Kemping di kapal


Akhirnya datang juga kesempatan  bagi kami sekeluarga untuk kemping bersama. Kemping yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya dan kesempatan yang datang tanpa kami duga sebelumnya, yaitu kemping di kapal. Kami kemping di kapal Tiga Putra yang berjalan dari Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur sampai Labuhan Lombok selama 4 hari 3 malam. Kapal ini adalah kapal nelayan yang telah sedikit dipermak sehingga cukup nyaman bagi orang yang tidak biasa berlayar layaknya nelayan. Asiknya, kami adalah penumpang satu-satunya dalam pelayaran ini. Tidak ada penumpang lain. Serasa berlayar di kapal pribadi.

Kami tidur di dek kapal yang diberi atap terpal, beralaskan matras dan sepotong bantal kecil yang selalu lembab karena udara di kapal yang selalu dipenuhi uap air laut. Untuk mengatasi tiupan angin dingin di malam hari, kami menggunakan jaket, celana training dan kaus kaki serta selimut. Dek kapal dengan atap terpal inilah yang menjadi tenda kami.

Kamar mandi kami terletak di bagian depan kapal. Yang dimaksud adalah daerah di sekitar 2 tong air bersih yang diletakkan di bagian depan kapal. Di sinilah kami menciprat-cipratkan air ke tubuh kami 2 kali sekali dan menyikat gigi. Tidak jarang, tumpahan air yang membasahi salah satu dari kami ditampung oleh yang lain yang  mengambil posisi lebih rendah. Mandi rame-rame! Selain area kecil ini, tentu saja laut di sekitar kami juga menjadi kamar mandi kami. Menurut istilah orang NTT, bermain air adalah mandi. Jadi kalau kami snorkeling atau berenang di laut, berarti kami mandi.

Ruang makan kami berada di geladak. Geladak ini juga diberi atap terpal, sehingga kami tidak kehujanan atau kepanasan saat makan. Cukup dengan menggelar karpet berukuran 1,5 x 1,5 meter, jadilah meja makan kami. Nasi dan lauk-pauk disajikan di karpet dan kami makan di sekitarnya. Makanan dipersiapkan di dapur yang terletak di buritan. 

Tempat paling enak di area kemping kami adalah haluan kapal. Duduk di haluan sambil memandang laut lepas ditambah terpaan angin yang ditimbulkan oleh dorongan laju kapal menimbulkan sensasi seperti terbang menembus angin. Selain pemandangan dan terpaan angin, tentu saja juga terik sinar matahari yang membakar kulit menjadi ciri khas acara kemping kami.

Sebagai penerangan di malam hari, ada lampu di dek dan di kamar kecil yang menggunakan tenaga matahari. Penggunaan listrik harus irit, karena panel sel surya hanya kecil dan kapasitas aki penampung listrik juga kecil. Pada saat kapal berjalan di malam hari, lampu di dek dimatikan agar lampu di tiang haluan dapat dinyalakan. Pengisian listrik untuk kamera dan telepon genggam hanya dapat dilakukan pada siang hari, juga dengan memanfaatkan tenaga matahari. 

Seperti di tempat-tempat kemping lain, pada malam hari kami dapat melihat dengan jelas keindahan langit yang dipenuhi benda-benda langit. Tidak ada polusi cahaya lampu. Ada tiga hal yang istimewa dibanding kemping di tempat-tempat lain. Pertama adalah  pemandangan di sekitar yang selalu berubah, mulai dari panorama hutan-hutan bakau, ikan terbang, lumba-lumba, pulau-pulau dengan aneka bentuk pantainya hingga riak, ombak dan pertemuan arus air yang menciptakan permukaan air laut yang berubah-ubah.

Hal kedua adalah kesempatan melihat matahari terbit dan terbenam. Matahari terbit dan tenggelam yang menghasilkan pemandangan yang tidak pernah sama setiap hari. Di tempat lain hanya ada satu kesempatan, melihat matahari terbit atau tenggelam saja atau bahkan tidak kedua-duanya.
Yang terakhir adalah kesempatan melihat pelangi utuh berbentuk setengah lingkaran karena tidak ada halangan yang menutupi pandangan ke cakrawala. Kami dapat melihat kedua ujung busur pelangi yang menembus bentangan. 

Kegiatan kami pada hari pertama adalah mandi (yang berarti snorkeling) di perairan Pulau Kelor dan trekking di padang sabana Pulau Rinca. Di pulau ini kami berburu komodo dengan senjata kamera. Sayang saat itu adalah bulan Juli yang merupakan musim kawin komodo, sehingga kami hanya menjumpai sedikit komodo. Kebanyakan komodo berada di dalam hutan. Malam harinya kapal bermalam di sekitar sarang kelelawar di Pulau Komodo. Suara teriakan kelelawar yang sesekali memecah kesunyian malam menjadi nyanyian pengiring tidur kami. Di tempat ini juga kami merasakan sensasi memancing dan mengangkat ikan yang tersangkut kail keluar dari air. Malam itu ada belasan ikan seukuran telapak tangan yang terpancing dan menjadi tambahan sarapan pagi kami besoknya.

Hari kedua diisi dengan kegiatan trekking lagi di hutan Pulau Komodo dan mandi di perairan Pantai Merah yang dipenuhi ikan-ikan serta koral warna-warni dan -lagi-lagi- mandi di perairan pantai Laba. Di Pantai Merah, salah seorang ABK menangkap cumi-cumi besar. Ada sedikit rasa bersalah saat melihat cumi-cumi itu ditangkap, juga saat melihatnya berubah  menjadi hidangan makan malam kami. Cumi itu alot digigit. Kasihan…. rasanya memang cumi-cumi itu bukan makanan kami. Malam harinya, kapal terus melaju di tengah gelombang laut yang cukup besar. Jadi kami tidur dalam kapal yang oleng dan diiringi musik dari mesin kapal yang bersuara keras ditambah desiran angin dingin yang menyusup di sela-sela terpal yang menutupi dek.

Pada hari ketiga kami mampir di Pulau Satonda untuk melihat danau berair asin yang berada di tengah pulau. Danau ini dikelilingi oleh pebukitan yang ditumbuhi pepohonan besar. Di tempat ini kami menikmati pemandangan yang sangat indah dibumbui dengan keheningan alam yang meneduhkan. Sebetulnya kami bisa mandi di danau ini, tapi rasa ngeri akan ketenangan permukaan air membuat kami urung melakukannya.

Setelah dua jam pelayaran dari Pulau Satonda, kami berhenti di Pulau Moyo untuk mandi di air terjun. Pantai  Pulau Moyo landai, sehingga kapal tidak dapat merapat dan kami turun di tengah laut dan berenang sambil melihat taman laut menuju pantai. Perlu berjalan sekitar 10 menit di sekitar  aliran air sungai menuju air terjun. Saat itu air terjun tidak terlalu deras alirannya.  Tidak ada pengunjung lain sehingga kami dapat mandi dengan bebas. Inilah mandi “belas dendam” kami setelah 2 hari hanya bisa mandi air asin atau mandi cipratan air tawar. Rasanya segar sekali.

Itu adalah mandi kami yang terakhir. Demi menjaga kesegaran setelah mandi air tawar, kami memilih menumpang sampan untuk kembali ke kapal dibanding berenang. Di pulai ini pula, kapal menambah persediaan air tawar untuk mandi, mencuci dan memasak. Setelah itu tidak ada aktivitas lagi selain menunggu hari dan malam berlalu. Malam itu kami sudah tiba di perairan Lombok timur dan bermalam di kapal. Karena kapal sudah tidak berjalan lagi, kami dapat tidur dengan nyenyak dan paginya bangun dengan tubuh yang segar. 

Pagi itu kami masih mendapat sarapan untuk terakhir kalinya di kapal. Menunya mi instan goreng dan telur, bahan makanan yang masih tersisa di kapal. Pukul 7.30 kapal merapat di pelabuhan. Itulah bagian akhir kemping kami. Pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman yang menjadikan kami sangat kaya akibat rangkaian pertunjukan karya Sang Pencipta yang bertubi-tubi. (Melinda)

2 Response to "Kemping di kapal"

  1. Anonim Says:
    1 September 2013 pukul 20.06

    terimakasih atas info liburannya, kalo boleh tanya2 lebih lanjut saya bisa email ke anda?
    terimakasih sebelumnya.
    Aini

  2. KELUARGA WISATA says:
    5 September 2013 pukul 21.20

    Silakan email ke melindadrg@yahoo.co.id

Posting Komentar