WISATA JALAN KAKI DI KOTA HO CHI MINH

Melinda

Berbekal informasi di buku Lonely Planet jadoel, kliping dari internet dan peta Distrik I kota Ho Chi Minh dari hotel, kami berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di HCMC. 

Berangkat dari penginapan di daerah Pham Ngu Lao, kami berjalan ke persimpangan  Ben Thanh Market . Kami tidak masuk pasar ini tapi terus berjalan memasuki jalan Le Loi dan menyusurinya hingga ujung. Di ujung jalan terdapat gedung City Theater. Ini adalah salah satu landmark HCMC. Kami hanya melihat bagian luarnya saja, karena tertutup.

Perjalanan selanjutnya bagaikan menyusuri kota tua. Ada banyak gedung-gedung kuno yang berumur di  atas 100 tahun. Suasana jalan juga lebih sepi dibandingkan daerah Pham Ngu Lao yang selalu padat dan semrawut.  Di antaranya adalah Notre Dame Cathedral dan Central Post Office yang berdekatan lokasinya. 

Notre Dame Cathedral tidak semegah dan setua Gereja Kathedral Jakarta. Namun suasana gereja tua selalu menarik perhatian kami sehingga kami selalu merasa diundang untuk memasukinya. Letak  langit-langit yang tinggi dan keteduhan ruang gereja menyejukkan tubuh yang berkeringat akibat panasnya HCMC. 

Bentuk luar Central Post Office mirip dengan Stasiun Kota di daerah kota tua Jakarta. Begitu memasukinya, kami melihat ada banyak kesibukan di dalamnya. Tepat setelah pintu masuk, ada lorong ke arah kiri dan kanan yang dipenuhi pedagang-pedagang souvenir. Bagian dalam kantor pos sama seperti kantor pos filateli di Jalan Pos Jakarta, tapi tampak terang. Di bagian depan sebelah kiri terdapat beberapa ruang bersekat yang berfungsi sebagai warung telepon. Secara simetris, di seberangnya ruang-ruang bersekat berfungsi sebagai ATM. Di bagian atas pintu ruang-ruang bersekat terpajang jam-jam dinding yang menunjukkan waktu beberapa tempat di seluruh dunia.

Masuk ke dalam lagi, terdapat loket-loket pengiriman surat dan paket dari beberapa operator jasa pengiriman dan loket-loket penjualan perangko. Ruang bagian tengah diisi dengan pedagang-pedagang souvenir dan benda-benda filateli.

Pengelolaan bangunan tua Central Post Office menjadi tempat yang menarik wisatawan asing sebetulnya bisa menjadi contoh bagi Jakarta. Saat itu aku ingat akan kantor pos filateli Jakarta yang menjadi bangunan tua yang dingin, sepi  dan gelap sehingga tidak mengundang siapapun untuk datang.

Sebetulnya tidak jauh dari Central Post Office ada gedung Reunification Palace dan War Remnant Museum, tapi kami tidak ingin mengunjunginya lagi. Jadi kami berjalan lagi ke Zoo and Botanical Garden. Ternyata letaknya lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Bonbin ini jauh dari ideal. Areanya tidak terlalu besar dan bagian belakang berbatasan langsung dengan keriuhan lalu lintas. Tidak banyak binatang yang menghuninya. Kalaupun ada, tampak tidak sehat fisik dan mental. Banyak binatang yang jumlahnya hanya satu. Taman ini lebih berfungsi sebagai taman kota.

Dari bonbin, kaki kami sudah terasa pegal, karena itu kami naik taksi untuk kembali ke Pham Ngu Lao, tempat kami menginap. 

Setelah makan siang, kami tidur di hotel. Sorenya kami melanjutkan wisata jalan kaki ke Ben Thanh Market untuk mencari oleh-oleh. Selain dapat oleh-oleh, kami juga makan sawo sebesar buah mangga simanalagi dan …. duren! Duren merupakan buah yang kami idam-idamkan sejak di Kamboja. Di Kamboja kami sering melihat penjual duren, tetapi tidak pernah ada penjual yang terlihat menjualnya untuk dimakan langsung. Akhirnya di Ben Thanh kesampaian juga. Di pasar ini lagi-lagi kami berjumpa dengan pedagang yang dapat berbahasa Indonesia!

Setelah puas berkeliling pasar, kami kembali ke hotel melewati trotoar di taman kota. Tiba-tiba ada sebuah motor ngebut di trotoar dari arah depan. Refleks pertama adalah bergerak ke pinggir agar tidak terserempet. Sebuah tangan menarik tali tas selempangku sampai putus. Aku tidak sempat menariknya. Lenyaplah tasku! Inilah anti klimaks wisata jalan kaki di kota Ho Chi Minh.

Catatan buat pembaca blog ini yang akan berjalan-jalan ke HCMC : Trotoar di taman kota cukup lebar untuk berjalan, tapi juga cukup lega buat motor untuk lewat dan ngebut. Untuk menghindari jambret, lebih baik berjalan di tengah taman atau di trotoar di seberangnya yang banyak dipenuhi pedagang kaki lima. Jangan lupa tetap waspada, karena bisa saja ada jambret tanpa motor dan lari setelah menjambret.


MENJELAJAH HUTAN DI MONDULKIRI BERSAMA GAJAH

Melinda

Mondulkiri terletak di bagian timur negara Kamboja dan merupakan tempat tertinggi di negara ini. Udaranya sejuk, seperti di Lembang. Wisata yang tersedia di tempat ini adalah Eco-tourism, di antaranya trekking di hutan bersama gajah ditambah mengunjungi rumah adat suku.Wisata inilah yang kami lakukan di sana.

Wisata dimulai jam 8.30 saat kami berangkat dari Sen Monorom tempat kami menginap. Kami diantar dengan mobil Toyota Camry produksi 20 tahun silam melewati jalan tanah merah yang dikeraskan. Karena semalam hujan, jalan menjadi sangat licin. Kami tiba di sebuah hunian orang asli Mondulkiri di pinggir hutan. 

Hunian berupa beberapa bangunan, yaitu sebuah rumah panggung kayu, kandang sapi dan sebuah rumah adat. Rumah adat ini ditopang oleh kayu-kayu dan beratap rumput gajah kering yang disusun hampir ke tanah. Di bagian depan dan belakang, rangkaian rumput-rumput  gajah tersingkap membentuk pintu-pintu masuk. Rumah beralaskan tanah. Mata perlu beradaptasi cukup lama saat melihat ke dalam rumah, karena tidak ada penerangan. Di dalam terasa hangat, atap rumput juga kedap air.  Isi rumah sama seperti rumah umumnya, dapur, ruang tidur dan tempat penyimpanan makanan. Bedanya, penghuninya bukan hanya manusia, tetapi juga ternak ayam dan babi.

Di depan rumah adat ini kami menaiki gajah yang akan membawa kami menjelajahi hutan. Ada 2 ekor gajah yang akan membawa kami. Sebelumnya, kami berkenalan dulu dengan gajah-gajah ini dengan memberikannya pisang. Pelana terbuat dari rumput-rumput gajah kering dan di atasnya dipasangkan tempat duduk seadanya terbuat dari rotan. Di sinilah kami duduk, sedangkan pawang gajah duduk di kepala gajah tanpa pelana. Aku dan Aurima menaiki gajah yang agak kecil.

Pada awalnya, agak repot mengatur posisi duduk karena ada  perasaan gamang mengikuti gerak langkah gajah yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Perjalanan menjelajahi hutan hingga mencapai sebuah air terjun memakan waktu sekitar 2 jam. Jalan yang ditempuh merupakan jalan setapak yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang tidak terlalu besar, namun lebat. Di beberapa tempat ada pohon-pohon yang ditebang dan tanahnya dijadikan ladang. 

Sepanjang perjalanan, gajah sering berhenti untuk menyabut rumput, memetik daun bambu atau daun lainnya dan memungut buah-buahan kecil. Di tengah perjalanan, pawang gajah yang kutumpangi bersama Aurima turun, kemudian bermain di belakang gajah. Gajah kami berjalan sendiri tanpa pawang! Hal ini sempat membuat kami sedikit panik, namun setelah kemudian biasa lagi. Gajah kami memang jinak.

Pantat lumayan pegal menaiki gajah selama 2 jam. Lega rasanya begitu tiba di air terjun. Air tidak terlalu banyak dan air terjun tidak terlalu tinggi. Namun tempat ini benar-benar enak untuk beristirahat. Hanya kami yang berada di sana. Setelah Yanky berenang sebentar, kami makan bekal nasi bungkus, buah naga dan nanas yang dibawa dari Sen Mororom. Rasanya nikmaaaaatttt sekali. Terakhir kami makan nanas hutan yang dipungut oleh pawang gajah. Maknyuussss!!!

Setelah bermalas-malasan sebentar di bebatuan di pinggir aliran air, kami nonton gajah mandi. Sebetulnya kami bisa juga ikut memandikan gajah, tapi ada rasa enggan. 

Selesai mandi, gajah-gajah kembali membawa kami kembali ke tempat berangkat tadi. Kami bertukar gajah. Yanky menaiki gajah yang kecil, aku dan Aurima menaiki gajah yang lebih besar. Gajah besar ini agak bandel, sering berhenti dan membalikkan badan ke samping bahkan ke belakang. Perjalanan yang cukup panjang membuat kami  cukup terbiasa dengan gerakan langkah gajah. Bahkan kami sempat tertidur karena angin yang sepoi-sepoi. 

Tiba-tiba di suatu tempat, gajah berbelok memasuki hutan agak dalam dan tidak bisa dikendalikan oleh pawang untuk kembali ke jalan setapak. Rupanya ada pohon nangka dengan buah-buah yang sudah matang bergelantungan! Ada 1 buah yang terletak dekat tanah. Setelah gajah kami berhasil memetiknya, barulah dia mau kembali ke jalan setapak. Kami harus menunggu gajah itu menghabiskan nangka itu. Wanginya …..hmmmm…. bikin ngiler!

Sementara gajah kami makan, gajah Yanky masih berada di dalam hutan. Rupanya dia tidak berhasil memetik nangka yang letakknya tinggi dan tidak mau bergerak. Akhirnya, pawang memetikkan 1 buah nangka. Barulah gajah itu mau kembali ke jalan setapak. Nangka dibagi 2, sebagian untuk gajah, sebagian untuk penumpangnya. Akhirnya….kami kebagian nangka juga! Rasanya nikmat, perpaduan antara manisnya nangka dan sensasi penemuan lokasinya!

Perjalanan kembali ke tepi hutan memakan waktu lebih lama, karena gajah berjalan lebih lambat dan ditambah upacara nangka tadi. Kami tiba di Sen Monorom jam 16.30. Pengalaman bergaul dengan gajah dan kehidupan hutan seharian yang benar-benar tak terlupakan!

ORANG INDONESIA DAN BAHASA INDONESIA DI PNOM PENH

Melinda


Hari terakhir kami di Kamboja kami habiskan dengan berjalan-jalan di kota Pnom Penh.  Pada saat kami tiba di Pnom Penh siang hari sebelumnya, kami berjumpa dengan seorang supir tuk-tuk yang memamerkan kemampuannya mengucapkan kata “Terima Kasih” kepada kami. Rupanya kamu bukan orang Indoesia pertama yang dijumpainya. 

Pagi-pagi kami menyusuri taman di tepian sungai Tonle Sap menuju ke arah National Museum. Sebelum memasuki pintu masuk National Museum, tiba-tiba kami melihat sebuah restoran bernama Warung Bali. Seminggu lebih berada di negara asing membuat kami merasa kangen makanan Indonesia. Di depan restoran, berdiri Sang Pemilik Restoran yang kemudian kami ketahui bernama Pak Kasmin. Senang rasanya bertemu orang Indonesia. Menurut pengakuannya, Pak Kasmin sudah 15 tahun mengelola restorannya ini. Kami memesan gado-gado dan tahu telur yang rasanya masih asli Indonesia, belum disesuaikan dengan lidah orang asing. Sementara kami makan, ada seorang ibu masuk membawa belanjaannya. Rupanya rekan Pak Kasmin. Mendengar mereka bercakap-cakap dalam dialek Jawa membuat kami merasa berada di Indonesia. Sebelum meninggalkan Warung Bali, kami dikenalkan dengan Pak Pirdaos, rekan Pak Kasmin. Menurut kartu nama yang diberikan, mereka berdua adalah pengelola Warung Bali.

Bagi pembaca blog yang kebetulan mau pergi ke Pnom Penh silakan mencatat alamat Warung Bali : #25Eo, Street 178 Pnom Penh. Restoran ini pasti akan dilewati bila akan masuk National Museum dari arah lapangan di muka Royal Palace.

Di National Museum, saat menyaksikan video penelitian arkelologi Angkor Wat, kami berjumpa dengan sebuah keluarga (bapak, ibu dan 3 anak) yang terdengar menggunakan bahasa Indonesia.

Dari National Museum, kami berjalan-jalan di Pshar Thmey (Central Market). Di depan sebuah kios kain tenun, kami melihat seorang Bapak mengenakan pakaian batik. Tanya punya tanya, ternyata memang orang Indonesia yang sedang menunggu istrinya berbelanja. Di depannya sudah ada 1 kotak besar belanjaan.

Saat membeli selendang di sebuah kios, kami dikagetkan lagi saat penjual menyebutkan harga dalam bahasa Indonesia. Ternyata penjualnya bisa berbahasa Indonesia karena sering kedatangan pembeli asal Indonesia. Hmmmm…..memang dasar orang Indonesia tukang belanja. Di negara manapun harus belanja. Dengar-dengar, di Paris pun pedagang-pedagang banyak yang dapat berbahasa Indonesia karena sering kedatangan pembeli berbahasa Indonesia.


SIEM REAP : CANDI-CANDI KECIL, DESA TERAPUNG DAN TARIAN

Melinda

Selain candi-candi besar seperti Angkor Wat, Ta Prohm, Bayon, masih ada banyak candi-candi kecil (yang sudah ditemukan) di situs Angkor. Jangan bandingkan ukuran kecil candi di Angkor dengan Candi Kalasan, atau Candi Pawon misalnya. Candi-candi seukuran ini tidak termasuk dalam daftar wajib kunjungan. Walaupun kecil, ukurannya tetap saja besar dan cukup menguras tenaga untuk mengelilinginya. 

Yang unik, di setiap jalan masuk ke lokasi candi ada rombongan orkes kecil yang memainkan lagu-lagu tradisional. Para pemainnya adalah korban ledakan granat yang bertebaran peninggalan perang saudara 30an tahun yang lalu.

Candi pertama yang kami kunjungi adalah Phreah Khan yang mirip Ta Prohm kemarin. Bangunan candi yang bercampur baur dengan batang dan akar pohon. Situsnya lebih kecil, tapi bagiku ini lebih menarik dilihat. Mungkin karena kemarin sudah terlalu lelah, sedangkan hari ini kami masih segar.
Kalau candi-candi yang kemarin kami kunjungi dan candi Phreah Khan terbuat dari batu-batu cadas yang diukir, candi-candi kecil berikutnya terbuat dari batu bata. Usianya lebih tua (berasal dari abad ke 10) dibandingkan dengan candi-candi yang terbuat dari batu cadas  sebelumnya (berasal dari abad ke 13). 

Setelah makan siang kami meninggalkan Angkor, dan mengunjungi kampung terapung. Kampung ini terletak di sungai yang bermuara di Danau Tonle Sap. Disebut Kampung Terapung karena bangunan-bangunan tempat tinggalnya adalah bangunan yang terapung di atas sungai dan dapat berpindah-pindah juga. Sebuah perkampungan dengan kehidupan yang sama seperti perkampungan lainnya, ada bengkel, warung, kantor polisi, gedung pesta, lapangan bola basket, dan lain-lain. Tidak jarang kami jumpai rumah yang memiliki kebun bunga.

Malam harinya, kami menyaksikan pentas tari di sebuah restoran. Ada beberapa tarian tradisional dan modern yang diperagakan di sana selama 1 jam. Pertunjukan yang menarik.
Ini adalah hari terakhir kami di Siem Reap. Kami memutuskan untuk tidak mengunjungi Angkor lagi, karena sudah jenuh. Besok kami akan ke bagian timur Kamboja.

SIEM REAP : KEMEGAHAN ANGKOR WAT DAN CANDI-CANDI BESAR LAINNYA

Melinda

Siem Reap adalah sebuah kota yang terletak di bagian barat laut Kamboja.Sebuah kota yang terlihat lebih siap menghadapi dunia pariwisata dibandingkan Pnom Penh.. Banyak penginapan, agen travel dan wisata di kota ini. Kota ini juga lebih bersih dan teratur dibandingkan dengan Pnom Penh.

Wisata utama di Siem Reap adalah wisata arkeologi ke Angkor. Untuk mencapai situs, kami mengendarai tuk-tuk. Untuk memasuki situs ini kami membeli tiket 3 hari kunjungan yang dapat digunakan dalam rentang 1 minggu. Tiket dibuat on site dengan foto pemegang tiket tertera di dalamnya. Ada 3 jenis tiket yang dijual di sini, yaitu tiket 1 hari ($20), tiket 3 hari berturut-turut ($40) dan tiket 3 hari dalam rentang kunjungan 1 minggu ($40). Pemegang tiket ini dapat masuk ke semua lokasi candi yang berada di situs yang luasnya 40 km persegi ini. Satu lagi tempat yang bisa dimasuki dengan gratis adalah semua toilet yang terdapat di bagian luar tiap lokasi candi yang terjaga kebersihannya.

Angkor Wat

Menakjubkan! Kata itulah yang tercetus begitu kami tiba di depan danau yang mengelilingi situs Angkor Wat. Yang terlihat dari luar adalah sebuah bangunan candi dari batu cadas yang sangat lebar. Dari bawah memang kami hanya dapat melihat lebarnya saja. Tidak terlihat ketinggiannya karena bagian tertinggi yang letakknya jauh ke dalam terpendam dalam garis cakrawalia. Bangunan ini adalah bagunan pertama dari seluruh situs arkeologi Angkor yang kami kunjungi.

Masih banyak banguan yang belum berhasil disusun seperti awalnya dan banyak batu-batuan yang masih berserakan. Selain itu, masih banyak batu-batu dengan relief yang belum tampak jelas bentuknya serta tertutup lumut. Masih banyak tempat yang tidak boleh dimasuki mungkin karena masih berantakan dan bau-batunya rawan runtuh.

Meski di beberapa tempat masih banyak bangunan yang tidak jelas, kemegahan Angkor Wat tetap terlihat dan dapat dirasakan, terutama saat berada di bagian puncak bangunan. Jauh melebihi luasnya Candi Borobudur atau Istana Ratu Boko.

Bayon Temple

Bayon Temple terletak tidak jauh dari Angkor Wat. Kalau tidak salah, bangunan ini dalah sebuah perpustakaan pada masa lalu. Ada banyak patung Ganesha di dalamnya. Situs ini juga sangat besar, terdiri dari beberapa bangunan yang beberapa di antaranya bahkan baru tampak bentuk fondasinya.

Ta Prohm Temple

Inilah candi yang tersohor setelah Angelina Jolie menggunakannya sebagai tempat shooting sebuah filmnya. Bangunan candi yang masih bersatu dengan hutan. Banyak pohon-pohon besar tumbuh di dalam candi, mndesak batu-batuan candi sehingga menjadi rusak. Tapi ada juga batang dan akar pohon yang menahan batu-batuan tetap pada tempatnya sehingga tetap utuh. Bentuk bangunan ini mengingatkan kami pada uraian Discovery Channel beberapa minggu sebelum kami berada di tempat ini. Menurut uraian itu, dahulu kala situs Angkro adalah sebuah kota besar. Namun kemudian alam mengalahkan manusia. Tumbuh pepohonan yang memusnahkan manusia dan menghancurkan banguan-bangunan buatannya.

Perjalanan menelusuri ketiga bangunan candi ini benar-benar menyita tenaga kami. Bisa terbayang bukan betapa luasnya ketiga bangunan yang baru habis ditempuh dengan berjalan kaki dari pagi hingga sore hari?

TENTANG ORANG KAMBOJA


Melinda 

Secara umum, orang Kamboja adalah orang yang sopan dan ramah. Kendalanya adalah bahasa. Tidak banyak orang yang dapat berbahasa Inggris. Namun kalau bahasa tidak menjadi masalah, keramahan mereka akan tampak jelas. Umumnya orang Kamboja senang mengajak orang asing berbicara.

Soal bahasa, ada hal yang unik.

Pertama, ada banyak supir tuk-tuk yang dapat berbahasa Inggris. Lafalnyapun bagus-bagus. Biasanya mereka akan menyambut turis asing di terminal bis dan menawarkan jasa mengantar ke hotel. Dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya, mereka juga dapat berfungsi sebagai pemandu wisata. 

Yang kedua, banyak restoran terutama di daerah Mondulkiri yang memiliki senjata khusus menghadapi orang asing yang akan makan. Jarang sekali penduduk di  sana yang dapat berbahasa Inggris. Kedatangan kami selalu menimbulkan kepanikan seluruh karyawan restoran. Bukannya mendengarkan pesanan yang kami ajukan (pasti tidak jauh-jauh dari nama makanan, minuman dan jumlah yang mudah diingat istilahnya), tapi sibuk mencari daftar menu. Inilah senjata mereka menghadapi turis asing. Dalam daftar menu tertulis nama-nama makanan dalam bahasa Inggris dan bahasa dan huruf Kamboja. Kepanikan berikutnya adalah saat kami akan membayar makanannya. Semua orang di restoran seakan-akan sibuk, tidak ada yang melihat sekalipun kami sudah berdiri. Setelah kami  mengeluarkan suara, apapun bunyinya, barulah mereka sibuk. Mungkin sibuk meyakinkan diri mengenai jumlah yang harus kami bayar. Kemudian salah satu dari mereka menemui kami. Tidak jarang orang ini  menyebutkan angka dalam bahasa Kamboja. Kalau sudah terjadi demikian, biasaya kami mengeluarkan kertas dan pen, maksudnya agar dia menuliskan harga yang harus kami bayar. Ruapanya hal ini juga membuat mereka resah, karena mereka tidak terbiasa dengan angka Arab. Angka yang akan ditulisnya bentuknya tidak biasa, misalnya angka 8 dalam posisi tidur atau angka 4 yang keriting. Heran, kenapa tidak tunjukkan saja lembaran uang yang seharga dengan harga makanan yang harus kami bayar?

Sifat lain orang Kamboja yang tampak jelas adalah kejujurannya. Kami merasa nyaman berada di Kamboja karena tidak merasa dipalak sebagai orang asing. Suatu kali kami membeli makanan sejenis laksa yang dijual secara asongan. Sebelumnya kami melihat seseorang membayar seharga 6000 Riel untuk semangkok laksa. Saat penjual meracik untuk kami, kami minta jumlah bihun dikurangi karena sebetulnya kami sudah kenyang. Merasa yakin harganya 6000 Riel, kami langsung membayar seharga itu. Ternyata penjual mengembalikan 4000 Riel. Rupanya karena jumlah bihun lebih sedikit, kami tidak perlu membayar penuh.

Ada 2 sikap sopan yang sering ditunjukkan oleh orang Kamboja. Yang pertama yaitu sikap memberi dan menerima dengan menggunakan kedua telapak tangan sambil sedikit membungkukkan badan. Yang kedua adalah sikap berterimakasih dengan mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada, juga dengan sedikit membungkukkan badan. Nampaknya kedua sikap ini memang menjadi kebiasaan sehari-hari, bukan sekedar basa-basi atau untuk mengambil muka.

Sikap menarik lainnya adalah sikap yang sulit dijumpai di Jakarta, yaitu persaingan yang sehat. Contohnya, saat kami turun dari bis antar kota. Kebetulan supir yang menawarkan tuk-tuknya kepada kami tidak dapat berbahasa Inggris. Ada supir tuk-tuk lain yang nimbrung, menawarkan hotel, memberi tarif tuk-tuk dalam bahasa Inggris. Setelah ada kesepakatan, ternyata supir yang nimbrung tadi mempersilakan kami menaiki tuk-tuk temannya yang pertama kali menawarkan tuk-tuk kepada kami.

Mudah-mudahan sifat-sifat baik ini tetap terpelihara di Kamboja.

ALAT PEMBAYARAN DI KAMBOJA

Melinda

Mata uang Kamboja adalah Riel. Dalam prakteknya transaksi apapun dapat dilakukan dengan Riel dan Dolar Amerika.  Kursnya adalah 1 dolar = 4000 Riel. 

Informasi tentang mata uang ini sudah kami ketahui saat akan berangkat ke Kamboja. Karena itu kami membawa coin-coin sepertempat Dolar dan  1 Dolar yang kami miliki. Saat melewati perbatasan, kami membeli rambutan seharga 1 Dolar. Dengan yakinnya aku mengeluarkan coin 1 Dolar. Ternyata ditolak. Mereka tidak mengenal uang coin!

Lama-kelamaan, kami memahami aturan berikut. Bila harga yang harus dibayar lebih kecil dari 1  Dolar, maka yang digunakan adalah mata uang Riel. Beberapa kali, di minimarket kami membayar dengan Dolar dan Riel, misalnya 1 Dolar 500 Riel. Tidak jarang, kami membayar dalam bentuk Dolar dan mendapat kembalian dalam bentuk Riel. Mesin kasir menghitung belanjaan dalam bentuk Dolar. Yang menyebalkan, pada hari terakhir kami di Kamboja, kasir minimarket tidak mau melayani penukaran  pecahan Riel kami dengan Dolar. Padahal yang hendak kami tukarkan adalah pecahan Riel yang kami dapatkan dari kasir sesaat sebelumnya sebagai uang kembalian belanjaan kami.

Harga makanan bisa ditentukan dalam bentuk Dolar, bisa dalam bentuk Riel atau keduanya. Harga makanaan biasanya bulat, entah memang harganya bulat atau karena mereka sulit menyebutkan harga dalam bahasa Inggris. Nilai paling kecil untuk harga makanan di restoran adalah 1000 Riel. Di pinggir jalan ada juga makanan fermentasi dari ikan yang dibungkus kecil seharga 500 Riel. Pecahan Riel terkecil yang pernah kami terima adalah 100 Riel. Kami dapatkan saat menerima kembalian untuk pembelian 4 buah baby duck egg seharga 4800 Riel. 

Tarif hotel biasanya ditentukan dalam bentuk Dolar karena biasanya di atas 5 dolar. Bukan berarti tidak ada uang Riel dalam satuan besar. Kami sempat melihat juga pecahan Riel sebesar 20.000, 10.000 dan 5.000.

Harga tiket masuk museum, tempat-tempat wisata selalu dalam bentuk Dolar. Begitu pula tarif tuk-tuk, kendaraan umum yang muat hingga 4 orang. Pernah suatu kali, kami menawar tarif tuk-tuk dari 3 Dolar yang ditawarkan supir menjadi 2 Dolar. Penawaran cukup alot, karena supir menurunkan tarif perlahan-lahan ke 2,5 Dolar, lalu 2 Dolar and 1000 Riel…… huh….ribet!

Jadi ada 2 jenis alat pembayaran di Kamboja : uang kertas Dolar dan uang kertas Riel. Dolar dipergunakan sebagai alat pembayaran, bukan benda investasi, jadi tidak perlu licin-licin seperti di Indonesia. Kalau terlalu licin malah membuat penerimanya curiga. Sebetulnya kartu kredit juga bisa untuk membayar, tapi kena biaya 3%.

DUA HARI SATU MALAM DI PNOM PENH


Melinda

Kami tiba di kota Pnom Penh pada sekitar jam 2 siang saat matahari sedang terik-teriknya. Udara panas dan berdebu. Kami meletakkan ransel-ransel kami di Grand Vieuw Guest House yang terletak di pinggir danau. 

Kemudian dengan tuk-tuk kami pergi ke Cheung Ek yang letaknya di luar kota Pnom Penh. Perjalanan melewati  jalan-jalan di kota Pnom Penh yang hiruk pikuk, padat namun tidak sampai macet.Setelah 45 menit perjalanan, kami tiba di Cheung Ek, ladang pembantaian rakyat Khmer pada jaman Pol Pot itu. Ke sinilah para tahanan di S21 (di dalam kota Pnom Penh) pada tahun 70-an dibawa dan dibunuh dengan cara yang kejam.

Di depan ada sebuah stupa besar yang berisi rak-rak berisi tengkorak-tengkorak dan pakaian-pakaian para tahanan yang dibantai. Di belakang stupa terbentang lapangan luas dengan lubang-lubang besar bekas galian kuburan massal. Di antaranya adalah sebuah kuburan massal jenazah-jenazah  tanpa kepala. Lalu ada sebuah pohon besar tempat bayi-bayi dibenturkan untuk membunuhnya. Di tempat lain ada sebuah pohon tempat menggantungkan sebuah loud speaker yang saat pembantaian mengeluarkan bunyi-bunyian untuk menutupi suara erangan tahanan yang dibantai. 

Ada suara teriakan sekelompok anak sekolah di kejauhan membuat suasana tempat ini semakin mencekam. Suasananya tidak jauh berbeda dengan suasana saat aku mengunjungi Lubang Buaya sekitar 35 tahun yang lalu.

Hari sudah sore ketika kami tiba kembali di Pnom Penh. Kami mengakhiri hari ini dengan berjalan di sekitar penginapan sambil mencari makan malam. Kami menjumpai beberapa hotel dan rumah makan yang nampaknya milik orang Indonesia, misalnya Arifin guest house, Leni restaurant.

Hari berikutnya, dengan tuk-tuk yang sama dengan kemarin kami mengunjungi S21, Central Market dan Royal Palace.

S21 adalah bangunan bekas SMA yang digunakan oleh pemerintah Pol Pot untuk penjara. Ruang-ruang kelas diberi sekat-sekat dari kayu maupun dari batu-bata untuk membetuk sel-sel yang sangat sempit. Ruang-ruang kelas yang lain dipakai untuk mengumpulkan tahanan dengan cara mengikatnya di tiang besi. Masih ada kawat-kawat berduri yang dipasang untuk menutupi gedung. Tempat ini sama mencekamnya dengan killing field yang kami kunjungi kemarin.

Dari S21, kami menuju Central Market. Melihat kehidupan pasar lokal hamplir selalu kami lakukan dalam setiap kunjungan wisata kami. Central Market merupakan pasar modern bila menggunakan istilah di Jakarta. Pasar dengan bangunan modern, bersih dan menjual segala macam. Yang paling menarik di sini adalah jajanan pasar. Kami membeli beberapa kue yang dibungkus daun : ketan yang dipadu dengan nangka yang dibungkus mirip lontong berukuran 5 x 1 cm, bacang ketan dengan isi daging babi, bacang ketan dengan isi kacang ijo, kue dari tepung ketan dicampur gula merah  dengan kacang ijo di bagian tengahnya seperti kue ku tapi dibungkus daun. Masih ada banyak lagi kue-kue khas Kamboja, seperti aneka bubur manis, gorengan dari adonan tepung ketan dan jajanan pasar lain dalam ukuran kecil. Kalau menuruti mata rasanya ingin mencoba semuanya, tapi perut sudah tidak bisa kompromi. 

Dari pasar, kami menuju Royal Palace yang mirip di Bangkok, tapi berukuran lebih kecil. Royal Palace terletak di tepi sungai. Di depannya ada sebuah lapangan dengan banyak burung merpati berterbangan. Kalau mau jujur, sebetulnya kunjungan ke Istana Negara di Jakarta dan ke Keraton Yogyakarta lebih berkesan bagiku. 

Sebelum bis yang membawa kami ke Siem Reap, kami masih sempat mengunjungi Wat Pnom, sebuah taman kota yang merupakan tempat tertinggi di kota Pnom Penh. Di puncaknya terdapat pagoda. Tidak terlalu menarik karena tempat ini agak kumuh. Ada beberapa gelandangan yang berdiam di tempat ini.

Rasanya memang cukup 2 hari 1 malam untuk berada di kota ini karena memang tidak banyak yang menarik selain killing field dan penjara S21.