COBAIN NASI JAGUNG? MANTA . . . AF

Asyiknya kalau bertugas atau pelayanan ke luar kota adalah sekalian memburu makanan langka dan khas. Pekan lalu, Senin 23 – Selasa 24 Maret 2010, saya mendampingi Tim Betlehem (ini semacam pokja GKI Surya Utama yang tugasnya menyalurkan bantuan sosial gerejawi ke daerah-daerah) mengunjungi GKJ Ngadirejo Papantan Jamus. Kami semua berempat, naik mobil gereja, nyopir bergantian, via Pantura, lama sekali perjalanan sekitar 12 jam.
Setiba di kota kecamatan Ngadirejo, 20 km dari Temanggung, kami disuguhi kopi, kue2 basah, dan makan malam. Ada ikan goreng, sayur, pokoknya seru. Makan sambil bercerita dan kongkow2 tentang kondisi desa Jamus, yang penghasilan utama masyarakatnya berasal dari pertanian tembakau, akhir menyerempet ke soal kuliner. Dari makanan “seadanya”, sampai menyinggung juga soal nasi jagung.
Penasaran tentang apa itu nasi jagung, maklum orang kota, tuan rumah menghidangkan kami nasi jagung. Jadi sebelum kami kembali ke Jakart, Selasa pagi itu kami sudah dua kali sarapan. Sarapan pertama makan nasi biasa, sarapan kedua – selang 2 jam kemudian – nasi jagung dengan bumbu sambel-kelapa.
Pengalaman menarik dan unik. Nasi jagung yang langka dapat kami nikmati di tengah kelelahan perjalanan. Sambutan tuan rumah, Pdt Adi dan istri, yang tulus, menjadi kesan yang mendalam bagi kami. (Rasid Rachman)

Trinity, The Naked Traveler

Posting ini tertinggal sewaktu bedol blogku ke blog ini beberapa waktu yang lalu. Jadi ditulis ulang. Ditulis pada 22 Januari 2009


Buku ini kutemukan menyempil di antara buku roman dewasa di TB Gramedia Summarecon Mal Serpong. Mungkin ada calon pembeli yang batal membeli dan meletakkannya secara asal di rak. Buku itu sudah tidak ada kemasannya, dan sampul depannya sudah agak lecek. Tertarik pada judulnya, aku segera membuka dan membaca sepintas. Kelihatan menarik, karena itu aku membelinya.

Dalam beberapa hari, buku ini selesai kubaca. Ada beberapa perasaan yang muncul setelah membaca buku ini. Pertama aku merasa sangat menyesal membeli buku ini! Menyesal, karena buku ini membuatku ingin cuti lagi, ingin traveling lagi. Padahal baru sebulan yang lalu aku mengambil cuti. Begitu pandainya Trinity mengungkapkan peristiwa dan perasaan yang dialaminya selama traveling, sehingga menggodaku untuk mengalaminya juga.

Kedua, aku merasa iri pada Trinity. Dia sudah mengunjungi semua provinsi di Indonesia dan 33 negara! Dia punya keberanian untuk berkelana mungkin sejak masih mahasiswa atau bahkan sebelumnya, sehingga setiap kesempatan yang ada akan digunakan untuk berkelana. Dari segi "U", mungkin dia lebih muda sedikit dibandingkan diriku. Tapi dia memasuki dunia traveling jauh sebelum aku memulainya karena itu keberaniannya terus terasah.

Ketiga, aku merasa kagum dengan kenekadannya. Keberaniannya untuk melakukan langkah pertama dalam setiap petualangannya telah membawanya ke dunia yang sangat menarik dan membuatnya menikmati langkah-langkah selanjutnya.

Keempat, selama aku membaca buku ini berkali-kali aku tak bisa menahan tawa dan beberapa kali terpaksa menahan tawa yang mau tumpah gara-gara si Dudi ada di ruangan yang sama (bisa-bisa aku digiring ke RSJ Grogol sama dia....) Cara bertutur Trinity di buku ini memang apa adanya, jadi ungkapan-ungkapan yang tercetus seringkali membuatku tertawa terbahak-bahak.

Kelima, keenam, ketujuh.... tak terungkapkan dalam kata-kata. Bukumu memang keren, Trinity! Barusan kulihat di blog-mu, ternyata baru beberapa hari yang lalu kamu jalan-jalan ke Labuan Bajo - Pulau Komodo ya.... wah...kapan giliranku ya?

Melinda

LAKSA CIBINONG ASLI

Rasanya, semua laksa Cibinong asli. Namun tidak semua klaim laksa Cibinong asli berasa “asli”. Hal tersebut baru terbukti apabila kita menikmati laksa Cibinong (kembali) di tempat aslinya.
Sejak dibangunnya jalan TOL Jagorawi, tahun 1977 Jakarta-Cibinong, kemudian 2 tahun kemudian Jakarta-Bogor – jalur Cibinong tidak lagi sering dilewati oleh orang-orang yang bepergian ke Bogor, Sukabumi, atau Bandung. Demikian dengan saya. Jalur tersebut semakin asing. Otomatis, makanan khas Cibinong, laksa ayam, juga menjadi asing. Saya bayangkan, mereka yang lahir atau baru menjadi warga Jakarta setelah tahun 1977, dan tidak pernah tahu adanya laksa di Cibinong, tidak mengenal sama sekali laksa tersebut, kecuali menikmatinya di tempat-tempat “alternatif”.
Memang untungnya, beberapa tempat membuka kedai laksa Cibinong dengan embel-embel “asli” di plang namanya. Sesekali untuk mengobati rindu laksa, kedai-kedai yang terdapat di rest area TOL Jagorawi, atau di Jakarta, dan Bogor, bisa menjadi alternatif. Seiring perjalanan waktu yang semakin lama tidak mampir dan makan langsung di tempat lama, tanpa terasa rasa laksa di Cibinong terhilang di dalam syaraf selera (= mungkin ada ya?) di lidah. Yang kini ada adalah, makan laksa di mana pun di luar Cibinong, sama saja rasanya.
Tadi siang, setelah menghadiri permberkatan nikah rekan di Gereja Kristus Cibinong, para Guru Sekolah Minggu GKI Surya Utama mampir di rumah makan laksa. Tempatnya masih di tempat lama, yakni jalan raya Bogor, pas di pertigaan Cibinong di ujung terdepan fly over Cibinong dari arah Bogor. Rumah makan itu tetap menyajikan menu lama, semisal sotomi babat, asinan, dsb.
Pada waktu makan, barulah rasa khas dan asli laksa Cibinong muncul kembali menyentuh syaraf selera lidah yang lama terhapus. Bihun dengan kuah kuning yang dicampur dengan irisan ayam dan telur rebus, dibubuhi kembang kemangi dan bawang goreng serta dapat dimakan dengan ketupat langsung saya santap begitu tiba di meja. Tidak terlalu manis, hangat, kuahnya tidak encer tidak kental, dengan porsi sedang, dan pokoknya siiip...lah. Kalau sudah duduk dan makan begini, rasa penat dan bosan karena kemacetan Cibinong yang luar biasa dapat dimaklumi. ° (Rasid Rachman)

KE MAKAM DAN TANAH KAKEK

Sekonyong-konyong pagi itu di Bogor, kami bertiga berkeinginan melihat Ciluar, sekitar 5 kilometer dari kota Bogor ke Utara, arah ke Jakarta lewat jalan raya Bogor. Jalan tersebut sangat familiar bagi kami sebelum dibangunnya jalan TOL Jagorawi. Setelah ada jalan TOL, beberapa kali saya sempat melintasi jalan raya Bogor dengan mengendarai motor. Itu sekitar tahun 1982-1984, waktu SMA. Sejak itu, jalan raya Bogor menjadi jalan asing bagi saya – sesekali pernah juga melintasnya sepotong-sepotong. Minggu kemarin itu, dari Bogor, menempuh jalan TOL Jagorawi dan sambung TOL lingkar luar Sentul-Bogor, kami masuk jalan raya Bogor menuju Ciluar. Maka mulailah acara jalan-jalan kami di hari terakhir cuti ini.
Saya hanya ingat dua jalan masuk – memang sejak dulu hanya ada itu. Jalan masuk pertama adalah dari Kedunghalang, patokannya Pabrik Tapioka, terus ke kiri menuju Perumahan TNI. Turun di situ, lantas masuk jalan setapak. Jalan itu adalah jalan masuk jika kami memakamkan keluarga dari Jakarta. Terakhir saya ke situ pada tahun 1983, ketika memakamkan nenek kami.

Saya mencoba jalan tersebut lebih dahulu. Namun bentuk jalan dan posisi bangunan yang banyak berubah, disertai dengan daya ingat yang agak menurun setelah hampir 28 tahun tidak ke sana, membuat saya keder juga. Berhenti di tempat perkiraan, tanya kiri-kanan di mulut jalan setapak, betul kata penduduk: “Jalan ini menuju kebun singkong yang ada beberapa makam di dalamnya.” Tetapi jalan terbaik adalah dari Ciluar, lewat Yayasan Dharmais. Itu adalah jalan yang paling sering saya lewati zaman dahulu kala.
Jalan itu adalah jalan keluarga kami. Sejak rumah pertama di mulut gang adalah rumah Saudara2 sepupu ibu saya. Ada 3 rumah berderet (itu rumah lama, kini sudah ada “sisipan” beberapa rumah baru), semuanya adalah sepupu ibu. Kami masuk ke jalan itu, terus masuk melewati bekas pabik karet, bekas kebun karet yang sudah menjadi fasilitas sosial. Rumah-rumah baru sudah banyak berdiri, sehingga kini lebih mirip kampung ketimbang udik – kata orangtua zaman dulu.
Jalan makin sempit, namun beraspal halus. Terakhir saya ke sana, hanya ada jalan berbatu kali yang tajam-tajam. Kami stop ketika ada jembatan kecil di depan kami. Bukan ukuran jembatan yang membuat saya kuatir tidak bisa melewati jembatan dengan mobil, melainkan kekuatan jembatan tersebut. Mobil saya parkir di depan jembatan, kemudian kami melanjutkan perjalanan.
Tanya sana-sini. “Saya mencari kebun singkong yang ada makam Babah Gemuk” – begitu julukan kakek waktu itu. Ia meninggal tahun 1976, pada usia 86 tahun.
Perjalanannya sendiri mengasyikkan. Sudah lama tidak berjalan di pedesaan, mengingatkan masa kemping dahulu. Bagi Aurima, ini juga berkesan karena jalan tidak dijumpainya di tempat tinggalnya. Udara bersih. Masih banyak pepohonan. Tidak dingin, tetapi segar. Penduduknya tetap ramah sekalipun sudah banyak pendatang di tempat itu.
Kurang lebih 40 menit berjalan dan tanya-tanya penduduk, akhir tiba juga kami di dekat makam dan tanah kakek. Areal tanah seluas 4000-5000 meter² – saya tidak tahu secara pasti – konon dibeli kakek hanya karena petuah ayahnya: buyut eyang saya. “Tanah ini bagus bagi keturunanmu, belilah untuk makam keluarga.” Maka kakek membeli tanah tersebut. Ia tanami dengan singkong – dikelola oleh penduduk udik situ. Beberapa paman dan bibi dimakamkan di situ. Pertama saya ke sana, adalah ketika memakamkan bibi tertua ibu saya, tahun 1971. Namun sebelumnya sudah ada makam paman dan bibi yang belum sempat saya kenal di situ. Kemudian kakek dimakamkan tahun 1976, bibi ketiga 1982, dan nenek 1983.
Hanya, kini makam-makam itu tidak terlihat. Tanaman singkong, ilalang, dan tanaman lain menutupinya. Oleh karena perlengkapan penjelajahan kami yang tidak siap untuk jalan miring dan agak basah karena hujan, saya urung menerobos perkebunan untuk melihat langsung. Tubuh pun agak lelah kehausan dan kepanasan, kecuali semangat yang masih kuat. Jadi cukuplah kami memandang dari jauh dan memotret lokasi kira-kira makam kakek dan nenek; pohon bambu menutupinya.
Dua kali saya pernah berkemah di sini dengan Pramuka, tahun 1979 dan 1981. Waktu itu belum ada rumah-rumah dan kontrakan. Kini, di seberang atas dan sejauh mata memandang ke seberang sungai, banyak bangunan berdiri. Hanya tanah kakek saja yang masih berupa kebun tanpa bangunan – mungkin karena masih ada urus, menurut keterangan penduduk di sana. Tidak lama kami di sana, kemudian kembali ke tempat mobil diparkir tadi.
Sebelum ke luar ke jalan raya, kami mampir dulu ke rumah famili – katanya. Ada warung di depannya, kami minum. Saya menyempatkan waktu bercakap dengan seseorang yang saya duga adalah sepupu jauh. Beberapa info yang dia sampaikan cocok dengan yang saya ketahui sejak kecil, semisal: nama bibi-bibi, paman, dan kakeknya, dsb. Kakek mereka “seharusnya” adalah adik bungsu dari kakek kami. Namun keterangan cucu itu, nama marga kakeknya berbeda dengan kakek kami. “Koq bisa begitu?” Entahlah, tokh kami tidak bertujuan mencari saudara di situ. Kami hanya puas telah jalan-jalan hari itu, dan berhasil mengunjungi tempat di mana leluhur kami dimakamkan. Hingga kini, tanah tersebut belum terjual. ° (Rasid Rachman)