Lain ladang, lain belalang. Meskipun ladang tidak terlalu jauh jaraknya, ternyata bisa didapati belalang yang berbeda. Keberadaanku di Kupang 17 tahun yang lalu merupakan pengalaman pertamaku berada di ladang yang berbeda. Jadi maklum saja kalau aku sempat dikagetkan dengan belalang yang berbeda yang kujumpai di sana.
Masih sama-sama berada di Indonesia, ternyata ada beberapa kebiasaan khas orang Kupang yang tidak dijumpai di Jakarta. Ada kebiasaan-kebiasaan yang membuatku merasa risih ketika pertama kali melihatnya, tapi lama kelamaan menjadi biasa karena sering menjumpainya, misalnya gandengan-tangan di antara sesama laki-laki. Kalau di Jakarta hal ini mengesankan orientasi seksual yang tidak lazim di antara keduanya, ternyata di Kupang menunjukkan ikatan persahabatan yang baik.
Ada juga kebiasaan yang menambah ketrampilanku, yaitu kebiasaan menari. Orang NTT, dan rasanya hampir seluruh suku bangsa di Indonesia, biasa mengungkapkan rasa syukur, sukacita dengan menyelenggarakan pesta. Dalam setiap pesta ada hal yang tidak akan dilewatkan, yaitu menari. Semua orang NTT pasti dapat menari. Dalam suatu pesta, aku pernah menyaksikan seorang anak berusia sekitar 6 tahun menarikan gerakan cha-cha-cha dengan baik sekali. Ada 2 buah tarian rakyat yang selalu ditarikan dalam pesta, yaitu terasering dan rokatenda. Gerakan terasering mirip dengan poco-poco, dimana semua berdiri dalam satu arah kemudian melakukan gerakan ritmis bersama-sama. Tarian ini cukup mudah dipelajari. Sedangkan rokatenda (nama sebuah gunung berapi di Flores) agak sulit karena terdiri atas beberapa seri meskipun tiap seri merupakan variasi dari gerakan inti yang sama. Tarian ini dilakukan dalam sebuah lingkaran.
Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan berpesta, kendaraan umum di kota Kupang yang disebut bemo yang menarik bagi calon penumpang adalah bemo yang dilengkapi dengan bunyi musik keras dan hiasan interior dan eksterior yang menyolok. Kalau bemo tidak diberi hiasan, apalagi tanpa musik, bisa dipastikan jauh dari rejeki.
Ada kebiasaan yang berbeda 180 derajat dibandingkan kebiasaan orang Jakarta, yaitu cara berbicara. Orang Jakarta biasa menyingkat kata dengan mengambil bagian akhir kata, misalnya udah atau dah untuk kata sudah, bis untuk kata habis, aja untuk kata saja. Orang Kupang kebalikannya, menyingkat kata dengan mengambil bagian awal kata, misalnya su untuk kata sudah, pi untuk pergi, sa untuk saja. Aku memerlukan waktu cukup lama untuk membiasakan telingaku menangkap kata-kata mereka yang umumnya diucapkan dengan cepat. Tidak boleh ada yang tersinggung kalau ada orang yang berkata,"Lu sa pi", karena ini berarti "Kamu saja yang pergi"
Ada satu kebiasaan yang sebetulnya menarik, tapi tak dapat kulakukan, bukan karena tidak sreg atau perlu ketrampilan khusus, tapi hanya masalah anatomi muka. Pertemuan dua orang biasanya dilakukan dengan cara bersalaman sambil saling menempelkan hidung dan kemudian menggesekkannya. Hal ini tidak mungkin dilakukan olehku yang berhidung pesek ini, bisa-bisa yang menempel bukan hidung tapi bibir! Salam 'hidung' ini biasanya dilakukan oleh dua orang yang cukup akrab, sedangkan untuk yang orang yang baru dikenal atau kurang dikenal, salam dilakukan dengan cara saling menempelkan batang hidung ke pipi. Salam seperti inilah yang sering kulakukan, misalnya ketika memberi selamat kepada penyelenggara pesta. Inipun agak sulit kulakukan lagi-lagi karena tulang hidungku tidak cukup tinggi. Jarang sekali aku berhasil menempelkan hidungku di pipi orang yang kusalami karena pada saat yang bersamaan aku juga harus memberikan pipiku untuk ditempeli hidungnya. Ada rasa "kenyal-kenyal empuk" di pipiku.....
Ladang yang ini memang belalangnya mancung-mancung!
Melinda
,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
11 Oktober 2009 pukul 10.38
Ow...artikel yang menarik...
lain daerah, lain sudut pandang...
Warungnya bagus, Bu Dokter....