Telepon dan surat, sarana komunikasi andalan

15 tahun yang lalu, sebelum tekhnologi ponsel, internet, apalagi facebook memasuki Kupang, di sanalah aku berada. Tidak persis di kota Kupang, namun di pinggiran, tempat bandar udara berada. Rumah masih jarang, bisa dibilang tidak ada. Yang ada hanya beberapa gedung milik pemda : Balai Latihan Kesehatan Masyarakat dan beberapa gedung milik Dinas Kesehatan dalam satu lokasi. Sekitar 2 km dari lokasi itu, terletak Lembaga Pemasyarakatan. 5 km ke arah yang berbeda ada kompleks Angkatan Udara yang relatif lebih padat dibandingkan lokasi milik Dinas Kesehatan. Dengan jarangnya penduduk di daerah itu, bisa dimaklumi kalau jaringan teleponpun belum menjangkau Penfui, tempatku berada.

Berada jauh dari keluarga untuk pertamakali, seringkali muncul rasa kesepian dan kangen. Untuk mengatasinya, aku menggunakan dua cara yaitu menggunakan warung telepon di Kupang milik PT Telkom dan menulis surat.

Telepon

Untuk menelepon, biasanya aku memanfaatkan waktu diskon, yaitu di atas jam 6 sore atau sebelum jam 6 pagi. Seberapa murah? Rp 1.000,- / menit untuk menelepon seseorang di Jakarta. Bandingkan dengan telepon selular jaman sekarang.... Sebetulnya lebih murah lagi, bila di atas jam 8 malam. Ada trik khusus yang aku gunakan untuk memanfaatkan telepon murah itu. Bila aku menelepon pada sore hari, aku mencari waktu yang bertepatan dengan acara keluar Rytha. Maklum, dia punya mobil, jadi untuk pulang, aku bisa nebeng dia pulang. Aku tidak mungkin naik angkot untuk pulang, karena di atas jam 6 sore sudah tidak ada angkot yang beroperasi ke Penfui. Bila aku menelepon pada pagi hari, malam sebelumnya aku menginap di tempat kost Siriet yang ada di tengah kota Kupang.

Supaya usahaku untuk mencapai warung telepon tidak sia-sia, sejak beberapa minggu sebelumnya aku mengabari melalui surat agar penerima telepon menyediakan waktu untuk menerima teleponku. Kadang-kadang, surat kukirim beberapa kali untuk mengantisipasi seandainya ada surat yang tidak sampai ke penerimanya. Itupun tidak selalu efektif. Pernah suatu kali, meskipun sebelumnya aku sudah memberi tahu beberapa kali guru hebatku lewat surat, pada saatnya dia tidak ada di tempat karena ada rapat di gereja.

Tanpa jaringan telepon di Penfui memang tidak memungkinkanku untuk menerima telepon. Tapi untuk menelepon, aku tidak selalu berada di pihak yang harus membayar. Suatu kali, aku pernah menelepon Liani di Amerika untuk suatu hal yang sangat penting buatku, tapi rasanya tidak terlalu penting buat Liani. Yang melegakanku saat itu, biaya telepon ditanggung oleh Liani. Memang kakakku yang satu ini sangat penuh pengertian.... mana mampu aku menelepon dia dengan gaji CPNS ku yang hanya Rp. 800.000,-/bulan!

Di hari-hari akhirku di Kupang, jaringan telepon masuk Penfui! Aku sempat beberapa kali merasakan sensasi menggebu-gebu saat menerima telepon... berlari-lari dari mess ke kantor SPRG yang berjarak sekitar 300 meter... berbicara di telepon sambil terengah-engah... senangnya..... Berbahagialah teman-teman yang datang di SPRG setelah aku pergi....

Surat

Surat menyurat merupakan penghubung utamaku dengan keluarga dan Rasid selama di Kupang. Selama di Kupang, aku mengasah ketrampilan menuliskan segala yang kupikir dan kurasa. Sedikitnya 5 pucuk surat kubuat dalam seminggu. Di SPRG, aku adalah pengirim dan penerima surat terbanyak.

Lalu lintas surat dari dan ke SPRG dilayani oleh sebuah mobil pos yang datang 1 atau 2 kali seminggu. Pada awal atau akhir bulan biasanya 2 kali seminggu, karena banyak membawa wesel untuk siswa-siswi SPRG dan SMF (yang berlokasi sama dengan SPRG). Hari kunjungan mobil pos ke SPRG adalah Senin dan Kamis, karena itu aku menjadikan hari Minggu dan hari Rabu sebagai hari menulis surat.

Aku menulis apa saja, yang aku pikir dan rasakan, terutama untuk Rasid. Ada juga pertanyaan dan permintaan yang kutulis, tapi aku tidak pernah menunggu hingga pertanyaan dan permintaanku dijawab untuk menulis surat berikutnya. Aku menulis terus. Saat itu aku sering diingatkan tentang ahli-ahli astronomi yang mengirim sinyal kepada makhluk yang diduga hidup di bintang yang jauhnya beratus-ratus tahun cahaya dari bumi. Sinyal itu terus dikirimkan tanpa menunggu balasan, karena bila menunggu balasan, proses komunikasi akan menjadi sangaaaaattt luamaaaaaa.....

Sejak awal kedatanganku, aku sudah mengirim banyak surat. Setiap kali mobil pos datang ke SPRG tanpa membawa surat untukku, rasanya sediiihhhhh 'kali. Hingga 3 minggu berlalu, tidak ada 1 pun surat datang kepadaku. Dalam keadaan gundah gulana seperti itu, Lily bercerita tentang temannya yang tinggal di Timor Tengah Utara, untuk mencapai tempat itu harus mengendarai kuda beberapa kilometer dari Atambua. Karena sulitnya surat mencapai tempat tinggalnya, kasihnya putus di tengah jalan. Aduuuhhh....Ly, kenapa bercerita seperti itu pada saat aku lagi sensitif. Aku kan jadi malu ketika banyak yang tahu, bahkan beberapa siswa melihatku beberapa waktu lamanya berdiam diri di toilet untuk menguras air mataku dan hidungku....hiks!

Sekali waktu aku pernah membakar surat kaleng yang berisi rayuan yang membuatku tidak nyaman. Saat itu aku masih tinggal di Oeba bersama Dewi. Beberapa hari setelah itu, badanku gatal-gatal dan pada betis kananku ada bekas tusukan dikelilingi warna merah dan membengkak. Lesi seperti itu beberapa kali aku alami selama tinggal di Kupang, yaitu bekas gigitan lalat sapi. Tanpa diobati, lesi ini dan rasa gatal yang menyertainya baru hilang setelah 1 bulan lebih. Saat itu, karena baru pertama kali mengalami dan berdekatan dengan peristiwa bakar surat, aku mengira aku kena guna-guna pembuat surat itu. Bukan cuma aku, Dewi-pun mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Kenapa berpikir guna-guna? Itu karena termakan kasak-kusuk selama prajabatan tentang daerah-daerah yang masih dihuni pengguna ilmu hitam. Kalau sekarang kurenungkan.... guna-guna.... huahahahahahhaha....

Melinda

0 Response to "Telepon dan surat, sarana komunikasi andalan"

Posting Komentar