Perjalanan menyusuri jalan sepanjang 1 km keluar dari SPRG menawarkan pemandangan yang menarik di sebelah kiri jalan, yaitu deretan pohon flamboyan. Pada bulan-bulan September hingga Januari, deretan flamboyan itu menampakkan warna merah, jingga dan kuning yang dominan di sela-sela rimbunan daun. Pemandangan yang tidak mungkin dijumpai di Pulau Jawa, misalnya. Karena jumlah bunganya sangat banyak. Bulan Februari bunga-bunga dan daun-daun flamboyan mulai berguguran. Sekitar April, yang tampak adalah batang-batang pohon yang telanjang tanpa daun. Kemudian tidak lama setelah itu muncul gerombolan berwarna ungu muda yang menempel pada batang-batang pohon flamboyan.... unik! Hanya dapat dilihat pada pohon flamboyan yang mengalami fase tanpa daun. Entah parasit atau memang produk pohon flamboyan...
Perjalanan sebaliknya menuju SPRG dengan arah yang sama menawarkan pemandangan yang berbeda, yaitu pemandangan laut Timor dengan pulau Kera yang terlihat samar-samar. Menurut Mbak Chris, jalan sepanjang 1 km itu kini sudah penuh dengan rumah. Aku yakin tentu pemandangan seperti ini sudah terhalang oleh rumah-rumah. Pemandangan yang hampir setiap hari kulihat ini lama kelamaan menggodaku. Aku menjadi terobsesi untuk mengunjunginya, ditambah kompor Rytha yang memanaskan hatiku. Dia sudah pernah ke sana dan menurutnya Pulau Kera adalah pulau yang bagus.
Hingga sampai suatu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Hari Sabtu libur, tepatnya aku tidak ingat kapan. Ada beberapa siswi SPRG yang berasal dari Pulau Kera hendak pulang. Ini dia...kapan lagi!
Pagi-pagi kami sudah berangkat menuju Tenau. Kemudian kami mencari nelayan yang mau menyewakan kapal bermotornya. Agak sulit untuk mendapatkannya. Setelah mendapatkan, tidak dapat langsung berangkat, karena tangki bahan bakar kosong sama sekali dan kami harus menunggu lebih dari 2 jam selama nelayan itu mencari bahan bakarnya. Sebetulnya ada kapal feri yang bolak-balik ke Pulau Kera, tapi anak-anak menganjurkan naik kapal nelayan karena lebih fleksibel dalam soal waktu. Ini pertanda buruk pertama sebetulnya, namun aku tidak sadar.
Pulau Kera berjarak 50 km dari Pulau Timor. Dengan kapal bermotor dapat ditempuh tidak sampai 1 jam. Karena lama dengan urusan mencari solar,menjelang tengah hari kami baru tiba di Pulau Kera, pulau yang kecil dan dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam untuk mengelilinginya. Kekesalan karena menunggu lama di Tenau lenyap begitu aku tiba di pulau ini. Pantainya indah. Ada satu bagian pantai yang dipenuhi batu-batu karang hitam dan kami membuka bekal makan siang kami di sana sambil memandangi laut. Yang mengejutkanku, di batu-batu karang itu tergeletak ribuan cangkang kerang berukuran raksasa, hampir sebesar nampan.
Menurut ukir sari, makna kata kera untuk pulau ini bukanlah monyet, tapi berasal dari bahasa Sabu yang berarti kerang. Ada juga yang menyebutkan kera berasal dari kata keramat. Orang Kupang memang biasa tidak membunyikan bagian akhir dari suatu kata. Entah yang mana yang benar. Tapi aku lebih meyakini pendapat yang pertama karena cangkang-cangkang kerang yang bertebaran di karang-karang pantai itu.
Pukul 2 siang, sesuai kesepakatan antara kami dengan nelayan pemilik kapal motor, kami menunggu di pelabuhan. Lama kami menunggu, nelayan itu tidak juga muncul. Ini pertanda buruk kedua. Akhirnya kami bertemu dengan nelayan lain, kerabat nelayan pertama yang sama-sama penduduk Pulau Kera. Nelayan kedua ini menyanggupi ketika kami minta tolong diantar kembali ke Tenau dengan pembayaran yang sudah kami berikan kepada nelayan pertama. Pukul 4 kami berangkat meninggalkan Pulau Kera.
Saat kami berangkat, angin mulai bertiup agak kencang. Makin ke tengah laut, angin makin kencang. Kapal motor yang kami tumpangi diayun-ayun oleh ombak hingga kapal dipenuhi air. Salah satu siswa SPRG muntah karena mabuk laut. Beberapa kali mesin kapal mati. Anak-anak sudah berteriak-teriak ketakutan. Aku juga sebetulnya sangat takut, tapi berusaha tenang dan menenangkan mereka. Benar-benar pengalaman yang sangat menegangkan. Saat itu, dalam hati aku menyanyikan bait pertama lagu "Gereja Bagai Bahtera" dengan penuh perasaan. Bukan bahtera dalam arti gereja, tapi dalam arti sesungguhnya.
Gereja bagai bahtera di laut yang seram
mengarahkan haluannya ke pantai seberang.
Mengamuklah samudera dan badai menderu
gelombang zaman menghempas, yang sulit ditempuh.
Penumpangpun bertanyalah selagi berjerih :
Betapa jauh, di manakah labuhan abadi?
Tuhan, tolonglah1
Tuhan, tolonglah!
Tanda Dikau semua binasa kelak
Ya Tuhan tolonglah!
Ternyata Tuhan menjawab seruan hatiku. Jam setengah tujuh malam akhirnya kami tiba di Tenau dalam keadaan basah kuyup, menggigil kedinginan dan ketakutan. Setelah itu, setiap kali menyanyikan lagu ini, aku merasakan getar di hatiku dan pengalaman ini terbayang kembali.
Sebelum tulisan ini kubuat, aku sempat browsing Pulau Kera di internet, dan melihat beberapa laporan tentang kecelakaan kapal di sekitar Pulau Kera yang memakan korban. Duuh... Jangan-jangan memang kata kera itu sebetulnya berarti keramat????
Melinda
,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Pulau Kera"
Posting Komentar