Jadi "backpacker tourist", siapa takut?

Untuk berlibur ke Vietnam tahun ini kami bermodalkan buku terbitan Lonely Planet. Ini bukan perjalanan pertama kami ke tempat yang belum kami kenal dengan mengandalkan buku. Belasan tahun yang lalu, kami pernah berlibur ke Tana Toraja bermodalkan buku terbitan Periplus. Tidak lama setelah itu, ketika kami masih berjumlah dua setengah (karena salah satu dari kami masih di dalam kandungan), kami ke Ujung Kulon dengan bermodalkan buku, juga terbitan Periplus. Kemudian beberapa tahun yang lalu kami ke Bali, lagi-lagi dengan Periplus. Buku Periplus juga yang menolong kami berlibur ke Yogya.

Buku-buku terbitan Lonely Planet dan Periplus berisi petunjuk yang cukup lengkap tentang tempat-tempat wisata di berbagai tempat di seluruh dunia. Petunjuk yang betul-betul lengkap, mulai dari akomodasi, makanan,tempat-tempat wisata. Keterangan di dalamnya begitu rinci, hingga ke harga (termasuk harga kamar hotel dari berbagai macam kelas serta fasilitasnya) dan tips-tips praktis.

Menjadi backpacker tourist adalah pilihan kami. Banyak hal yang tidak mungkin dijumpai bila kami mengikuti paket wisata yang dijual oleh agen-agen travel di Indonesia. Sekali mengikuti paket wisata ke Malaysia bersama salah satu agen travel, cukup bagi kami untuk tidak memilih wisata jenis ini untuk selanjutnya. Wisata dengan menginap di hotel berbintang, kunjungan ke mall dan pusat belanja lain, rekreasi di tempat-tempat artificial, makan makanan yang bukan khas tempat tersebut, jadwal yang ketat, bagasi yang dipenuhi koper-koper berisi belanjaan... pokoknya yang serba "wah!" namun tanpa tantangan. Wisata jenis ini tidak cocok dengan selera kami.

Pilihan menjadi backpacker tourist membebaskan kami untuk memilih rute perjalanan kami sesuai dengan yang kami inginkan. Ketika kami ingin lebih lama di suatu tempat, kami bebas untuk memutuskan tetap tinggal tanpa harus memikirkan peserta wisata yang lain. Tidak ada yang memaksa kami untuk mengunjungi tempat yang tidak kami minati atau sebaliknya, melarang kami untuk mengunjungi tempat yang kami minati.

Pilihan menjadi backpacker tourist membebaskan kami untuk mencicipi makanan khas tempat yang kami singgahi. Kami adalah pemakan segala dan tidak ragu untuk mencoba makanan yang baru. Karena itu acara makan menjadi suatu acara yang berkesan bagi kami. Karena tidak ada ikatan bisnis dengan rumah makan manapun, kami tidak perlu menderita kelaparan akibat rumah makan masih jauh. Kami dapat makan kapanpun kami merasa lapar atau tertarik pada jenis makanan tertentu.

Pilihan menjadi backpacker tourist memberi kesempatan kepada kami untuk berkenalan dengan berbagai bangsa di seluruh dunia. Mulai dari Norwegia hingga Perancis, dari Inggris hingga Rumania, dari Canada hingga Argentina, dari Korea hingga Singapura, dari Israel hingga Jepang. Herannya, saat kami berada di Vietnam, kami belum pernah bertemu dengan bangsa sendiri. Sesama backpacker tourist di Vietnam pernah mengatakan, hanya orang Indonesia dan Malaysia yang berwisata sekeluarga. Memang tidak sedikit backpacker tourist yang berwisata sendiri, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu ada juga rombongan yang terdiri dari beberapa orang muda. Hanya kami yang berwisata sekeluarga, selain tentu saja orang Vietnam sendiri.

Pertemuan kami dengan berbagai bangsa membuat kami melihat perbedaan sebagai sesuatu yang indah. Tidak ada rasa minder ketika kami bertemu dengan orang yang berasal dari negara adikuasa. Tidak ada rasa ngeri (seperti yang dialami jika kami berada di Indonesia) ketika kami mendengar orang Vietnam menyebut dirinya komunis dan ditanggapi oleh si Rumania, "I'm communist too." Penyebutan kebangsaan di antara kami lebih bermakna sebagai sapaan bersahabat daripada tembok pembatas. Bahkan tidak jarang, kami menjumpai sesama backpacker tourist memegang buku yang sama sebagai panduan wisata. Sangat jarang kami saling mengetahui nama, namun kami bersama-sama menikmati wisata kami dan tidak jarang saling bertukar informasi tentang tempat wisata yang telah dikunjungi.

Hal lain yang menjadi ciri khas backpacker tourist adalah bawaan. Tentu saja, sesuai namanya bawaan kami dimuat dalam backpack. Sengaja kami membawa baju-baju yang sudah tidak bagus lagi, supaya setelah kotor kami tidak perlu membawanya kembali ketika pulang. Tidak jarang kami memakai lagi pakaian yang sudah dipakai sehari sebelumnya. Baunya.... hahaha.... tidak beda jauh dengan backpacker lain. Jadi kami tidak terlalu banyak membawa baju. Ketika berangkat kami membawa 3 ransel, demikian juga ketika pulang. Bedanya, waktu pulang ransel diisi dengan oleh-oleh. Oleh-olehpun sebisa mungkin tidak terlalu memakan tempat, supaya sampai di Indonesiapun kami tetap backpacker.

Masih banyak pengalaman-pengalaman menarik yang kami alami karena pilihan kami sebagai backpacker tourist. Inilah yang membuat kami yakin, menjadi backpacker tourist adalah pilihan yang terbaik bagi kami.

Melinda

0 Response to "Jadi "backpacker tourist", siapa takut?"

Posting Komentar