(Melinda)
Dalam kunjungan ke Desa Adat Bena di Manggarai, di sebuah rumah ada jejeran mangkuk terbuat dari batok kelapa berikut sendoknya. Untuk minum moke, kata Ibu penghuni rumah, kemudan diralatnya sendiri : untuk makan soto. Aku penasaran dengan kata moke yang pertama kali diucapkannya. Si Ibu menjelaskan bahwa moke adalah arak yang terbuat dari air gula yang diambil dari pohon lontar. Aku jadi teringat pemandangan sabana di kiri-kanan jalan masuk SPRG Penfui belasan tahun yang lalu. Di sabana itu ada banyak pohon lontar. Beberapa kali aku melihat orang memasang wadah besar di pohon lontar. Wadah yang berbentuk sasando dan terbuat dari daun lontar. Wadah ini berfungsi untuk menampung air lontar yang manis. Beberapa kali aku minum air lontar yang baru dipanen. Manis dan segar saat diminum siang hari yang panas. Tapi moke...belum pernah. Seingatku, minuman hasil fermentasi air lontar itu disebut sopi di Kupang.
Ketika kutanyakan di mana bisa mendapatkan moke, Si Ibu menunjukkan sebuah warung di seberang rumahnya, bahkan kemudian mengantarkanku. Di bagian dalam warung ada sebuah gentong tanah liat yang berisi moke yang dijual dengan harga Rp. 10.000,- per botol bir. Aku tidak bermaksud membeli sebanyak itu, sekedar memenuhi rasa penasaran. Penjaga warung memberikanku 1 gelas.
Minuman itu berbau tape, berwarna putih. Saat diminum terasa pahit dan sedikit manis. Tidak enak, sebetulnya. Namun aku minum lebih dari setengah gelas, hanya karena merasa sayang untuk membuangnya. Tidak ada reaksi apa-apa. Setelah itu, aku masih bisa menuruni tangga-tangga batu untuk keluar dari Desa Bena menuju mobil.
Sekitar 15 menit setelah mobil berjalan, kepalaku terasa makin lama makin berat. Leherku serasa membawa bongkahan batu sehingga tidak sanggup menyangganya. Kemudian otot-otot di sekitar mata dan mulut terasa menebal, demikian juga ujung-ujung jari. Mata tak mampu melihat jarak jauh.
Sepanjang perjalanan aku memejamkan mata untuk mengurangi rasa pusing. Otakku tetap bekerja. Aku membayangkan bila reaksi moke ini makin lama akan makin parah dan menimbulkan kerusakan organ-organ vitalku. Kubayangkan jantungku terus terpacu dan aku tak sanggup menahannya dan akhirnya aku mati. Atau otakku menjadi rusak dan ingatanku hilang. Karena itu aku minta Aurima mencatat beberapa kata kunci yang muncul di kepalaku untuk mengingatkanku seandainya aku normal kembali nanti.
Satu jam kemudian, ketika kami tiba di Bajawa, kepalaku menjadi ringan dan tubuh terasa melayang. Aku tidak sanggup duduk untuk makan meski makanan sudah dipesan. Karena itu aku minta diantar ke kamar. Ujung-ujung jari dan otot wajah terasa panas dan kesemutan. Perut terasa mual.
Di kamar, aku tidak bisa tidur, tapi rasa pusing perlahan-lahan hilang. Yang tersisa hanya rasa mual. Gejala mabuk berangsur-angsur hilang. Dalam waktu 3 jam setelah minum moke, reaksi tubuhku muncul dan hilang sendiri. Cukup cepat bagiku yang baru pertama kalinya minum minuman keras. Mungkin didukung juga oleh udara Bajawa yang dingin, sehingga sebagian besar terpakai untuk menghangatkan tubuhku.
Seminggu kemudian, aku menyaksikan acara Jejak Petualang di Trans 7 yang menyiarkan kisah perjalanan reporternya ke Desa Bena berikut moke-nya. Diperlihatkan pula, saat moke yang diletakkan di mangkuk batok kelapa dengan mudahnya terbakar. Waaaahhh....
Setiap perjalanan wisata selalu ada yang istimewa. Bagiku, mabuk moke adalah pengalaman teristimewa dalam perjalanan kami di Flores tahun ini. Cukup sekali.
Yang membuatku tak habis pikir hingga saat ini adalah bagaimana orang bisa kecanduan minuman keras. Rasa tidak enak. Efeknya sama sekali tidak membuat diri nyaman. Tidak membuat hati tenang. Tidak menghilangkan beban pikiran, malah sebaliknya, pikiran menjadi kacau. Semuanya bikin kapok!
,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Mabuk moke"
Posting Komentar