Dari tumis bunga pepaya hingga CFC

Tidak banyak masakan khas yang ada di Kupang. Hal ini mungkin disebabkan karena sumber daya alam yang memang terbatas. Di antaranya adalah tumis bunga pepaya yang sangat berkesan dan membuatku kangen setelah meninggalkan Kupang. Pohon-pohon pepaya yang tumbuh di Kupang umumnya lebih banyak menghasilkan bunga daripada buah, karena itu bunga pepaya sangat mudah dijumpai di pasar. Aku menyukai olahan bunga pepaya yang ditumis bersama kangkung, meskipun aku sendiri tidak lihai mengolah bunga pepaya menjadi masakan. Hasil olahanku selalu terlalu pahit dan tidak seenak buatan Regina, misalnya. Di samping rumah dinasku di SPRG ada beberapa batang pohon pepaya. Bunganya keluar setiap saat. Biasanya Regina atau Konstantia akan minta ijin padaku untuk memetik bunganya dan sebagai imbalannya, aku mendapat satu piring hasil olahannya. Hmmm..... sluuuuurpppp....

Selain bunga pepaya, makanan yang mudah didapati di Kupang adalah ikan laut dan hasil-hasil tangakapan nelayan lainnya. Ikan dijual dengan harga yang sangat murah. 15 tahun yang lalu, 3 ekor ikan kombong (=ikan kembung) ukuran besar atau fillet ikan tenggiri ukuran 5X5X40 cm atau 5 ekor cumi-cumi besar atau 7 hingga 8 ekor ikan layur dijual dengan harga Rp 1.000,-. Bandingkan dengan 5 butir telur yang saat itu dihargai Rp 2.000,-. Jangan heran kalau aku menjadikan ikan sebagai sumber protein utamaku selama tinggal di Kupang.

Buah yang paling banyak dijumpai adalah pisang tembaga. Pisang ini rasanya seperti pisang susu, hanya ukurannya 3 kali lebih besar dibandingkan pisang susu Lampung. disebut pisang tembaga, karena kulitnya berwarna merah tembaga. Buah lainnya adalah ketimun dan poteka (=semangka). Karena tumbuh di tanah yang kurang air, buah yang dihasilkan sangat bagus. Ketimun berukuran seperti lengan bawahku, panjang 25 hingga 30 cm dengan diameter 5 cm. Sedangkan poteka tidak berbeda jauh dengan yang dijumpai di Jakarta. Selain itu ada lagi jeruk dari kota SoE, kota di datarang tinggi yang letaknya 180 km dari Kupang. Jeruknya enak, seperti jeruk Ponkam yang saat ini banyak dijumpai di Jakarta.

Tahu merupakan makanan yang relatif masih baru saat itu bagi orang Kupang. Aku membaca kisah lucu seputar kehadiran tahu sebagai makanan baru pada sebuah harian di Kupang. Ada penduduk setempat yang tidak mengetahui bahwa tahu merupakan makanan, menggunakan tahu itu sebagai sabun cuci. Namun pada saat aku berada di Kupang, tahu sudah menjadi makanan yang lazim.

Jadi menu sehari-hariku tidak jauh dari masakan ikan, tahu, telur. Sedangkan sayurnya bervariasi antara daun singkong, cai sim, wortel, kol dan kangkung.Sekali-sekali diselingi cumi atau babi. Babi merupakan makanan yang pasti dihidangkan dalam setiap pesta. Karena tidak semua orang makan babi, penyelenggara pesta selalu menyediakan dua meja makanan. Di Kupang ini, aku melihat hidup bertoleransi yang indah. Jumlah penduduk yang tidak menkonsumsi babi merupakan minoritas, tapi dihormati keberadaannya. Tidak hanya dalam penyajian makanan dalam pesta, tapi juga dalam persiapannya. Meskipun penyelenggara pesta mengkonsumsi babi, selain peralatan masak babi, mereka juga mempunyai peralatan yang "bebas babi", artinya tidak pernah dipakai untuk mengolah masakan dari babi.

Masih soal babi. Penduduk Kupang biasa hidup berdampingan dengan babi. Tidak jarang dijumpai kandang babi di halaman belakang rumah. Adalah hal biasa jika mendengar konser jeritan babi di pagi hari. Beberapa bulan pertamaku di Kupang, aku tinggal di rumah kontrakan di Oeba yang juga ada kandang babinya. Suatu kali babi peliharaan induk semangku lepas dari kandangnya. Hebohlah seluruh Oeba karena ada "babi pesiar". Memang itulah istilah dalam bahasa Kupang untuk menyebut babi lepas dari kandangnya.

Kembali ke soal makanan. Memang tampaknya sedikit sekali variasi makanan yang bisa diolah dengan sumber daya alam yang ada di Kupang. Tapi sebetulnya ada juga makanan lain yang bisa dijumpai dalam bentuk matang. Bagi pegawai negeri sepertiku, makanan-makanan ini merupakan makanan mewah yang sekali-sekali kucari juga sebagai variasi.

Yang pertama adalah bakso. Rasanya sama seperti bakso abang-abang di Jakarta, yang menjualpun orang dari Solo. Untuk "ngebakso", aku harus ke pasar Kuanino yang ada di ujung barat kota Kupang.

Berikutnya adalah gule bakso. Hingga saat ini aku hanya dapat menjumpai cita rasa bakso dalam kuah gule di kota Kupang, tepatnya Penfui tidak jauh dari asrama AL. Pada mulanya aku merasa aneh mendengar namanya. Ternyata enak juga lho... Tidak hanya bakso yang ada di dalam kuah gule, tapi juga daging dan tulang kambing.

Makanan mewah lainnya adalah ketupat tahu. Kusebut mewah, karena untuk mendapatkannya aku harus "nebeng" Rytha yang punya mobil. Karena ketupat tahu dijual hanya pada sore hari. Kalau pulang tidak nebeng Rytha, aku tidak bisa pulang dengan angkot yang hanya melayani sampai jam 18.00. Hanya ada 1 penjual ketupat tahu saat itu, yaitu seorang ibu asal Magelang yang selalu berwajah masam dan judes. Herannya warungnya selalu laris. Tentu saja, karena rasa olahannya jauh berbeda dengan wajah ibu itu. Ketupatnya lembut sekali dan bumbu kacangnya enak.

Ada satu macam makanan awetan khas NTT, yaitu daging se'i yang dibuat dari daging sapi yang diasap selama berhari-hari. Ada satu restoran yang menyajikan olahan daging se'i ini dengan cara menggoreng dan menyajikannya di atas hotplate disertai sambal belimbing. Rasanya enak dan dagingnya tidak alot.

Pada tahun terakhirku di Kupang, berdirilah restoran waralaba "California Fried Chicken" untuk pertama kalinya. Orang Kupang belum terbiasa dengan gaya restoran fast food sejenis ini. Suatu kali, seorang pejabat dari kantor bupati masuk lalu duduk di kursi dan menunggu. Setelah beberapa lama, dia marah karena tidak ada pelayan yang melayani......

Melinda

0 Response to "Dari tumis bunga pepaya hingga CFC"

Posting Komentar