Singapura - Sarawak 10 tahun yang lalu : bahasa dan kebiasaan


Perjalanan ke Sarawak ini menyadarkanku akan perlunya aktif berbahasa Inggris. Juga menyayangkan bahasa Inggris tidak dipakai di Indonesia sebagai bahasa nasional selain bahasa Indonesia. Sepanjang pengamatanku selama beberapa hari, orang-orang di Singapura dan Malaysia paling sedikit menguasai 2 bahasa, yang satu pasti bahasa Inggris. Bahkan mahasiswa di Singapura menguasai 3 bahasa (Inggris,
Melayu, Mandarin). Di kota kecil di Malaysia seperti Miri, penduduknya menguasai 3 bahasa : Melayu,
Inggris dan bahasa daerah. Yang mengagumkan, aku bertemu seorang yang menguasai sekitar 12 bahasa karena sering bepergian ke dusun-dusun, padahal pendidikannya "hanya' setingkat SMA.

Orang-orang Kristen di Sarawak mendapatkan Alkitab pertamanya dari Lembaga Alkitab Indonesia. Jadi bahasa mereka lebih dekat ke Indonesia, daripada ke Melayu. Rata-rata pastor yang melayani di dusun-dusun bisa berbahasa Indonesia, dan ada yang bisa bahasa Inggris juga. Malu rasanya melihat orang yang berasal dari masyarakat yang tidak se”modern”ku  menguasai 3 bahasa, sedangkan aku 2 bahasa saja tidak fasih.

Orang Malaysia kalau bilang  pk 7.30 : pukul 7 setengah. Di pesawat, pramugarinya bilang : Bila tuen-tuen dan puen-puen ada keperluan, sile berhubung dengan kaki tangan kami di bandar.

Bahasa Inggris orang Singapura lain dengan bahasa Inggris yang kupelajari di sekolah dulu.  Mereka gampang banget berkata "finish", misalnya untuk arti mati, berantakan. Ada partikel “lah” seperti bahasa orang Glodok “cincai-lah” yang ditambahkan pada kata berbahasa Inggris, misalnya “interesting-lah” Pelafalannya juga beda. Kalau mau jalan-jalan di mall, sebelumnya kita mesti ke “kapak” (car park) dulu buat parkir mobil.

Soal kebiasaan 

Yang kukagumi pada orang Singapura adalah kedisiplinannya. Aku menjadi orang norak saat pertama
kali di bandara waktu baru tiba di sana. Saat di bagian imigrasi, aku berdiri di belakang orang yang sedang berurusan dengan petugas imigrasi. Kebiasaan di Indonesia, aku berdiri rapat-rapat dengan yang ada di depanku, supaya tidak ada ruang bagi yang mau menyerobot antrean. Eh…..petugasnya bilang, "Please Queque". Aku sempat bingung, perasaan udah antre, kok disuruh antre lagi…. Tengok kiri-kanan.... ternyata yang lain, berdirinya di belakang garis. Ada garisnya toh???? Malu deh….

Norak yang berikut terjadi pada pagi keesokan harinya Aku sudah siap beberapa menit sebelum dijemput. Kumanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan di jalanan di sekitar hotel. Sudah tertanam di benakku, kalau orang-orang Singapura disiplin, salah satunya menyebrang harus di zebra cross, eh... di tempat khusus nyebrang (di sana ternyata tidak  ada zebra cross!). Aku berjalan dengan berhati-hati. Berjalan di trotoar, tidak turun ke jalan. Jalanan sepi, mau menyebrang takut-takut. Bukan takut tertabrak mobil, tapi takut salah tempat. Terus ceritanya nyebarang nih. Eh.. ada mobil. Kebiasaan di Indonesia, aku berhenti. Takut ditabrak. Ternyata mobilnya berhenti. Ooo… di sini penyebrang jalan ternyata didahulukan! Kalau sudah menyebrang di tempat yang benar sampai tertabrak juga, berarti yang salah mobilnya.

Norak berikutnya... di jalan yang kecil, aku mau nyebrang…. Kuselusuri jalan sampai ke ujung, baru menyebrang. Tak tahunya ada orang yang menyebrang tidak di tempat nyebrang juga. Ternyata tidak kaku-kaku amat ya....

Di Singapura tidak ada tukang parkir, tapi orang di sana disiplin bayar uang parkir. Bayarnya dengan kartu prabayar. Dia sendiri yang menandai tanggal-bulan-tahun dan jam parkirnya di kartu itu. Tidak ada yang memeriksa. Tapi semua melakukannya.

Naik mobil juga harus pakai seat-belt. Kupikir itu kebiasaan yang sudah mendarah-daging. Ternyata si Joseph sampai di Malaysia cari kesempatan juga untuk tidak pakai seat-belt.

Enak sekali naik MRT di Singapura. Bersih, ber-AC, cepat. Semua pakai mesin. Mulai dari beli karcis atau tukar duit receh, masuk ke station, jam MRT berhenti, lama pintu MRT dibuka. Pada jam-jam pulang kantor penuh, tapi tidak bikin gerah. Beda banget dibanding naik KRL Tangerang- Kota. Terlambat, kotor, panas, berjubel dan bau keringat-sampah-kencing.

Kalau mobil masuk daerah tertentu, mungkin pusat kota Singapura, harus bayar. Bayarnya otomatis. Di semua mobil ada alat pencatat ditempel deket sopir. Setiap kali lewat jalan masuk ke pusat kota, alatnya terhubung dengan mesin di pinggir jalan, jadi terhitung secara otomatis. Mengurangi resiko kemacetan akibat mengantri bayar tol.

Melinda

0 Response to "Singapura - Sarawak 10 tahun yang lalu : bahasa dan kebiasaan"

Posting Komentar