Pagi itu, pukul 4.30 suasana bandara Soekarno-Hatta lengang. Aku lupa apa yang membuatku berpikir saat itu bandara belum buka. Hehehe... emangnya restoran! Yang jelas aku melihat ada karyawan yang baru datang, mungkin yang akan bertukar giliran jaga dengan karyawan yang bertugas malam. Lalu ..... ada satpam yang membuka rolling door yang membatasi teras dan ruang tempat check-in. Apa iya...ada rolling door ya? Entahlah... yang jelas pk. 4.30 umumnya orang masih tidur, tapi di teras keberangkatan Garuda internasional ada banyak orang wajah-wajah sembab, entah kurang tidur atau terlalu banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarga. Itulah kami.
Kami adalah rombongan dokter gigi yang selama 3 minggu sebelumnya mengikuti pelatihan pra-jabatan di Lemah Abang – Bekasi. Hari itu kami diberangkatkan ke daerah masing-masing yang telah kami pilih sebelumnya. Rombongan pertama yang berangkat adalah rombongan yang menuju Irian Jaya (maaf kalau nama ini yang dipakai, sesuai dengan konteksnya pada tahun 1992) dengan pesawat yang berangkat pk 5.00. Aku masih sempat melihat beberapa teman tujuan Irian Jaya tergopoh-gopoh memasuki ruang check-in. Yah, resiko memililh tempat terjauh, jadi berangkatpun harus lebih dahulu.
Tepat pk 5.00 rombongan yang menuju NTT dan TimTim (saat itu masih merupakan wilayah Indonesia) diijinkan masuk ruang check-in. Kami terdiri dari 7 orang yang akan mendarat di Kupang dan sekitar 13 orang mendarat di Dili. Rasanya aku ingin menjadi yang terakhir memasuki ruangan itu supaya menjadi orang terakhir dalam rombongan yang berpisah dengan keluarganya. Tapi ternyata semua juga berpikir demikian.... bisa-bisa kami ketinggalan pesawat! Akhirnya kami semua saling mendorong untuk segera masuk.
Setiap ada kesempatan, aku berusaha menoleh ke teras, mencari-cari wajah orang-orang yang kukasihi, kemudian melambaikan tangan bila ternyata mereka masih terlihat ... berulang-ulang.... Semakin ke dalam aku berjalan, wajah-wajah mereka makin tidak jelas, hingga yang terlihat tinggal sosoknya saja. Mungkin sebetulnya mereka sudah pulang, tapi aku terus membayangkan seolah-olah masih melihat sosok mereka bahkan ketika sudah sampai di lorong menuju ruang tunggu penumpang. Lorong yang dikelilingi jendela kaca dan dihiasi tanaman hias di bagian luarnya.
Meski dalam rombongan yang masing-masing sudah cukup akrab semenjak mengikuti pelatihan pra-jabatan, aku merasa nelangsa ketika berjalan melalui lorong ini. Tanaman hias warna-warni itu juga tidak mampu menghilangkan perasaan ini. Ini adalah pengalaman pertamaku menaiki pesawat terbang, pergi ke tempat yang cukup jauh dari Jakarta dalam jangka waktu panjang, tanpa seorangpun anggota keluarga yang menemani. Pengalaman berjalan di lorong dengan perasaan nelangsa itu selalu muncul kembali setiap kali melalui lorong sejenis di bandara, bahkan hingga saat ini. Rasa kesepian yang mencekam.....
Melinda
,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
17 Februari 2010 pukul 16.10
yah, gw bisa membayangkan perasaan nelangsa elo waktu itu. Sewaktu masa kuliah, elo satu-satunya (diantara kita bersaudara) yang ga tahan pisah lama dari rumah..sekarang tau2 seperti dicabut dan dilempar jauh2. Cuma, elo sendiri kan yang mencabut dan melempar diri...