KE MAKAM DAN TANAH KAKEK

Sekonyong-konyong pagi itu di Bogor, kami bertiga berkeinginan melihat Ciluar, sekitar 5 kilometer dari kota Bogor ke Utara, arah ke Jakarta lewat jalan raya Bogor. Jalan tersebut sangat familiar bagi kami sebelum dibangunnya jalan TOL Jagorawi. Setelah ada jalan TOL, beberapa kali saya sempat melintasi jalan raya Bogor dengan mengendarai motor. Itu sekitar tahun 1982-1984, waktu SMA. Sejak itu, jalan raya Bogor menjadi jalan asing bagi saya – sesekali pernah juga melintasnya sepotong-sepotong. Minggu kemarin itu, dari Bogor, menempuh jalan TOL Jagorawi dan sambung TOL lingkar luar Sentul-Bogor, kami masuk jalan raya Bogor menuju Ciluar. Maka mulailah acara jalan-jalan kami di hari terakhir cuti ini.
Saya hanya ingat dua jalan masuk – memang sejak dulu hanya ada itu. Jalan masuk pertama adalah dari Kedunghalang, patokannya Pabrik Tapioka, terus ke kiri menuju Perumahan TNI. Turun di situ, lantas masuk jalan setapak. Jalan itu adalah jalan masuk jika kami memakamkan keluarga dari Jakarta. Terakhir saya ke situ pada tahun 1983, ketika memakamkan nenek kami.

Saya mencoba jalan tersebut lebih dahulu. Namun bentuk jalan dan posisi bangunan yang banyak berubah, disertai dengan daya ingat yang agak menurun setelah hampir 28 tahun tidak ke sana, membuat saya keder juga. Berhenti di tempat perkiraan, tanya kiri-kanan di mulut jalan setapak, betul kata penduduk: “Jalan ini menuju kebun singkong yang ada beberapa makam di dalamnya.” Tetapi jalan terbaik adalah dari Ciluar, lewat Yayasan Dharmais. Itu adalah jalan yang paling sering saya lewati zaman dahulu kala.
Jalan itu adalah jalan keluarga kami. Sejak rumah pertama di mulut gang adalah rumah Saudara2 sepupu ibu saya. Ada 3 rumah berderet (itu rumah lama, kini sudah ada “sisipan” beberapa rumah baru), semuanya adalah sepupu ibu. Kami masuk ke jalan itu, terus masuk melewati bekas pabik karet, bekas kebun karet yang sudah menjadi fasilitas sosial. Rumah-rumah baru sudah banyak berdiri, sehingga kini lebih mirip kampung ketimbang udik – kata orangtua zaman dulu.
Jalan makin sempit, namun beraspal halus. Terakhir saya ke sana, hanya ada jalan berbatu kali yang tajam-tajam. Kami stop ketika ada jembatan kecil di depan kami. Bukan ukuran jembatan yang membuat saya kuatir tidak bisa melewati jembatan dengan mobil, melainkan kekuatan jembatan tersebut. Mobil saya parkir di depan jembatan, kemudian kami melanjutkan perjalanan.
Tanya sana-sini. “Saya mencari kebun singkong yang ada makam Babah Gemuk” – begitu julukan kakek waktu itu. Ia meninggal tahun 1976, pada usia 86 tahun.
Perjalanannya sendiri mengasyikkan. Sudah lama tidak berjalan di pedesaan, mengingatkan masa kemping dahulu. Bagi Aurima, ini juga berkesan karena jalan tidak dijumpainya di tempat tinggalnya. Udara bersih. Masih banyak pepohonan. Tidak dingin, tetapi segar. Penduduknya tetap ramah sekalipun sudah banyak pendatang di tempat itu.
Kurang lebih 40 menit berjalan dan tanya-tanya penduduk, akhir tiba juga kami di dekat makam dan tanah kakek. Areal tanah seluas 4000-5000 meter² – saya tidak tahu secara pasti – konon dibeli kakek hanya karena petuah ayahnya: buyut eyang saya. “Tanah ini bagus bagi keturunanmu, belilah untuk makam keluarga.” Maka kakek membeli tanah tersebut. Ia tanami dengan singkong – dikelola oleh penduduk udik situ. Beberapa paman dan bibi dimakamkan di situ. Pertama saya ke sana, adalah ketika memakamkan bibi tertua ibu saya, tahun 1971. Namun sebelumnya sudah ada makam paman dan bibi yang belum sempat saya kenal di situ. Kemudian kakek dimakamkan tahun 1976, bibi ketiga 1982, dan nenek 1983.
Hanya, kini makam-makam itu tidak terlihat. Tanaman singkong, ilalang, dan tanaman lain menutupinya. Oleh karena perlengkapan penjelajahan kami yang tidak siap untuk jalan miring dan agak basah karena hujan, saya urung menerobos perkebunan untuk melihat langsung. Tubuh pun agak lelah kehausan dan kepanasan, kecuali semangat yang masih kuat. Jadi cukuplah kami memandang dari jauh dan memotret lokasi kira-kira makam kakek dan nenek; pohon bambu menutupinya.
Dua kali saya pernah berkemah di sini dengan Pramuka, tahun 1979 dan 1981. Waktu itu belum ada rumah-rumah dan kontrakan. Kini, di seberang atas dan sejauh mata memandang ke seberang sungai, banyak bangunan berdiri. Hanya tanah kakek saja yang masih berupa kebun tanpa bangunan – mungkin karena masih ada urus, menurut keterangan penduduk di sana. Tidak lama kami di sana, kemudian kembali ke tempat mobil diparkir tadi.
Sebelum ke luar ke jalan raya, kami mampir dulu ke rumah famili – katanya. Ada warung di depannya, kami minum. Saya menyempatkan waktu bercakap dengan seseorang yang saya duga adalah sepupu jauh. Beberapa info yang dia sampaikan cocok dengan yang saya ketahui sejak kecil, semisal: nama bibi-bibi, paman, dan kakeknya, dsb. Kakek mereka “seharusnya” adalah adik bungsu dari kakek kami. Namun keterangan cucu itu, nama marga kakeknya berbeda dengan kakek kami. “Koq bisa begitu?” Entahlah, tokh kami tidak bertujuan mencari saudara di situ. Kami hanya puas telah jalan-jalan hari itu, dan berhasil mengunjungi tempat di mana leluhur kami dimakamkan. Hingga kini, tanah tersebut belum terjual. ° (Rasid Rachman)

0 Response to "KE MAKAM DAN TANAH KAKEK"

Posting Komentar