Tentang Kamboja, yang tercecer

Masa cuti sudah lewat hampir sebulan. Ada beberapa catatan kecil yang belum sempat diceritakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Sayang bila dibuang, karena itu dikumpulkan dalam tulisan berikut.

Kuliner

Makanan Kamboja umumnya dapat diterima oleh lidah orang Indonesia karena memiliki cita rasa yang mirip. Banyak lauk dan sayur umumnya dimasak dengan cara ditumis dengan bawang putih. Hanya ada sedikit perbedaan jenis sayuran yang dimakan, misalnya ocra yang jarang dijumpai di Indonesia. Selain itu, jeruk nipis banyak digunakan sebagai pelengkap makanan, mulai dari daging sapi guling, soun goreng hingga noodle soup. Jajanan pasarpun tidak berbeda dengan yang ada di Indonesia seperti talam, kue lapis, wajik, bubur sumsum, bubur ketan hitam dll. Di Sen Monorom, kami menjumpai penjual laksa dengan cara dipikul. Rasanya persis sama dengan laksa Cibinong.

Makanan yang paling banyak dijumpai di Kamboja adalah noodle soup. Penyajiannya mirip dengan pho di Vietnam, berupa mi yang terbuat dari terigu atau tepung beras dengan kuah, potongan daging dan daun-daunan mentah. Rasa noodle soup di Kamboja memang tidak seenak pho, tapi dalam keadaan kepepet (saat tidak ada makanan lain dijual padahal perut sudah keroncongan) noodle soup menjadi satu-satunya makanan yang dapat dimakan. Bahkan saat kami berada di Sen Monorom, noodle soup yang dijual di restoran (bukan warung di pinggir jalan seperti di Tangerang) adalah mi instan yang diberi tambahan potongan daging dan daun-daunan mentah.

Makanan lain yang sering disebut-sebut sebagai makanan khas Kamboja adalah Amok. Amok adalah sayuran berkuah santan berbumbu dengan rasa seperti Jangan Bobor. Bedanya, Amok terasa lebih gurih karena ditambah daging ikan atau sapi atau ayam atau babi.

Ada makanan yang sebetulnya bukan makanan khas Kamboja karena dijumpai juga di beberapa tempat lain, yaitu baby duck egg. Ini adalah telur yang sudah dierami beberapa hari sehingga sudah mempunyai struktur tulang, bulu dan daging. Dimasak dengan cara direbus dan dimakan bersama campuran merica, garam, air jeruk nipis dan daun-daunan beraroma.

Ada keunikan yang kami jumpai di tiap rumah makan yang kami masuki. Yang pertama yaitu sendok, garpu dan sumpit yang diletakkan di dalam gelas berisi air panas, sehingga selalu terjamin sterilitasnya. Yang kedua adalah teh berwarna kuning muda dalam teko yang selalu disajikan tanpa dipesan, berikut cangkir-cangkir kecil. Aroma dan rasa teh tidak sama dengan teh umumnya. Belakangan, setelah kami menyedu sendiri salah satu teh yang kami beli di Kamboja, kami baru tahu bahwa teh yang selalu tersaji itu adalah teh bunga lotus.

Kendaraan

Kami banyak memanfaatkan tuk-tuk untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Kamboja. Tampaknya supir tuk-tuk merupakan ujung tombak pariwisata Kamboja. Setiap kali kami turun dari bis antar kota ada banyak supir tuk-tuk yang menawarkan jasa mengantar kami ke penginapan. Begitu juga di sekitar penginapan selalu ada supir tuk-tuk yang menawarkan tempat-tempat wisata. Rata-rata mereka dapat berbahasa Inggris. Beberapa kali kami merasa cocok dengan satu supir tuk-tuk yang mengantar kami mencari penginapan sehingga kami memakai jasanya lagi untuk berwisata.
Kendaraan antar kota adalah bus. Di Kamboja pengertian bus ternyata kendaraan yang dapat memuat banyak penumpang, seperti apapun bentuknya. Ada beberapa perusahaan bus yang memang menyediakan bus besar ber-AC dengan tempat duduk yang nyaman dan ruang bagasi yang sangat besar. Penumpang duduk menurut nomor tempat duduk yang tertera pada karcis.

Ada juga perusahaan bus yang busnya merupakan mini van. Kami pernah menumpang bus jenis ini. Di samping supir ada 2 tempat duduk penumpang. Di belakangnya ada 3 baris tempat duduk dengan kapasitas 4 orang per baris. Supir mengatur kami bertiga untuk duduk di baris kedua. Pada saat berangkat, bus terasa lega dan nyaman. AC mengalirkan udara sejuk. Namun di sepanjang perjalanan, berkali-kali bus berhenti dan jumlah penumpang terus bertambah. Puncaknya adalah saat sebuah sepeda motor masuk ke dalam bus! Ups…. salah, karena setelah itu ada puncak yang lebih tinggi. Tidak lama setelah sepeda motor masuk, ada beberapa penumpang lagi yang masuk. Di antaranya 1 orang anak kecil. Sadel sepeda motorpun akhirnya dimanfaatkan sebagai tempat duduk anak kecil dan bangku kami diisi 1 orang lagi. Total penumpang bus adalah 25 orang, ditambah beberapa ransel, kardus dan sebuah sepeda motor. AC pun terpaksa dimatikan agar mesin cukup kuat untuk menggerakkan bus dan semua muatannya.

Lumba-lumba air tawar, siput bakar dan rumah sakit di Kratie

Dalam perjalanan dari Siem Reap menuju Mondulkiri, kami berhenti di Kratie, sebuah kota kecil di tepi Sungai Mekong. Kota ini sebetulnya nyaman sebagai tempat wisata, namun belum terkelola seperti Siem Reap sebagai tujuan wisata. Ada beberapa tempat menarik yang bisa menjadi obyek wisata, di antaranya lumba-lumba air tawar. Obyek ini kami ketahui dari buku Lonely Planet, karena itu kami sengaja berhenti dan menginap di Kratie.

Untuk mencapai habitatnya di Sungai Mekong, kami harus naik tuk-tuk untuk mencapai dermaga kapal motor yang membawa kami mendekati salah satu delta Sungai Mekong. Tempat ini sangat tenang sehingga saat lumba-lumba muncul ke permukaan suaranya akan terdengar. Bunyinya seperti dengusan nafas bercampur cipratan air. Mungkin jumlahnya banyak,  karena berkali-kali muncul di sekitar kapal kami. Rupanya lumba-lumba air tawar yang dimaksud adalah pesut seperti di Sungai Mahakam. Pesut tidak selincah lumba-lumba yang dapat melompat hingga di atas air. Bila muncul di permukaan hanya moncongnya yang terlihat.

Dalam perjalanan antara Kratie dan dermaga kami melewati hutan-hutan bakau dan perkampungan. Di sebuah perkampungan, kami berhenti karena melihat beberapa baskom berisi siput-siput besar diletakkan di pinggir jalan. Rupanya siput-siput ini dikonsumsi masyarakat setempat. Kami mampir di sebuah warung untuk mengicipi makanan ini. Siput-siput hidup diletakkan di atas pembakaran sampai keluar lendirnya. Setelah itu, bagian perut dikeluarkan dan siput dibakar lagi sambil sesekali disirami santan berbumbu sampai matang. Siput matang ini kemudian dimakan dengan cara mencocolkannya ke dalam campuran merica, garam dan air jeruk nipis dan diselingi dengan lalapan timun dan daun beraroma minyak telon.

Ada hal unik yang kami jumpai di Kratie, yaitu ada banyak rumah sakit terbuka di jalan-jalan utama Kratie. Kami menyebutnya demikian karena melihat beberapa ruko berisi deretan tempat tidur dengan pasien yang berbaring dengan selang infus di tangan. Pintu ruko terbuka. Mungkin lebih tepat disebut sebagai rumah perawatan orang sakit, karena di sini orang sakit tidak diisolasi. Mereka tetap dapat merasakan suasana kota, berhubungan dengan orang-orang yang sehari-hari dijumpai dan udara segar serta bersih kota Kratie.

Belakangan, kami diberitahu oleh Pak Kasmin pemilik Restoran Warung Bali bahwa di Kratie ada tugu persahabatan Kamboja – Indonesia. Seandainya kami mengetahui hal itu lebih dahulu, tentu tempat itu akan menjadi obyek foto yang menarik.

Dokter gigi

Kami menjumpai banyak sekali tempat praktek dokter gigi di Pnom Penh, jauh lebih banyak dibandingkan praktek dokter, apotek atau toko obat. Begitu banyaknya sehingga di sebuah perempatan di daerah Sisowath Quay, kami dapat melihat sedikitnya 10 buah tempat praktek dokter gigi! Semuanya berjarak tidak sampai 50 meter dari perempatan tersebut, bahkan ada tempat praktek yang bersebelahan dan berseberangan. Hebatnya lagi, tidak sedikit dokter gigi yang menawarkan pemasangan gigi implan, materi rehabilitasi gigi yang sangat mahal di Indonesia. (Melinda)

Pesona Danau Kelimutu


Awal Juli 2010 pukul 4.30 pagi, kami meninggalkan penginapan di kota Moni. Suasana kota kecamatan ini masih senyap. Sebagian kota terlihat gelap karena sejak malam sebelumnya listrik padam di beberapa tempat. Tidak nampak bintang di langit karena tertutup awan. Bulan yang tidak bulat penuh sebentar-sebentar menampakkan diri di balik awan. Andi telah siap dengan mobil Kuda-nya untuk mengantar kami ke Kelimutu. Sebelum berangkat, ibunya membekalinya sarung tenun ikat sebagai penghangat tubuh. Udara saat itu memang terasa dingin seperti umumnya dataran-dataran tinggi lain. 

Perjalanan dengan mobil memakan waktu tidak lebih dari 30 menit melewati jalan beraspal yang berkelok-kelok. Di satu ruas jalan, perjalanan sedikit terhambat karena ada genangan air. Rupanya genangan ini adalah aliran sungai. Di sekitarnya ada tanda-tanda sedang ada proses pembangunan jembatan. Sesekali kami melewati orang-orang yang berjalan sambil membawa termos, kopi, mi instan dalam gelas styrofoam atau kain tenun ikat. Mereka adalah penduduk setempat yang membawa dagangannya hingga ke puncak, tempat para wisatawan berhenti untuk menikmati panorama di sekitar danau Kelimutu. 

Mobil berhenti di area parkir dan kami harus berjalan kaki untuk mencapai puncak. Tanpa kami minta, seorang pedagang minuman mengiringi kami berjalan. Kami tidak menjumpai orang lain lagi sepanjang perjalanan kami. Jalanan menanjak namun tidak terlalu curam. Sesekali kami perlu berhenti untuk bernafas lebih dalam. Maklum kalau tidak sedang cuti kami jarang berjalan kaki jarak jauh, apalagi menanjak ! 

Menjelang pukul 6 kami tiba di puncak. Saat itu matahari sudah terbit tapi masih tertutup awan. Suasana masih remang-remang. Sudah ada beberapa wisatawan asing dan pedagang minuman dan makanan hangat. Ini adalah tempat tertinggi berbentuk tanah datar yang dibatasi pagar pengaman. Di tengah-tengahnya ada tugu. Kami hanya melihat 2 buah danau, satu di kiri berwarna hijau tosca, satu lagi di kanan berwarna merah tua. 

Danau Kelimutu adalah 3 kawah hasil letusan gunung berapi. Warnanya bisa berubah-ubah tanpa diketahui penyebabnya. Masyarakat setempat memercayai bahwa arwah semua orang yang meninggal akan masuk ke dalam salah satu danau tergantung usia dan penyebab kematiannya. Desir angin yang cukup kencang mengantar udara dingin kepada kami. Lengkaplah suasana mencekam di sekitar danau.

Beberapa pedagang menawarkan kopi dan teh hangat serta mi instan dalam gelas. Pedagang lain membujuk pengunjung untuk membeli sarung atau selendang tenun ikat. Ada lagi yang menggerutu karena ada pemimpin rombongan turis asing yang sudah membawa termos, teh, kopi dan makanan sendiri.

Tiba-tiba matahari mengintip di celah-celah awan. Sinar matahari yang menyusup di antara gumpalan-gumpalan  awan membentuk garis-garis yang sangat indah. Awan yang tadinya biru gelap laksana kelunturan warna merah, jingga dan kuning. Munculnya matahari serta merta mengubah suasana puncak menjadi lebih hidup. Tak lama kemudian, matahari kembali masuk di balik awan. Tapi cahayanya tak bisa disembunyikan lagi, pagi memang sudah tiba. 

Sinar yang menerangi puncak Kelimutu membuat kami sadar, ternyata danau yang satu lagi ada di sisi kanan berhimpit dengan danau hijau tosca. Terlihat kecil, karena letaknya jauh. Warnanya hijau daun. Dilihat dari tempat kami berdiri, kedua danau ini tampak hanya dibatasi oleh dinding batu cadas. Ketiga danau yang airnya nampak seperti dicat dengan latar belakang bukit-bukit hijau dan awan biru, putih dengan semburat jingga dan merah menghasilkan pemandangan yang sangat indah. Tidak bosan-bosannya mata memandang lukisan alam yang setiap detik berubah itu. 

Matahari semakin tinggi. Langit menjadi semakin terang dan warna ketiga danau semakin jelas. Terlihat ada percikan-percikan air dan alur-alur berwarna kekuningan di permukaan danau yang berwarna hijau tosca yang menunjukkan keaktifan kawah. Berbeda dengan permukaan danau yang berwarna merah tua yang tampak tenang dan dingin tanpa gejolak. 

Ada rasa enggan untuk meninggalkan lokasi ini. Namun matahari sudah semakin tinggi. Kamipun mulai menuruni anak-anak tangga. Setelah beberapa ratus meter berjalan, kami berhenti untuk melihat danau yang berwarna hijau tua dari dekat. Ada pelataran berpagar untuk melihat danau ini dari dekat. Ternyata danau ketiga ini besar juga. Terlihat pula percikan-percikan air di permukaan airnya yang menunjukkan keaktifannya. Rasanya tidak habis-habisnya kekaguman kami melihat pesona danau Kelimutu ini. Rombongan lain sudah turun lebih dahulu, demikian pula para pedagang. Kamipun menyusul mereka.

Karena sudah terang, kami dapat melihat pemandangan di sepanjang jalan setapak. Ada banyak pohon pinus dan cemara. Ada juga tempat konservasi tanaman-tanaman khas setempat, burung dan serangga. Semuanya melengkapi keindahan Danau Kelimutu. Mudah-mudahan terjaga kelestariannya. (Melinda)

Kemping di kapal


Akhirnya datang juga kesempatan  bagi kami sekeluarga untuk kemping bersama. Kemping yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya dan kesempatan yang datang tanpa kami duga sebelumnya, yaitu kemping di kapal. Kami kemping di kapal Tiga Putra yang berjalan dari Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur sampai Labuhan Lombok selama 4 hari 3 malam. Kapal ini adalah kapal nelayan yang telah sedikit dipermak sehingga cukup nyaman bagi orang yang tidak biasa berlayar layaknya nelayan. Asiknya, kami adalah penumpang satu-satunya dalam pelayaran ini. Tidak ada penumpang lain. Serasa berlayar di kapal pribadi.

Kami tidur di dek kapal yang diberi atap terpal, beralaskan matras dan sepotong bantal kecil yang selalu lembab karena udara di kapal yang selalu dipenuhi uap air laut. Untuk mengatasi tiupan angin dingin di malam hari, kami menggunakan jaket, celana training dan kaus kaki serta selimut. Dek kapal dengan atap terpal inilah yang menjadi tenda kami.

Kamar mandi kami terletak di bagian depan kapal. Yang dimaksud adalah daerah di sekitar 2 tong air bersih yang diletakkan di bagian depan kapal. Di sinilah kami menciprat-cipratkan air ke tubuh kami 2 kali sekali dan menyikat gigi. Tidak jarang, tumpahan air yang membasahi salah satu dari kami ditampung oleh yang lain yang  mengambil posisi lebih rendah. Mandi rame-rame! Selain area kecil ini, tentu saja laut di sekitar kami juga menjadi kamar mandi kami. Menurut istilah orang NTT, bermain air adalah mandi. Jadi kalau kami snorkeling atau berenang di laut, berarti kami mandi.

Ruang makan kami berada di geladak. Geladak ini juga diberi atap terpal, sehingga kami tidak kehujanan atau kepanasan saat makan. Cukup dengan menggelar karpet berukuran 1,5 x 1,5 meter, jadilah meja makan kami. Nasi dan lauk-pauk disajikan di karpet dan kami makan di sekitarnya. Makanan dipersiapkan di dapur yang terletak di buritan. 

Tempat paling enak di area kemping kami adalah haluan kapal. Duduk di haluan sambil memandang laut lepas ditambah terpaan angin yang ditimbulkan oleh dorongan laju kapal menimbulkan sensasi seperti terbang menembus angin. Selain pemandangan dan terpaan angin, tentu saja juga terik sinar matahari yang membakar kulit menjadi ciri khas acara kemping kami.

Sebagai penerangan di malam hari, ada lampu di dek dan di kamar kecil yang menggunakan tenaga matahari. Penggunaan listrik harus irit, karena panel sel surya hanya kecil dan kapasitas aki penampung listrik juga kecil. Pada saat kapal berjalan di malam hari, lampu di dek dimatikan agar lampu di tiang haluan dapat dinyalakan. Pengisian listrik untuk kamera dan telepon genggam hanya dapat dilakukan pada siang hari, juga dengan memanfaatkan tenaga matahari. 

Seperti di tempat-tempat kemping lain, pada malam hari kami dapat melihat dengan jelas keindahan langit yang dipenuhi benda-benda langit. Tidak ada polusi cahaya lampu. Ada tiga hal yang istimewa dibanding kemping di tempat-tempat lain. Pertama adalah  pemandangan di sekitar yang selalu berubah, mulai dari panorama hutan-hutan bakau, ikan terbang, lumba-lumba, pulau-pulau dengan aneka bentuk pantainya hingga riak, ombak dan pertemuan arus air yang menciptakan permukaan air laut yang berubah-ubah.

Hal kedua adalah kesempatan melihat matahari terbit dan terbenam. Matahari terbit dan tenggelam yang menghasilkan pemandangan yang tidak pernah sama setiap hari. Di tempat lain hanya ada satu kesempatan, melihat matahari terbit atau tenggelam saja atau bahkan tidak kedua-duanya.
Yang terakhir adalah kesempatan melihat pelangi utuh berbentuk setengah lingkaran karena tidak ada halangan yang menutupi pandangan ke cakrawala. Kami dapat melihat kedua ujung busur pelangi yang menembus bentangan. 

Kegiatan kami pada hari pertama adalah mandi (yang berarti snorkeling) di perairan Pulau Kelor dan trekking di padang sabana Pulau Rinca. Di pulau ini kami berburu komodo dengan senjata kamera. Sayang saat itu adalah bulan Juli yang merupakan musim kawin komodo, sehingga kami hanya menjumpai sedikit komodo. Kebanyakan komodo berada di dalam hutan. Malam harinya kapal bermalam di sekitar sarang kelelawar di Pulau Komodo. Suara teriakan kelelawar yang sesekali memecah kesunyian malam menjadi nyanyian pengiring tidur kami. Di tempat ini juga kami merasakan sensasi memancing dan mengangkat ikan yang tersangkut kail keluar dari air. Malam itu ada belasan ikan seukuran telapak tangan yang terpancing dan menjadi tambahan sarapan pagi kami besoknya.

Hari kedua diisi dengan kegiatan trekking lagi di hutan Pulau Komodo dan mandi di perairan Pantai Merah yang dipenuhi ikan-ikan serta koral warna-warni dan -lagi-lagi- mandi di perairan pantai Laba. Di Pantai Merah, salah seorang ABK menangkap cumi-cumi besar. Ada sedikit rasa bersalah saat melihat cumi-cumi itu ditangkap, juga saat melihatnya berubah  menjadi hidangan makan malam kami. Cumi itu alot digigit. Kasihan…. rasanya memang cumi-cumi itu bukan makanan kami. Malam harinya, kapal terus melaju di tengah gelombang laut yang cukup besar. Jadi kami tidur dalam kapal yang oleng dan diiringi musik dari mesin kapal yang bersuara keras ditambah desiran angin dingin yang menyusup di sela-sela terpal yang menutupi dek.

Pada hari ketiga kami mampir di Pulau Satonda untuk melihat danau berair asin yang berada di tengah pulau. Danau ini dikelilingi oleh pebukitan yang ditumbuhi pepohonan besar. Di tempat ini kami menikmati pemandangan yang sangat indah dibumbui dengan keheningan alam yang meneduhkan. Sebetulnya kami bisa mandi di danau ini, tapi rasa ngeri akan ketenangan permukaan air membuat kami urung melakukannya.

Setelah dua jam pelayaran dari Pulau Satonda, kami berhenti di Pulau Moyo untuk mandi di air terjun. Pantai  Pulau Moyo landai, sehingga kapal tidak dapat merapat dan kami turun di tengah laut dan berenang sambil melihat taman laut menuju pantai. Perlu berjalan sekitar 10 menit di sekitar  aliran air sungai menuju air terjun. Saat itu air terjun tidak terlalu deras alirannya.  Tidak ada pengunjung lain sehingga kami dapat mandi dengan bebas. Inilah mandi “belas dendam” kami setelah 2 hari hanya bisa mandi air asin atau mandi cipratan air tawar. Rasanya segar sekali.

Itu adalah mandi kami yang terakhir. Demi menjaga kesegaran setelah mandi air tawar, kami memilih menumpang sampan untuk kembali ke kapal dibanding berenang. Di pulai ini pula, kapal menambah persediaan air tawar untuk mandi, mencuci dan memasak. Setelah itu tidak ada aktivitas lagi selain menunggu hari dan malam berlalu. Malam itu kami sudah tiba di perairan Lombok timur dan bermalam di kapal. Karena kapal sudah tidak berjalan lagi, kami dapat tidur dengan nyenyak dan paginya bangun dengan tubuh yang segar. 

Pagi itu kami masih mendapat sarapan untuk terakhir kalinya di kapal. Menunya mi instan goreng dan telur, bahan makanan yang masih tersisa di kapal. Pukul 7.30 kapal merapat di pelabuhan. Itulah bagian akhir kemping kami. Pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman yang menjadikan kami sangat kaya akibat rangkaian pertunjukan karya Sang Pencipta yang bertubi-tubi. (Melinda)