,
      
Jumat senja sekitar pukul 19.00, setelah
 selesai ibadah Jumat Agung. Masih ada waktu sedikit untuk mempersiapkan
 diri, mulailah prosesi Jumat Agung. Mulai dari Katedral Larantuka, 
kemudian mengelilingi sebagian kota Larantuka dengan lilin. Ada sebuah 
ibadah singkat dengan lamentasi (nyanyian duka dan pengharapan dari 
Kitab Ratapan menurut puisi Ibrani yang alfabetis) dan doa sebagai 
pembuka dan penjelasan prosesi di Katedral. Lamentasi juga dinyanyikan 
tadi Jumat pagi dan kemarin Kamis pagi di Katedral. Di sini juga 
disebutkan urutan yang terlibat dalam prosesi: confreria, koor,
 pejabat negara, suku-suku, pejabat gereja – memang prosesi ini adalah 
hajat semua orang. Juga terlihat umat Islam 
membantu kelancaran prosesi 
sejak dari Katedral. Persiapan prosesi ditutup dengan nyanyian ratapan 
Veronika tentang sengsara Yesus. Seorang perempuan muda dengan 
mempertunjukkan gambar wajah Yesus yang penuh luka menyanyikan ratapan 
Veronika dengan irama melismatis yang syahdu dalam bahasa Latin. Sangat 
menyayat. Indah pula. Rasanya, setiap kali nyanyian itu selesai 
dinyanyikan, kita ingin mendengarkannya kembali. “Hai kamu yang 
melintasi jalan ini, pandang dan lihatlah, apakah kau melihat kesedihan 
yang sedang aku alami?” kata Veronika.
Pukul 20.00 prosesi Jumat Agung mulai berjalan. Prosesi membawa peti Tuan Ana. Peti diusung oleh para Nikodemus (Lakademu), empat orang, dengan wajah tertutup selubung putih dan merah. Confreria
 mengiringi di sekitarnya. Ratusan ribu peziarah, berjalan empat-empat 
di kiri-kanan sisi jalan, ikut di belakang sehingga mengekor beberapa 
kilometer di belakang. Nyanyian-nyanyian dan zikir salam Maria terus 
dikumandangkan oleh para peziarah – demikian juga dilakukan oleh puluhan
 ribu masyarakat di sepanjang jalan prosesi itu. Lilin-lilin menyala di 
sepanjang perjalanan.
Prosesi berhenti di delapan Armida. 
Ketika berhenti di Armida, selama 15 – 20 menit, Injil dibacakan, 
renungan dan doa disampaikan, dan seorang solis perempuan menyanyikan 
“Ratapan Putera Manusia” atau nyanyian ratapan Veronika sambil 
mempertunjukkan lukisan wajah sengsara Yesus. Nyanyian yang menyayat ini
 mampu menyirap zikir dan nyanyian peziarah di dalam keheningan khidmat.
 Prosesi malam berakhir di Katedral semula sekitar pukul 01.00. Prosesi 
selesai. Sebuah perziahan dapat dikatakan telah utuh.
Mengantuk, lelah, panas. Namun 
perziarahan ini telah memberikan kepuasan dahaga tak terkira. Salah 
seorang peziarah mengatakan: “Inilah ziarah. Ketika memulainya, lakukan 
dengan persiapan dan niat yang matang. Ketika menjalaninya, tidak 
mengeluh ini-itu atau terlalu meluapkan kegembiraan. Ketika 
mengakhirinya, akhiri hingga selesai.” Ziarah bukan mau enaknya saja, 
tetapi ada penderitaan, pengorbanan, dan sakit yang ikut mengiringinya.
Sabtu pagi, prosesi belum usai. Masih 
ada beberapa prosesi dan ritual kecil yang berlangsung hingga Senin 
pagi. Gereja pun tetap terbuka untuk Sabtu Sunyi. Namun, para peziarah 
umumnya, setelah dahaganya terpuaskan dari oasis perziarahan orang nagi,
 mulai kembali ke tempat tinggalnya untuk merayakan Paska pada hari 
Sabtu malam atau Minggu, atau melakukan aktivitas seseharinya. Para 
pemuda mengantarkan kembali patung Tuan Ma dan peti Tuan Ana ke kapelnya
 semula masing-masing. Sepanjang Sabtu pagi itu, kota Larantuka menjadi 
sepi, tenang, dan sunyi. Hanya ada beberapa petugas yang tetap bekerja. 
Selain petugas di Gereja dan keamanan, ada juga “ritual” sampingan, 
yakni para petugas kebersihan mengurusi sampah-sampah yang tercecer di 
sepanjang jalan prosesi tadi malam.



0 Response to "BERPROSESI JUMAT AGUNG BERSAMA ORANG NAGI DI LARANTUKA (4)"
Posting Komentar