,
Selama 16 hari trip, kami tidak keluar uang sama sekali.
Ditanggung AFC semuanya, termasuk telepon ke Indonesia. Uang cuma terpakai
untuk oleh-oleh dan kencing aja. Makan selalu di luar, kecuali saat di
desa. Makan dan makanan merupakan pengalaman yang paling banyak variasinya
selama perjalananku ini. Aku berkenalan dengan bermacam-macam makanan baru.
Tapi soal rasa, bagi lidahku tetap makanan di Indonesia paling enak.
Di Singapura ada chicken rice. Sama dengan nasi hainam di Indonesia. Tapi rasanya hambar, seperti kurang bumbu. Ada lagi rujak. Isinya buah-buahan dengan sambal petis, gula, kacang, seperti rujak manis Surabaya. Ditambah cakwe dan potongan kulit / jaringan binatang entah apa …. jadi seperti rujak cingur. Tapi rasnya masih lebih sedap di Malang. Menurut Elisa, ada lagi yang namanya rujak India. Ini isinya daging, tidak ada sayur dan buah. Tapi belum kucoba. Di food courts yang kulihat , biasanya ada kantin makanan India, tapi belum pernah kucoba. Malu-malu, soalnya tidak bayar sendiri.
Di Singapura ada chicken rice. Sama dengan nasi hainam di Indonesia. Tapi rasanya hambar, seperti kurang bumbu. Ada lagi rujak. Isinya buah-buahan dengan sambal petis, gula, kacang, seperti rujak manis Surabaya. Ditambah cakwe dan potongan kulit / jaringan binatang entah apa …. jadi seperti rujak cingur. Tapi rasnya masih lebih sedap di Malang. Menurut Elisa, ada lagi yang namanya rujak India. Ini isinya daging, tidak ada sayur dan buah. Tapi belum kucoba. Di food courts yang kulihat , biasanya ada kantin makanan India, tapi belum pernah kucoba. Malu-malu, soalnya tidak bayar sendiri.
Di Singapura ada kebiasaan kalau makan bersama, salah satu
sajiannya adalah sup yang disajikan dalam mangkok besar. Semua makan dari
mangkok itu. Lauk juga disajikan di tempat besar tanpa sendok. Semua menyendok
dari situ. Amit-amit deh, bisa menghilangkan selera. Tapi untungnya Joseph mengerti,
karena istrinya orang Indonesia juga. Setiap kali makan, dia minta mangkok
kecil dan sendok sayur.
Di Singapura, juga di Malaysia ada laksa kari. Ternyata maksudnya laksa itu bihun yang ukurannya besar. Seperti laksa Tangerang. Bumbu / kuahnya kari India, merah dan pedes. Lain rasanya, tapi enak.
Minuman di Singapura dan Sarawak banyak macamnya, yang kalengan juga banyak. Ada cincau (halus-halus), air tebu, rumput laut, lidah buaya, teh bunga, tidak ingat lagi. Kalo kita minta teh, dikasihnya teh dengan susu. Kalo teh saja namanya teh-o. Kalau kopi saja, kopi-o. Ada lagi macem-macem es. Aku tidak ingat namanya, seperti es campur tapi banyak variasinya, tergantung isinya. Aku pernah mencoba es sea-coconut, ternyata siwalan pakai gula merah dan santan.
Di Miri banyak Chinese food. Kantin-kantin buka dari pagi sampai malam. Pagi hari saat toko-toko lain belum buka, kantin sudah buka, meja-meja dan kursi makan betebaran di kaki lima depan toko yang masih tutup. Dan selalu ramai. Dim sum di sini murah, dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia dim sum lengkap hanya ada di hotel-hotel berbintang, jadi mahal. Di Miri, ada di kantin-kantin. Kita makan ber6-7 orang, cuma abis RM15-an (30 ribuan rp). Enak lagi.
Di Miri aku belajar olahan misoa yang baru. Selama ini aku cuma mengenal misoa dimasak dengan oyong, kocokan telor dan kuah. Di sini aku makan misoa ayam, bentuknya seperti mi kuah. Jadi makannya tidak sama nasi. Isinya misoa banyak, telor rebus, ayam rebus, kuah dan sledri. Enak juga dan kenyang. Kapan-kapan akan kucoba buat sendiri di rumah. Katanya ada juga misoa goreng, jadi seperti bihun
goreng. Aku belum pernah coba. Apa bisa ya? Tidak hancur?
Terus ada macem-macem olahan mi. Yang seperti mi ayam di Indonesia disebut mi kering atau kolomi. Terus ada claypot mee - seperti mi rebus (kuah banyak). Ada mi goreng basah dan mi goreng soup. Mi-nya tebal seperti mi Hokian. Digoreng dulu (keliatan bekas gorengannya). Terus disiram dengan saos / kuah warna coklat. Kalo basah, jadi seperti lomie Pinangsia. Kalo soup, lebih banjir. Isinya sama : udang,sayur, cumi.
Sebelum berangkat ke Long San, sempet makan duck rice. Seperti chicken rice di Singapura, cuma ini bebek, dan rasanya lebih enak.
Soal harga, di Malaysia makanan harganya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Kalo di Singapura, bisa 2 kali lipat.
Tadi soal makan di kota. Kalau di desa dan di perjalanan lain lagi. Untuk perjalanan ke desa, biasanya kita dibawakan nasi 1 panci. Di sini nasi selalu diliwet. Lauknya, biasanya kalengan. Pernah juga dibawakan ikan goreng, babi hutan rebus. Kalo sudah tiba waktunya makan, orang-orang yang mengantar / menjemput (dari dusun) mencari daun lebar, seperti daun pisang. Beberapa daun digelar dempet-dempet, terus nasi dituang di tengah-tengahnya. Terus lauk diletakkan di pinggiran. Rombongan “orang kota” langsung mengambil dan meletakkan di piring masing-masing. Setelah itu orang-orang dusun, makan langsung dari daun itu, "satu piring" rame-rame, jongkok di sekitar makanan. Tidak ada istilah higienis. Daun dipetik, tanpa dicuci langsung dipakai sebagai alas makanan. Sehabis perjalanan penuh debu, tanpa cuci tangan langsung makan. Kalau mau tambah lauk, langsung comot. Seru juga, dan hebatnya, selama perjalanan belum ada yang sakit gara-gara makan dengan gaya seperti itu.
Di dusun, penduduk setempat memasak makanan untuk kami. Makanan kaleng diolah atau sayur
dari kebun atau hutan. Sayur yang banyak di sana : daun paku, daun singkong dan sejenis bunga, entah apa namanya, berwarna merah, wangi, berserat seperti nangka muda. Ada lagi daun miding, seperti daun melinjo strukturnya, tapi katanya pohonnya tidak berbuah. Semua sayur diolah dengan cara yang sama : ditumis dengan bawang. Kecuali daun singkong, ditumbuk halus dulu, baru ditumis. Bentuknya seperti habis dikunyah oleh sapi.
Lauknya ayam, ikan atau babi dioleh dengan sederhana, direbus. Meskipun demikian terasa enak kuahnya, tanpa MSG sudah gurih. Mungkin karena semuanya binatang tanpa pelet. Mereka juga makan pelanduk, tapi kami tidak sempat mencobanya. Tidak dapat tangkapan pelanduk saat kami di sana. Hampir saja kami tidak mencoba babi hutan juga. Tapi pada malam terakhir di Ba Lai, setelah makan malam, mereka berhasil menangkap seekor. Besoknya setelah diolah, dibawa buat dimakan di perjalanan.
Kalo pagi, umumnya kita makan Indomie goreng. Jauh-jauh, ketemunya Indomie juga. Indomie seleraku..... Di Sepatai, nasi selalu dibungkus daun sejenis daun pisang, seperti nasi timbel.
Setiap malam terakhir di satu tempat, makan / suasana makan dibuat istimewa. Di Ba Lai, makan di gereja, bersama-sama penduduk. Di Sepatai, makan di rumah panjang. Menu sama saja. Di Miri, ditraktir makan di pinggir laut. Di Singapura, ditraktir di restoran Cina. Tapi aku tidak ikut, soalnya pergi dengan Elisa.
Asik bicara tentang makan. Gak tau nih yang baca, asik gak? Kupikir, dengan cara makan selama 16 hari seperti itu, aku bakal jadi gemuk. Ternyata tadi kutimbang, tidak naik, malah turun 1 kg. Tapi pinggang rasanya lebih lebar, soalnya rok sudah tidak muat lagi.
Di Singapura, juga di Malaysia ada laksa kari. Ternyata maksudnya laksa itu bihun yang ukurannya besar. Seperti laksa Tangerang. Bumbu / kuahnya kari India, merah dan pedes. Lain rasanya, tapi enak.
Minuman di Singapura dan Sarawak banyak macamnya, yang kalengan juga banyak. Ada cincau (halus-halus), air tebu, rumput laut, lidah buaya, teh bunga, tidak ingat lagi. Kalo kita minta teh, dikasihnya teh dengan susu. Kalo teh saja namanya teh-o. Kalau kopi saja, kopi-o. Ada lagi macem-macem es. Aku tidak ingat namanya, seperti es campur tapi banyak variasinya, tergantung isinya. Aku pernah mencoba es sea-coconut, ternyata siwalan pakai gula merah dan santan.
Di Miri banyak Chinese food. Kantin-kantin buka dari pagi sampai malam. Pagi hari saat toko-toko lain belum buka, kantin sudah buka, meja-meja dan kursi makan betebaran di kaki lima depan toko yang masih tutup. Dan selalu ramai. Dim sum di sini murah, dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia dim sum lengkap hanya ada di hotel-hotel berbintang, jadi mahal. Di Miri, ada di kantin-kantin. Kita makan ber6-7 orang, cuma abis RM15-an (30 ribuan rp). Enak lagi.
Di Miri aku belajar olahan misoa yang baru. Selama ini aku cuma mengenal misoa dimasak dengan oyong, kocokan telor dan kuah. Di sini aku makan misoa ayam, bentuknya seperti mi kuah. Jadi makannya tidak sama nasi. Isinya misoa banyak, telor rebus, ayam rebus, kuah dan sledri. Enak juga dan kenyang. Kapan-kapan akan kucoba buat sendiri di rumah. Katanya ada juga misoa goreng, jadi seperti bihun
goreng. Aku belum pernah coba. Apa bisa ya? Tidak hancur?
Terus ada macem-macem olahan mi. Yang seperti mi ayam di Indonesia disebut mi kering atau kolomi. Terus ada claypot mee - seperti mi rebus (kuah banyak). Ada mi goreng basah dan mi goreng soup. Mi-nya tebal seperti mi Hokian. Digoreng dulu (keliatan bekas gorengannya). Terus disiram dengan saos / kuah warna coklat. Kalo basah, jadi seperti lomie Pinangsia. Kalo soup, lebih banjir. Isinya sama : udang,sayur, cumi.
Sebelum berangkat ke Long San, sempet makan duck rice. Seperti chicken rice di Singapura, cuma ini bebek, dan rasanya lebih enak.
Soal harga, di Malaysia makanan harganya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Kalo di Singapura, bisa 2 kali lipat.
Tadi soal makan di kota. Kalau di desa dan di perjalanan lain lagi. Untuk perjalanan ke desa, biasanya kita dibawakan nasi 1 panci. Di sini nasi selalu diliwet. Lauknya, biasanya kalengan. Pernah juga dibawakan ikan goreng, babi hutan rebus. Kalo sudah tiba waktunya makan, orang-orang yang mengantar / menjemput (dari dusun) mencari daun lebar, seperti daun pisang. Beberapa daun digelar dempet-dempet, terus nasi dituang di tengah-tengahnya. Terus lauk diletakkan di pinggiran. Rombongan “orang kota” langsung mengambil dan meletakkan di piring masing-masing. Setelah itu orang-orang dusun, makan langsung dari daun itu, "satu piring" rame-rame, jongkok di sekitar makanan. Tidak ada istilah higienis. Daun dipetik, tanpa dicuci langsung dipakai sebagai alas makanan. Sehabis perjalanan penuh debu, tanpa cuci tangan langsung makan. Kalau mau tambah lauk, langsung comot. Seru juga, dan hebatnya, selama perjalanan belum ada yang sakit gara-gara makan dengan gaya seperti itu.
Di dusun, penduduk setempat memasak makanan untuk kami. Makanan kaleng diolah atau sayur
dari kebun atau hutan. Sayur yang banyak di sana : daun paku, daun singkong dan sejenis bunga, entah apa namanya, berwarna merah, wangi, berserat seperti nangka muda. Ada lagi daun miding, seperti daun melinjo strukturnya, tapi katanya pohonnya tidak berbuah. Semua sayur diolah dengan cara yang sama : ditumis dengan bawang. Kecuali daun singkong, ditumbuk halus dulu, baru ditumis. Bentuknya seperti habis dikunyah oleh sapi.
Lauknya ayam, ikan atau babi dioleh dengan sederhana, direbus. Meskipun demikian terasa enak kuahnya, tanpa MSG sudah gurih. Mungkin karena semuanya binatang tanpa pelet. Mereka juga makan pelanduk, tapi kami tidak sempat mencobanya. Tidak dapat tangkapan pelanduk saat kami di sana. Hampir saja kami tidak mencoba babi hutan juga. Tapi pada malam terakhir di Ba Lai, setelah makan malam, mereka berhasil menangkap seekor. Besoknya setelah diolah, dibawa buat dimakan di perjalanan.
Kalo pagi, umumnya kita makan Indomie goreng. Jauh-jauh, ketemunya Indomie juga. Indomie seleraku..... Di Sepatai, nasi selalu dibungkus daun sejenis daun pisang, seperti nasi timbel.
Setiap malam terakhir di satu tempat, makan / suasana makan dibuat istimewa. Di Ba Lai, makan di gereja, bersama-sama penduduk. Di Sepatai, makan di rumah panjang. Menu sama saja. Di Miri, ditraktir makan di pinggir laut. Di Singapura, ditraktir di restoran Cina. Tapi aku tidak ikut, soalnya pergi dengan Elisa.
Asik bicara tentang makan. Gak tau nih yang baca, asik gak? Kupikir, dengan cara makan selama 16 hari seperti itu, aku bakal jadi gemuk. Ternyata tadi kutimbang, tidak naik, malah turun 1 kg. Tapi pinggang rasanya lebih lebar, soalnya rok sudah tidak muat lagi.
Melinda
0 Response to "Singapura - Sarawak 10 tahun yang lalu : makan"
Posting Komentar