,
Dari Miri, kami naik land cruiser ke Long San, kota sangat kecil,
mungkin bisa disebut desa. Rombongan bertambah 3 orang : pendeta dari Miri,
supir dan seorang penginjil. Perjalanan melewati jalan tanah merah yang dikeraskan, tidak
ada aspal. Sudah lama tidak hujan, jadi tanahnya kering, berdebu dan panas. Untungnya
mobil ber-AC. Perjalanan kira-kira 6 jam, melewati banyak kamp pengolahan kayu.
Jalan tidak selalu di kiri, tergantung tanda yang ada di pinggir jalan. Memang jalan sangat sepi, jarang berpapasan dengan mobil lain. Paling banter truk-truk pembawa kayu gelondong. Truk-truk itu jalannya ngebut, ngeri juga kalau ketiban tuh.... Nah tanda-tanda di pinggir jalan itu mesti dipatuhi, demi keselamatan. Kadang-kadang harus jalan di kanan, untuk menghindari tikungan atau jurang atau longsoran tanah. Jadi sopir tidak boleh mengantuk.
Sampai di Long San sudah hampir tengah malam. Tidur satu malam, besoknya berangkat ke Long Ba Lai, dusun pertama. Untuk ke sana harus naik Land Cruiser 4 jam, terus jalan sekitar 2 jam naik-turun bukit. Perjalanan kaki ini mengingatkan gue dengan pengalaman di Toraja dulu, untuk jalan ke satu desa
harus jalan di hutan. Asik ….
Dari 4 orang bukan Malaysia, aku paling perkasa. Siu Fui, si dokter umum tidak biasa jalan seperti anak kota umumnya. Terus Hizkia, si pendeta sebetulnya kuat, cuma sudah tua (50-an), jadi masih kalah dariku. Yang paling memble Joseph, pendeta juga. Jalan kaki yang paling lama ditempuhnya di Singapura hanya 5 menit, selalu ada AC dan selalu naik escalator di kantor. Selama perjalanan, dia beberapa kali bilang rasanya lebih baik mati dan mau mati. Untung tidak mati betulan….. Perjalanan yang kutempuh dalam 1 3/4 jam, ditempuh Joseph dalam 4 jam.
Sampai di Ba Lai, sudah sore. Di sini siang hari sangat panas, sedangkan malam hari sangat dingin. Matahari baru terbenam jam 7 malam. Jadi sampai jam 16.30 masih panas. Begitu tiba kami disuguhi singkong goreng. Kelaparan, aku makan banyak sekali. Siu Fui tidak menyentuh sama sekali. Tak berselera mungkin.
Jalan tidak selalu di kiri, tergantung tanda yang ada di pinggir jalan. Memang jalan sangat sepi, jarang berpapasan dengan mobil lain. Paling banter truk-truk pembawa kayu gelondong. Truk-truk itu jalannya ngebut, ngeri juga kalau ketiban tuh.... Nah tanda-tanda di pinggir jalan itu mesti dipatuhi, demi keselamatan. Kadang-kadang harus jalan di kanan, untuk menghindari tikungan atau jurang atau longsoran tanah. Jadi sopir tidak boleh mengantuk.
Sampai di Long San sudah hampir tengah malam. Tidur satu malam, besoknya berangkat ke Long Ba Lai, dusun pertama. Untuk ke sana harus naik Land Cruiser 4 jam, terus jalan sekitar 2 jam naik-turun bukit. Perjalanan kaki ini mengingatkan gue dengan pengalaman di Toraja dulu, untuk jalan ke satu desa
harus jalan di hutan. Asik ….
Dari 4 orang bukan Malaysia, aku paling perkasa. Siu Fui, si dokter umum tidak biasa jalan seperti anak kota umumnya. Terus Hizkia, si pendeta sebetulnya kuat, cuma sudah tua (50-an), jadi masih kalah dariku. Yang paling memble Joseph, pendeta juga. Jalan kaki yang paling lama ditempuhnya di Singapura hanya 5 menit, selalu ada AC dan selalu naik escalator di kantor. Selama perjalanan, dia beberapa kali bilang rasanya lebih baik mati dan mau mati. Untung tidak mati betulan….. Perjalanan yang kutempuh dalam 1 3/4 jam, ditempuh Joseph dalam 4 jam.
Sampai di Ba Lai, sudah sore. Di sini siang hari sangat panas, sedangkan malam hari sangat dingin. Matahari baru terbenam jam 7 malam. Jadi sampai jam 16.30 masih panas. Begitu tiba kami disuguhi singkong goreng. Kelaparan, aku makan banyak sekali. Siu Fui tidak menyentuh sama sekali. Tak berselera mungkin.
Jam 18 baru adem, jadi baru mandi. Mandinya di kali, mesti
turun sedikit dari perkampungan. Pengalaman pertama mandi di kali. Dipinjemkan
sarung, terus diantar ke kali. Saat membuka baju ditunggui, terus baju kami
diminta untuk dicucikan. Busyet... jadi raja nih. Seru juga mandi di kali, mana
airnya sejuk lagi. Sejuk bahasa Melayu artinya dingin. Segar...
Di sini mereka dibiasakan untuk tidak mengotori air sungai dari hulu. Jadi di dusun ada jamban, disebutnya tandas berupa lobang yang dibuat di atas tanah, dikurung kayu-kayu ukuran 50X50 cm, tinggi 1 meter. Di situ aku jarang minum, soalnya malas kencingnya. Sebisa mungkin aku kencing hanya saat mandi di kali.
Di Ba Lai kami tinggal 2 hari 3 malam. Waktunya bertepatan dengan perayaan Paskah, beberapa desa kumpul di sana. Jarak antar desa bisa 2-3 hari perjalanan kaki. Karena jarang, mereka senang sekali dengan acara ini. Juga dengan kita. Sehari kebaktian sampai 2 kali. di antara kedua kebaktian, waktu digunakan dengan membuka klinik.
Kebaktian pertama kuikuti dengan perasaan tegang dan salah tingkah. Maklum, tidak biasa dengan bentuk kebaktian Pantekosta. Di Sarawak, gereja terbesar SIB (Sidang Injili Borneo), aliran Pantekosta. Kebaktian kedua, saat khotbah aku tidak tahan, kutinggal tidur. Setelah itu, lama-lama jadi biasa juga. Meskipun tidak ikut nyanyi dan tepuk tangan, aku bisa bertahan selama kebaktian yang berlangsung 2-3 jam!
Buka klinik biasanya jam 7 sampai 9 pagi, sesudah sarapan. Terus minum-minum, ada snack / mi instan goreng. Terus kebaktian sampai jam 12 atau 13. Makan siang, terus buka klinik sampai jam 17. Minum lagi dengan snack. Mandi, terus makan malem. Abis itu kebaktian lagi bisa sampai jam 11 atau 1 dinihari. Mabok juga kalo ngikutin terus. Tapi makannya itu lho... yang mantep.
Di sini mereka dibiasakan untuk tidak mengotori air sungai dari hulu. Jadi di dusun ada jamban, disebutnya tandas berupa lobang yang dibuat di atas tanah, dikurung kayu-kayu ukuran 50X50 cm, tinggi 1 meter. Di situ aku jarang minum, soalnya malas kencingnya. Sebisa mungkin aku kencing hanya saat mandi di kali.
Di Ba Lai kami tinggal 2 hari 3 malam. Waktunya bertepatan dengan perayaan Paskah, beberapa desa kumpul di sana. Jarak antar desa bisa 2-3 hari perjalanan kaki. Karena jarang, mereka senang sekali dengan acara ini. Juga dengan kita. Sehari kebaktian sampai 2 kali. di antara kedua kebaktian, waktu digunakan dengan membuka klinik.
Kebaktian pertama kuikuti dengan perasaan tegang dan salah tingkah. Maklum, tidak biasa dengan bentuk kebaktian Pantekosta. Di Sarawak, gereja terbesar SIB (Sidang Injili Borneo), aliran Pantekosta. Kebaktian kedua, saat khotbah aku tidak tahan, kutinggal tidur. Setelah itu, lama-lama jadi biasa juga. Meskipun tidak ikut nyanyi dan tepuk tangan, aku bisa bertahan selama kebaktian yang berlangsung 2-3 jam!
Buka klinik biasanya jam 7 sampai 9 pagi, sesudah sarapan. Terus minum-minum, ada snack / mi instan goreng. Terus kebaktian sampai jam 12 atau 13. Makan siang, terus buka klinik sampai jam 17. Minum lagi dengan snack. Mandi, terus makan malem. Abis itu kebaktian lagi bisa sampai jam 11 atau 1 dinihari. Mabok juga kalo ngikutin terus. Tapi makannya itu lho... yang mantep.
Setelah 3 malem di Ba Lai, kita kembali ke Long San.
Perjalanan lebih cepat, karena jalan kaki lebih banyak turun. Di Long San
menginap semalem, kebaktian malam sekali. Besoknya ke Long Sepatai. Perjalanan
dengan perahu di sungai yang airnya tidak terlalu banyak. Jadi harus sering
turun dari perahu saat tidak air, berjalan di bebatuan sementara perahu ditarik. Naik perahu 2 1/2 jam, terus
jalan kaki 4 jam menyebrang dan menyusuri sungai. Jalan datar, tapi banyak rintangan. Jadi panjang waktu tempuhnya.
Acara di Sepatai sama dengan Ba Lai. Pulangnya bisa lebih cepat, karena air sungai sedikit lebih tinggi, jadi tidak terlalu banyak "narik" perahu. Naik perahu cuma 1 1/2 jam. Hari itu juga langsung naik Land Cruiser kembali ke Miri. Cuma ditengah jalan, tertahan di kilometer 10, kamp pengolahan kayu. Diminta melayankan kebaktian. Sekitar 6 jam kita di sana. Jadi sampai di Miri sudah berganti hari, jam 4 pagi. Di kilometer 10 ini banyak orang Indonesia yang jadi tenaga kerja gelap, datang lewat hutan, tanpa melewati imigrasi.
Kuliat-liat di peta, ternyata perjalanan kami ke hulu itu sudah dekat sekali dengan perbatasan dengan Indonesia (Kalimantan Timur).
Di Miri, aku sempat nonton final Thomas Cup di TV. Seneng juga dapat kabar tentang Indonesia setelah 2 minggu tanpa berita. Padahal kalo di Indonesia belom tentu juga aku nonton. Semalam di Miri, terus balik ke Singapura.
Oh ya, akibat perjalanan ini, kulitku jadi gosong terbakar matahari dan bentol-bentol digigit macam-macam serangga. Gatalnya lama hilangnya. Tapi asik ..., hitung-hitung cuti gratis, dibayar lagi. Pulang bawa berkat $ 200 + RM50.
Acara di Sepatai sama dengan Ba Lai. Pulangnya bisa lebih cepat, karena air sungai sedikit lebih tinggi, jadi tidak terlalu banyak "narik" perahu. Naik perahu cuma 1 1/2 jam. Hari itu juga langsung naik Land Cruiser kembali ke Miri. Cuma ditengah jalan, tertahan di kilometer 10, kamp pengolahan kayu. Diminta melayankan kebaktian. Sekitar 6 jam kita di sana. Jadi sampai di Miri sudah berganti hari, jam 4 pagi. Di kilometer 10 ini banyak orang Indonesia yang jadi tenaga kerja gelap, datang lewat hutan, tanpa melewati imigrasi.
Kuliat-liat di peta, ternyata perjalanan kami ke hulu itu sudah dekat sekali dengan perbatasan dengan Indonesia (Kalimantan Timur).
Di Miri, aku sempat nonton final Thomas Cup di TV. Seneng juga dapat kabar tentang Indonesia setelah 2 minggu tanpa berita. Padahal kalo di Indonesia belom tentu juga aku nonton. Semalam di Miri, terus balik ke Singapura.
Oh ya, akibat perjalanan ini, kulitku jadi gosong terbakar matahari dan bentol-bentol digigit macam-macam serangga. Gatalnya lama hilangnya. Tapi asik ..., hitung-hitung cuti gratis, dibayar lagi. Pulang bawa berkat $ 200 + RM50.
Melinda
0 Response to "Singapura - Sarawak 10 tahun yang lalu : treking"
Posting Komentar