teluk Thailand, mungkin pulau terbesar. Pulau ini dapat dicapai dengan ferry maupun pesawat terbang. Koh Samui kami pilih sebagai salah satu tujuan kami selama cuti di Thailand tahun ini, karena berdasarkan buku Lonely Planet, pulau ini mempunyai keindahan pantai setara Phuket namun belum terlalu ramai dikunjungi turis. Kami memilih kota Mae Nam sebagai tempat tinggal juga berdasarkan buku yang sama yang menyebutkan tempat ini merupakan tempat yang tenang.

Kami tidak menyesali tempat yang kami pilih. Mae Nam adalah sebuah kota kecil, terletak di pinggir pantai seperti kota-kota lainnya di Koh Samui. Banyak orang asing tinggal menetap dalam jangka waktu panjang di kota ini, berbaur dengan masyarakat setempat. Suasana kota tenang, menyegarkan jiwa kami yang biasa hidup dan beraktivitas di kota Tangerang dan Jakarta yang selalu ramai dan sibuk.

Di Mae Nam kami dapat merasakah kehidupan masyarakat Thailand sehari-hari, nyaris tanpa polesan-polesan demi pariwisata.






Di pagi hari, kami dapat melihat pasar tradisional yang menjual bahan kebutuhan sehari-hari seperti sembako, sayur, buah, jajanan pasar dan makanan tradisional dengan rasa yang masih asli, belum disesuaikan dengan selera turis.



Sementara di jalan, kami berpapasan dengan karyawan yang berangkat kerja dan mampir di warung bubur di pinggir jalan untuk sarapan. Banyak warung-warung makanan buka di pagi hari dan menggelar meja serta kursi makan di tempat terbuka di pinggir jalan utama Koh Tao.

Di siang hari, aktivitas di daerah penginapan turis yang tidak terlalu ramai didominasi oleh kaum ibu, mulai dari supir minibus yang mengantar turis dari penginapan ke tempat pariwisata, penjual tiket wisata dan perjalanan, manajer rumah penginapan, pemilik rumah makan hingga manajer kapal wisata. Kami nyaris tidak menjumpai laki-laki pada siang hari di kota ini. Perkiraan kami, usaha-usaha yang mereka lakukan ini merupakan usaha sampingan yang dapat dilakukan di rumah, sementara para lelaki bekerja di tempat lain. Usaha sampingan yang tentunya tidak sedikit omzetnya pada saat musim liburan (Desember hingga April).

Pada malam hari, ada pasar malam yang disertai panggung hiburan. Sejenis panggung dangdut atau organ tunggal yang umum di kampung-kampung di Tangerang. Sebelum pentas digelar, ada banyak pedagang-pedagang yang berjualan di sekitar panggung, mulai dari pedagang baju, mainan, pernak-pernik hiasan hingga pedangang makanan yang lagi-lagi.... makanan tradisional. Tidak berbeda jauh dengan pasari-pasar malam yang sering muncul di kampung-kampung di Tangerang.

Noraknya, kami berkeliling di pasar malam tersebut, mencicipi hampir semua makanan yang dijual di sana. Suatu hal yang tidak pernah kami lakukan di Tangerang!

Satu hal lagi yang menarik. Kalau kami tidak salah memperhatikan, satu-satunya lampu lalu lintas yang ada di sepanjang jalan utama di Koh Samui hanya dijumpai di kota Mae Nam. Sebuah lampu pengatur lalu lintas yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan mengingat sepinya lalu lintas di Mae Nam, namun tetap dipatuhi dengan taat.

Melinda

BERDEKATAN DENGAN KEMATIAN

Ada hubungan antara luka di kakiku, seperti yang terlihat di foto ini, dengan kedekatanku dengan kematian. Bukan....., bukan luka ini yang menyebabkan aku dekat dengan kematian. Luka ini terjadi pada tanggal 23 Juni 2009, kira-kira pukul 11.00. Hari itu adalah hari ke9 cuti kami sekeluarga. Saat itu kami berada di sekitar air terjun Hin Lat, Pulau Samui - Thailand. Nama pulau yang mungkin asing bagi orang Indonesia, karena memang tempat ini tidak menjadi tujuan wisata orang-orang Indonesia, tapi menjadi pilihan kami karena memang menarik bagi kami.

Air terjun Hin Lat sebetulnya biasa saja, tidak setinggi dan sebesar air terjun Cibeureum atau Grojogan Sewu, misalnya. Bedanya, tempat ini sepi dan bersih. Saat itu hanya ada 2 orang lain selain kami bertiga.

Saat kami menyusuri jalan turun untuk kembali ke bawah, tibalah kami pada tempat berpijak bersejarah itu. Sepersekian detik sebelum aku menapakkan kaki kananku di situ, terlintas di pikiranku .... sepertinya aku akan terpeleset jika aku menapak di situ. Dan terjadilah yang kupikirkan itu. Tidak ada waktu untuk membatalkan langkah kakiku.

Aku terpeleset dan dalam hitungan detik, aku terperosok ke dalam jurang! Aku merasakan tubuhkan meluncur, berguling, terbanting dan berputar tanpa mampu menahan..... hingga kepalaku sudah berada lebih rendah daripada kaki dan membentur batu. Saat itulah, seperti ada yang menahan, pergerakan tubuhku mengikuti gravitasi bumi tiba-tiba terhenti. Yang pasti bukan gesekan dinding jurang yang hanya pasir melulu.

Secara refleks, aku berusaha mengembalikan posisi kepalaku kembali di atas dengan menumpu tanganku pada dahan yang melintang di depan dadaku. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian mencari-cari tempat keras untuk menapak. Nyaris tidak ada, semuanya pasir! Ada sebongkah batu seukuran setengah telapak kaki yang menonjol di antara tumpukan pasir. Di sanalah sementara aku bertumpu.

Setelah agak stabil, aku melihat di sekitarku, ke atas, ke bawah ..... hanya pasir dan beberapa ranting pohon dan sedikit batu menonjol. Di bawahku ada aliran sungai dengan batu-batu besar, letaknya mungkin sekitar 5 atau 6 meter dari tempatku berada. Selintas terpikir olehku, inilah akhir hidupku. aku tidak akan lama berdiri stabil dan akan jatuh ke sungai dan kepalaku membentur batu-batu kali yang akan memecahkan kepalaku. Saat itu aku merasa dekat sekali dengan kematian.

Cukup selintas saja. Tidak ada waktu untuk bergidik. Setelah itu aku bertekad untuk menyelamatkan diriku. Ditambah suara Rasid di atas sana, semangatku untuk kembali ke atas bertumbuh.

Sempat terpikir olehku saat itu, mengapa Rasid hanya berteriak-teriak saja di atas memberi petunjuk, bukannya turun untuk membantuku naik. Rasa kesal karena tidak dibantu, ditambah semangatku untuk bergerak naik menjadi vitamin berenergi yang menambah tenagaku untuk bergerak ke atas. Dalam keadaan normal, bahkan untuk mendorong tubuhku dari air sedalam 1,5 meter untuk duduk ke pinggir kolam renang, aku sering tidak mampu! Dan kali ini aku harus memanjat setinggi 5 meter untuk mencapai jalan setapak!

Setelah tiba di atas, aku baru menyadari bahwa jurang itu betul-betul curam, hampir 90 derajat. Pantaslah guru hebatku tidak bisa membantuku.

Rupanya aku diselamatkan oleh lilitan beberapa ranting pohon pada kaki kananku. Tahanan ranting pada selangkanganlah yang menghentikan luncuranku. Aku baru menyadari kehadiran ranting-ranting itu ketika aku harus membebaskan diriku dari lilitannya pada saat berusaha memanjat ke atas.

Perlahan-lahan aku meniti ke atas dengan bertumpu pada akar pohon dan beberapa batu yang sedikit menonjol. Aku selamat dan hanya menyisakan sebuah luka terbuka, 2 buah bengkak di kaki, 1 benjolan di kepala, beberapa luka lebam dan baret-baret di kaki dan tangan. Sebuah pengalaman berdekatan dengan kematian yang sangat singkat. Tidak ada peluang untuk merasa ngeri, tidak ada peluang untuk menimbang-nimbang pilihan, bahkan untuk menangis!

Pengalaman itu mirip seperti grafik persamaan kuadrat yang berbentuk parabola yang menggambarkan garis hidupku. Ketika nilai x menghasilkan nilai minimum y, ada garis lurus horisontal dengan nilai y sedikit dibawah nilai y grafik parabola hidupku. Perbedaan nilai itu sangat kecil, seandainya pinsil yang digunakan untuk membuat grafik tidak tajam, tentu akan akan menghasilkan titik potong.

Gambar yang sempurna ..... sehingga menghasilkan grafik parabola yang masih akan berjalan terus membentuk parabola-parabola berikutnya.........

Melinda

TEKAD DAN KENEKADAN MEMBAWA KAMI KE THAILAND

Kalau tahun ini kami dapat melalui hari-hari cuti di Thailand, itu adalah tekad yang sudah dibuat sejak 9 bulan sebelumnya. Sebuah tekad yang dibuat berdasarkan suatu kenekadan. Secara kebetulan, pada bulan Oktober tahun lalu, kami menemukan iklan promosi Malaysia Airlines untuk penerbangan di ASEAN. Berbekal pengalaman traveling ke Vietnam dengan modal dengkul, kami nekad membeli tiket Jakarta - Kuala Lumpur - Bangkok dan Kuala Lumpur - Jakarta. Dengan modal tiket murah untuk penerbangan pulang-pergi itulah, kami bertekad, dalam liburan kenaikan kelas tahun ini harus traveling ke Thailand!

Kami menyadari bahwa keputusan membeli tiket itu adalah nekad beberapa hari setelah tiket di tangan. Ada kerusuhan di Bangkok! Turis-turis terpaksa tidur di bandara karena kota Bangkok dipenuhi demonstran. Kerusuhan yang tidak berlangsung lama. Tekad kami tetap bulat, apalagi setelah Meiling yang tinggal di Bangkok mengatakan, bahwa demonstrasi hanya terjadi di tempat-tempat tertentu dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari, apalagi pariwisata.

2 bulan sebelum berangkat, Aurima memutuskan untuk mengikuti lomba Karya Ilmiah Remaja (KIR). Ternyata salah satu tahap yang akan dilalui adalah karantina yang akan diadakan pada sekitar pertengahan bulan Juni. Suatu kesempatan belajar yang tidak boleh disia-siakan. Tentunya kami harus mendukung niatnya dan tidak boleh menghalanginya hanya gara-gara tiket yang sudah dibeli. Untuk kedua kalinya, kami menyadari keputusan kami waktu itu memang nekad.

3 minggu sebelum waktu keberangkatan yang tercantum di tiket, ada perubahan jadwal lomba KIR. Waktu pengumpulan karya tulis diundur, dengan demikian waktu karantina juga diundur. Tekad yang sempat memudar, muncul kembali. Rasid mulai menyusun rencana rute traveling.

1 minggu kemudian.... ada kerusuhan lagi di Thailand! Kali ini bahkan SBY pun tidak bisa masuk kota Bangkok! Tapi kami tetap nekad dan bertekad pergi. Kami yakin, negara yang sangat mengandalkan dunia pariwisata ini tetap aman bagi pariwisata.

Hingga tiba harinya! Kami berangkat!

Dalam pesawat yang membawa kami dari Kuala Lumpur ke Bangkok, kami membaca berita tentang wabah swine flu di Thailand. Dalam 3 hari, jumlah penderita swine flu di Thailand meningkat 3 kali lipat! Tapi tidak ada yang mampu mencegah kami mendatangi daerah wabah itu, karena pesawat sudah berada di udara.

2 jam kemudian, kami tiba di Bangkok. Kami menjumpai petugas-petugas imigrasi, orang-orang lalu lalang yang mengenakan masker pelindung di wajahnya. Kami harus melalui alat pendeteksi suhu tubuh, mengisi formulir data kesehatan. Kami menjumpai petugas-petugas kesehatan yang membawa tensimeter. Suasana seperti ini sedikit membuatku sedikit paranoid ketika mendengar orang bersin, batuk, menyisih ingus di bis yang membawa kami ke Khaosan. Apakah salah satu dari mereka membawa virus H1N1?

Wuiiiihh..... nekad betul ya kami waktu beli tiket 9 bulan yang lalu..... Kami sudah ada di Thailand dan sayang sekali kalau kami tidak melanjutkan traveling kami. Kami bertekad untuk nekad jalan teruuuuussssss.....

Ada beberapa pengalaman nekad dan tekad yang kami lalui selama di Thailand. Misalnya, ketika kami mengubah rencana menginap 1 malam lagi di Bangkok setelah perjalanan kembali dari Kanchanaburi. Dalam perjalanan menuju Bangkok, berdasarkan percakapan dengan beberapa turis seperjalanan, kami nekad memutuskan turun di Stasiun Kereta Api Hualamphong agar malam itu kami bisa langsung melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Menghemat waktu 1 malam. Sebetulnya bukan kenekadan yang asal nekad, sebab kami sempat membuat pertimbangan dan rencana. Dengan naik kereta api, kami menghemat waktu 1 hari. Agar nyaman, kami menggunakan sleeper train.

Lalu, ketika berada di Koh Samui, kami bertekad menaiki angkutan umum untuk mengelilingi pulau untuk merasakan sensasinya meskipun ada yang menganjurkan untuk menyewa taksi untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Gara-gara nekad naik angkutan umum, kami sempat ditipu oleh supir angkutan umum yang membawa kami ke air terjun Hin Lat bukan ke air terjun Namuang yang kami inginkan.

Kemudian, di tempat transit minibus yang akan membawa kami ke Krabi, pada saat-saat terakhir kami nekad mengubah tujuan semula, Pantai Railay menjadi Pantai Ao Nang. Nekad yang ternyata berbuah manis, karena Ao Nang memang tempat yang ideal bagi kami. Dari Ao Nang kami bisa menyeberang ke pantai-pantai atau pulau lain, termasuk ke pantai Railay yang meskipun masih berada di dataran benua Asia, ternyata hanya bisa bisa diakses dengan perahu, terisolir, sehingga biaya hidup pun lebih tinggi dibanding Ao Nang.

Masih ada beberapa kenekadan yang diambil serta tekad untuk membuat cuti menjadi hal yang menyenangkan. Tapi yang pasti, bukan nekad yang membuatku berdekatan dengan kematian di Hin Lat, tapi tekad untuk bertahan hiduplah yang membuatku saat ini masih bisa menulis di sini.

Melinda

CUTI DAN AIIR

Bisa dibilang cuti kami tahun ini tidak jauh dari air. Hampir setiap hari yang kami lalui berhubungan dengan air. Tanpa disengaja sebetulnya, tapi begitulah jadinya.

Acara cuti dimulai ketika kami melakukan city tour di Bangkok. Selain menggunakan tuk-tuk yang membawa kami ke beberapa kuil, kami juga menggunakan perahu untuk menyusuri sepenggal sungai Chao Praya yang mengalir di kota Bangkok. Air yang pertama.




Dua hari berikutnya, kami menginap di penginapan yang berada di atas sungai Kwai di Kanchanaburi. Di atas sungai, bukan di bantaran sungai. Jadi kami melakukan segala kegiatan harian kami di atas air.





Dalam perjalanan antara Bangkok dan Kanchanaburi, kami mampir di pasar terapung di Saiyok Damnoensaduak, pasar yang transaksi jual-belinya di lakukan di sungai.






Kami juga mengunjungi jembatan yang legendaris yang melintasi sungai Kwai : Bridge on the river Kwai.








Selain tinggal di atas sungai, selama 2 hari itu kami mengunjungi 2 air terjun : Saiyok Noi, sebuah air terjun kecil dan air terjun Erawan yang terdiri atas 7 tingkat. Air yang kedua..... sampai kelima.









Setelah itu, kami pindah ke arah selatan dan menginap di Chalook (baca : Celuk) Baan Kao yang berada di Koh Tao (nama pulau di teluk Thailand). Sebuah teluk yang indah dengan batu-batuan besar yang tergeletak di sepanjang pantai, mirip pemandangan di Pulau Belitung. Air yang keenam.

Keesokan harinya, kami melakukan diving di sekitar Shark Island dan snorkeling di sekitar Hingnang Island. Keduanya berada tidak jauh dari Chalook Baan Kao. Air yang kesekian.

Hari selanjutnya, kami pindah ke Koh Samui dengan menggunakan ferry yang tentu saja bergerak di atas air.

Pada hari pertama di Koh Samui, kami mengunjungi Taman Nasional Ang Tho, sebuah gugus pulau yang terdiri dari batu-batu seperti di Halong Bay - Vietnam. Di sana kami bermain kayak dan menghampiri sebuah laguna yang berada di tengah sebuah pulau dan menghabiskan waktu dengan bermain air di pinggir laut yang jernih.

Hari kedua, kami mengunjungi air terjun Hin Lat yang berada di Koh Samui. Trip ini menjadi pengalaman yang tak akan terlupakan karena membawaku berdekatan dengan kematian.






Setelah melalui dua hari di pulau yang berhasil kami kelilingi seharian dengan angkutan umum itu, kami pindah ke Krabi dengan minibus dan ferry. Lagi-lagi, tidak jauh-jauh dari air.

Hari pertama di Krabi, kami manfaatkan dengan melakukan tracking bersama gajah melalui hutan kelapa sawit dan sungai kecil, dilanjutkan perjalanan mencapai air terjun Huang Tho. Air lagi.... Sebelum kembali ke Ao Nang, tempat kami menginap, kami mampir di sebuah tempat budidaya ikan laut.....airrrrr juga.......

Hari berikutnya dengan longtail boat kami menyeberang ke pantai Railay, yang memang hanya bisa ditempuh dengan perahu meskipun letaknya masih di Krabi. Pantai ini dikelilingi oleh batu-batu cadas yang eksotik. Seharian, kami bermain di pantai. Ada permainan yang baru buatku, yaitu berbaring di atas air dan menikmati ayunan ombak yang mengayun-ayun tubuhku. Mungkin ini permainan biasa bagi orang yang biasa hidup di laut, tapi aku baru menemukannya hari itu dan sangat menikmatinya, bahkan tergila-gila. Bahkan aku tidak mempedulikan sengatan matahari yang membakar wajahku. Sore hari, sebelum kami kembali ke Ao Nang, tempat kami tinggal, hujan keras turun disertai angin. Air...air...air....

Keesokan harinya, kami menyeberang ke Pulau Poda dengan longtail boat juga. Di perairan di sekitar pulau, kami bisa melakukan snorkeling karena air sangat jernih. Lalu, sama seperti kemarin, kami berbaring di atas air dan diayun-ayun oleh ombak. Lihat 2 orang yang berbaring di air di depan batu besar pada gambar di samping. Permainan yang memabukkan, karena ombak lebih besar dibanding kemarin. Mabuk ayunan itu terus terasa hingga malam hari ketika aku berada di tempat tidur! Air.... ternyata bisa memabukkan juga.




Sesudah itu, kami harus pulang. Masih ada 3 hari yang kami lalui untuk perjalanan darat menuju Penang...eh... lewat air lagi! Menuju Pulau Penang, minibus yang kami tumpangi naik ke dalam ferry yang tentu saja berjalan di atas air. Ketika meninggalkan Pulai Penang, bis yang membawa kami ke Kuala Lumpur melalui jembatan panjang yang menghubungkan Pulau Penang dan Semenanjung Malaka. Yang pasti, jembatan itu melintas di atas air.

Hanya 1 hari cuti kami yang tidak diisi dengan kegiatan di air, yaitu hari terakhir di Pulau Penang. Memang rencana acara cuti sudah dibuat sebelumnya, tapi kalau kemudian setiap hari terjadi cengkrama antara kami dengan air, sama sekali tidak disengaja.