,
Sama seperti di wilayah Kalimantan lainnya, penduduk asli
Sarawak adalah Dayak. Suku-suku Dayak yang ada di Sarawak di antaranya adalah Iban,
Kayan, Kayak, Penan. Yang kami kunjungi adalah suku Dayak Penan. Mereka
tersebar di beberapa dusun dengan jumlah penduduk sekitar 100-200 an orang. Jarak
satu dusun dari dusun lainnya dapat mereka tempuh dalam waktu 1-3 hari dengan
berjalan kaki. Kalau kami yang berjalan mungkin perlu waktu 1 atau 2 minggu.
Kami datang bertepatan dengan saat perayaan Paskah. Jadi penduduk dari dusun-dusun tetangga datang juga. Kira-kira penduduk dari 7 dusun berkumpul selama 2 hari 3 malam. Seperti semacam retret. Acaranya banyak kebaktian, KKR dan baptis. Mereka seneng dengan kedatangan kami, karena jarang terjadi. Acara "ngumpul antar dusun" hanya 1 tahun sekali, di sekitar Paskah.
Mereka tinggal di rumah-rumah panjang. Kalau dibandingkan Toraja dan Bali, tampaknya budaya mereka kurang dipelihara dan tidak berkembang. Rumah-rumah mereka sangat sederhana, hanya bilah-bilah kayu dipantek. Tidak ada ukiran. Sudah jarang yang menguasai alat musik tradisional. Aku sempat
berpikir, misionaris yang datang tampaknya juga tidak kontekstual. Mereka sepertinya mau mengubah masyarakat asli menjadi masyarakat seperti mereka. Mereka datang dengan membawa generator, gitar listrik, drum-set dan barang-barang modern lain. Lagu-lagu daerah yang udah diberi syair Kristen jadi terdengar aneh saat dinyanyikan dengan iringan alat musik elektrik. Tidak pas di telinga.
Kami datang bertepatan dengan saat perayaan Paskah. Jadi penduduk dari dusun-dusun tetangga datang juga. Kira-kira penduduk dari 7 dusun berkumpul selama 2 hari 3 malam. Seperti semacam retret. Acaranya banyak kebaktian, KKR dan baptis. Mereka seneng dengan kedatangan kami, karena jarang terjadi. Acara "ngumpul antar dusun" hanya 1 tahun sekali, di sekitar Paskah.
Mereka tinggal di rumah-rumah panjang. Kalau dibandingkan Toraja dan Bali, tampaknya budaya mereka kurang dipelihara dan tidak berkembang. Rumah-rumah mereka sangat sederhana, hanya bilah-bilah kayu dipantek. Tidak ada ukiran. Sudah jarang yang menguasai alat musik tradisional. Aku sempat
berpikir, misionaris yang datang tampaknya juga tidak kontekstual. Mereka sepertinya mau mengubah masyarakat asli menjadi masyarakat seperti mereka. Mereka datang dengan membawa generator, gitar listrik, drum-set dan barang-barang modern lain. Lagu-lagu daerah yang udah diberi syair Kristen jadi terdengar aneh saat dinyanyikan dengan iringan alat musik elektrik. Tidak pas di telinga.
Ngenes juga mendengar pengalaman desa-desa lain yang mendapat
generator dari misionaris. Untuk mencapai desa harus menempuh jalan sulit. Jadi
untuk mendapat listrik, mereka harus bersusah payah membawa bahan bakar. Tanpa
bahan bakar, generator tidak bisa berfungsi. Dan kalau generator rusak, tidak
ada yang bisa memperbaiki. Bantuan yang merepotkan yang dibantu…..
Yang membuatku prihatin adalah sikap apatis mereka, terutama penduduk di Long Sepatai. Entah karena terlalu banyak dicekoki modernitas atau emang pada dasarnya mereka apatis. Saat aku mengajukan pertanyaan yang cukup dijawab ya atau tidak, mereka menjawab hanya dengan gerakan kepala saja. Itupun harus menunggu lama sekali, dan tidak terlalu jelas gerakannya. Saat kebaktian, sulit sekali diajak berdiri. Bisa memakan waktu 1 menit setelah ajakan pertama, baru semua berdiri. Bernyanyipun ogah-ogahan, yang kedengaran cuma suara pastor-pastor dan istrinya. Ini cuma beberapa contoh aja.
Yang membuatku prihatin adalah sikap apatis mereka, terutama penduduk di Long Sepatai. Entah karena terlalu banyak dicekoki modernitas atau emang pada dasarnya mereka apatis. Saat aku mengajukan pertanyaan yang cukup dijawab ya atau tidak, mereka menjawab hanya dengan gerakan kepala saja. Itupun harus menunggu lama sekali, dan tidak terlalu jelas gerakannya. Saat kebaktian, sulit sekali diajak berdiri. Bisa memakan waktu 1 menit setelah ajakan pertama, baru semua berdiri. Bernyanyipun ogah-ogahan, yang kedengaran cuma suara pastor-pastor dan istrinya. Ini cuma beberapa contoh aja.
Ada lagi, khususnya di Sepatai, mereka engga berusaha bercocok tanam. Mereka cuma menanam padi. Untuk sayur dan daging, mereka mengambil yang ada di hutan saja. Tidak berusaha berkebun dan beternak. Jadi hidup dijalani cuma buat berburu, makan dan tidur. Jadi sepertinya usaha-usaha yang dilakukan misionaris tidak bermanfaat dan tidak nyambung dengan kebutuhan mereka. Di Ba Lai masih mendingan , di ladang mereka nanem juga jagung, singkong, sayur.
Melinda
0 Response to "Singapura - Sarawak 10 tahun yang lalu : penduduk asli"
Posting Komentar