BANTEN LAMA TEMPAT OBJEK KUNO

Oleh: Rasid Rachman

Menggunakan satu hari libur tidak resmi, apalagi di hari Senin, juga bisa menyenangkan. Itulah yang kami lakukan pada suatu Senin September 2010 yang lalu. Kerjaan dan tugas lagi setumpuk, stress yang kagak ketulungan, bosan suasana kota besar yang macet, kangen dengan suasana pedesaan pesisir, dan pas Jo mengajak kami ke Pulau Dua di wilayah Banten Lama, Serang, Banten. Maka berangkatlah kami berdelapan dengan mobil Jo pagi-pagi sekali. Di antara kami, ada yang jago motret, wartawan, jago jalan-jalan, penggembira, dsb. Saya mah jago makan aja deh.
Apa itu Pulau Dua? Kadang-kadang disebut juga Pulau Burung – kami tidak tahu bagaimana asal muasal penamaan tersebut. Jo yang memberitahukan kami – entah bagaimana dia tahu ada pulau itu – dan kemudian mengajak kami.
Sebenarnya pulau itu bukan lagi pulau. Sejak tahun 1980-an, ia tidak lagi terpisah dengan Pulau Jawa. Kini ada endapan panjang dan cukup luas yang menghubungkan “pulau” tersebut dengan Banten Lama. Namun burung di pulau itu masih banyak, karena di dalam pulau itu terdapat hutan lindung yang dijaga dan diolah oleh dua jagawana (Polisi Hutan). Masyarakat juga masih menyebut kawasan itu dengan Pulau Dua atau Pulau Burung. Arahnya, langsung menuju Banten Lama, sebelum Benteng dan Masjid Agung Banten, belok kanan 2-3 km, Tanya-tanya penduduk perihal arah Pulau Dua.

 Endapan  jadian yang menghubungkan ke Pulau Dua (kanan).


Polisi Hutan sedang memberikan info kehidupan hutan lindung (kiri).

Setibanya di sana, mobil diparkir di tepi jalan masuk. Lalu kami berjalan kaki 25-230 menit atau naik ojek menyusuri tambak ikan yang merupakan daratan jadian yang menghubung ke Pulau Dua. Burung-burung mulai beterbangan di sekitar sini. Kostum jelajah dengan siap untuk berbecek ria dan bekal makan-minum yang cukup merupakan perlengkapan kenyamanan plesir kami.

Mirip film perang Vietnam


 Ada dua lokasi yang menjadi objek perkunjungan di Pulau Dua, pantai dengan menara pandang yang memadai serta sejumlah informasi tentang hutan lindung tersebut, dan sangkar burung dengan menara pandang penuh tantangan serta sedikit rawa. Keduanya adalah lokasi yang membuat puas pengunjung yang hobi bertualang dan motret-motret.
Di lokasi pertama, pinggir laut, pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang kehidupan hutan lindung, suaka alam, tanaman, dll. Jagawana menjelaskan semuanya. Ada menara pandang, pengunjung padat menikmati aneka burung beterbangan di atas kepala, dan memandang beberapa perahu nelayan.
 Ke lokasi kedua, pengunjung berjalan sedikit ke dalam menyusuri dan menyeberangi rawa-rawa kecil dengan ribuan kepiting rawa. Situasinya, ingat film-film perang Vietnam! Ada juga menara pandang, tetapi “darurat”; diperlukan sedikit keberanian hingga bisa “menclok” di rumah pohon. Jerih lelah dan peningkatan adrenalin ketika memanjat rumah pohon segera terbayar begitu tiba di atas. Pengunjung terpesona dengan puluhan burung hinggap di puncak-puncak pohon. Burung-burung besar kita saksikan dan teropong sendiri di habitatnya.


Lupa turun deh si Jo!



 Memotret, wajib hukumnya!


Dua-tiga jam tidak terasa di sana. Setelah puas menikmati pemandangan di Pulau Dua, perjalanan bisa dilanjutkan ke Masjid Agung, Klenteng, dan Benteng. Masjid Agung dengan menaranya yang besar dan megah mengagumkan. Di kawasan masjid ada museum – sayang tanpa perawatan dan kotor – dan beberapa peninggalan masa lalu, semisal benteng dan meriam. Semuanya terlihat kumuh dengan bejibun-nya pedagang secara tidak teratur – bahkan di bawah rambu larangan berjualan pun tetap ada yang berjualan.

Menara Masjid Agung
 Ribuan peziarah di masjid, manusia di sekitarnya, dagangan yang berderet, jajajan, makanan, dan sejumlah bangunan kuno menjadi godaan tersendiri bagi para pemotret. Ga bisa mengelak deh untuk ga memotret.

Ribuan peziarah setiap hari
 
Jika berjalan sedikit – memang fisik kuat dan bekal makanan-minuman menjadi syarat – melewati perkampungan ke arah Klenteng, ada satu bekas benteng lagi. Rumah ibadah umat Islam dan tempat sembahyang umat Konghucu tersebut sudah lama berdampingan di Banten Lama. Sepi, kosong, luas, dan besar. Tembok benteng setebal 2 meter menambah keangkeran tampang benteng ini. Sayang, objek-objek ini tidak dilengkapi dengan informasi dan pengelolaan yang baik.

Lorong bawah tanah di benteng
Bagaimana pun, ini benar-benar plesiran yang tidak biasa.  ■

Jalan-jalan di kota tua

Melinda

2 hari menjelang Lebaran. Kami sengaja memilih hari itu untuk mengunjungi kota tua Jakarta. Hari itu pasti lalu lintas sangat lancar dan kota tua belum terlalu banyak dikunjungi wisatawan. Yanky ada tugas di gereja, jadi kami (aku, Aurima dan Sian Ing) ikut naik mobil sampai halte busway Kedoya. Kami berangkat dari rumah jam 8 pagi.

Benar-benar pilihan waktu yang tepat! Jalan tol Tangerang – Jakarta agak lengang. Halte bus way sepi. Setelah menunggu sekitar 10 menit, kami menaiki bis Trans Jakarta yang lega. Hanya beberapa penumpang yang berdiri tidak kebagian tempat duduk. Cuma, ada satu yang menyebalkan, di halte Grogol II kami harus berganti bis karena bis kembali ke Lebak Bulus. Padahal rute bis seharusnya berakhir di Harmoni. Di Harmoni, kami mengantre sebentar untuk mendapat bis jurusan kota. Ada 3 bis yang berhenti untuk mengangkut penumpang ke arah kota. Petugas membatasi jumlah penumpang yang naik ke bis sehingga semua mendapat tempat duduk. Alangkah nikmatnya bila setiap hari bis Trans Jakarta seperti ini!

Kami tiba di stasiun kota jam 9. Wisata di kota tua dimulai saat kami memasuki terowongan penyeberangan di bawah Jalan Pintu Besar Utara. Bangunan baru yang selalu menarik bagi kami. Penyeberang jalan akan merasa nyaman menyeberang di sini. Bebas polusi, aman sampai ke seberang, tidak melelahkan. Sangat berbeda dengan jembatan penyeberangan. Klik di sini untuk melihat cerita tentang terowongan ini lebih lengkap. Hari itu ada yang tidak biasa. Tidak ada satupun penjual rujak bebek yang menjadi ciri khas tempat ini. Bulan puasa, kan….

Museum pertama yang kami tuju adalah Museum Bank Mandiri yang terletak tepat di pintu keluar terowongan penyeberangan. Hanya ada satpam yang bertugas di depan. “Seharusnya museum buka jam 9. Tapi petugas loket karcis belum datang. Maklum, mau libur lebaran,” itulah penjelasan yang kami dapat dari satpam. Kami tidak terlalu kecewa, karena beberapa waktu yang lalu kami sudah mengunjunginya saat perhelatan acara Kumkum.
Kami berjalan sedikit ke gedung di sebelahnya, Museum Bank Indonesia. Tampaknya, kami adalah pengunjung pertama. Petugas memberitahu bahwa yang dapat dilihat saat ini hanya pameran mata uang dan logam mulia. Yang lainnya, sedang dalam perbaikan karena ada gangguan instalasi listrik. Berarti kami tidak bisa melihat film animasi hujan mata uang logam yang merupakan produk unggulan museum ini. Sayang. Tapi hal ini tidak mengurangi semangat kami mengelilingi museum ini. Ada banyak hal yang menarik di tempat ini. Mulai dari bangunan tua yang kokoh dengan pintu-pintu ayun dari kayu yang tebal dan berat, dan jendela-jendela kaca patri warna-warni hingga loket-loket kasir dengan terali pemisah yang kokoh antara kasir dan nasabah. Kemudian berbagai jenis mata uang, mulai dari jaman Majapahit, jaman penjajahan hingga uang kertas bersambung seratus ribu-an. Kami baru tahu, ternyata duit adalah sebuah nilai mata uang saat VOC baru berdiri di Indonesia.

Hal yang paling mengejutkan adalah toilet. Letaknya ada di sebelah kiri tangga saat memasuki museum. Melalui sebuah pintu kayu besar, kita akan memasuki area luar museum. Area yang sangat luas berupa bangunan berbentuk persegi panjang dengan halaman luas di tengahnya. Saat itu bagian ini sedang direnovasi. Tembok-tembok yang sudah dicat, dibungkus plastik. Di sana-sini ada tangga dan stagger. Toilet berada di bagian belakang bangunan. Toilet dengan wastafel dan kloset yang modern dan bersih. Rasanya tidak ada toilet museum di Indonesia yang sebagus ini. Mudah-mudahan toilet ini akan terjaga dan terawat terus seperti di hotel-hotel berbintang.

Dari Museum Bank Indonesia, kami berjalan ke arah lapangan di depan Museum Fatahillah. Di sini kami bertemu dengan Tiny sekeluarga dan teman-temannya. Memang kami sudah berjanjian sebelumnya. Kami bersama-sama memasuki Museum Wayang yang terletak di sebelah barat lapangan. Gedung ini pada zaman Belanda merupakan gedung gereja. Ada sebuah gong yang berdiri di depan lorong sebagai penanda tempat memulai wisata wayang bagi pengunjung. Patung Semar berdiri di sebelah kanan. Museum terdiri dari 2 lantai, berisi bermacam-macam wayang dari wayang kulit, wayang golek, wayang potehi, wayang jaman revolusi hingga wayang dari manca negara. Ada yang unik di lantai 2, yaitu gambar bentuk-bentuk kepala, hidung, mulut, dan bagian-bagian tubuh wayang lain beserta penjelasan tentang maknanya. Semuanya ditempel di lantai.

Selesai mengitari Museum Wayang, kami kembali ke lapangan. Ada banyak sepeda warna-warni berjejer di tepi lapangan. Beberapa sepeda digantungi topi zadoel yang biasa diidentikkan dengan pengguna sepeda onthel zaman dulu. Sepeda-sepeda ini disewakan. Salah seorang pemilik sepeda menawarkan wisata sepeda sampai ke Sunda Kelapa dan menunjukkan brosur tempat-tempat tujuan wisata. Setelah melihat-lihat brosur, akhirnya kami putuskan untuk berwisata sendiri dengan menyewa sepeda saja. Kami menyewa 3 buah sepeda untuk 4 orang : aku, Sian Ing dan Aurima yang memboncengkan Axel.

Kami mulai mengayuh ke jalan kecil di barat laut lapangan. Sebelum persimpangan menuju Jalan Kali Besar Timur, ada sebuah bangunan berwarna merah yang disebut-sebut dalam brosur sebagai Toko Merah. Di bagian atas bangunan ini nangkring dahan pohon dengan daun-daunnya. Akar gantungnya menempel pada tembok di bawahnya.

Perjalanan kami teruskan menyusuri Kali Besar. Tujuan selanjutnya adalah Jembatan Kota Intan. Sudah lama aku memendam rasa penasaran untuk mengunjunginya. Jembatan ini dulunya dapat membuka-tutup bila ada kapal yang lewat di bawahnya. Jembatan ini menghubungkan Jalan Kali Besar Barat dan Jalan Kali Besar Timur sebelum berbelok ke Jalan Tiang Bendera. Ada jembatan baru yang dibangun di sebelah utara Jembatan Kota Intan. Begitu tiba, ya ampuuunn….. sebetulnya aku sudah 3 kali melewati daerah ini sebelumnya! Aku melewati daerah ini setiap kali menuju ke Mangga Dua dengan kendaraan umum. Ini adalah tempat aku  berganti angkot tujuan Mangga Dua. Angkot berikutnya menunggu di seberang jembatan. Kalau selama ini aku hanya berjalan mencari angkot, saat ini aku lebih memperhatikan jembatan tua di sebelahnya. Jembatan Kota Intan diberi pagar dan taman. Di bagian bawah ada beberapa lampu sorot warna-warni. Pasti bagus bila dilihat pada malam hari.

Dari Jembatan Kota Intan, mengikuti petunjuk pedagang minuman dekat jembatan, kami mengayuh lagi ke arah utara menujuh Pelabuhan Sunda Kelapa. Kami menyeberangi Jalan Tiang Bendera dan memasuki jalan kecil. Wiiiihhh..... serasa berada di dunia lain. Jauh dari keramaian kota Jakarta. Tampaknya memang tidak ada kendaraan yang berkepentingan melalui jalan ini. Kami melalui kolong jalan tol, kemudian melewati bangunan-bangunan tua yang mirip gudang, sebuah rumah makan yang menggunakan bangunan besar tua berarsitektur Cina dan lagi-lagi bangunan tua yang temboknya ditumbuhi pepohonan.

Kami tiba di bekas Pelabuhan Sunda Kelapa. Ada Museum Bahari yang memanfaatkan gedung tua bekas gudang penyimpanan rempah-rempah pada zaman VOC dan pernah dipakai sebagai penyimpanan amunisi oleh tentara Jepang. Dari luar, museum terlihat berbentuk panjang dan beratap rendah. Setelah masuk, ternyata museum terdiri dari beberapa bangunan yang berhubungan dan ada halaman di bagian tengahnya. Banyak cat dinding yang terkelupas karena lembab, rangka kayu yang keropos dimakan rayap dan terali jendela yang berkarat. Dengan tiket masuk Rp 2.500,- untuk orang dewasa dan gratis untuk anak-anak, pantaslah kalau gedung ini tidak terawat. Sayang sekali. Di lantai bawah dipajang bermacam-macam perahu yang menunjukkan keperkasaan nenek moyang orang Indonesia yang berjaya di laut. Di lantai dua dipajang kekayaan laut Indonesia yang diawetkan, di antaranya ikan duyung yang berukuran lebih panjang daripada tinggi badan Axel.

Di sebelah selatan museum yang dipisahkan oleh jalan kecil,berdiri menara Syah Bandar yang sudah tidak berfungsi lagi. Bangunan masih kokoh dan tangga-tangga kayunya masih kuat. Dari atas menara, kami dapat menyaksikan kanal yang dipenuhi perahu-perahu. Di sekitarnya banyak bangunan-bangunan rumah penduduk. Kubayangkan dahulu kala, Syah Bandar Sunda Kelapa mengawasi keluar masuknya kapal-kapal pedagang ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Di arah selatan, kami melihat bekas gudang-gudang VOC yang tadi kami lewati sewaktu bersepeda. Masih ada bangunan gudang yang terpelihara di belakang bangunan-bangunan yang kami lewati tadi.

Ini adalah tempat terakhir yang kami kunjungi. Karena waktu sewa sepeda sudah habis, kami harus segera kembali ke lapangan di depan Museum Fatahillah.

Hari sudah siang, tenaga juga sudah mulai berkurang. Perjalanan wisata kota tua kami akhiri di taman ini. Suatu kali nanti kami akan kembali lagi. Masih ada banyak tempat yang belum sempat kami lihat dan masuki, di antaranya gudang VOC yang tadi terlewat, Museum Keramik dan bangunan-bangunan lain di sekitar lapangan serta situs-situs kuno lain.

ORANG FLORES P JALAN LURUS BIKIN B P ISI PERUT TERADUK-ADUK OOOO….

(Melinda)

Tidak ada jalan antar kota di Pulau Flores yang lurus, itulah kesimpulan kami setelah menjelajahi separuh pulau ini. Daratan yang dipenuhi oleh gunung, lembah dan bukit di sepanjang Pulau Flores berperan dalam membentuk jalan-jalan antar kota. Ada ratusan tikungan berbentuk tapal kuda dengan sudut yang lebih tajam dibandingkan tikungan tapal kuda di kawasan Puncak dengan kecuraman jalan yang lebih tajam. Bahkan di beberapa tempat dijumpai beberapa tapal kuda yang saling menyambung. Bayangkan pegalnya pinggang yang menyesuaikan posisi duduk di tempat-tempat demikian!

Beberapa kali kami dihibur oleh orang Flores tentang kondisi jalan. Pertama, menurut Andre, supir mobil sewaan dari Ende ke Bajawa, memang jalan antara Bajawa dan Ruteng berkelok-kelok, namun setelah itu dari Ruteng ke Labuan Bajo jalan lebih lancar karena lurus. Kenyataan yang kami jumpai, jalan lurus yang dimaksud itu berkelok-kelok juga!

Kedua, dalam perjalanan dari Bajawa ke Ruteng, bis yang kami tumpangi berhenti di Aimere. Waktu beristirahat yang bermanfaaat setelah perut dikocok-kocok selama 1 jam di jalan berkelok-kelok. Menurut penjual jeruk yang kutanyai di sana, perjalanan dari Aimere ke Ruteng lurus, tidak seperti dari Bajawa ke Aimere. Setelah kami menjalaninya, kami merasakan hal yang sama saja, berkelok-kelok! Rupanya seperti itulah jalan lurus versi orang Flores.

Bagaimanapun berkelok-keloknya, kondisi jalan di Pulau Flores jauh lebih baik dibanding beberapa belas tahun lalu. Hampir seluruh ruas jalan sudah diaspal, meski ada beberapa bagian yang rusak. Kondisi ini sangat bermanfaat bagi pengelana seperti kami, karena sangat menghemat waktu perjalanan. Dahulu, untuk pindah dari satu kota ke kota lain memerlukan waktu satu hari. Selain disebabkan kondisi jalan yang rusak penuh lubang, juga kendaraan umum yang ada tidak memadai. Bahkan, belum tentu ada kendaraan umum yang berangkat setiap hari.

Separah apapun perut dikocok oleh kelokan-kelokan jalan, selalu ada hadiah berupa pemandangan yang indah di tempat tujuan. Bahkan dalam perjalanan ke Riung, sebelum mencapai Riung kami sudah dapat melihat pemandangan pulau-pulau Taman Laut 17 pulau di balik bukit-bukit yang kami selusuri. Flores memang sangat indah…

Mabuk moke

(Melinda)

Dalam kunjungan ke Desa Adat Bena di Manggarai, di sebuah rumah ada jejeran mangkuk terbuat dari batok kelapa berikut sendoknya. Untuk minum moke, kata Ibu penghuni rumah, kemudan diralatnya sendiri : untuk makan soto. Aku penasaran dengan kata moke yang pertama kali diucapkannya. Si Ibu menjelaskan bahwa moke adalah arak yang terbuat dari air gula yang diambil dari pohon lontar. Aku jadi teringat pemandangan sabana di kiri-kanan jalan masuk SPRG Penfui belasan tahun yang lalu. Di sabana itu ada banyak pohon lontar. Beberapa kali aku melihat orang memasang wadah besar di pohon lontar. Wadah yang berbentuk sasando dan terbuat dari daun lontar. Wadah ini berfungsi untuk menampung air lontar yang manis. Beberapa kali aku minum air lontar yang baru dipanen. Manis dan segar saat diminum siang hari yang panas. Tapi moke...belum pernah. Seingatku, minuman hasil fermentasi air lontar itu disebut sopi di Kupang.

Ketika kutanyakan di mana bisa mendapatkan moke, Si Ibu menunjukkan sebuah warung di seberang rumahnya, bahkan kemudian mengantarkanku. Di bagian dalam warung ada sebuah gentong tanah liat yang berisi moke yang dijual dengan harga Rp. 10.000,- per botol bir. Aku tidak bermaksud membeli sebanyak itu, sekedar memenuhi rasa penasaran. Penjaga warung memberikanku 1 gelas.

Minuman itu berbau tape, berwarna putih. Saat diminum terasa pahit dan sedikit manis. Tidak enak, sebetulnya. Namun aku minum lebih dari setengah gelas, hanya karena merasa sayang untuk membuangnya. Tidak ada reaksi apa-apa. Setelah itu, aku masih bisa menuruni tangga-tangga batu untuk keluar dari Desa Bena menuju mobil.

Sekitar 15 menit setelah mobil berjalan, kepalaku terasa makin lama makin berat. Leherku serasa membawa bongkahan batu sehingga tidak sanggup menyangganya. Kemudian otot-otot di sekitar mata dan mulut terasa menebal, demikian juga ujung-ujung jari. Mata tak mampu melihat jarak jauh.

Sepanjang perjalanan aku memejamkan mata untuk mengurangi rasa pusing. Otakku tetap bekerja. Aku membayangkan bila reaksi moke ini makin lama akan makin parah dan menimbulkan kerusakan organ-organ vitalku. Kubayangkan jantungku terus terpacu dan aku tak sanggup menahannya dan akhirnya aku mati. Atau otakku menjadi rusak dan ingatanku hilang. Karena itu aku minta Aurima mencatat beberapa kata kunci yang muncul di kepalaku untuk mengingatkanku seandainya aku normal kembali nanti.

Satu jam kemudian, ketika kami tiba di Bajawa, kepalaku menjadi ringan dan tubuh terasa melayang. Aku tidak sanggup duduk untuk makan meski makanan sudah dipesan. Karena itu aku minta diantar ke kamar. Ujung-ujung jari dan otot wajah terasa panas dan kesemutan. Perut terasa mual.

Di kamar, aku tidak bisa tidur, tapi rasa pusing perlahan-lahan hilang. Yang tersisa hanya rasa mual. Gejala mabuk berangsur-angsur hilang. Dalam waktu 3 jam setelah minum moke, reaksi tubuhku muncul dan hilang sendiri. Cukup cepat bagiku yang baru pertama kalinya minum minuman keras. Mungkin didukung juga oleh udara Bajawa yang dingin, sehingga sebagian besar terpakai untuk menghangatkan tubuhku.

Seminggu kemudian, aku menyaksikan acara Jejak Petualang di Trans 7 yang menyiarkan kisah perjalanan reporternya ke Desa Bena berikut moke-nya. Diperlihatkan pula, saat moke yang diletakkan di mangkuk batok kelapa dengan mudahnya terbakar. Waaaahhh....

Setiap perjalanan wisata selalu ada yang istimewa. Bagiku, mabuk moke adalah pengalaman teristimewa dalam perjalanan kami di Flores tahun ini. Cukup sekali.

Yang membuatku tak habis pikir hingga saat ini adalah bagaimana orang bisa kecanduan minuman keras. Rasa tidak enak. Efeknya sama sekali tidak membuat diri nyaman. Tidak membuat hati tenang. Tidak menghilangkan beban pikiran, malah sebaliknya, pikiran menjadi kacau. Semuanya bikin kapok!

Ruteng, kota indah di pegunungan dengan 40 susteran

(Melinda)

Kami sama sekali tidak mempunyai rencana untuk singgah di Ruteng dalam perjalanan melintasi Flores. Karena pertimbangan waktu, banyak rencana yang berubah, salah satunya adalah bermalam di Ruteng dalam perjalanan dari Riung menuju Labuan Bajo.

Kami mendapat info dari Andre, supir mobil sewaan dari Ende ke Bajawa, bahwa di Ruteng kami dapat menginap di susteran, tanpa menyebutkan apa nama susterannya. Dari terminal Ruteng, kami menaiki bemo untuk mencari susteran. Kami dibawa memasuki kota Ruteng dan menyaksikan keindahannya. Di mata kami, Ruteng merupakan kota terindah dibanding kota-kota lain yang pernah kami kunjungi di Flores. Terletak di pegunungan, kota Ruteng dipenuhi bangunan-bangunan tua yang kokoh. Ada banyak gereja dan susteran dengan latar belakang bukit-bukit hijau.
 
Menurut salah seorang penumpang bemo, jumlah susteran di Ruteng ada 40. Sayangnya dia tidak mengetahui susteran yang menerima tamu untuk menginap. Syukurlah, supir bemo mengetahuinya meski pada awalnya kami tidak yakin dia telah mengantar kami ke tempat yang tepat. Kami diturunkan di biara Bunda Maria Berduka. Ternyata supir bemo itu benar. Biara itu memang biasa menerima pengelana seperti kami. Menurut salah satu suster, tidak banyak orang Ruteng yang mengetahui bahwa biara ini menyediakan tempat bagi tamu untuk menginap, namun supir-supir mobil sewaan dari luar kota umumnya mengetahuinya.

Biara Bunda Maria Berduka terletak di tepi jalan A. Yani, di bagian timur kota Ruteng. Dari jalan raya, kami harus berjalan sedikit menanjak untuk mencapai bangunan biara. Di sebelah kanan jalan masuk ada taman yang terawat dengan patung salib dan Bunda Maria sedang menangis di sudutnya.

Ada 3 bangunan di biara ini. Bangunan utama terdiri dari 2 lantai, di dalamnya ada ruang ibadah, kamar-kamar biarawati dan kamar-kamar untuk tamu menginap. Bangunan kedua juga terdiri dari 2 lantai, berisi kamar-kamar biarawati dan ruang makan tamu. Bangunan terakhir terletak di bagian belakang dan merupakan bagian paling tinggi. Bangunan ini digunakan sebagai asrama murid-murid SMA dan mahasiswi. Di antara bangunan-bangunan terdapat taman-taman yang indah dan terawat.

Kamar yang disediakan untuk menginap terletak di bagian belakang bangunan utama. Karena kontur tanah yang berbukit, bagian belakang bangunan ini merupakan bangunan berlantai 1 yang menyatu dengan lantai 2 bangunan bagian depan. Bangunan ini terdiri dari beberapa kamar dengan daya tampung bervariasi, mulai dari kamar untuk 1 dan 2 orang dengan tempat tidur terpisah hingga kamar luas dengan 1 buah tempat tidur dobel. Setiap kamar memiliki kamar mandi tersendiri dengan fasilitas air panas. Semua kamar tampak bersih, rapi dengan sirkulasi udara yang baik sehingga nyaman sebagai tempat beristirahat.

Bila kita melihat dari tempat manapun di biara ini ke arah depan, maka akan terlihat kota Ruteng yang terletak di bagian bawah dikelilingi bukit-bukit hijau. Pemandangan yang sangat indah. Rasanya tak bosan-bosannya menatap dan menikmati keindahan panoramanya. Meski tidak sama seperti kota Aigen, tempat keluarga von Trapp, keluarga penyanyi dalam film The Sound of Music, aku membayangkan tempat ini sama indahnya.

Ruteng dan biara Bunda Maria Berduka ...
Tempat yang sejuk, indah dan penuh rasa cinta...

Pengalaman terbang bersama Trans Nusa Airlines

(Melinda)

Yakinlah, ini bukan tulisan iklan. Jadi silakan terus membaca.

Kami mengenal Trans Nusa Airlines lewat internet. Maskapai penerbangan ini melayani penerbangan dari Bali ke pulau-pulau di Nusa Tenggara. Kalau melihat websitenya, tampaknya maskapai ini benar-benar membantu membuka keterisolasian wilayah Nusa Tenggara. Banyak rute penerbangan antar kota yang bahkan mungkin tidak dikenal namanya oleh banyak orang Indonesia. Lewoleba, Sabu, Tambolaka…mungkin merupakan nama-nama asing buat kebanyakan orang Indonesia. Berikut ini pengalaman kami bersama Trans Nusa.

Meskipun memiliki website, ternyata pemesanan dan pembayaran tiket tidak dapat dilakukan secara online. Jangan berharap bisa melakukan perbandingan tarif dengan penerbangan lain atau melihat ketersediaan tempat duduk pada hari-hari tertentu, karena tidak tercantum di websitenya. Menu drop on yang terpasang di websitenya hanya berfungsi sebagai papan informasi mengenai jadwal penerbangan. Untuk melakukan pemesanan tiket tetap harus melalui telepon ke kantornya di Denpasar atau Kupang atau beberapa kota lainnya. Kalau mau menghemat biaya dan punya cukup banyak waktu, bisa melalui email.

Bulan lalu, kami melakukan pemesanan tiket untuk penerbangan dari Denpasar ke Labuhan Bajo melalui email. Perlu beberapa hari untuk mendapatkan kepastian pemesanan karena kendala perbedaan waktu antara Denpasar dan Jakarta juga proses tanya jawab lewat email yang tidak selancar seperti melalui sms atau telepon.

Setelah pembukuan tiket, kami segera membayar harga tiket dan berharap akan mendapatkan e-ticket. Ternyata tidak sesederhana itu. Meskipun transaksi melalui internet banking sudah jelas-jelas berhasil, dan email jurnal transaksi sudah kami teruskan ke alamat email kantor di Denpasar, pembayaran kami belum diakui sah dengan alasan kantor di Kupang belum melihat transfer uang kami dalam print out di buku rekeningnya. Entah ada kesalahan di mana, baru satu minggu kemudian, ada kabar bahwa uang sudah mereka terima. Sebagai bukti, kami dikirimkan e-ticket yang berupa hasil scan print out tiket yang buram!

Urusan belum selesai. 3 hari sebelum keberangkatan, kami diberitahu bahwa penerbangan kami dibatalkan dan kami diberi pilihan untuk ikut penerbangan yang lebih pagi atau keesokan harinya, atau pengembalian uang. Kami tidak memilih yang terakhir dan bertekad mencari alat transportasi setiba di Denpasar saja. Pengembalian uang dijanjikan akan dilakukan pada hari Senin, sehari sebelum kami berangkat. Ternyata sampai hari Senin malam, tidak ada uang masuk ke rekening kami. Huuh… urusan dengan Transnusa ternyata belum selesai hingga saat terakhir.

Saatnya memulai liburan….

Setiba di Denpasar, ada 2 urusan. Pertama mengontak Transnusa untuk menagih janji. Setelah prosedur berbelit-belit, dipindah dari telinga yang satu ke telinga yang lain…. Kami dijanjikan akan menerima refund di rekening kami pada hari itu juga.(syukurlah, beberapa hari kemudian kami periksa di rekening kami memang kami telah menerimanya!) Urusan kedua, mencari penerbangan ke Flores. Ternyata mencari dan membanding-bandingkan penerbangan lebih mudah dilakukan di bandara dibandingkan lewat internet di rumah! Kami mendapatkan penerbangan ke Ende dengan maskapai Aviastar dengan transit di Tambolaka. Kami mendapat tempat duduk di deretan keempat.

Begitu masuk pesawat…
Astaga, ternyata ada tulisan Transnusa di bangku-bangkunya!
Waaaaa…… Kami berhubungan lagi dengan Transnusa! Rupanya Aviastar merupakan salah satu rekanan kerja Transnusa selain beberapa maskapai penerbangan lainnya.

Kami belum pernah mendengar nama Tambolaka dan cukup penasaran mengenai letaknya, karena itu kami menanyakannya pada pramugari. Ternyata mereka juga tidak tahu! Mereka hanya tahu kalau di sana ada resort. Mau tau di mana letak Tambolaka? Kami sudah mengetahuinya sekarang setelah melihat di buku Lonely Planet. Silakan cari sendiri.

Di Tambolaka, kami harus turun dari pesawat dan menunggu di ruang tunggu bandara yang kecil. Ada banyak calon penumpang lain yang sedang duduk. Kami bergabung dengan mereka . Tiba-tiba para calon penumpang berdiri dan bergerak ke arah pintu boarding. Karena kami lihat pintu belum dibuka, kami tenang-tenang saja. Tidak perlu buru-buru. Kami toh mendapat tempat duduk di depan, jadi tidak masalah bila paling akhir masuk pesawat. Kami tetap santai saat pintu dibuka dan membiarkan orang-orang berebutan keluar menuju pesawat.

Setelah kami menaiki pesawat…
Pesawat hampir penuh dan bangku-bangku di deretan keempat sudah penuh terisi. Juga bangku-bangku lainnya, kecuali bangku paling belakang. Ternyata duduknya ngacak!

Transnusa…oh…Transnusa……
Semoga makin banyak kota di Nusa Tenggara berkembang karena usahamu

TRIP KE FLORES, antara angan-angan, rencana dan perubahannya serta kejutan-kejutan

(Melinda)

Acara liburan kami tahun ini sudah diangan-angankan sejak berbulan-bulan yang lalu, namun hingga satu bulan sebelum keberangkatan belum ada rencana apa-apa, termasuk pembelian tiket perjalanan. Sudah lama kami berangan-angan pergi ke Pulau Komodo untuk melihat binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup. Kami tidak bisa memastikan tanggal keberangkatan karena Aurima memiliki acara-acara lain yang cukup padat dengan waktu yang belum pasti. Akhirnya … satu bulan sebelumnya… kami mendapatkan kepastian masih ada 13 hari tersisa di penghujung liburan sekolah.

Akibatnya, tiket dan rute penerbanganpun kami cari dalam keadaan terburu-buru. Tentu dengan harga yang sudah melambung tinggi. Hasil perburuan tiket kami adalah penerbangan dari Jakarta ke Denpasar dilanjutkan dengan penerbangan dari Denpasar ke Labuhan Bajo pada tanggal 29 Juni dan penerbangan dari Denpasar ke Jakarta pada tanggal 11 Juli. Kemudian rencana mulai disusun. Perjalanan akan dimulai dari barat (Labuhan Bajo), menyusuri Pulau Flores ke arah timur dan berakhir di Ende. Dari Ende ada penerbangan bersambung menuju Denpasar melalui Kupang, namun belum kami beli karena tidak ada kepastian kesinambungan kedua penerbangan. Lalu aku mengontak beberapa teman di Kupang agar dapat bertemu setidaknya di Bandara Eltari.

Dua hari sebelum keberangkatan, ada pembatalan penerbangan dari Denpasar ke Labuhan Bajo dari pihak maskapai penerbangan! Jadi, kembali tidak ada yang pasti dalam rencana perjalanan kami selain tanggal keberangkan dan kepulangan. Dengan berbekal tiket penerbangan dari Jakarta ke Denpasar dan angan-angan bertemu komodo, kami berangkat.

Syukurlah, begitu tiba di Denpasar kami mendapat penerbangan ke Ende yang berangkat satu jam setelah kami tiba. Karena mepet, kami harus berlari-lari di bandara agar tidak tertinggal pesawat. Huuuhh… seperti di film Home Alone! Untung tidak ada yang tertinggal.

Semua rencana berubah, rute perjalanan berubah dari timur ke barat, begitu pula rencana bertemu teman-teman di Kupang terpaksa dibatalkan. Trip kami mulai dari Ende. Jauh di luar rencana semula, pada malam pertama kami sudah berada di Moni, kota kecamatan yang berada dekat danau Kelimutu.

Secara tidak sengaja, saat kami berjalan-jalan di Moni, kami memasuki desa adat. Belum komersil, karena belum ada di buku Lonely Planet, belum pernah dijual di internet. Memang areanya kecil, tidak sedahsyat Bena, misalnya. Namun, akibatnya kami dapat melihat kehidupan desa adat yang masih asli, tanpa polesan artifisial. Di dalamnya kami menjumpai bangunan-bangunan penyembahan yang berisi rangka nenek moyang penduduk setempat dan kuburan-kuburan, berdampingan dengan rumah tinggal penduduk. Di hari-hari selanjutnya kami melihat juga di tempat-tempat lain hingga Ruteng, masyarakat biasa tinggal berdampingan dengan kuburan. Kuburan bukan merupakan hal yang menakutkan atau angker tapi bagian yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Esok harinya, ketika masih gelap, kami berangkat untuk melihat matahari terbit di kawah Gunung Kelimutu yang berupa 3 danau itu. Saat itu danau berwarna hijau tosca, hijau tua dan merah tua.

Pada hari yang sama, kami kembali ke Ende dan berwisata dalam kota. Ende adalah sebuah kota yang indah, terletak di kaki gunung yang berhadapan langsung dengan pantai. Karena terletak di kaki gunung, udaranya sejuk. Seperti umumnya kota lainnya di Flores, Enda merupakan kota yang tenang. Kami mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno. Sayang saat itu sudah siang, sehingga tidak ada penjaga yang bertugas dan rumah tidak bisa dimasuki, kecuali pekarangannya.
Selain itu, ada lagi tempat bersejarah, yaitu Taman Renungan Bung Karno. Terletak tidak jauh dari pantai, di taman ini masih ada pohon sukun yang katanya merupakan tempat Bung Karno mendapatkan ilham tentang Pancasila. Taman ini menyatu dengan Taman Tenun Ikat yang merupakan kompleks rumah adat yang berbentuk rumah panggung. Di pinggir pantai ada tugu peringatan gempat tahun 1992 berbentuk tiang yang patah sehingga bagian atasnya bergeser.

Esok harinya, dengan mengendarai mobil sewaan kami menuju Bajawa. Di perjalanan, kami berhenti di Puskesmas Kecamatan Nangaroro untuk bertemu dengan Amanda, alumni SPRG Kupang tahun 90-an. Senang rasanya bertemu dengan mantan murid yang terlihat sangat matang sekarang dibandingkan belasan tahun yang lalu.

Menggunakan mobil sewaan ternyata menghemat waktu satu hari, karena wisata di sekitar kota Bajawa dapat dilakukan pada hari yang sama. Sebelum tiba di Bajawa, kami berhenti di Pantai Batu Hijau. Dinamakan demikian karena pantai ini dipenuhi batu-batu berwarna hijau.

Kemudian berhenti juga di Mataloko. Di sini ada bangunan-banguan gereja, sekolah, dan rumah retret yang didirikan oleh misionaris. Tempat yang indah dan sejuk dengan bangunan-bangunan berarsitektur menawan dengan latar belakang bukit-bukit hijau. Sungguh tempat retret yang menenangkan jiwa.

Selain itu, kami juga mampir di Bena, sebuah desa adat dengan bangunan-bangunan penyembahan dan kuburan yang unik berupa batu-batu tinggi berujung lancip yang dikelilingi oleh rumah-rumah kayu yang beratap ilalang yang didirikan di atas batu.

Setelah check-in di Bajawa dan beristirahat sebentar, menjelang sore kami pergi ke tempat pemandian air panas Mengenruda di Soa, di sebelah utara Bajawa. Udara di Bajawa sangat dingin, bahkan pada ketika kami tiba sekitar pukul 2 siang, karena itu mandi di sumber air panas membuat tubuh kami lebih hangat.

Setelah menginap semalam di Bajawa, kami melanjutkan perjalanan ke Riung dengan mengendarai bis umum. Di Riung kami menginap 2 mlam karena memerlukan satu hari untuk berwisata di Taman Laut 17 Pulau. Taman laut ini nyaris tidak tersentuh peradaban manusia, masih sedikit wisatawan yang mengunjunginya. Didukung pula dengan jalan sempit, turun naik dan berkelok-kelok untuk mencapai kota kecamatan ini.

Saat menunggu bis yang akan membawa kami meninggalkan Riung, ada seorang ibu memanggil namaku…. Ternyata Aurelia, alumni SPRG Kupang lagi! Wah, benar-benar tidak terduga! Di tempat terpencil ini bisa bertemu kenalan. Ada waktu cukup lama untuk bertukar cerita setelah belasan tahun tidak bertemu.

Dari Riung, kami melakukan perjalanan panjang penuh kelok dan turun naik ke Ruteng. Di Ruteng, kami sempat berkeliling kota dengan bemo sebelum diturunkan di biara Bunda Maria Menangis, tempat kami menginap. Seperti Bajawa, Ruteng juga berada di dataran tinggi. Ada banyak gereja dan biara di ruteng dengan bentuk bangunan yang bagus-bagus.

Kami menginap satu malam di Ruteng sebelum melanjutkan perjalanan ke Labuhan Bajo dengan travel. Hari pertama di Labuhan Bajo kami menyelam di perairan Pulau Komodo. Esok harinya kami mengambil wisata dengan kapal selama 4 hari 3 malam sekaligus menyusuri jalan pulang ke arah barat. Perjalanan wisata ini meliputi snorkeling di Pantai Merah, Pulau kelor, trekking di Pulau Rinca dan Pulau Komodo, menyaksikan kelelawar terbang pada malam hari dan mancing di perairan Pulau Komodo, mandi di air terjun di Pulau Moyo, melihat danau air asin di Pulau Satonda dan berakhir di Labuhan Lombok yang terletak di Lombok Timur ditambah perjalanan dengan mobil sampai Senggigi.

Malam terakhir cuti kami adalah menginap di Senggigi sebelum esok harinya naik kapal (lagi!) menuju Bali dan terbang menuju Jakarta pada malam harinya.

Liburan telah usai. Banyak tempat menarik dan peristiwa berkesan yang kami lewati. Besok Aurima sudah kembali masuk sekolah.

ITINERARI FLORES 29 Juni - 11 Juli 2010

Selasa, 29 Juni 2010
- Perjalanan dimulai dari Jakarta (0635) ke Denpasar, langsung cari tiket ke Flores. Dapat tujuan Ende, beberapa menit lagi boarding.
- Menuju Ende via Tambolaka. Dari Ende langsung ke Moni, tiba pukul 16.00. Setelah mencari dan menyewa kendaraan untuk Kelimutu, sempat berjalan-jalan ke desa adat di Moni.

Rabu, 30 Juni 2010
- Pukul 04.30 menuju Kelimutu dengan Kijang sewaan, setelah treeking pukul 05.30 tiba di puncak pandang Kelimutu untuk melihat 3 kawah atau danau tiga warna. Minum kopi dan makan2 kecil di atas, motret2 sampai habis batere, turun pukul 07.00 menuju Moni lagi.

- Pukul 10.00 dari Moni langsung menuju Ende kembali dan menginap satu malam sebelum menuju Bajawa. Sore hari di Ende, menghabiskan waktu jalan2 ke museum2 Pengasingan Soekarno, taman perenungan Soekarno, Museum Rumah Adat, dan Museum Bahari. Ada 4 objek wisata sejarah di sekitar situ yang semuanya cukup ditempuh dengan berjalan kaki dari hotel. Ada patung Soekarno dengan ukuran tidak proporsional di taman tersebut – terlalu kurus dan jangkung.
- Setelah sedikit kesal dan ribut dengan dua tamu hotel yang ngobrol2 dengan suara keras hingga larut malam, akhirnya bisa tidur juga. Pagi pukul 08.00 menuju Bajawa dengan mobil sewaan.

Kamis, 1 Juli 2010
- Andre, sopir kami, membawa kami dapat singgah di beberapa tempat. Pertama stop di pantai merah, sekitar 25 km dari Ende. Kemudian masih sempat stop sebentar di Puskesmas kecamatan untuk bertemu dengan teman lama yang menjadi perawat gigi di sana, baru stop di Seminari dan rumat Retret di dekat Bajawa. Sempat ngobrol sebentar dengan Romo Patris, SVD yang baru saja kami kenal.
- Waktu baru pukul 12.00, langsung ke desa adat Bena. Desa adat ini cukup luas dan masih tradisional; rumah2nya masih beratap rumbia. Cukup lama motret2 di sini, bahkan sempat mabuk karena baru pertama kali mencoba minum sopi. Minumnya di Bena, mabuknya di Bajawa, sekitar 30 menit kemudian.
- Sore pukul 17.00, sempat mandi2 di kolam air panas alam di dekat Bajawa. Segar betuuu...ll.

Jumat, 2 Juli 2010
- Siang pukul 13.00 menuju Riung dengan bis. Tiba pukul 17.30, cuma bisa cari makan dan tidur.

Sabtu, 3 Juli 2010
- Pagi2 pukul 06.00 ke pelabuhan cari2 boat untuk pesiar ke Pulau 17. Pukul 08.00, setelah sarapan dan menyiapkan bekal makan siang, menuju Pulau 17 di Riung dengan boat. Main2 air dan snorkeling sampai puas, cape, dan gosong, pukul 14.30 kembali ke darat.

Minggu, 4 Juli 2010
- Pukul 07.00 menuju Ruteng via Bajawa. Sebelum naik bis sempat ketemu teman lama lagi – tak terduga – yang menjadi perawat gigi di Riung. Bis penuh sesak. Perjalanan panjang dan jauh, tiba di Ruteng pukul 17.00, untung dapat kamar nyaman dan bersih di Susteran Maria Berdukacita.

Senin, 5 Juli 2010
- Pukul 11.00 (padahal sudah siap sejak pukul 07.00) menuju Labuanbajo dengan travel. Tiba di Labuanbajo pukul 15.00, masih bisa cari2 agen jalan2 dan diving, dan menetapkan pilihan cara sampai di Lombok atau Bali.

Selasa, 6 Juli 2010
- Ga jelas antara diving, kursus ulangan, atau jaga kapal. Pokoknya Bajo Dive Center tidak memberi kesan baik sepanjang hari itu.

Rabu, 7 Juli 2010
- Mulai perjalanan pukul 09.45 menuju Lombok dengan kapal kayu. Pak Mamang adalah komandannya, dibantu 3 kru dan 1 siswa latihan dari sekolah wisata. Persinggahan pertama di pulau Rinca, trekking 2 jam lebih, ketemu 6-7 komodo. Cukup puas deh, capenya juga mantap. Rinca panas banget, tapi trekking menyenangkan. Sebelum meninggalkan pelabuhan Rinca, melihat dua perahu milik orang Bajo.
- Terus berenang2 di atas taman laut di Pulau Kelor, tidak jauh dari Rinca, lumayan indah tapi sayang ga sempat motret2. Malamnya tidur di atas kapal ini di dekat pulau Kalong, masih di kawasan Pulau Komodo, ada banyak kalong senja dan menjelang fajar.
- Sempat mancing2 beberapa ikan dulu sebelum tidur. Ikan2nya kecil2, tetapi lumayan untuk menambah menu sarapan besok.
- Malam pertama di kapal kayu; supaya ga rugi, bisa mimpi seram dikejar2 drakula di sini.

Kamis, 8 Juli 2010
- Pagi2 setelah sarapan nasi goreng plus ikan2 goreng tadi malam, kapal kayu berlayar lagi menuju Pulau Komodo. Di pulau ini, trekking 1 jam saja, dan cuma ketemu 1 komodo lamayan besar. Burung2 memang banyak, tetapi hewan lain ga ada. Bagaimana pun puaslah hati, karena sudah tiba di Pulau Komodo dan melihat komodo2 sejak kemarin.
- Kemudian menuju Pantai Merah (Pink Beach), taman lautnya indah sekali. Kali ini sempat memotret lho.
- Siang mandi2 lagi di pantai bertaman laut, tetapi tidak sebagus Pantai Merah. Pak Samsudin (kru kapal) sempat mengambil cumi besar untuk makan siang.

Jumat, 9 Juli 2010
- Setelah sepanjang sore dan malam kapal layar berlayar terus tak henti, pagi2 tiba di Pantai Satonda, melihat dan mandi2 sedikit dengan takut di danau air asin. Buru2 pergi aja.
- Menuju air terjun air tawar, 3 jam perlayaran. Tiba pukul 13.00, mandi sepuas2nya dengan air tawar gratis, walaupun berjalan cukup jauh dari pantai ke tempat ini pergi-balik.
- Kru kapal juga menyempatkan diri untuk mencuci pakaian, mandi, dan mengambil air bersih untuk keperluan di kapal.
- Dari tempat ini, kapal berkayar terus menuju Lombok. Tiba di darmaga Lombok Timur pukul 21.00, tidur dulu di kapal malam ke-3 ini, karena jemputan baru datang besok pagi.

Sabtu, 10 Juli 2010
- Pukul 08.00 datang jemputan dan membawa kami ke Senggigi. Tidur satu malam lagi. Ini malam terakhir perjalanan, dapat kamar nyaman tetapi makanan ga mantap.
- Di Lombok cuma untuk mencari transportasi ke Denpasar dan istirahat dengan mandi sepuas2nya setelah 72 jam irit air di kapal kayu.

Minggu, 11 Juli 2010
- Pagi pukul 09.00 kembali Denpasar dengan kapal kayu (kali ini dengan ukuran besar dan cukup mewah) menuju Pandang Bay, kemudian lanjut dengan bis menuju Bandara Ngurah Rai via Ubud dan Sanur.
- Tiba Jakarta pukul 22.15. Badan lelah, tetapi hati senang dan puas.
- Kesampaian juga akhirnya melihat komodo di habitat aslinya: Rinca dan Komodo.

Tahun depan kira2 ke mana lagi ya ...?

Ke Prambanan dengan transjogja

Candi Prambanan hampir selalu menjadi tempat tujuan wisata kami saat berada di Yogya, baik untuk berkeliling di area candi maupun untuk menyaksikan sendratari Ramayana. Selalu ada yang menarik dalam setiap kunjungan kami ke Candi Prambanan. Begitu pula saat aku, Aurima dan Febe, sepupunya berwisata ke Yogya di akhir bulan April yang lalau. Ada 2 hal yang menarik dan unik dalam kunjungan kami saat itu.



Pertama, kendaraan. Kami mencapai lokasi Candi Prambanan dengan bus Trans Jogja. Seperti Trans Jakarta, Trans Jogja memiliki halte khusus karena pintu bis yang letaknya tinggi. Bedanya, Trans Jogja tidak memiliki jalur khusus yang menyita badan jalan dan ukuran bisa tidak sebesar Trans Jakarta. Ada beberapa trayek Trans Jogja, di antaranya melalui Malioboro sehingga memudahkan wisatawan seperti kami untuk bepergian.

Dari Malioboro, tempat kami menginap ada trayek Trans Jogja langsung menuju terminal Prambanan. Kami berangkat pagi hari setelah lewat waktu orang berangkat bekerja, sehingga bis cukup longgar. Kami dapat duduk nyaman dan merasakan udara sejuk AC. Perjalanan hanya memakan waktu 30 menit. 

Di terminal Prambanan, begitu turun dari bis ada banyak tukang becak dan andong menawarkan angkutan sampai pintu loket Candi Prambanan. Aku langsung membandingkan suasana terminal Prambanan dengan suasana terminal bayangan di Tangerang yang dipenuhi tukang-tukang ojeg yang memperebutkan penumpang. Batinku, pasti mereka bohong dengan menyebutkan lokasi Candi masih 3 km lagi dengan tujuan membuat kami menggunakan jasa mereka. Jadi aku mengajak Aurima dan Febe berjalan terus tanpa mengacuhkan rayuan tukang becak dan andong. Sekitar 300 meter berjalan, ada tukang andong yang menyusul kami. Cuaca saat itu yang panas dan wajah memelas Aurima dan Febe meluluhkan hatiku untuk memercayai kata-kata tukang andong, jadi kuputuskan untuk menaiki andong. Untunglah …. ternyata memang benar, jarak antara terminal dengan lokasi candi memang jauh, meski tidak sampai 3 km. Naik andong membuat perjalanan kami menuju Candi Prambanan terasa nyaman.

Masih soal kendaraan. Sesampainya di loket Candi Prambanan, aku mendapat info bahwa ada tiket sambungan ke Isatana Ratu Boko berikut kendaraan yang mengantar dan menjemput. Harga yang harus dibayar hanya harga tiket masuk Istana Ratu Boko. Mumpung sudah sampai Yogya, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Sebetulnya ada juga bis wira-wiri dari Candi Prambanan ke Candi Sewu yang disediakan juga, tapi tidak kami manfaatkan saat itu. Trip ke Candi Boko kami ikuti setelah puas mengelilingi arena Candi Prambanan. Kendaraan yang mengantar kami ke Istana  Ratu Boko adalah sebuah minibus. Dari Istana, kami tidak kembali lagi ke Candi Prambanan, tapi langsung diantar ke Terminal Prambanan. Dari terminal, ada bus Trans Jogja langsung ke Malioboro. Inilah pengalaman pertamaku berwisata ke Prambanan dengan kendaraan umum yang murah meriah. Jauh lebih murah dibanding menggunakan jasa agen wisata yang banyak dijumpai di kota Yogyakarta.

Hal menarik kedua, tentu tentang Candi Prambanan dan Istana Ratu Boko itu sendiri.

Ada yang berbeda pada Candi Prambanan. Pada gempa tahun 2006, Candi Prambanan mengalami banyak kerusakan. Meski sudah direnovasi, masih banyak bekas-bekas kerusakan yang terlihat. Yang  
menonjol adalah pagar yang mengelilingi Candi Brahma, candi terbesar. Rupanya kerusakan yang menimpa candi ini cukup berat, sehingga dibuat larangan untuk memasukinya demi menjaga keutuhannya. Selain itu, adabagian puncak Candi Siwa yang masih tergeletak di bawah. Masih tampak batu-batu candi yang berserakan di sekitar kawasan ketiga candi besar, namun aku tidak dapat membedakan antara yang berserakan sejak sebelum gempa dan yang berserakan akibat gempa. Seberantakan apapun, di mataku Prambanan masih mempesona! Lihatlah foto di samping ini, Candi Siwa dengan latar belakan Gunung Merapi yang mengeluarkan asap. Tidak perlu foto-foto Prambanan dari sudut lain karena mudah menemukannya dengan googling. Dari sudut manapun, Prambanan selalu mempesona!


Berbeda dengan Prambanan yang lebih dahulu ditemukan sehingga sudah jelas bentuknya sebagai tampat penyembahan, Istana Ratu Boko yang relatif baru ditemukan masih tampak seperti lapangan luas dengan tumpukan dan serakan batu-batu tua. Sesuai dengan namanya, Istana Ratu Boko adalah tempat tinggal.


Dibandingkan 13 tahun yang lalu, bekas istana yang telah berhasil diungkap dan disusun ulang sudah jauh lebih luas. Ditambah dengan papan-papan petunjuk yang dipasang di tiap bangungan, kami dapat membayangkan luasnya istana itu pada jaman dahulu. Bangunan yang paling jelas adalah gerbang istana yang terdiri dari 2 gapura. Gapura bagian depan memiliki 3 pintu sedangkan yang di sebelah dalam memiliki 5 pintu. 


Di balik gerbang tampak tanah lapang yang luas  dengan latar belakang pemandangan yang indah. Di tempat ini kami melihat pasangan calon pengantin yang sedang membuat foto pra pernikahan.. Di sebelah kiri ada bangunan agak tinggi yang merupakan candi pembakaran. Saat kami mendekati candi pembakaran, ada bekas bangunan yang disebut candi putih. Agak jauh di belakang bangunan candi pembakaran, ada kolam. Di tengah merupakan tanah lapang yang luas. Sementara di sebelah kanan ada beberapa bangunan yang “lebih berbentuk”, yaitu 2 buah paseban tempat tamu menunggu, beberapa candi dan bangunan keputren. Pemandangan indah di sekitar istana dengan figur gunung Merapi di kejauhan serta udara yang sejuk membuat tempat ini sangat nyaman untuk menyepi sejenak dari keriuhan hidup setiap hari. 




Satu lagi nilai tambah Prambanan di mata kami…

Melinda