Jumat Agung di Larantuka

Peringatan Paskah tahun 1993 merupakan pengalaman istimewa buatku. Kamis Putih tahun itu kebetulan jatuh pada tanggal yang sama seperti tahun ini, 9 April. Libur Paskah di NTT dimulai sejak hari Kamis sampai dengan Senin. Ada tradisi yang mirip seperti tradisi Lebaran di Jawa, banyak orang melakukan mudik ke Larantuka di Flores Timur untuk menjalani prosesi jalan salib.

Tiada hari libur panjang di Kupang tanpa jalan-jalan... (benih-benih backpacker tertabur dan bersemi selama 2 tahun aku di Kupang!) Aku memanfaatkan libur panjang ini dengan melakukan perjalanan 'mudik' ke Larantuka bersama Kons dan seorang siswi SPRG. Perjalanan dimulai dari Pelabuhan Tenau dengan menumpang kapal feri yang pernuuuuuuhhhhh sesak. Di mana-mana manusia, juga di tempat parkir mobil. Di situlah aku berada bersama 2 rekan seperjalananku. Angin sangat besar. Rupanya ada ABK yang merasa jatuh kasihan dan menawarkan kamarnya untuk kami pakai. Biasanya orang harus membayar Rp.25.000,- agar dapat menempati kamar itu. Berhubung aku tidak minta tapi ditawari... ya gratis lah! Lumayan, bebas dari angin. Tapi lama kelamaan tidak betah juga, karena panas dan sumpeg.

Tiba di Larantuka sore hari. Aku menginap di rumah Ina, dokter gigi senasib - sama-sama sedang menjalani wajib kerja sarjana. Mungkin karena merasa senasib, dia mengijinkan aku menginap di sana, meskipun baru hari itu kami berkenalan. Hahaha...sok akrab saja!

Larantuka adalah ibukota kabupaten Flores Timur yang merupakan kota kecil di tepi pantai yang juga berada di kaki gunung. Saat itu masih tampak bekas-bekas longsoran di lereng gunung akibat gempa besar tahun 1992. Di seberang laut ada pulau Adonara dan Pulau Solor yang sangat jelas terlihat. Pemandangannya sangat indah.

Masyarakat Larantuka memiliki tradisi unik dalam merayakan Paskah. Ada prosesi panjang yang dilakukan, dimulai sejak hari Rabu. Hari Jumat ada prosesi jalan salib yang dilakukan oleh seluruh penduduk kota Larantuka, pemudik dan peziarah dari kota-kota lain, bahkan dari luar negeri. Prosesi ini disebut Semana Santa.

Berkat koneksi sana-sini, aku mendapat kartu "pemotret". Dengan menggunakan kartu itu, aku mendapat kebebasan untuk lalu-lalang di sepanjang rute prosesi. Prosesi Semana Santa sudah dilakukan masyarakat Larantuka sejak abad ke-16 ketika bangsa Portugis masih berada di sana, katanya.

Prosesi jalan salib dimulai jam 1 siang dengan diaraknya Salib Tuan Menino (=Yesus kanak-kanak dalam bahasa setempat). Perarakan dimulai dengan menyeberangi selat antara Larantukan dan Pulau Adonara. Salib dibawa dalam kapal bercadik yang diikuti beberapa kapal lain di belakangnya.

Masyarakat berkumpul di pantai Kelurahan Pohon Sirih, menanti arak-arakan di laut. Setelah mendarat, salib diarak menyusuri jalan-jalan di Larantuka. Arak-arakan didahului oleh orang-orang berjubah putih yang disebut confreira, diikuti orang-orang berbaju hitam dan pengusung salib. Di suatu tempat, salib ini diletakkan.

Sementara itu di tempat lain, ada arak-arakan membawa patung Tuan Ma (sebutan untuk Maria)dan Tuan Ana (sebutan untuk Yesus Kristus)dari kapel ke Katedral. Arak-arakan ini terdiri dari beberapa unsur, mulai dari anak-anak, pembawa genderang, dan alat-alat lain.

Salib Tuan Menino serta patung-patung Tuan Ma dan Tuan Ana merupakan peninggalan bangsa Portugis. Larantuka merupakan kota kecil, sehingga untuk mendapatkan gambar kedua prosesi di tempat yang berbeda ini, aku bisa bolak-balik berlari dari tempat yang satu ke tempat yang lain.

Jam 3 siang, setelah Tuan ana dan Tuan Ma tiba di Katedral, umat melakukan ibadah Jumat Agung. Setelah itu, ada ritus yang dilakukan dipemakaman tidak jauh dari Katedral. Umat berdoa dan memasang lilin di makam-makam dan tugu yang berada di tengah pemakaman.

Kemudian umat melakukan prosesi yang dimulai dari Katedral, keliling kota Larantuka, lalu kembali lagi di Katedral. Prosesi ini diikuti oleh seluruh penduduk Larantuka, pemudik dan peziarah dari luar kota, luar daerah, bahkan ada yang dari luar negeri, membentuk barisan yang sangat panjang sambil menyanyikan lagu yang kalau didengar sepintas seperti tangisan ribuan orang. Tidak semua bisa masuk ke Katedral. Aku cukup beruntung karena bisa masuk ke dalam Katedral dan mendapat tempat di deretan paling belakang. Ada beberapa ritus yang dilakukan, mulai dari nyanyian beberapa orang perempuan berkostum serba hitam hingga membuka gulungan lukisan wajah Yesus. Suasana yang tercipta di Katedral dan sekitarnya saat itu mencekam.

Prosesi ini berlangsung hingga tengah malam. Di sepanjang jalan, lilin-lilin menyala. Lilin-lilin ini dibuat sendiri oleh masyarakat Larantuka dan dipasang di kiri-kanan jalan di atas pagar bambu yang khusus dibuat pada hari itu. Pemandangan malam itu terlihat indah sekali : lautan cahaya lilin, sementara udara kota dipenuhi oleh suara umat yang menyanyi. Malam itu aku agak sulit tidur karena pengalaman yang baru kujalani seharian tadi menggetarkan jiwaku.

Aku harus kembali ke Kupang pada hari Sabtu, karena kapal feri dari Larantuka menuju Kupang hanya ada pada hari Sabtu dan Selasa. Bisa saja aku nekad pulang hari Selasa, artinya baru mulai bekerja lagi pada hari Rabu. Tapi saat itu aku merasa sungkan, karena bulan sebelumnya aku baru saja korupsi waktu ketika aku mengambil Akta Mengajar di Malang dengan menunda waktu pulang beberapa hari. Jadi aku pulang hari Sabtu. Suasana kota Larantuka pada saat aku meninggalkannya sunyi senyap, seperti kota mati. Benar-benar tidak ada kegiatan pada hari Sabtu Sunyi.

Di kapal feri, aku ditawari duduk di dalam mobil seorang dosen Universitas Nusa Cendana yang baru pulang menengok mahasiswanya yang KKN. Lumayan, angin tidak terlalu besar, karena terlindung dinding mobil. Aku sempat ditawari kamar oleh ABK yang sama seperti waktu berangkat. Terimakasih....hehehe...aku tidak tahan panasnya!

Melinda

0 Response to "Jumat Agung di Larantuka"

Posting Komentar