Bahwa Bandung terkenal dengan tujuan orang berlibur adalah bukan rahasia lagi. Setiap liburan, Bandung selalu dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia. Perhatikan saja nomor polisi pada mobil-mobil pribadi yang bukan D (Bandung). Plat B (Jakarta) memang paling banyak, tetapi juga ada E (Cirebon), A (Banten), Z (Priangan Selatan), bahkan AB (Yogyakarta) dan L (Surabaya). Hal ini tentu menyebabkan Bandung semakin macet; macet di jalan, dan “macet” mendapatkan hotel nyaman di hari libur. Hal tersebut cukup membuktikan reputasi Bandung sebagai tujuan wisata – sekalipun seringkali menyebabkan orang Bandung tidak nyaman.Selain wisata belanja dengan berbagai FO dan wisata alam di sekitar Bandung, wisata kuliner juga tidak kalah menarik. Dengan udara yang masih lebih sejuk dibanding Jakarta, ada satu area yang menyajikan berbagai makanan yang maknyus. Bagi pencipta kuliner, area Pasirkaliki-Gardujati-Klenteng seharusnya menjadi tawaran menggiurkan.
Setiap hari Natal, gereja ini masuk TV. Setiap hari Natal, Indosiar menyiarkan missa Natal kedua dari tempat ini. Letaknya di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Tepatnya di Ganjuran. Nama gereja itu sebenarnya Gereja & Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, namun lebih dikenal sebagai Gereja Ganjuran. Aku tidak pernah menyaksikan siaran langsung missa Natal secara utuh, karena saatnya bertepatan dengan kebaktian Natal yang kuikuti. Dari tahun ke tahun, aku hanya kebagian menyaksikan ekaristi, termasuk di antaranya nyanyian Doa Bapa Kami dengan langgam Jawa. Keunikan lain yang sempat kusaksikan di TV adalah pakaian umat, yaitu pakaian tradisional Jawa. Keunikan inilah yang membuat kami menjadikan Gereja Ganjuran sebagai salah satu tujuan perjalanan kami ke Yogya bulan lalu.
Nampaknya gereja ini memang terkenal di Yogya. Mungkin bukan sebagai gereja, tapi sebagai tujuan wisata. Terbukti dari sikap Pak Tomo, pengemudi mobil sewaan kami yang langsung mengerti maksudku saat kusebutkan Gereja Ganjuran. Rupanya sebelum ini, beliau sudah pernah mengantar wisatawan ke tempat ini.
Gereja ini mempunyai halaman yang luas dengan beberapa pohon rindang dan beberapa rumpun bambu yang membuat teduh. Suasana yang teduh dan tenang sangat mendukung bagi peziarah yang ingin beribadah. Setelah melewati pagar, di sebelah kanan tampak 2 buah bangunan pendopo yang berhadapan. Dinding di bawah atap yang berhadapan dihiasi oleh kaca patri bermotif dengan gambar simbol-simbol Katolik bernuansa Jawa.
Ada bangunan unik terletak di depan pendopo tempat ibadah harian. Bangunan ini adalah candi. Rupanya inilah yang membuat gereja ini disebut Gereja dan Candi. Saat kami berada di sana, ada beberapa orang muda sedang berdoa di pelataran candi. Tidak jauh dari candi ini, ada beberapa bangunan kecil yang dipasangi keran untuk membasuh diri.
Kalau melihat penampilannya, siomay ikan ini tidak berbeda dengan siomay ikan lainnya. Hampir semua siomay yang dijual oleh abang-abang bersepeda atau bermotor menggunakan panci biru muda dengan motif bercak-bercak putih. Isinyapun sama, mulai dari siomay yang dilekatkan pada kentang, tahu, kol dan paria, siomay thok, siomay berbentuk panjang. Bumbunya pasti bumbu kacang yang diberi kecap, saus tomat dan perasan jeruk limau. Tapi bila sudah menyentuh lidah, siomay yang satu ini menjadi istimewa.
Foto panci penuh berisi siomay ini dibuat di Sewan, suatu wilayah di pinggir utara kota Tangerang. Siomay ini diproduksi dan dijual di sebuah rumah yang terletak di hadapan pemakaman Cina. Di depan rumah besar berhalaman luas ini terpampang spanduk bertuliskan SIOMAY ANDI Sewan Rawa Kucing Tangerang. Namanya memang Siomay Andi. Namun warga Tangerang mengenalnya sebagai Siomay Sewan. Siomay Sewan memang terkenal enaknya, sehingga namanya sering dipakai oleh penjual-penjual siomay di Tangerang meski siomay yang dijual belum tentu berasal dari Sewan.
Siomay Andi berada di jalan kecil di samping pemakaman Cina. Sebagai petunjuk, di ujung jalan ini ada wihara. Papan nama wihara ini mudah dilihat dari Jalan Raya Rawa Kucing. Setelah memasuki jalan ini, di sebelah kiri jalan akan tampak rumah yang menjual bakmi dan bihun babi. Tidak lama sesudah itu nampak sebuah pemakaman Cina yang luas. Ada sekelompok bangunan rumah masa depan yang kurang terawat dengan nisan yang cukup menonjol. Di sepanjang jalan ini, ada beberapa penjual makanan yang nampaknya berdiri setelah Siomay Sewan terkenal (numpang beken.com). Selain makanan-makanan khas Cina Benteng, ada juga yang nekad menjual siomay. Lokasi Siomay Sewan sendiri berada jauh di dalam, saat jalan menikung ke kanan.
Sepintas, tidak tampak rumah ini menjual siomay. Yang nampak jelas adalah pagar terbuka yang membawa pengunjung kepada halaman yang luas. Setelah berada di dalam halaman, barulah terlihat spanduk Siomay Andi yang menutupi teras berbentuk L yang diisi meja dan bangku-bangku. Di sinilah orang menikmati Siomay Sewan.
Di teras ini ada sebuah meja kayu kecil yang dipakai untuk meletakkan 1 panci siomay, rak piring, bumbu kacang, saus tomat, kecap dan jeruk limau. Memang hanya 1 panci siomay yang dipajang. Namun tampaknya ada banyak siomay di dapur yang letakknya di bagian belakang rumah yang tergolong besar. Bila pengunjung ramai, maka penjual akan sibuk mondar-mandir ke dalam mengambil siomay yang baru matang agar panci tetap penuh. Demikian pula bila ada pembeli yang membeli dalam jumlah banyak untuk dibawa pulang, maka penjual akan mengambil siomay dari dapur, bukan dari panci yang disajikan.
Pembuatan siomay secara manual, penjualan yang ditangani oleh anggota keluarga, tempat penjualan yang seadanya, lokasi yang jauh dari keramaian dan sistem pemasaran yang hanya mengandalkan iklan dari mulut ke mulut ternyata bisa membuat siomay ini terkenal. Bukan hanya di kalangan orang Tangerang, tetapi juga orang Jakarta. Tentunya karena siomay ini memang enak. Sluurrrppp!
Selain makanan dan tempat wisata, alat transportasi adalah salah satu hal yang menjadi obyek wisata kami setiap kami bepergian ke suatu tempat. Setiap alat transportasi unik di suatu tempat pasti menarik minat kami untuk menaikinya. Berikut ini catatan tentang pengalaman kami menaiki beberapa kendaraan selama cuti di Thailand.


Kendaraan lain yang bisa ditumpangi untuk menempuh jalan darat di dalam kota adalah bis kota. Bentuknya seperti metromini di Indonesia. Bedanya, karcis dibeli di loket, ada kepastian mengenai waktu pemberangkatan dan tidak berdesak-desakan.
Untuk jarak jauh, ada bus mini yang ber-AC. Bus mini itu mirip travel di Indonesia yang digunakan untuk menempuh perjalanan antar kota. Kami beberapa kali menumpanginya, yaitu dari Bangkok menuju Kanchanaburi dan dari Chumpon menuju pelabuhan ferry. Cukup nyaman untuk perjalanan beberapa jam, namun tidak cukup nyaman bagi kaki untuk perjalanan lebih dari 4 jam, karena tidak bisa diselonjorkan.

Perjalanan terjauh kami dengan kendaraan adalah perjalanan dari Bangkok menuju Chumpon dengan kereta api. Kami melalui satu malam di kereta api, karena itu kami mengambil gerbong sleeper train. Pada jam tidur, bangku-bangku di gerbong ini disulap menjadi tempat tidur susun bertirai. Cukup nyaman dan bebas gangguan dari luar. Satu-satunya gangguan berasal dari dalam diri kami berupa kecemasan kami kalau-kalau stasiun Chumpon terlewat saat kami tertidur.
Karena hampir setiap hari cuti kami di Thailand berhubungan dengan air, hampir semua kendaraan air pernah kami tumpangi. Kendaraan air pertama yang kami tumpangi adalah ferry Sungai Chao Phraya yang rutenya menyusuri sungai yang membelah kota Bangkok dan berhenti di beberapa halte di tepi sungai. Ferry ini merupakan kendaraan umum masyarakat kota Bangkok. Bentuknya seperti sampan besar yang diberi atap pelindung.
Selain itu, ada lagi ferry yang menghubungkan Thailand bagian Asia daratan dengan pulau-pulau kecil yang berjarak cukup jauh. Perlu waktu beberapa jam untuk menempuhnya. Bentuknya seperti ferry yang lazim ada di Indonesia, ada ruangan khusus penumpang yang nyaman dengan pendingin udara, video dan kantin kecil.
Untuk rute pendek dengan jarak tempuh dalam hitungan menit, digunakan longtail boat. Perahu ini banyak dijumpai di Pantai Aonang, berfungsi sebagai kendaraan umum yang dapat dimuati 6 hingga 8 penumpang. Dari Pantai Aonang ada beberapa rute longtail boat ke pulau-pulau di seberangnya. Tiket perahu dijual untuk rute pergi pulang.
Ada satu kendaraan khas Thailand yang kami tumpangi saat trekking di sebuah hutan, yaitu gajah. Pengalaman ini sangat berkesan mendalam bagi kami, karena selain baru pertama kali mengalaminya, juga daerah jelajahnya tidak biasa. Kami merasa beruntung karena mendapatkan kesempatan naik gajah di habitatnya, bukan di kota besar dengan pernak-pernik yang menghiasi tubuhnya. Ada pengalaman digoncang-goncang saat gajah harus meniti tanjakan, turunan atau mencabut rumpun tanaman yang menghalangi jalannya. Pengalaman satu jam yang berkesan.
Ada saat kami harus menempuh perjalanan yang tidak bisa ditempuh dengan kendaraan apapun, ketika kami harus menaiki 200-an anak tangga curam di Tiger Cave Temple. Atau saat mendaki dan menyusuri sungai untuk mencapai air terjun. Mau tidak mau, sandal gunung menjadi satu-satunya pilihan kami. Sandal gunung memang wahana paling nyaman untuk bepergian ke manapun, jalan mulus, berbatu, berlumut, berpasir, berair, datar, bergelombang, menanjak, maupun menurun. Mungkin hanya diriku yang menganggap sandal gunung sebagai alat transportasi.....
Melinda
Hampir semua orang yang pernah mengunjungi kota Bangkok mengenal kendaraan ini. Tuk tuk, kendaraan umum beroda tiga yang dijalankan dengan mesin. Kendaraan ini dapat memuat 3 orang penumpang plus supir.
Banyak wisatawan yang mewanti-wanti calon wisatawan lain, agar tidak sampai tertipu dengan tawaran supir tuk tuk yang mencegat di jalan dengan menawarkan wisata keliling kota Bangkok dengan murah. Biasanya supir ini bekerja sama dengan orang lain yang menawarkan informasi wisata. Yang menjadi sasaran adalah wisatawan yang terlihat sedang mencari kendaraan atau sedang melihat peta kota Bangkok. Calo memulai rayuannya dengan menyapa ramah wisatawan. Dilanjutan dengan memberikan informasi tentang tempat-tempat wisata. Dengan cara halus, calo mengarahkan wisatawan menggunakan tuk tuk untuk berkeliling kota Bangkok dengan harga murah. Tentunya dengan sedikit tipuan, misalnya dengan mengatakan tempat yang ingin dituju wisatawan sedang tutup.
Persis sama seperti tukang-tukang becak di Malioboro, Yogyakarta yang menawarkan wisata berkeliling keraton dan sekitarnya dengan harga murah. Memang kenyataannya harga yang harus dibayar wisatawan kepada supir tuk tuk sesuai kesepakatan di awal, murah. Selama perjalanan, supir akan banyak bercerita layaknya pemandu wisata.
Selain mengantarkan wisatawan mengunjungi tempat-tempat menarik, supir tuk tuk juga akan membawa penumpangnya ke toko-toko dan agen wisata yang akan memberikan tip kepada supir, baik berupa voucher bensin atau komisi atas pembelian penumpang. Dari sinilah supir memperoleh penghasilan sesungguhnya.
Namun, kami tidak merasa tertipu saat kami menerima tawaran seperti ini dari seorang supir tuk tuk. Memang kami merasakan juga saat supir membual dan berusaha menipu, misalnya dengan mengatakan bahwa tuk tuk nya adalah milik pemerintah, karena berplat kuning. Setelah beberapa jam berkeliling, kami mengetahui bahwa sama seperti di Indonesia, semua kendaraan umum berplat kuning. Tidak ada yang berplat putih atau warna lainnya.
Atau saat terakhir ketika kami diantar ke pelabuhan ferry sungai Chao Phraya. Kami tidak merasa berkewajiban menuruti anjuran supir untuk menaiki kapal sewaan untuk menyusuri sungai. Kami memilih ferry karena mengetahui ada ferry yang berangkat pada jam-jam tertentu. Begitu pula ketika kami dibawa ke toko kain tradisional dan batu-batuan. Karena kami tidak berminat, ya kami hanya melihat-lihat saja tanpa merasa terpaksa harus membeli. Supir tuk tuk tetap mendapatkan jatah bensinnya dari pemilik toko.
Bagi kami, ini bukan penipuan. Di agen wisata yang menurut supir tuk tuk merupakan agen resmi pemerintah, kami membeli wisata 3 hari 2 malam ke Kanchanaburi (The Bridge on the River Kwai dan sekitarnya). Kami tidak merasa dipaksa membeli, karena memang wisata ke Kanchanaburi ini merupakan salah satu tujuan wisata kami di Thailand. Kalau kami mencari sendiri, mungkin akan lebih melelahkan dan menyita waktu. Soal harga, ketika kami membandingkannya dengan wisatawan lain yang seperjalanan, masih masuk di akal. Bahkan ada yang membayar hampir sama dengan kami untuk wisata 2 hari 1 malam.
Soal tertipu atau tidak, tergantung yang akan ditipu. Mau ditipu atau tidak. Kalau tidak mau ditipu, ya harus mengetahui dulu situasi tempat yang dituju, jangan buta sama sekali. Supir tuk tuk memang harus mahir menyetir tuk tuknya, tapi stir tuk tuk ada di depan. Dia tidak harus menyetir penumpangnya yang duduk di belakang.
Melinda
Bangunan yang terletak dibawah tanah umumnya mempunyai suasana gelap, lembab, pengap dan seringkali dipenuhi asap knalpot. Namun ada satu lokasi bawah tanah di Jakarta yang mempunyai suasana berbeda, yaitu terowongan penyeberangan antara Stasiun Kereta Api dan Museum Bank Mandiri di Kota.
Pada hari Minggu yang lalu, aku dan Aurima mempunyai kesempatan untuk berjalan-jalan ke daerah Kota untuk mengikuti acara Kum kum yang diselenggarakan di Museum Bank Mandiri. Dari gereja, kami menggunakan bus Trans Jakarta dengan transit di Harmoni dan berhenti tepat di depan Museum Bank Mandiri. Melihat suasana Kota yang semrawut, lalu lintas yang cukup padat (meskipun hari libur!) dan tempat parkir yang jauh, kami bersyukur telah memilih bus Trans Jakarta sebagai alat transportasi.
Halte bus Trans Jakarta berada di tengah-tengah Jalan Pintu Besar Utara dan Jalan Stasiun Kota yang sejajar. Kedua jalan sejajar ini membentuk persimpangan lima dengan Jalan Pintu Besar Selatan, jalan fly over Pasar Pagi dan Jalan Mangga Dua. Persimpangan yang selalu ramai. Karena itu keberadaan terowongan penyeberangan bawah tanah yang menghubungkan tepi jalan Pintu Besar Utara dan tepi Jalan Stasiun Kota sangat bermanfaat. Bermanfaat bagi pejalan kaki dan mengurangi kemacetan lalu lintas.
Terowongan ini belum lama dibangun. Aku masih ingat kesulitan beberapa tahun silam saat menyeberangi kedua jalan ini. Lalu lintas sangat ramai, udara panas, penuh asap, sangat tidak nyaman dan perlu waktu cukup lama untuk menyeberangi kedua jalan ini.
Bangunan berbentuk stadion olah raga ini merupakan area terbuka. Kalau di stadion olah raga, bagian tengah berupa lapangan sepak bola berumput, bagian tengah stadion ini berupa kolam kering dengan air mancur yang tidak berfungsi ( entah rusak atau belum difungsikan). Lintasan lari digantikan taman kecil yang diisi oleh rumput, bangku dari semen dan lintasan bagi pejalan kaki. Seandainya air mancur berfungsi, duduk beristirahat di sana akan semakin terasa nyaman.

Bangunan terbuka ini menghubungkan 2 terowongan yang berada di bawah Jalan Pintu Besar Selatan dan Jalan Stasiun Kota. Saat kami berada di sana, tidak dijumpai pedagang, gelandangan, pengemis maupun preman di stadion dan di terowongan. Pedagang baru dijumpai di ujung terowongan, itupun tidak menghalangi pejalan kaki. Salah satu pedagang yang menarik hati kami adalah pedagang rujak bebek dengan bebekan unik dari kayu yang dilukis dengan cat warna-warni.
Sangat berbeda dengan jembatan-jembatan penyeberangan sibuk lainnya yang selalu dipenuhi oleh orang-orang ini. Menyeberangi jalan di terowongan dan stadion ini menjadi pengalaman yang menyenangkan dan tidak melelahkan. Seandainya jembatan-jembatan penyeberangan lain diganti dengan terowongan-terowongan seperti ini….
Melinda

Bagi orang yang tinggal di luar Yogyakarta, Pantai Parangtritis boleh jadi bukanlah nama yang asing. Selain mudah dicapai dari kota Yogyakarta, pantai ini banyak dipublikasikan di media tulis, cetak maupun internet. Coba saja cari Pantai Parangtritis melalui Google Maps. Tidak ada pilihan lain, hanya ada 1 tempat di planet bumi ini yang bernama Parangtritis. Umumnya orang mengenal pantai yang letaknya di bagian selatan propinsi DIY ini sebagai pantai dengan bukit-bukit pasir yang indah.

Kami bertiga (aku, Aurima dan Febe, sepupunya) tiba di bandara Adi Sucipto pukul 7 pagi. Di bandara kami dijemput Pak Tomo yang telah kupesan sehari sebelumnya, dengan mobil Xenianya. Begitu urusan bagasi selesai, kami langsung melaju ke arah timur. Perjalanan dengan mobil untuk mencapai ketiga pantai ini dari kota Yogyakarta memakan waktu sekitar satu setengah jam. Perjalanan dimulai dengan perjalanan ke arah timur menuju kota Wonosari, kemudian ke arah selatan melintasi pegunungan Kidul. Pantai ini berada di balik pegunungan, sehingga tidak semua jaringan telepon seluler dapat menjangkaunya.
Kedua pantai ini letaknya berdekatan, hanya dibatasi oleh bukit karang. Pantai Baron merupakan pantai yang letaknya paling barat. Begitu keluar dari mobil yang diparkir 300 meter dari pantai, suara gemuruh ombak Samudera Hindia menyambut kami. Suasana pantai masih sepi, tidak ada warung yang buka. Ada belasan kapal nelayan yang sedang berlabuh di pantai. Pantai nampak bersih, tidak ada sampah.
Seperti Pantai Parangtritis, Pantai Baron merupakan pantai yang landai . Pantai ini diapit oleh 2 bukit karang di kiri dan kanannya. Beberapa anak muda bersalto di lepas pantai menyambut ombak yang datang. Satu lagi permainan dengan air laut kujumpai. Dinamisnya gerakan air laut memang mendorong terciptanya banyak permainan yang tidak pernah membosankan.


Sama seperti di Pantai Baron, siang itu Pantai Kukup sepi. Ada beberapa warung yang buka, di antaranya menjual rempeyek rumput laut. Rumput laut memang banyak dijumpai di perairan pantai ini. Ada juga beberapa orang yang menjual ikan-ikan laut yang berasal dari perairan Pantai Kukup. Ikan-ikan berwarna-warni yang biasa dijumpai di antara karang-karang laut. Di sekitar penjual ada beberapa ekor ikan yang mati tergeletak di tanah. Sayang, seharusnya mereka dibiarkan hidup di habitatnya. Belum tentu ikan-ikan itu akan bertahan hidup lama bila dimasukkan ke dalam aquarium.
Pantai Baron dan Kukup memang indah dan masih bersih. Mudah-mudahan keindahan dan kebersihannya dapat terus bertahan bila nantinya seramai Pantai Parang Tritis.