TRIP KE FLORES, antara angan-angan, rencana dan perubahannya serta kejutan-kejutan

(Melinda)

Acara liburan kami tahun ini sudah diangan-angankan sejak berbulan-bulan yang lalu, namun hingga satu bulan sebelum keberangkatan belum ada rencana apa-apa, termasuk pembelian tiket perjalanan. Sudah lama kami berangan-angan pergi ke Pulau Komodo untuk melihat binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup. Kami tidak bisa memastikan tanggal keberangkatan karena Aurima memiliki acara-acara lain yang cukup padat dengan waktu yang belum pasti. Akhirnya … satu bulan sebelumnya… kami mendapatkan kepastian masih ada 13 hari tersisa di penghujung liburan sekolah.

Akibatnya, tiket dan rute penerbanganpun kami cari dalam keadaan terburu-buru. Tentu dengan harga yang sudah melambung tinggi. Hasil perburuan tiket kami adalah penerbangan dari Jakarta ke Denpasar dilanjutkan dengan penerbangan dari Denpasar ke Labuhan Bajo pada tanggal 29 Juni dan penerbangan dari Denpasar ke Jakarta pada tanggal 11 Juli. Kemudian rencana mulai disusun. Perjalanan akan dimulai dari barat (Labuhan Bajo), menyusuri Pulau Flores ke arah timur dan berakhir di Ende. Dari Ende ada penerbangan bersambung menuju Denpasar melalui Kupang, namun belum kami beli karena tidak ada kepastian kesinambungan kedua penerbangan. Lalu aku mengontak beberapa teman di Kupang agar dapat bertemu setidaknya di Bandara Eltari.

Dua hari sebelum keberangkatan, ada pembatalan penerbangan dari Denpasar ke Labuhan Bajo dari pihak maskapai penerbangan! Jadi, kembali tidak ada yang pasti dalam rencana perjalanan kami selain tanggal keberangkan dan kepulangan. Dengan berbekal tiket penerbangan dari Jakarta ke Denpasar dan angan-angan bertemu komodo, kami berangkat.

Syukurlah, begitu tiba di Denpasar kami mendapat penerbangan ke Ende yang berangkat satu jam setelah kami tiba. Karena mepet, kami harus berlari-lari di bandara agar tidak tertinggal pesawat. Huuuhh… seperti di film Home Alone! Untung tidak ada yang tertinggal.

Semua rencana berubah, rute perjalanan berubah dari timur ke barat, begitu pula rencana bertemu teman-teman di Kupang terpaksa dibatalkan. Trip kami mulai dari Ende. Jauh di luar rencana semula, pada malam pertama kami sudah berada di Moni, kota kecamatan yang berada dekat danau Kelimutu.

Secara tidak sengaja, saat kami berjalan-jalan di Moni, kami memasuki desa adat. Belum komersil, karena belum ada di buku Lonely Planet, belum pernah dijual di internet. Memang areanya kecil, tidak sedahsyat Bena, misalnya. Namun, akibatnya kami dapat melihat kehidupan desa adat yang masih asli, tanpa polesan artifisial. Di dalamnya kami menjumpai bangunan-bangunan penyembahan yang berisi rangka nenek moyang penduduk setempat dan kuburan-kuburan, berdampingan dengan rumah tinggal penduduk. Di hari-hari selanjutnya kami melihat juga di tempat-tempat lain hingga Ruteng, masyarakat biasa tinggal berdampingan dengan kuburan. Kuburan bukan merupakan hal yang menakutkan atau angker tapi bagian yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Esok harinya, ketika masih gelap, kami berangkat untuk melihat matahari terbit di kawah Gunung Kelimutu yang berupa 3 danau itu. Saat itu danau berwarna hijau tosca, hijau tua dan merah tua.

Pada hari yang sama, kami kembali ke Ende dan berwisata dalam kota. Ende adalah sebuah kota yang indah, terletak di kaki gunung yang berhadapan langsung dengan pantai. Karena terletak di kaki gunung, udaranya sejuk. Seperti umumnya kota lainnya di Flores, Enda merupakan kota yang tenang. Kami mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno. Sayang saat itu sudah siang, sehingga tidak ada penjaga yang bertugas dan rumah tidak bisa dimasuki, kecuali pekarangannya.
Selain itu, ada lagi tempat bersejarah, yaitu Taman Renungan Bung Karno. Terletak tidak jauh dari pantai, di taman ini masih ada pohon sukun yang katanya merupakan tempat Bung Karno mendapatkan ilham tentang Pancasila. Taman ini menyatu dengan Taman Tenun Ikat yang merupakan kompleks rumah adat yang berbentuk rumah panggung. Di pinggir pantai ada tugu peringatan gempat tahun 1992 berbentuk tiang yang patah sehingga bagian atasnya bergeser.

Esok harinya, dengan mengendarai mobil sewaan kami menuju Bajawa. Di perjalanan, kami berhenti di Puskesmas Kecamatan Nangaroro untuk bertemu dengan Amanda, alumni SPRG Kupang tahun 90-an. Senang rasanya bertemu dengan mantan murid yang terlihat sangat matang sekarang dibandingkan belasan tahun yang lalu.

Menggunakan mobil sewaan ternyata menghemat waktu satu hari, karena wisata di sekitar kota Bajawa dapat dilakukan pada hari yang sama. Sebelum tiba di Bajawa, kami berhenti di Pantai Batu Hijau. Dinamakan demikian karena pantai ini dipenuhi batu-batu berwarna hijau.

Kemudian berhenti juga di Mataloko. Di sini ada bangunan-banguan gereja, sekolah, dan rumah retret yang didirikan oleh misionaris. Tempat yang indah dan sejuk dengan bangunan-bangunan berarsitektur menawan dengan latar belakang bukit-bukit hijau. Sungguh tempat retret yang menenangkan jiwa.

Selain itu, kami juga mampir di Bena, sebuah desa adat dengan bangunan-bangunan penyembahan dan kuburan yang unik berupa batu-batu tinggi berujung lancip yang dikelilingi oleh rumah-rumah kayu yang beratap ilalang yang didirikan di atas batu.

Setelah check-in di Bajawa dan beristirahat sebentar, menjelang sore kami pergi ke tempat pemandian air panas Mengenruda di Soa, di sebelah utara Bajawa. Udara di Bajawa sangat dingin, bahkan pada ketika kami tiba sekitar pukul 2 siang, karena itu mandi di sumber air panas membuat tubuh kami lebih hangat.

Setelah menginap semalam di Bajawa, kami melanjutkan perjalanan ke Riung dengan mengendarai bis umum. Di Riung kami menginap 2 mlam karena memerlukan satu hari untuk berwisata di Taman Laut 17 Pulau. Taman laut ini nyaris tidak tersentuh peradaban manusia, masih sedikit wisatawan yang mengunjunginya. Didukung pula dengan jalan sempit, turun naik dan berkelok-kelok untuk mencapai kota kecamatan ini.

Saat menunggu bis yang akan membawa kami meninggalkan Riung, ada seorang ibu memanggil namaku…. Ternyata Aurelia, alumni SPRG Kupang lagi! Wah, benar-benar tidak terduga! Di tempat terpencil ini bisa bertemu kenalan. Ada waktu cukup lama untuk bertukar cerita setelah belasan tahun tidak bertemu.

Dari Riung, kami melakukan perjalanan panjang penuh kelok dan turun naik ke Ruteng. Di Ruteng, kami sempat berkeliling kota dengan bemo sebelum diturunkan di biara Bunda Maria Menangis, tempat kami menginap. Seperti Bajawa, Ruteng juga berada di dataran tinggi. Ada banyak gereja dan biara di ruteng dengan bentuk bangunan yang bagus-bagus.

Kami menginap satu malam di Ruteng sebelum melanjutkan perjalanan ke Labuhan Bajo dengan travel. Hari pertama di Labuhan Bajo kami menyelam di perairan Pulau Komodo. Esok harinya kami mengambil wisata dengan kapal selama 4 hari 3 malam sekaligus menyusuri jalan pulang ke arah barat. Perjalanan wisata ini meliputi snorkeling di Pantai Merah, Pulau kelor, trekking di Pulau Rinca dan Pulau Komodo, menyaksikan kelelawar terbang pada malam hari dan mancing di perairan Pulau Komodo, mandi di air terjun di Pulau Moyo, melihat danau air asin di Pulau Satonda dan berakhir di Labuhan Lombok yang terletak di Lombok Timur ditambah perjalanan dengan mobil sampai Senggigi.

Malam terakhir cuti kami adalah menginap di Senggigi sebelum esok harinya naik kapal (lagi!) menuju Bali dan terbang menuju Jakarta pada malam harinya.

Liburan telah usai. Banyak tempat menarik dan peristiwa berkesan yang kami lewati. Besok Aurima sudah kembali masuk sekolah.

3 Response to "TRIP KE FLORES, antara angan-angan, rencana dan perubahannya serta kejutan-kejutan"

  1. Liani Says:
    14 Juli 2010 pukul 09.00

    Seru!

  2. Rasid Rachman says:
    31 Juli 2010 pukul 19.02

    Memang seru banget, jalan, diving, hiking, treking, kemping, jadi satu.

  3. Avil says:
    7 Januari 2011 pukul 16.56

    bisa minta realisasi biaya ga selama liburan ini,.. soalny aku ada rencana juga bulan mei.. mau tau budgetnya :D thanks

Posting Komentar